Anda di halaman 1dari 4

1.

Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
mandiri dan bebas. Ini mengandung arti bahwa hakim dalam menjalankan tugas dan
kekuasaannya bebas dari intervensi siapapun. Tetapi dalam pasal 27 ayat (1) UU No. 14
Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan
bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya harus memperhatikan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Berarti logikanya hakim tidak ‘INDEPENDEN’ dalam
menjatuhkan putusan, padahal Pasal 27 UUD 1945 menghendaki hakim independen dan
mandiri.

Implementasi independent kekuasaan kehakiman di Indonesia sangat penting, karena


pentingnya jaminan independensi kekuasaan kehakiman dalam konstitusi sebenarnya
sudah lama didorong agar lebih kuat, apalagi merujuk pada pengalaman selama ini
kekuasaan sering mengintervensi hakim. Menjaga independensi hakim memang tidak
mudah. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’
dan ‘fairness’ dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau
tidak langsung melibatkan kepentingan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Pengadilan
atau hakim harus independen tidak hanya terhadap cabang kekuasaan lain, tetapi juga
dengan pihak-pihak yang berperkara.

2. Landasan awal adanya tingkatan pada sistem peradilan di Indonesia ditetapkan di dalam
konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Dalam Pasal 24 UUD
1945 dinyatakan bahwa:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.

Melalui Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa terdapat
tingkatan antara Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dan badan
peradilan yang berada di bawahnya, yang kemudian akan diatur dalam undang-undang.
Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman yang berlaku pada saat ini adalah
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU No.
48/2009”), yang mana dalam konsiderans “Menimbang” poin b dinyatakan tujuan UU
No. 48/2009 adalah dimaksudkan untuk melakukan penataan sistem peradilan yang
terpadu agar mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang
bersih serta berwibawa.

Mengenai tingkatan sistem peradilan di Indonesia sendiri diatur secara terperinci dalam
Pasal 20 s.d. Pasal 28 UU No. 48/2009. Sesuai Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 18 dan
Pasal 25 ayat (1) UU No. 48/2009, terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia:
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Keempat lingkungan peradilan ini memiliki kompetensi yang berbeda dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Pasal 25 ayat (2) s.d. ayat (5) UU No.
48/2009 menjelaskan mengenai kewenangan dari tiap lingkungan peradilan yang
kemudian diatur lebih lanjut melalui ketentuan perundang-undangan yang lebih khusus.
Misalnya, untuk lingkungan peradilan umum dapat ditemukan ketentuannya dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah
melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009.
Mengenai jenjang dan proses dalam sistem peradilan di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) UU
No. 48/2009 menyatakan bahwa:
(1) Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan
tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Selanjutnya diatur dalam Pasal 23 UU No. 48/2009:
“Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah
Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.”

Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 24 UU No. 48/2009:


(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam
undang-undang.
(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Landasan konstitusional sistem peradilan di Indonesia terdapat dalam UUD NRI 1945,
yaitu pasal 24
Pasal tersebut berbunyi:
Ayat 1: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.  
Ayat 2: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.  
Ayat 3: Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang.  

Dari rangkaian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenjang peradilan


diperlukan untuk mengantisipasi ketidakcermatan yang mungkin dilakukan oleh hakim
pada tingkatan sebelumnya dan memenuhi rasa keadilan. Jenjang pengadilan di
Indonesia adalah pengadilan dalam tingkat pertama, pengadilan dalam tingkat banding,
dan Mahkamah Agung. Badan peradilan lain yang terdapat dalam sistem peradilan di
Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, yang mana menurut Pasal 24C UUD 1945 jo.
Pasal 29 UU No. 48/2009 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk hal: menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum; dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Undang-
undang tentang Mahkamah Konstitusi yang berlaku pada saat ini adalah Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8
Tahun 2011.
3. Sejarah pembentukan PTUN di negara ini telah ada di benak para pimpinan kita
beberapa saat pasca kemerdekaan, ini dapat kita lihat pada Rancangan Undang-Undang
Tahun 1949 Tentang Acara Dalam Soal Tata Usaha Pemerintahan yang diaiukan oleh
Mr. Wirjono Prodiodikoro. Tetapi rancangan itu ini kemudian gugur di tengah jalan
sebab pilar yang menjadi landasan bagi lahimya rancangan undang-undang itu sendiri
tidak jadi disahkan oleh pemerintah. 11 Kemudian pada Tanggal 17 Desember 1970
diundangkanlah Undang-Undang Nomor (UU No.} 14 Tahun 1970 tentang Pokok-
Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 Ayat (1) undang-undang tersebut kemudian
telah menqamanahkaa pemerintah untuk membentuk PTUN sebagai bagian dari
lingkungan peradilan yang ada. Menindaklanjuti hal itu kemudian pemerintah
mengundangkan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN pada Tanggal 29 Desember
1986, angin segarpun kembali berhembus kepada pecinta keadilan. Akan tetapi karena
adanya hambatan tekhnis berupa keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya
yang tersedia maka pembentukan itu akhirnya diundur. Peradilan Tata Usaha Negara
merupakan lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986,
adapun tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mewujudkan
tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang dapat
menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya
hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha
negara dengan para warga masyarakat. Dengan terbentuknya Peradilan Tata Usaha
Negara menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

4.
5. Peran dan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
 Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta), dengan berpedoman
pada Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor: 9 Tahun
2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan ketentuan dan ketenuan
peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, serta petunjuk-petunjuk dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia (Buku Simplemen Buku I, Buku II, SEMA,
PERMA, dll).
 Meneruskan sengketa-sengketa Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) yang
berwenang.
 Peningkatan kualitas dan profesionalisme Hakim pada Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta (PTUN Jakarta), seiring peningkatan integritas moral dan karakter
sesuai Kode Etik dan Tri Prasetya Hakim Indonesia, guna tercipta dan dilahirkannya
putusan-putusan yang dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum dan keadilan,
serta memenuhi harapan para pencari keadilan (justiciabelen).
 Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Peradilan guna
meningkatan dan memantapkan martabat dan wibawa Aparatur dan Lembaga
Peradilan, sebagai benteng terakhir tegaknya hukum dan keadilan, sesuai tuntutan
Undang-Undang Dasar 1945.
 Memantapkan pemahaman dan pelaksanaan tentang organisasi dan tata kerja
Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, sesuai Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: KMA/012/SK/III/1993, tanggal 5
Maret 1993 tentang Organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
 Membina Calon Hakim dengan memberikan bekal pengetahuan di bidang hukum
dan administrasi Peradilan Tata Usaha Negara agar menjadi Hakim yang
profesional.
 Melakukan Pembinaan Pejabat Struktural dan Fungsional Serta Pegawai Lainnya,
Baik Menyangkut Administrasi, Tekhnis, Yustisial Maupun Administrasi Umum.
 Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan
pegawai lainnya.
 Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman.

6. Asas-asas Peradilan Tata Usaha Negara


 Asas sidang terbuka untuk umum.
Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya terbuka untuk umum,berarti bahwa
setiap orang dibolehkan untuk mengikuti dan mendengarkan pemeriksaan
pemeriksaan (Pasal 13 ayat (1) UU No 48 tahun 2009.
 Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang Bebas Merdeka
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24
ayat (1) menegaskan :”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
pertama sebagai bagian dari sistem pemisahan, pembagian kekuasaan di antara
badan – badan penyelenggara negara. Kedua, untuk mencegah penyelenggara
negara bertindak semena – mena dan menindas. Ketiga, untuk menilai keabsahan
secara hukum tindakan pemerintahan atas suatu peraturan perundang – undangan
sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakan dengan baik

7.
8. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
9.

Anda mungkin juga menyukai