Anda di halaman 1dari 23

1.

Memahami dan Menjelaskan Permasalahan Gizi Pada Anak


1.1 Memahami dan Menjelaskan Masalah Gizi Utama di Indonesia

Gizi Kurang
Gizi kurang merupakan salah satu penyakit tidak menular yang
terjadi pada kelompok masyarakat tertentu di suatu tempat. Hal ini
berkaitan erat dengan berbagai faktor multidisiplin dan harus selalu
dikontrol terutama pada masyarakat yang tinggal di negara-negara
berkembang (Depkes, 2000).
Gizi kurang bukanlah penyakit akut yang terjadi mendadak, tetapi
ditandai dengan kenaikan berat badan balita yang tidak normal pada
awalnya atau tanpa kenaikan berat badan setiap bulan atau bahkan
mengalami penurunan berat badan selama beberapa bulan. Perubahan
status gizi balita diawali oleh perubahan berat badan balita dari waktu ke
waktu.
Bayi yang tidak mengalami kenaikan berat badan 2 kali selama 6
bulan, beresiko 12,6 kali lebih besar mengalami gizi kurang dibandingkan
dengan balita yang berat badannya terus meningkat. Bila frekuensi berat
badan tidak naik lebih sering, maka risiko akan semakin besar (Depkes,
2005).

Gizi Buruk
Gizi Buruk Gizi kurang jika tidak segera ditangani dikhawatirkan
akan berkembang menjadi gizi buruk (Dewi, 2013). Gizi buruk dapat
dikatakan merupakan kurang gizi kronis akibat kekurangan asupan energi
dan protein yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Anak
disebut mengalami gizi buruk apabila berat badan anak dibanding umur
tidak sesuai (selama 3 bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai 14
tanda-tanda bahaya (Moehji, 2002).
Berdasarkan manifestasi klinisnya, gizi buruk terbagi menjadi tiga
yaitu gizi buruk karena kekurangan protein atau disebut kwashiorkor,
akibat kekurangan karbohidrat atau kalori atau yang dikenal dengan
marasmus, dan karena kekurangan kedua-duanya atau yang lebih dikenal
dengan marasmuskwashiorkor. Gizi buruk sangat rentan terjadi pada anak
balita (bawah lima tahu Pengukuran gizi buruk ditentukan dengan
menggunakan standar deviasi (SD = skor Standard Deviasi atau Z-score).
Berat badan menurut tinggi atau panjang badan (BB/TB-PB) -2 SD
menunjukkan bahwa anak berada pada batas terendah dari kisaran normal,
dan < -3SD menunjukkan sangat kurus (severe wasting). Nilai BB/TB atau
BB/PB sebesar -3SD hampir sama dengan 70% BB/TB atau BB/PB rata-
rata (median) anak.
Diagnosis Gizi Buruk
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta
pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:
1. BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)
2. Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
(kwashiorkor: BB/TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-
3SD Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis
berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu,
lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa
adanya edema Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk,
karena anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali
jika ditemukan penyakit lain yang berat

Gizi Lebih
Kegemukan akan menjadi faktor risiko yang dapat memicu
timbulnya gangguan metabolic dan timbulnya penyakit degenerative
sebagai dampaknya pada usia selanjutnya. Masalah gizi yang saat ini
dikategorikan sebagai ancaman baru adalah kegemukan/obesitas, baik
pada kelompok usia balita maupun remaja muda
a. Kegemukan Usia Balita. Prevalensi balita gemuk hasil Riskesdas tahun
2001, 2010 dan 2013 menunjukkan angka 12,2%, 14,0% dan 11,9%.
Angka ini sudah jauh di atas prevalensi balita kurus (7,4%; 7,3% dan
6,8%) maupun balita gizi buruk (5,4%; 4,9% dan 5,7%).
b. Kegemukan Usia sekolah (5 – 12 tahun) Pada kelompok anak usia
sekolah (5 – 12 tahun), prevalensi anak gemuk kelompok perempuan
tahun 2013 sebesar 10,7% dan prevalensi anak obesitas sebesar 6,6%,
sehingga total prevalensi anak usia sekolah kegemukan sebesar 17,3%.
Pada kelompok laki-laki, angka ini lebih besar, yaitu 10,8% dan 9,7%,
sehingga prevalensi kegemukan anak laki-laki sebesar 20,5%.

Secara nasional, masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih
tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk
(obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di
Indonesia sebesar 10.8 persen, terdiri dari 8,3 persen gemuk dan 2,5
persen sangat gemuk (obesitas). Prevalensi gemuk pada remaja umur 16
hingga 18 tahun sebanyak 7,3 persen yang terdiri dari 5,7 persen gemuk
dan 1,6 persen obesitas. Prevalensi penduduk dewasa berat badan lebih
13,5 persen dan obesitas 15,4 persen

1.2 Memahami dan Menjelaskan Faktor yang Mempengaruhi


Kekurangan Gizi
1) Asupan Zat Gizi
Pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah
dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam,
bergizi seimbang, dan aman. Pada tingkat makro, konsumsi makanan
individu dan keluarga dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang
ditunjukkan oleh tingkat produksi dan distribusi pangan. Ketersediaan
pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan harga
terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan
keluarga. Khusus untuk bayi dan anak telah dikembangkan standar
emas makanan bayi yaitu:
a. inisiasi menyusu dini;
b. memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan;
c. pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan
keluarga, diberikan tepat waktu mulai bayi berusia 6 bulan; dan
d. ASI terus diberikan sampai anak berusia 2 tahun.

2) Penyakit Infeksi
Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang
berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya
kesehatan lingkungan. Untuk itu, cakupan universal untuk imunisasi
lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan yang
perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis
sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung.
Berbagai penyakit infeksi yang sering menyerang balita adalah :
a. Batuk-batuk Penyebab yang paling umum dari kondisi ini
kemungkinan selesma, atau dikenal juga sebagai infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA). Selain itu ada juga penyebab lainnya
seperti lendir dari hidung yang mengalir ke tenggorokkan, asma,
bronkiolitis, batuk rejan atau pneumonia
b. Diare
Balita yang mengalami diare umumnya memiliki kotoran yang
encer dan berair. Diare ini bisa disebabkan oleh gastroenteritis,
alergi atau tidak bisa menoleransi suatu makanan. Pada bayi di
bawah usia 3 tahun (batita) terkadang diare disebabkan oleh sistem
pencernaan yang belum sempurna.
c. Sulit bernapas
Gangguan ini umumnya terjadi pada bayi karena saluran udara
yang dimilikinya masih kecil. Namun ada juga beberapa kondisi
yang bisa menyebabkan bayi sulit bernapas, seperti asma,
bronkiolitis atau pneumonia.
d. Sakit telinga
Kondisi ini biasanya disebabkan oleh adanya infeksi pada telinga
bagian tengah dan luar. Pada umumnya balita yang mengalami
sakit telinga akan sering kali menariknarik telinganya.
e. Menangis berlebihan
Penyebab medis yang bisa menyebabkan bayi menangis berlebihan
adalah kondisi yang mengakibatkan sakit perut, nyeri pada tulang
atau adanya infeksi tulang. Secara umum bayi yang sakit
cenderung akan diam dan tidak rewel.
f. Demam
Pada umumnya demam merupakan pertanda terjadinya infeksi
yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Usaha pertama yang
dilakukan jika bayi demam tinggi adalah memberinya obat
penurun demam, karena demam yang terlalu tinggi bisa
menyebabkan kejang.
g. Kejang (konvulsi)
Balita yang kejang adalah suatu kondisi menakutkan bagi orang
tua. Namun, jika kejang terjadi akibat demam tinggi biasanya
jarang berbahaya. Penyebab lain dari balita yang kejang adalah
epilepsi dan kejang hari kelima, yaitu kejang tanpa ada alasan yang
khusus pada bayi yang baru lahir dalam keadaan sehat.
h. Ruam
Ruam yang timbul pada balita disebabkan oleh banyak hal, sepert
penyakit infeksi, alergi, eksim dan juga infeksi kulit.
i. Sakit perut
Terdapat berbagai hal yang bisa memicu sakit perut pada balita,
salah satu penyebab yang paling umum adalah sembelit
(konstipasi) atau susah buang air besar. Sakit perut yang dialami
juga bisa disebabkan oleh gastroenteritis dan juga rasa cemas
berlebihan yang dialami si kecil. Jika sakit perutnya tergolong
parah, maka segera konsultasikan ke dokter.
j. Muntah
Muntah bisa disebabkan oleh infeksi seperti gastroenteritis, infeksi
saluran kemih, keracunan makanan atau masalah struktural
misalnya refluks atau stenosis pilorik.

3)Pelayanan Kesehatan
Secara umum tujuan utama pelayanan kesehatan masyarakat
adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif
(peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Namun
secara terbatas pelayanan kesehatan masyarakat juga melakukan
pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Oleh karena ruang lingkup pelayanan kesehatan masyarakat
menyangkut kepentingan rakyat banyak, dengan wilayah yang luas
dan banyak daerah yang masih terpencil, sedangkan sumber daya
pemerintah baik tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sangat
terbatas, maka sering program pelayanan kesehatan tidak
terlaksana dengan baik.
Berkaitan dengan peranannya sebagai faktor penyebab tidak
langsung timbulnya masalah gizi, selain sanitasi dan penyediaan
air bersih, kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di
jamban, tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi
udara dalam rumah yang baik, ruangan dalam rumah terkena sinar
matahari dan lingkungan rumah yang bersih.
Data BPS th 2016 memberikan gambaran bahwa baru 60,72%
masyarakat pedesaan dan 71,14% masyarakat perkotaan yang telah
mendapatkan air bersih, sedangkan menurut Menteri koordinator
kesejahteraan rakyat, masih ada 120 juta atau setara 47 persen
penduduk yang belum memiliki sanitasi terutama jamban yang
layak.

4) Asuhan Ibu dan Anak


Berkaitan dengan Tingkat Pendidikan maupun Pekejaan Ibu
yang mempengaruhi asuhan pada balita. Seperti: mengetahui
indicator gizi buruk dan sebagainya Pengasuhan anak
dimanifestasikan sebagai memberi makan, merawat (menjaga
kesehatannya), mengajari dan membimbing (mendorong dan
stimulasi kognitif anak). Praktek pengasuhan dalam hal pemberian
makan meliputi pemberian ASI, pemberian makanan tambahan
yang berkualitas, penyiapan dan penyimpanan makanan yang
higinis. Praktek pengasuhan dalam perawatan anak adalah
pemberian perawatan kesehatan kepada anak sehingga dapat
mencegah anak dari penyakit, yang meliputi imunisasi dan
pemberian suplemen pada anak.

5) Masalah Ekonomi Dan Politik


Indeks Persepsi Korupsi ini menempatkan Indonesia di
peringkat ke 90 dengan skor 37. Singapura yang berada pada
peringkat ketujuh dengan skor Coruption Percepcion Index (CPI) 87
adalah negara di Asia yang dinilai paling bebas korupsi. Disusul
Brunei Darusalam di peringkat 41 dengan skor 58 dan Malaysia di
peringkat 55 dengan skor 49.

Dampak korupsi akan sangat membebani masyarakat karena:


a. Korupsi menyebabkan turunnya kualitas pelayanan
publik.
b. Korupsi menyebabkan terenggutnya hak-hak dasar
warga negara.
c. Korupsi menyebabkan rusaknya sendi-sendi prinsip dari
sistem pengelolaan keuangan negara.
d. Korupsi menyebabkan terjadinya pemerintahan boneka.
e. Korupsi dapat meningkatkan kesenjangan sosial.
f. Korupsi dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan
investor.
g. Korupsi dapat menyebabkan terjadinya degradasi moral
dan etos kerja.

Selanjutnya, ketidakcakapan para pemimpin dalam mengelola


negara akan berdampak pada rendahnya mutu pendidikan, rendahnya
kualitas sumber daya manusia, menyebabkan negara tidak mampu
membuka lapangan kerja, yang berdampak pada tingginya
pengangguran, dan mengakibatkan munculnya kemiskinan. Keadaan
masyarakat yang terdidik dan memiliki status ekonomi yang baik, akan
jauh lebih mampu menyediakan pangan, mengasuh anak anaknya serta
menjangkau pelayanan kesehatan yang baik, yang pada akhirnya
mencapai tingkat status gizi yang baik.

6) Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga

a. Ketersediaan bahan pangan


Ukuran ketersediaan pangan dalam rumah tangga adalah
jumlah yang cukup tersedia bagi untuk konsumsinya sesuai
dengan jumlah anggota keluarganya. Bagi petani, ketersediaan
ini harus mampu memberikan suplai pangan yang diperlukan
antara musim panen saat ini dengan musim panen berikutnya.
Bagi keluarga yang tidak bertumpu pada pertanian,
ketersediaan pangan harus ditopang dengan kemampuan
penghasilan rumah tangga yang mampu membeli pangan
sepanjang tahun.

b. Stabilitas ketersediaan
Stabilitas ketersediaan pangan adalah kemampuan rumah
tangga untuk menyediakan makan 3 kali sehari sepanjang tahun
sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.

c. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan


Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari
kemudahan rumah tangga memperoleh pangan, yang diukur dari
pemilikan lahan (misal sawah untuk provinsi Lampung dan
ladang untuk provinsi NTT) serta cara rumah tangga untuk
memperoleh pangan.

7) Kualitas Keamanan pangan


a. Kualitas keamanan pangan baik.
Dalam rumah tangga yang terbaik adalah kemampuan
rumah tangga untuk menyediakan pangan yang memenuhi gizi
seimbang. Dalam pengeluaran untuk pangan, rumah tangga ini
memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani
dan nabati atau protein hewani saja.
b. Kualitas keamanan pangan kurang baik
Rumah tangga dengan kualitas keamanan pangan
kurang baik adalah rumah tangga yang dalam mencukupi
kebutuhan pangannya hanya memiliki pengeluaran untuk lauk-
pauk berupa protein nabati saja.
c. Kualitas bahan pangan tidak baik
Rumah tangga dengan kualitas bahan pangan tidak baik
adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk
lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati. World
Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama
ketahanan pangan, yaitu:
1. Ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan
pangan.
2. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah
pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar.
3. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya,
secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan
pangan bernutrisi.
4. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam
memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara
proporsional.
5. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan
dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang
panjang.

1.3 Memahami dan Menjelaskan Patogenesis Kekurangan Gizi


Riwayat alamiah terjadinya masalah gizi (defisiensi gizi), dimulai
dari tahap prepatogenesis yaitu proses interaksi antara penjamu
(host=manusia), dengan penyebab (agent=zat-zat gizi) serta lingkungan
(environment). Pada tahap ini terjadi keseimbangan antara ketiga
komponen yaitu tubuh manusia, zat gizi dan lingkungan dimana manusia
dan zat-zat gizi makanan berada (konsep: John Gordon).
Ada 4 kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi.
 Pertama: makanan yang dikonsumsi kurang baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.
 Kedua:  Peningkatan kepekaan host terhadap kebutuhan gizi mis :
kebutuhan yang meningkat karena sakit.
 Ketiga: Pergeseran lingkungan yang memungkinkan kekurangan pangan,
misalnya misalnya gagal panen.
 Keempat: Perubahan lingkungan yang mengubah meningkatkan
kerentanan host mis : kepadatan penduduk di daerah kumuh
Bila salah satu kemungkinan terjadinya patogensis penyakit defisiensi
gizi tersebut diatas, maka tahap pertama yang terjadi adalah “simpanan
berkurang” yaitu zat-zat gizi dalam tubuh terutama simpanan dalam
bentuk lemak termasuk unsur-unsur biokatalisnya akan menggantikan
kebutuhan energi  dari Karbohidart  yang kurang, bila terus terjadi
maka “Simpanan Habis” yaitu titik kritis, tubuh akan menyesuaikan dua
kemungkinan  yaitu menunggu asupan gizi yang memadai atau
menggunakan protein tubuh untuk keperluan energi.  Bila menggunakan
protein tubuh maka “perubahan faal dan metabolik” akan terjadi. Pada
tahap awal akan terlihat seseorang “Tidak Sakit dan Tidak Sehat” sebagai
batas klinis terjadinya penyakit defisiensi gizi, bukan saja terjadi pada zat
gizi penghasil energi tetapi juga vitamin mineral dan air termasuk serat.
Zat gizi dipergunakan oleh sel tubuh untuk dipergunakan berbebagai
aktifitas, bila zat gizi kurang maka sel tubuh akan mengambil cadangan
zat gizi (depot), bila zat gizi yang dikonsumsi berlebihan maka akan
disimpan dalam tubuh.  Bila depot simpanan habis dan konsumsi zat gizi
kurang maka akan terjadi proses biokimia untuk mengubah unsur-unsur
pembangun struktur tubuh, ini artinya telah terjadi gangguan biokimia
tubuh misalnya saja kadar Hb dan serum yang turun. Bila terus berlanjut
maka terjadi gangguan fungsi sel, jaringan dan organ tubuh. Bila tidak
segera diatasi dengan konsumsi gizi yang adekuat maka secara anatomi
sel-sel, jaringan dan organ tubuh akan terlihat mengalami kerusakan
misalnya saja pada penyakit defisiensi gizi kwashiorkor dan marasmus.
Gangguan anatomi dengan kerusakan jaringan yang parah dapat berakhir
dengan kematian.

1.4 Klasifikasi (Status gizi normal dan abnormal)


Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang
sering disebut reference (Ibnu Fajar et al, 2002:73). Berdasarkan Semi
Loka Antopometri, Ciloto, 1991 telah direkomendasikan penggunaan
baku rujukan World Health Organization – National Centre for Health
Service (WHONCHS) (Gizi Indonesia, Vol. XV No 2 tahun 1999).
Berdasarkan baku WHONCHS status gizi dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Gizi lebih
Gizi lebih terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara
konsumsi energi dan pengeluaran energi. Asupan energi yang
berlebihan secara kronis akan menimbulkan kenaikan berat badan,
berat badan lebih (overweight) dan obesitas. Makanan dengan
kepadatan energi yang tinggi (banyak mengandung lemak atau gula
yang ditambahkan dan kurang mengandung serat) turut menyebabkan
sebagian besar keseimbangan energi yang positif ini. Selanjutnya
penurunan pengeluaran energi akan meningkatkan keseimbangan
energi yang positif (Gibney, 2008:3). Peningkatan pendapatan pada
kelompok masyarakat tertentu, terutama di perkotaan menyebabkan
perubahan dalam gaya hidup, terutama pola makan. Pola makan
berubah ke pola makan baru yang rendah karbohidat, rendah serat
kasar, dan tinggi lemak sehingga menjadikan mutu makanan ke arah
tidak seimbang. Dampak masalah gizi lebih tampak dengan semakin
meningkatnya penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, diabetes
mellitus (DM), hipertensi, dan penyakit hati (Supriasa, 2002:12).
Penanggulangan masalah gizi lebih adalah dengan menyeimbangkan
masukan dan keluaran energi melalui pengurangan makan dan
penambahan latihan fisik. Penyeimbangan masukan energi dilakukan
dengan membatasi konsumsi karbohidrat dan lemak serta
menghindari konsumsi alkohol (Almatsier, 2001:312).
b. Gizi baik
Gizi baik adalah gizi yang seimbang. Gizi seimbang adalah
makanan yang dikonsumsi oleh individu sehari-hari yang beraneka
ragam dan memenuhi 5 kelompok zat gizi dalam jumlah yang cukup,
tidak berlebihan dan tidak kekurangan (Dirjen BKM, 2002). Sekjen
Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) Dr. dr.
Saptawati Bardosono (2009) memberikan 10 tanda umum gizi baik,
yaitu:
1. Bertambah umur, bertambah padat, bertambah tinggi. Tubuh dengan
asupan gizi baik akan mempunyai tulang dan otot yang sehat dan kuat
karena konsumsi protein dan kalsiumnya cukup. Jika kebutuhan
protein dan kalsium terpenuhi maka massa tubuh akan bertambah dan
tubuh akan bertambah tinggi.
2. Postur tubuh tegap dan otot padat. Tubuh yang memiliki massa otot
yang padat dan tegap berarti tidak kekurangan protein dan kalsium.
Mengonsumsi susu dapat membantu mencapai postur ideal.
3. Rambut berkilau dan kuat. Protein dari daging, ayam, ikan dan
kacang-kacangan dapat membuat rambut menjadi lebih sehat dan
kuat.
4. Kulit dan kuku bersih dan tidak pucat. Kulit dan kuku bersih
menandakan asupan vitamin A, C, E dan mineral terpenuhi.
5. Wajah ceria, mata bening dan bibir segar. Mata yang sehat dan
bening didapat dari konsumsi vitamin A dan C seperti tomat dan
wortel. Bibir segar didapat dari vitamin B, C dan E seperti yang
terdapat dalam wortel, kentang, udang, mangga, jeruk.
6. Gigi bersih dan gusi merah muda. Gigi dan gusi sehat dibutuhkan
untuk membantu menceerna makanan dengan baik. Untuk itu, asupan
kalsium dan vitamin B pun diperlukan.
7. Nafsu makan baik dan buang air besar teratur. Nafsu makan baik
dilihat dari intensitas anak makan, idealnya yaitu 3 kali sehari. Buang
air besar pun harusnya setiap hari agar sisa makanan dalam usus besat
tidak menjadi racun bagi tubuh yang dapat mengganggu nafsu makan.
8. Bergerak aktif dan berbicara lancar sesuai umur.
9. Penuh perhatian dan bereaksi aktif
10. Tidur nyenyak

c. Gizi kurang
Menurut Moehji, S (2003:15) Gizi kurang adalah kekurangan
bahan-bahan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan vitamin
yang dibutuhkan oleh tubuh. Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi)
pada tahun 1999, telah merumuskan faktor yang menyebabkan gizi
kurang seperti pada bagan di bawah ini.

d. Gizi buruk
Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan karena
kekurangan asupan energi dan protein juga mikronutrien dalam jangka
waktu lama. Anak disebut gizi buruk apabila berat badan dibanding
umur tidak sesuai (selama 3 bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak
disertai tanda-tanda bahaya. Dampak gizi buruk pada anak terutama
balita:
1) Pertumbuhan badan dan perkembangan mental anak sampai
dewasa terhambat.
2) Mudah terkena penyakit ispa, diare, dan yang lebih sering terjadi.
3) Bisa menyebabkan kematian bila tidak dirawat secara intensif.

Klasifikasi berdasarkan patogenesis


1. Status gizi normal
2. Status gizi abnormal

Status gizi abnormal


1. Malnutrisi :
a. Starvation -> kekurangan intake yang banyak
b. Undernutrition -> intake yang tidak adekuat
c. Specific deficiency
d. Imbalance -> ketidakcocokan dari zat gizi
e. Overnutrition
2. Toxicity : konsekuensi patologis dari kelebihan intake

Malnutrition (Gizi salah), adalah keadaan patofisiologis akibat dari


kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat
gizi, ada empat bentuk malnutrisi diantaranya adalah :
 Under nutrition, kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau
absolut untuk periode tertentu,
 Specific deficiency, kekurangan zat gizi tertentu,
 Over nutrition, kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu,
 Imbalance, karena disproporsi zat gizi, misalnya kolesterol terjadi
karena tidak seimbangnya LDL (Low Density Lipoprotein), HDL
(High Density Lipoprotein), dan VLDL (Very Low Density
Lipoprotein),
 Kurang energi protein (KEP), adalah seseorang yang kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan
sehari-hari atau gangguan penyakit tertentu. Anak dikatakan KEP bila
berat badan kurang dari 80% berat badan menurut umur (BB/U) baku
WHO-NHCS.
Klasifikasi Gomez (1956)
Baku yang digunakan oleh Gomez adalah baku rujukan Harvard.
Indeks yang digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U). Sebagai
baku patokan digunakan persentil 50 (Supariasa, dkk. 2002).

Klasifikasi Jelliffe
Indeks yang digunakan oleh Jellife adalah berat badan menurut umur
(Supariasa, dkk. 2002).

Klasifikasi Menurut Depkes RI (1999)


Buku petunjuk teknis Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita tahun
1999 klasifikasi status gizi dibagi menjadi 5 yaitu, Gizi lebih, gizi baik, gizi
sedang, gizi kurang, dan gizi buruk. Indeks yang digunakan adalah berat badan
menurut umur (BB/U) (Supariasa, dkk. 2002).
Klasifikasi Cara WHO
Indeks yang digunakan adalah BB/TB, BB/U, dan TB/U. Standard
yang digunakan adalah NCHS (National Centre For Health Statistics, USA)
(Supariasa, dkk. 2002).

1.5 Memahami dan Menjelaskan Tahapan Gangguan Nutrisi


 Intake menurun dalam waktu tertentu
 Output meningkat dibandingkan intake
 Cadangan gizi dalam tubuh menurun
 Defisiensi pada jaringan dan serum  pemeriksaan biokimia
 Timbul gejala klinik tidak khas / daya tahan tubuh menurun
 Kelainan biologis dan fisiologis gejala klinis khas -> pemeriksaaan
fisik
 Perubahan anatomis  pemeriksaan antropometri
 Gejala defisiensi nyata dan khas

1.6 Memahami dan Menjelaskan Penyebab Kurang Gizi


Empat masalah gizi kurang yang mendominasi di Indonesia, yaitu
(Almatsier, 2001:307) :

1). Kurang Energi Protein (KEP)


Kurang Energi Protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makan
sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein. Pada
anak-anak, KEP dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap
penyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya
tingkat kecerdasan. Pada orang dewasa, KEP bisa menurunkan
produktivitas kerja dan derajat kesehatan sehingga rentan terhadap
penyakit. Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya KEP, namun selain kemiskinan faktor lain
yang berpengaruh adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
makanan pendamping serta tentang pemeliharaan lingungan yang
sehat (Almatsier, 2001:307).
2). Anemia Gizi Besi (AGB)
Masalah anemia gizi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan
kekurangan zat besi (AGB). Penyebab masalah AGB adalah
kurangnya daya beli masyarakat untuk mengkonsumsi makanan
sumber zat besi, terutama dengan ketersediaan biologik tinggi (asal
hewan), dan pada perempuan ditambah dengan kehilangan darah
melalui haid atau persalinan. AGB menyebabkan penurunan
kemampuan fisik dan produktivitas kerja, penurunan kemampuan
berpikir dan penurunan antibodi sehingga mudah terserang infeksi.
Penanggulangannya dilakukan melalui pemberian tablet atau sirup
besi kepada kelompok sasaran.
3). Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)
Kekurangan iodium umumnya banyak ditemukan di daerah
pegunungan dimana tanah kurang mengandung iodium. GAKI
menyebabkan pembesaran kelenjar gondok (tiroid). Pada anak-anak
menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan jasmani, maupun
mental. Ini menampakkan diri berupa keadaan tubuh yang cebol,
dungu, terbelakang atau bodoh. Penanggulangan masalah GAKI
secara khusus dilakukan melalui pemberian kapsul minyak
beriodium/iodized oil capsule kepada semua wanita usia subur da
anak sekolah di daerah endemik. Secara umum pencegahan GAKI
dilakukan melalui iodisasi garam dapur.
4). Kurang Vitamin A (KVA)
Suatu ganguan yang disebabkan karena kurangnya asupan vitamin
A dalam tubuh. KVA dapat mengakibatkan kebutaan, mengurangi
daya tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi, yang sering
menyebabkan kematian khususnya pada anak-anak. Selain itu KVA
dapat menurunkan epitelisme sel-sel kulit . Faktor yang menyebabkan
timbulnya KVA adalah kemiskinan dan minim pengetahuan akan
gizi.

1.7 Memahami dan Menjelaskan Penilaian Status Gizi


Standar Antropometri Anak digunakan untuk menilai atau
menentukan status gizi anak. Penilaian status gizi Anak dilakukan dengan
membandingkan hasil pengukuran berat badan dan panjang/tinggi badan
dengan Standar Antropometri Anak. Klasifikasi penilaian status gizi
berdasarkan Indeks Antropometri sesuai dengan kategori status gizi pada
WHO Child Growth Standards untuk anak usia 0-5 tahun dan The WHO
Reference 2007 untuk anak 5-18 tahun.
Umur yang digunakan pada standar ini merupakan umur yang
dihitung dalam bulan penuh, sebagai contoh bila umur anak 2 bulan 29
hari maka dihitung sebagai umur 2 bulan. Indeks Panjang Badan (PB)
digunakan pada anak umur 0-24 bulan yang diukur dengan posisi
terlentang. Bila anak umur 0-24 bulan diukur dengan posisi berdiri, maka
hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm. Sementara
untuk indeks Tinggi Badan (TB) digunakan pada anak umur di atas 24
bulan yang diukur dengan posisi berdiri. Bila anak umur di atas 24 bulan
diukur dengan posisi terlentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi
dengan mengurangkan 0,7 cm.
A. Indeks Standar Antropometri
Anak Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat
badan dan panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks,
meliputi:

1. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)


Indeks BB/U ini menggambarkan berat badan relatif dibandingkan
dengan umur anak. Indeks ini digunakan untuk menilai anak dengan
berat badan kurang (underweight) atau sangat kurang (severely
underweight), tetapi tidak dapat digunakan untuk mengklasifikasikan
anak gemuk atau sangat gemuk. Penting diketahui bahwa seorang
anak dengan BB/U rendah, kemungkinan mengalami masalah
pertumbuhan, sehingga perlu dikonfirmasi dengan indeks BB/PB atau
BB/TB atau IMT/U sebelum diintervensi.

2. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut


Umur (PB/U atau TB/U)
Indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan panjang atau
tinggi badan anak berdasarkan umurnya. Indeks ini dapat
mengidentifikasi anak-anak yang pendek (stunted) atau sangat pendek
(severely stunted), yang disebabkan oleh gizi kurang dalam waktu
lama atau sering sakit. Anak-anak yang tergolong tinggi menurut
umurnya juga dapat diidentifikasi. Anak-anak dengan tinggi badan di
atas normal (tinggi sekali) biasanya disebabkan oleh gangguan
endokrin, namun hal ini jarang terjadi di Indonesia.
3. Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan (BB/PB
atau BB/TB)
Indeks BB/PB atau BB/TB ini menggambarkan apakah berat badan
anak sesuai terhadap pertumbuhan panjang/tinggi badannya. Indeks
ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi anak gizi kurang
(wasted), gizi buruk (severely wasted) serta anak yang memiliki
risiko gizi lebih (possible risk of overweight). Kondisi gizi buruk
biasanya disebabkan oleh penyakit dan kekurangan asupan gizi yang
baru saja terjadi (akut) maupun yang telah lama terjadi (kronis).
4. Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Indeks IMT/U digunakan untuk menentukan kategori gizi buruk, gizi
kurang, gizi baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan obesitas. Grafik
IMT/U dan grafik BB/PB atau BB/TB cenderung menunjukkan hasil
yang sama. Namun indeks IMT/U lebih sensitif untuk penapisan anak
gizi lebih dan obesitas. Anak dengan ambang batas IMT/U >+1SD
berisiko gizi lebih sehingga perlu ditangani lebih lanjut untuk
mencegah terjadinya gizi lebih dan obesitas.

Interpretasi dengan menggunakan indeks IMT/U untuk identifikasi


masalah gizi lebih, kategori berisiko gizi lebih (possible risk of
overweight) digunakan dalam penilaian tingkat individu. Kategori
tersebut tidak termasuk dalam klasifikasi untuk hasil survei dan
cakupan program.

B. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak


Keterangan:
1. Anak yang termasuk pada kategori ini mungkin memiliki masalah
pertumbuhan, perlu dikonfirmasi dengan BB/TB atau IMT/U
2. Anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak
menjadi masalah kecuali kemungkinan adanya gangguan endokrin
seperti tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuk ke
dokter spesialis anak jika diduga mengalami gangguan endokrin
(misalnya anak yang sangat tinggi menurut umurnya sedangkan tinggi
orang tua normal).
3. Walaupun interpretasi IMT/U mencantumkan gizi buruk dan gizi
kurang, kriteria diagnosis gizi buruk dan gizi kurang menurut
pedoman Tatalaksana Anak Gizi Buruk menggunakan Indeks Berat
Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan (BB/PB atau
BB/TB).

1.8 Memahami dan Menjelaskan Antropometri


Status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yaitu penilaian status gizi
secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian
status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan empat cara yaitu
(Supariasa, 2002:19):
a. Antopometri
Secara umum antopometri artinya ukuran tubuh manusia.
Ditinjau dari sudut pandang gizi maka antopometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antopometri secara
umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein
dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertmbuhan
fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air
dalam tubuh.
b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas
perubahanperubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
(superficial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa
oral atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan tubuh
seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei
klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk
mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan
salah satu atau lebih zat gizi.
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain:
darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan
otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.
Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia
faali dapat banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang
spesifik.

Penilaian status gizi secara tidak langsung antara lain:


a) Survey konsumsi makanan
Survey konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat
memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada
masyarakat, keluarga dan individu.

b) Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistic vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistic Kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan and kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.

Anda mungkin juga menyukai