NIM : 321710009
Class : B PAGI
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia dalam Penulisan Karya Ilmiah
Dosen : Wiendi Wiranty, M.Pd.
Pada ketiga ikrar tersebut terdapat perbedaan ikrar antara ikrar ketiga dengan ikrar
pertama dan kedua yaitu pada kata mengaku dan menjunjung. Ikrar pertama dan kedua
menyatakan ”mengaku bertumpah darah yang satu dan mengaku berbangsa yang satu”.
Artinya, tanah air dan bangsa kami hanya satu yaitu Indonesia. Berbeda dengan
”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Ikrar ini menunjukkan bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa yang digunakan dalam mempersatukan bangsa Indonesia.
Tidak berarti bahwa, bahasa daerah dihapuskan. Bahasa daerah tetap harus dijaga dan
dilestarikan sebagai kekayaan budaya bangsa. Jadi, sangatlah keliru jika ada warga daerah
yang malu menggunakan bahasa daerahnya dalam berkomunikasi.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan diartikan sebagai bahasa yang digunakan di
dalam kegiatan berkomunikasi yang melibatkan banyak tokoh atau masyarakat yang berasal
dari berbagai daerah di Indonesia. Itulah sebabnya bahasa Indonesia memiliki fungsi dan
kedudukan sebagai bahasa persatuan.
Apa sebab justru bahasa Melayu yang dijadikan bahasa nasional? Mengapa bukan
bahasa Jawa atau bahasa Sunda yang jumlah pemakaiannya meliputi hampir seluruh
penduduk Indonesia. Juga bahasa yang kesusastraannya sudah maju dibandingkan dengan
bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya? Prof. Dr. Slametmulyana mengemukakan
faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, sebagai berikut.
a. Sejarah telah membantu penyebaran bahasa Melayu. Bahasa Melayu merupakan lingua
franca di Indonesia, bahasa perhubungan atau bahasa perdagangan. Dengan bantuan
para pedagang, bahasa Melayu disebarkan ke seluruh pantai Nusantara terutama di kota-
kota pelabuhan. Bahasa Melayu menjadi bahasa penghubung antara individu.
b. Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sederhana, mudah dipelajari. Tak dikenal
tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa atau bahasa Bali, atau perbedaan pemakaian
bahasa kasar dan halus seperti dalam bahasa Sunda atau bahasa Jawa.
c. Faktor psikologis, yaitu suku bangsa Jawa dan Sunda telah dengan sukarela menerima
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, semata-mata didasarkan pada keinsafan akan
manfaatnya ada keikhlasan mengabaikan semangat dan rasa kesukuan karena sadar akan
perlunya kesatuan dan persatuan.
d. Kesanggupan bahasa itu sendiri juga menjadi salah satu faktor penentu. Jika bahasa itu
tidak mempunyai kesanggupan untuk dapat dipakai menjadi bahasa kebudayaan dalam
arti yang luas, tentulah bahasa itu tidak akan dapat berkembang menjadi bahasa yang
sempurna. Pada kenyataannya dapat dibuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa
yang dapat dipakai untuk merumuskan pendapat secara tepat dan mengutarakan
perasaan secara jelas.
Prof. Soedjito menjelaskan secara sederhana alasan mengapa bahasa Melayu yang
dijadikan landasan lahirnya bahasa Indonesia sebagai berikut.
a. Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan) selama
berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita (Nusantara). Hal tersebut
tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun bahasa daerah lainnya.
b. Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang paling luas dan melampaui batas-batas
wilayah bahasa lain meskipun penutur aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa,
Sunda, Madura, ataupun bahasa daerah lainnya.
c. Bahasa Melayu masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga
tidak dianggap sebagai bahasa asing.
d. Bahasa Melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga
mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, Madura yang mengenal tingkat-
tingkat bahasa.
e. Bahasa Melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antar penutur yang
berasal dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan tidak
menimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat dan tidak ada
persaingan antarbahasa daerah.
Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, kita wajib bersyukur atas kerelaan mereka
membelakangkan bahasa ibunya demi cita-cita yang lebih tinggi, yakni cita-cita nasional.
Tiga bulan menjelang Sumpah Pemuda, tepatnya 15 Agustus 1926, Soekarno dalam
pidatonya menyatakan bahwa perbedaan bahasa di antara suku bangsa Indonesia tidak akan
menghalangi persatuan, tetapi makin luas bahasa Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar,
makin cepat kemerdekaan Indonesia terwujud.
Pada zaman Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918 bahasa
Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua di samping bahasa Belanda
yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang Dewan rakyat.
Sayangnya, anggota bumiputra tidak banyak yang memanfaatkannya.
Masalah bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo
pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hal hasil keputusan penting yaitu bahasa
Indonesia menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa pengantar dalam badan-badan
perwakilan dan perundang-undangan.
Demikianlah ”lahir”nya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh
dari langit, tetapi melalui perjuangan panjang disertai keinsafan, kebulatan tekad, dan
semangat untuk bersatu. Api perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia
merdeka yang sebelum itu harus berjuang melawan penjajah.
Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia dan Jepang tidak dapat menggunakan
bahasa lain selain bahasanya sendiri. Bahasa Belanda jatuh dari kedudukannya sebagai
bahasa resmi. Bahkan, dilarang untuk digunakan. Jepang mengajarkan bahasa Jepang
kepada orang Indonesia dan bermaksud menggunakan bahasa Jepang sebagai pengganti
bahasa Belanda untuk digunakan oleh orang Indonesia. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat
dilakukan secara cepat seperti waktu dia menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara
Jepang memilih jalan yang praktis yaitu memakai Indonesia yang sudah tersebar di seluruh
kepulauan Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat bahwa selama zaman pendudukan Jepang
1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan.
Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan bahasa
Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. bagi orang
Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi para pemimpin pergerakan
kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek dan mendesak mereka harus beralih dari bahasa
Belanda ke Bahasa Indonesia. Selain itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang
belum paham akan bahasa Indonesia, secara cepat dapat memahami bahasa Indonesia.
Waktu Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua peristiwa tersebut
menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional identik dengan bahasa
nasional yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan semangat kebangsaan. Bahasa nasional
dapat terjadi meskipun eksistensi negara secara formal belum terwujud. Sejarah bahasa
Indonesia berjalan terus seiring dengan sejarah bangsa pemiliknya.
Selain itu, terdapat beberapa peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi perkembangan
bahasa Indonesia, antara lain:
a. Budi Otomo
Pada tahun 1908, Budi Utomo yang merupakan organisasi yang bersifat
kenasionalan yang pertama berdiri dan tempat terhidupnya kaum terpelajar bangsa
Indonesia, dengan sadar menuntut agar syarat-syarat untuk masuk ke sekolah Belanda
diperingan. Pada kesempatan permulaan abad ke-20, adanya tuntutan dan keinginan
kepada bangsa Indonesia akan penguasaan bahasa Belanda sebab bahasa Belanda
merupakan syarat utama untuk melanjutkan pelajaran menambang ilmu pengetahuan
barat.
b. Sarekat Islam
Sarekat Islam berdiri pada tahun 1912. mula-mula partai ini hanya bergerak di
bidang perdagangan, namun bergerak di bidang sosial dan politik juga. Sejak berdirinya,
Sarekat Islam yang bersifat non kooperatif dengan pemerintah Belanda di bidang politik
tidak pernah mempergunakan bahasa Belanda. Bahasa yang mereka pergunakan ialah
bahasa Indonesia.
c. Balai Pustaka
Dipimpin oleh Dr. G.A.J. Hazue pada tahun 1908 balai pustaka ini didirikan.
Mulanya badan ini bernama Commissie Voor De Volkslectuur, pada tahun 1917
namanya berubah menjadi Balai Pustaka. Selain menerbitkan buku-buku, Balai Pustaka
juga menerbitkan majalah.
Hasil yang diperoleh dengan didirikannya balai pustaka terhadap perkembangan
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut :
1) Memberikan kesempatan kepada pengarang-pengarang bangsa Indonesia untuk
menulis cerita ciptanya dalam bahasa Melayu.
2) Memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk membaca hasil ciptaan
bangsanya sendiri dalam bahasa Melayu.
3) Menciptakan hubungan antara sastrawan dengan masyarakat sebab melalui
karangannya sastrawan melukiskan hal-hal yang dialami oleh bangsanya dan hal-
hal yang menjadi cita-cita bangsanya.
4) Balai pustaka juga memperkaya dan memperbaiki bahasa Melayu sebab di antara
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh karangan yang akan diterbitkan di balai
pustaka ialah tulisan dalam bahasa Melayu yang bersusun baik dan terpelihara.
d. Sumpah Pemuda
Kongres pemuda yang paling dikenal ialah kongres pemuda yang diselenggarakan
pada tahun 1928 di Jakarta. Pada hal sebelumnya, yaitu tahun 1926, telah pula diadakan
kongres pemuda yang tepat penyelenggaraannya juga di Jakarta. Berlangsung kongres
ini tidak semata-mata bermakna bagi perkembangan politik, melainkan juga bagi
perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Dari segi politik, kongres pemuda yang pertama (1926) tidak akan bisa dipisahkan
dari perkembangan cita-cita atau benih-benih kebangkitan nasional yang dimulai oleh
berdirinya Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Jon Sumatrenan Bond. Tujuan utama
diselenggarakannya kongres itu adalah untuk mempersatukan berbagai organisasi
kepemudaan pada waktu itu.
Pada tahun itu organisasi-organisasi pemuda memutuskan bergabung dalam wadah
yang lebih besar Indonesia muda. Pada tanggal 28 Oktober 1928 organisasi pemuda itu
mengadakan kongres pemuda di Jakarta yang menghasilkan sebuah pernyataan
bersejarah yang kemudian lebih dikenal sebagai sumpah pemuda. Pertanyaan bersatu itu
dituangkan berupa ikrar atas tiga hal, Negara, bangsa, dan bahasa yang satu dalam ikrar
sumpah pemuda.
Peristiwa ini dianggap sebagai awal permulaan bahasa Indonesia yang sebenarnya,
bahasa Indonesia sebagai media dan sebagai simbol kemerdekaan bangsa. Pada waktu
itu memang terdapat beberapa pihak yang peradaban modern. Akan tetapi, tidak bisa
dipungkiri bahwa cita-cita itu sudah menjadi kenyataan, bahasa Indonesia tidak hanya
menjadi media kesatuan, dan politik, melainkan juga menjadi bahasa sastra Indonesia
baru.
Setelah kejadian beberapa peristiwa sejarah perkembangan asal mula bahasa dalam
perjuangan bangsa Indonesia, ada juga sejarah perkembangan EYD.
Ejaan merupakan cara atau aturan menulis kata-kata dengan huruf menurut disiplin ilmu
bahasa. Dengan adanya ejaan diharapkan para pemakai menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar sesuai aturan-aturan yang ada. Sehingga terbentuklah kata dan
kalimat yang mudah dan enak didengar dan dipergunankan dalam komonikasi sehari hari.
Sesuai dengan apa yang telah diketahui bahwa penyempurnaan ejaan bahsa Indonesia terdiri
dari:
a. Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van
Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan
Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian
dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada
tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1) Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus
disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan
untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2) Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3) Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
4) Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata
ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.
b. Ejaan Soewandi
Ejaan Soewandi adalah ketentuan ejaan dalam Bahasa Indonesia yang berlaku sejak
17 Maret 1947. Ejaan ini kemudian juga disebut dengan nama edjaan Soewandi,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu. Ejaan ini mengganti ejaan sebelumnya,
yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang mulai berlaku sejak tahun 1901.
1) Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
2) Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat,
dsb.
3) Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-
an.
4) Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mendampinginya.
Ejaan Soewandi ini berlaku sampai tahun 1972 lalu digantikan oleh Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) pada masa menteri Mashuri Saleh. Pada masa jabatannya
sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada 23 Mei 1972 Mashuri mengesahkan
penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan dalam bahasa Indonesia yang menggantikan
Ejaan Soewandi. Sebagai menteri, Mashuri menandai pergantian ejaan itu dengan
mencopot nama jalan yang melintas di depan kantor departemennya saat itu, dari Djl.
Tjilatjap menjadi Jl. Cilacap.
Bahasa campuran seperti di atas tidak bagus dipandang dari segi kebanggaan suatu
bangsa dan tidak benar dipandang dari segi kebahasaan. Agar pemakai dapat dijadikan
teladan dan dihormati orang lain terutama orang asing, pemakaian bahasa seperti contoh
di atas harus diubah dan diperbaiki menjadi seperti berikut ini.