Anda di halaman 1dari 15

SISTEM KETATANEGARAAN DAN SISTEM POLITIK

DINASTI UMAYYAH
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah: Fiqh Siyasah
Dosen pengampu:

Disusun oleh:
M. Nurul Huda
Agam Pebriansah (1902026096)
Marthabatul Aliyah

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah pemerintahan Khulafaurrasyidin berakhir, maka Bani


Umayyah muncul yang dibentuk oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Bani
Umayyah diakui secara resmi melanjutkan khilafah Islam setelah
berakhirnya sengketa antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah bin Abi
Sofyan sebagai lambang penguasa Daulah Umayyah.

Bani Umayyah adalah dinasti tertua yang hadir di dunia islam


sehingga banyak yang mesti di jelas kan bagaimana perkembangannya,
dan juga dinasti ini lah yang palig banyak mengalami perluasan wilayah,
sehingga wilyah kekuasaan nya sangat luas.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah berdirinya Dinasti Umayyah?
2. Bagaimana Ketatanegaraan pada zaman Dinasti Umayyah?
3. Bagaimana Sistem Politik pada zaman Dinasti Umayyah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah

Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 20 Ramadhan


tahun  40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat
sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok Khawarij yaitu
Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat
bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah).
Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali
bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali
untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib1.

Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibajat oleh
pengikut setia Ali menjadi Khalifah, sebagai Ali, mengundurkan diri dari
gelanggang politik. Sebab, ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah
yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada
Muawiyah. Langkah penting Hasan bin Ali dapat diselesaikan sebagai
usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya kisah itu
dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan ('al-jama'at). Yaitu
episode sejarah yang mempersatukan umat kembali di bawah kekuasaan
seorang khalifah.169 Rujuk dan pertahankan antara Hasan dan Muawiyah
setelah Muawiyah memenuhi persyaratan yang diminta oleh Hasan. Yaitu
Muawiyah haras menjamin keamanan dan keselamatan jiwa dan harta
keturanan Semua dan pendukungnya. Pernyataan ini diterima Muawiyah
dan dibuat secara tertulis. Persetujuan Muawiyah ini diimbangi oleh
Hasan dengan membaiatnya.2

1
Firdaus,Harun Maidir,sejarah peradaban islam,(Padang: IAINIB Pres,2002),hal 82-83
2
Prof. Dr. Suyutji Pulungan, M.A., FIKIH SIYASAH, PT. Ombak, Yogyakarta, 2019, hal 172
 Proses pengangkatan itu dilakukan dihadapan banyak orang.
Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang
jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama
kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti
oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.

Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut


ternyata tetap saja tidak mendapat pengakuan dari Muawiyah bin Abi
Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang
menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai
khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama
mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.

Rakyat juga menunjukkan ketaatan dengan membaiatnya.170


Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus dan administrator yang
pandai. Umar bin Khattab sendiri pemah dibolehkan sebagai cakap dalam
urusan politik pemerintahan, cerdas dan jujur. la juga dikenal sebagai
negarawan yang ahli bersiasat, piawai dalam dukungan dan strategi,
mengurangi kegigihan dan keuletan serta kesediaannya mencari segala
cara di beijuang, 12 untuk mencapai cita-citanya karena mendukung
politik dan saling mendukung. Dengan kemampuan tersebut dan
kemampuan kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah mendukung
berhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus, dan administrator
bergabung ke dalam sistemnya pada zamannya, 173 untuk memperkuat
posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan
tegas, tetapi juga bisa menunjukkan toleran dan lapang dada. Hal ini dapat
dilihat dalam ucapannya yang terkenal sebagai prinsip yang ia terapkan
dalam kepemimpinan: "Aku tidak mempercayai pedangku jika cambuk
saja sudah cukup, dan tiada juga kupergunakan cambukku jika sudah
diperbarui, dan aku saja orang lain memperebutkan sehelai rambut,
tiadalah akan meminta rambut Itu, karena kalau mereka
mengencangkannya aku kendorkan, dan kalau mereka mengendorkannya
akan kukencangkan. "3

Namun Al-Hasan bin Ali sosok yang jujur  dan lemah secara


politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia
lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh
muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at
terhadap Hasan Bin Ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik,
termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah
bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan
kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah
pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai
antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn
sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu
Sufyan.4

Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan


persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain
kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk  itu maka di
kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan
perdamaian.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirimkan sebuah
surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh
Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena
hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan
sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur
katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah
satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan

3
Ibid, hal 174
4
Fatmawati,Sejarah Peradaban Islam,(Batusangkar:STAIN Batusangkar pres,2010) hlm.185
pemimpin sebelumnya. Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari
Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran
Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn
Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi
Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai
pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih
cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan
posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah. Meskipun Muawiyah tidak
mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini
tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara
defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan
Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani
Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan
cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa
peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan
ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang
didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang
menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota
Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia
berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.

B. Ketatanegaraan Pada Masa Bani Umayyah


Mu’awiyah memainkan perananya memimpin dunia islam yang
luas. Ia merangkul kembali tokoh-tokoh yang pernah dipecat oleh Ali
sebelumnya. Muawiyyah mengangkat kembali ‘Amr ibn al-Ash sebagai
gubernur Mesir dan Ziyad ibn Abihi diangkatnya kembali menjadi
gubernur Bashrah.
Mu’awiyah melakukan berbagai kebijakan poitik . perubahan
politik yang dilakukan adalah dengan memindahkan ibu kota negara ke
Damaskus. Kota ini adalah “kampung halaman” kedua baginya dan
merupakan basis Muawiyah dalam mendapatkan dukungan rakyat. Selain
itu Damaskus terletak diantara kekuasaan-kekuasaan Bani Umayyah.5
Perubahan yang dilakukan Mu’awiyah adalah menggantikan sistem
pemerintahan yang bercorak syura dengan pemilihan kepala negara secara
penunjukan. Mu’awiyah tidak menyerahkan masalah ini kepada umat
islam, tetapi menunjuk putranya sendiri Yazid sebagai penggantinya. Ini
mengawali corak monarki dalam pemerintahan islam yang berlangsung
bahkan hingga awal abad ke-20 M.
Dalam perluasan wilayah Mu’awiyah melakukan penaklukan.
Setidaknya ekspansi dinasti ini meliputi tiga front, yaitu front pertempuran
menghadapi bangsa romawi di Asia kecil, konstatinopel dan pulau-pulau
di laut tengah; front Afrika utara dari selat Gibraltar hingga Spanyol; dan
front timur hingga Sindus, india. Hingga akhir Bani Umayyah pada 750M,
kekuasaan islam sudah mencapai Lautan Atlantik di barat dan lembah
Indus di timur.6
Kekhalifahan Muawiyah diperoleh dengan bermacam-macam cara
dan srategi, bahkan dengan menggunakan kekerasan, deplomasi dan tipu
daya, tidak dengan pemilihan dan suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan
sejara turun-menurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh
rakyatnya untuk menyatakan setia terhadapnya. Muawiyah bermaksud
mencontoh manarchi di Persia dan Bazantium. Dia memang tetap
menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interpristasi baru
dari kata-kat untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebut “
Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah
SWT.7

5
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah,(jakarta:Prenamedia Group,2014),hal.90.

6
Ibid, hal.91.

7
Yatim Badri,Sejarah Peradaban Islam(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2008) hal 42
Administrasi pemerintahan dan struktur Pemerintahan dinasti Bani
Umayah merupakan penyempumaan dari pemerintahan Khulafa al-
Rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang
luas itu, disetujui pada periode Negara Madinah, dibagi menjadi beberapa
wilayah provinsi. Setiap provinsi dikepalai oleh gubernur dengan gelar
wali atau amir yang diangkat oleh khalifah. Gubernur didampingi oleh
beberapa sekretaris, sekretaris, dan pejabat penting lainnya, yaitu shahib
al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan
gadhi (kepala agama dan hakim) . Pejabat pendapatan dan gadhi ditunjuk
oleh khalifan dan bertanggung jawab atas tanggung jawab.189 Di tingkat
pemerintahan pusat m8engatur beberapa lembaga de, al-katib, al-hajib dan
diwan. Lembaga al-katib terdin dari katib al-rasail (sekretaris negara),
katib al-kharaj (sekretaris pendapatan negara), katib al-jund (sekretaris
militer), katib al-syurthat (sekretaris kepolisian) dan katib al-qadhi
(panitera) . Katib juga dianggap penting. Karena itu pejabatnya selalu
orang terpercaya dan pandai dari keluarga kerajaan.
Dinasti Umayah juga mengatur beberapa diwan atau departemen.
1) Diwan al-Rasail, departemen yang menerima surat-surat negara dari
khalifah kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari Gubernur.
Departemen ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunakan
bahasa Arab, dan untuk menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia.
Tapi pada saat Khalifah Abd al-Malik memegang arabisasi, yaitu hanya
menggunakan bahasa Arab dalam surat-surat negara. Politik arabisası ini
diterbitkan pada masa putranya, Khalifah Al-Walid, yaitu penggunaan
bahasa Arab sebagai linguafranca dan ilmu pengetahuan untuk seluruh
wilayah pemerintahan9.
Pengaruhnya melanjutkan sampa sekarang. Misalnya Mesir dan
Irak menggunakan bahasa Panlaw dan Kpti, dan Damaskus bahasa
Yunani, kini menggunakan banase Arab. Kebijaksanaan ini mendorong

8
Prof. Dr. Suyutji Pulungan, M.A., FIKIH SIYASAH, PT. Ombak, Yogyakarta, 2019, hal 178
9
Ibid, hal 179
seorang ulama, Sibawaih, untuk menyusun Al-Kitab yang selanjutnya
menjadi pegangan dalalm tata bahasa Arab.198 2) Diwan al-Khatim,
departemen pencatatan yangMengajukan keputusan dan meregistrasi
semua keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah untuk
dikirim kepada pemerintahan di daerah. 3) Diwan al-Kharaj, departemen
pendapatan negara yang diperoleh dari al-kharaj, 'usyur, zakat, jizyah, fa'i
dan ghanimah dan sumber lain. Semua pemasukan keuangan yang
diperoleh dari sumber-sumber yang dijual di Baitul Mal ( kantor
perbendaharaan negara). 4) Diwan al-Barid, departemen pelayanan
posisikan melayani tentang berita-berita penting di daerah kepada
pemerintah pusat dan sebaliknya, sehingga khalifah dapat mengetahui apa
yang terjadi di daerah dan memudahkannya untuk mengendalikan jalannya
pemerintahan di daerah. 5) Diwan al-Jund, departemen pertahanan yang
mengatur militer.10
Personilnya menyetujui orang-orang Arab. Untuk memperbolehkan
pembahasan tcntang praktik pemerintahan Dinasti Umayah ini,
dikemukakan ciri-ciri khusus yang membedakannya dari praktik
pemerintahan Khulafa al-Rasyidin dan pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Ciri-cirinya antara lain: uns pengikat bangsa lebih tertuju pada kesatuan
politik dan ekonomi; khalifah adalah jabatan sekuler dan mengerjakan
sebagai kepala pemerintahan eksekutif; kedudukan khalifah masih
mengikuti tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, dan disetujui
siapa saja yang dapat bertemu langsung dengan khalifah untuk
mengabungkan haknya: Dinasti ini jadi eksklusif karena lebih
mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan,
orang-orang non-Arabtidak mendapat peluang yangsama luasnya dengan
orang-orang Arab; dan gadhi (hakim) memiliki kebebasan dalam
memutuskan perkara. Disamping itu Dinasti ini tidak meninggalkan agama
dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap dipatuhi dan ditampilkan
menampilkannya sebagai pejuang Islam. Dinasti ini kurang dilaksanakan

10
Ibid, hal 181
musyawarah. Karenanya, kekuasaan khalifah mulai menentang absolut.
Dengan demikian tampilnya pemerintahan Dinasti Umayah yang
mengambil bentuk monarki, merupakan babak kedua dari pelaksanaan
pemerintahan umat Islam dalam sejarah.
C. Sistem Politik Bani Umayyah
Selama Bani Umayyah memerintah banyak terjadi kebijakan
politik yang dilakukan pada masa pemerintahannya seperti:
1. Pemisahan kekuasaan
Pemisahan kekuasaan terjadi antara kekuasaan agama (spiritual
pawer), dengan kekuasaan politik (timporer pawer). Sebelumnya pada
masa Khalifah Rasidin belum terjadi pemisahan antara kekuasaan
politik dan kekuasaa agama. Pemisahan kekuasaan yang dilakukan
oleh Muawiyah dapat dipahami karena Muawiyah sebagai penguasa
pertama Negara ini bukanlah orang yang ahli dalam bidang
keagamaan, sehingga masalah keagamaan tersebut diserahkan kepada
‘Ulama. Oleh karena itu dikota-kota besar dibentuk para qhadi/hakim,
pada umumnya para Hakim menghukum sesuai dengan ijtihatnya
yang sesuai dengan landasan Al-Qur’an dan Hadist.11
2. Pembagian Wilayah
Dalam hal pembagian wilayah, pada masa pemerintahan yang di
pimpin oleh Muawiyah terjadi perubahan yang besar. Pada masa
Khalifah Umar bin Khatab, terdapat lapan provinsi. Maka pada masa
pemerintahan yang di pimping Muawiyah menjadi sepuluh provinsi,
seperti:
a. Syiria dan Palisrtina,
b. Kuffah dan Irak,
c. Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan
Yamamah
d. Armenia
e. Hijaz

11
Firdaus,Harun Maidir,sejarah peradaban islam,(Padang: IAIN IB Pres,2002),hal 85
f. Karman dan India
g. Egypt
h. Afrikiyyah (Afrika utara)
i. Yaman dan Arab Selatan
j. Andalus12.

Setiap provinsi tetap dikepalai oleh Gubernur yang bertanggung


jawab langsung terhadap Khalifah. Gubernur berhak menunjukkan
wakilnya di daerah yang lebih kecil dan mereka dinamakan dengan
‘Amil. Belanja daerah tiap-tiao provinsi didapatkan dari sumber yang
ada di daerah itu sendiri. Sisa dari keuangan di daerah dikirimkan ke
ibu kota untuk mengisi kas atau Bait Al-Mal Negara.

3. Bidang Administrasi Pemerintah


Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang dipimping
oleh Muawiyah
dibentuk beberapa Dewan (depertemen) yang terdiri dari13:
a. Diwan Al- Rasail
Deawan Ar-Rasail atau Sekrataris Jenderal, berfungsi
mengurus surat-surat Negara yang ditujukan kepada para
Gubernur atau menerima surat-surat dari mereka. Dewan Al-
Rasail terbagi kepada dua yaitu:
1) Sekratariat Negara (di pusat) yang menggunakan bahasa Arab
sebagai bahasa pengantar.
2) Sekratariat Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani
(Greek) dan persia sebagai bahasa pengantar. Setelah bahasa
arab dijadikan bahasa resmi seluruh Negara Islam,
bahasaYunani dan persi yang terdapat di provinsi berubah
kedalam bahasa arab.

12
Fatmawati,Sejarah Peradaban Islam,(Batusangkar:STAIN Batusangkar pres,2010) hal 196
13
Firdaus,Harun Maidir,sejarah peradaban islam,(Padang: IAIN IB Pres,2002),hal 87-88
b. Diwan Al-Kharraj
Dewan ini beroperasi disektor pengambilan pajak dan
keuangan. Yang dibentuk pada setiap provinsi yang dikepalai
Shahib Al-Kharaj yang diangkat oleh Khalifah dan bertanggung
jawab kepadanya.

c. Diwan Al-Barid
Disebut juga dengan Badan Intelejen Negara yang
berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada
pemerintah pusat. Kepala dewan ini memberikan emformasi
tentang tingkah laku para gubernur di daerah atau hal-hal lain
yang ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah. Pada
masa pemerintahan Abdul Maalik, berkembang menjadi
Depertemen Pos khusus urusan pemerintah. Dengan demikian
kerjanya semakin luas.
d. Diwan Al-Khatan
Dewan Al-Khartan ( Depertemen Pencatatan), pertama
didirikan oleh Muawiyah. Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh
Khalifah harus disalin dalam satu regester, kemudian yang asli
harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju.
4. Politik Arabisasi
Pada masa pemerintahan Bani Umayya ( sejak khalifah Abd
Malik bin Marwan) berkembang istilah arabisasi usaha-usaha
penggaraban oleh Bani Umayyah diwilayah-wilayah yang
dikuasai Islam. Termasuk disini pengangkatan pengajaran bahasa
arab, penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa arab.14
5. Pengangkatan Hakim

Para hakim menangani dan memutuskan perkara yang


terdapat dalam masyarakat, baik yang berhubungan dengan
pelanggaran ringan (hisbah) maupun pelanggaran yang
14
Firdaus,Harun Maidir,sejarah peradaban islam,(Padang: IAIN IB Pres,2002),hal 89-90
berhubungan dengan ahwal al-syakhsiyyah dan yang berat seperti
jarimah.

Jabatan hakim dipegang oleh ahhli-ahli fiqh mujtahid.


Mereka memutuskan perkara berdasarkan Al-qur’an dan sunnah.
Karenanya kekuasaan hakim mutalak dan bebas dari pengarauh
pihak lain, termasuk khalifah sekalipun.15

Lembaga dibidang pelaksanaan hukum, yaitu al Nizham al-


Qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al hisbat,dan al-
mazhalim. Badan al qadha dipimpin oleh seorang qadhiyang
bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang berasal
dari Al-qur’an, sunnah, ijma’ atau berdasarkan ijtihad. Al-hisbat
bertugas menangani kriminal yang perlu penanganan segera. Al-
mazhalim mepunyai kedudukan tinggi karena bertugas meninjau
kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan
hukum.16

BAB III

PENUTUP
15
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah,(jakarta:Prenamedia Group,2014),hlm.93.
16
Suyuthi Pulungan,fikih siyasah,(yogyakarta:Penerbit Ombak,2014),hlm.179.
A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2008) hal 42
Firdaus,Harun Maidir, Sejarah Peradaban Islam,(Padang: IAIN IB
Pres,2002)

Fatmawati, Sejarah Peradaban Islam,(Batusangkar:STAIN Batusangkar


pres,2010) hal 196

Iqbal Muhammad, Fiqh Siyasah,(jakarta:Prenamedia Group,2014)


Pulungan Sayuthi,fikih siyasah,(yogyakarta:Penerbit Ombak,2014)

Anda mungkin juga menyukai