Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi
insulin, defek kerja insulin atau keduanya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi
366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-
4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan
Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4
juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia
akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di
Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari
penderita melakukan pemeriksaan secara teratur. 2
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa dalam darah
dibawah normal < 70 mg/dl. Hipoglikemia adalah efek samping yang paling
sering terjadi akibat terapi penurunan glukosa darah pada pasien DM dan
pengontrolan glukosa darah secara intensif selalu meningkatkan risiko
terjadinya hipoglikemia berat. Rata-rata kejadian hipoglikemia meningkat dari
3.2 per 100 orang per tahun menjadi 7.7 per 100 orang per tahun pada
penggunaan insulin. Menurut penelitian lain didapatkan data kejadian
hipoglikemia terjadi sebanyak 30% per tahun pada pasien yang mengonsumsi
obat hipoglikemik oral seperti sulfonilurea.2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
a. Nama : Ny. S
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Tanggal Lahir/Umur : 21-04-1958 / 61 tahun
d. Alamat : Lorong Keramat, Plaju
e. Pekerjaan : IRT
f. Agama : Islam
g. No. RM : 17-97-58
h. Dokter Pemeriksa : dr. Amrizal, Sp. PD, KKV, FINASIM
i. Tanggal Masuk : 14 November 2019
j. Ruang : AD 8 Bed 4

Anamnesis
2.2 Keluhan Utama
Penurunan kesadaran

2.3 Riwayat Perjalan Penyakit


Pasien datang ke IGD RSMP dengan penurunan kesadaran sejak 1 jam
SMRS. Menurut keluarga, pasien tiba-tiba pingsan dan tidak sadar ketika
dibangunkan. Sebelumnya pasien mengeluh badan lemas, sempoyongan
disertai mual, muntah, dan nyeri ulu hati. Keluhan tidak diserta nyeri dada,
demam, batuk, pilek. Nafsu makan menurun. BAB dan BAK seperti biasa.
Pasien memiliki riwayat penyakit kencing manis sejak 5 tahun yang
lalu dan pasien mengkonsumsi obat kencing manis secara rutin. Riwayat
penyakit hipertensi juga ada sejak 2 tahun yang lalu dan pasien
mengkonsumsi obat hipertensi jika hanya ada keluhan saja. Pasien baru
pertama kalinya mengalami keluhan sepertin ini.

2
2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit gastritis disangkal
- Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi ada (± 2 tahun)
- Riwayat penyakit asma disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal

2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat penyakit hipertensi ada (ayah pasien)
- Riwayat penyakit kencing manis disangkal
- Riwayat penyakit lambung disangkal
- Riwayat penyakit alergi disangkal
- Riwayat penyakit asma disangkal

2.6 Riwayat Kebiasaan


- Pasien tidak mengontrol pola makan
- Sering makan makanan berlemak
- Tidak pernah berolahraga
- Merokok dan meminum alkohol disangkal

2.7 Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.

2.8 Pemeriksaan fisik


a. Keadaan umum:
1. Keadaan sakit : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Berat badan : 69 kg
4. Tinggi badan : 172 cm
5. Keadaan Gizi : Normal
6. Tekanan darah : 160/90 mmHg
7. Nadi

3
- Frekuensi : 95 kali per menit
- Irama : Reguler
- Isi : Cukup
- Tegangan : Kuat
- Kualitas : Baik
8. Pernafasan
- Frekuensi : 20 kali per menit
- Irama : Reguler
- Tipe : Thoraco-abdominal
9. Temperatur : 36,8 °C

b.Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk : Normocepali
- Rambut : Hitam, lebat, tidak mudah dicabut
- Simetris Muka : Simetris
- Ekspresi : Sesuai

2. Pemeriksaan Mata:
- Eksophtalmus : Tidak ada (-/-)
- Endophtalmus : Tidak ada (-/-)
- Palpebra : Tidak ada edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Isokor, refleks cahaya ada kiri dan kanan (+/+)
- Pergerakan mata : Kesegala arah baik

3. Pemeriksaan Telinga :
- Liang Telinga : Lapang
- Serumen : Tidak ada
- Sekret : Tidak ada
- Nyeri Tekan Tragus : Tidak ada

4
- Gangguan Pendengaran : Tidak ada

4. Pemeriksaan Hidung :
- Deforrmitas : Tidak ada
- Sekret : Tidak ada
- Epitaksis : Tidak ada
- Mukosa Hiperemis : Tidak ada
- Septum Deviasi : Tidak ada

5. Pemeriksaan Mulut dan Tengorokan:


- Bibir : Sianosis tidak ada
- Gigi-geligi : Tidak lengkap
- Gusi : Hiperemis (-/-), normal
- Lidah : Sariawan tidak ada, atrofi papil lidah tidak ada,
bercak putih atau kuning tidak ada.
- Tonsil : T1/T1 tenang
- Faring : Normal

6. Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan
- Palpasi : Pembesaran Tiroid (-), Pembesaran KGB (-)
- JVP : 5-2 cmH2O

7. Kulit
- Hiperpigmentasi : Tidak ada
- Ikterik : Tidak ada
- Ptekhie : Tidak ada
- Sianosis : Tidak ada
- Pucat pada telapak tangan : Tidak ada
- Pucat pada telapak kaki : Tidak ada
- Turgor : Kembali cepat

5
8. Pemeriksaan Thorax
Bentuk dada : Simetris, Sela iga tidak tampak melebar.
Pembuluh darah : Spider nevi tidak ada, venektasi tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada
Krepitasi : Tidak ada

Paru Depan
- Inspeksi : Statis: Simetris, dinamis: Simetris, paru kanan = paru
kiri tidak ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi tidak
ada, Sela iga tidak tampak melebar. Jejas tidak ada.
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama. Sela iga tidak
melebar.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan dan kiri,
nyeri ketok tidak ada, batas paru hepar ICS V
dan batas peranjakan paru hepar adalah 1 jari.
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler normal, ronchi tidak ada,
wheezing tidak ada

Paru Belakang
- Inspeksi : Statis: Simetris, dinamis: Simetris, paru kanan = paru
kiri tidak ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi tidak
ada. Jejas tidak ada.
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan dan kiri,
nyeri ketok tidak ada.
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler normal, ronchi tidak ada,
wheezing tidak ada.

9. Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat.
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba.
- Perkusi : Batas jantung kanan atas ICS II linea parasternalis dextra.

6
Batas jantung kanan bawah ICS IV linea parasternalis
dextra. Batas jantung kiri atas ICS II linea parasternalis
sinistra, batas jantung kiri bawah ICS V linea
midclavicularis sinistra.
-Auskultasi : HR: 95x/ menit reguler, bunyi jantung S1- S2 reguler,
murmur tidak ada, gallop tidak ada.

10. Pemeriksaan Abdomen


- Inspeksi : Datar, venektasi tidak ada, caput medusa
tidak ada, spider naevi tidak ada, benjolan tidak ada
- Palpasi : Lemas, nyeri tekan tidak ada, hepar lien tidak teraba.
- Perkusi : Tympani, shifting dullness tidak ada.
- Auskultasi : Bising usus normal, frekuensi 5x/menit, bruit tidak ada.

11. Pemeriksaan Ekstremitas


Superior : akral hangat, CRT < 2”, edema pada kedua lengan dan
tangan tidak ada.
Inferior : akral hangat, CRT < 2”, edema pada kedua tungkai
tidak ada.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Tanggal 14 November 2019
Darah Rutin

Parameter Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 8,7 12-16 g/dl
Leukosit 9600 4.200-11.000/ul
Trombosit 227.000 150.000 -440.000/ul
Hematokrit 24,0 42-52%
Eosinofil 1 1-3 %
Basofil 0,4 0-1 %
Neutrofil 55,4 40-60%
Limfosit 22,8 20-50%
Monosit 7 2-8%

7
Kimia Darah
Gula Darah Sewaktu 28 < 180 mg/dl
Ureum 42 20-50 mg/dL
Kreatinin 0,8 0,6 – 1,1 mg/dL
Natrium 142 135-155 mmol/l
Kalium 3,4 3,6-6,5 mmol/l

2.10 Resume
Pasien datang ke IGD RSMP dengan penurunan kesadaran sejak 1
jam SMRS. Menurut keluarga, pasien tiba-tiba pingsan dan tidak sadar
ketika dibangunkan. Sebelumnya pasien mengeluh badan lemas,
sempoyongan disertai mual, muntah, dan nyeri ulu hati. Keluhan tidak
diserta nyeri dada, demam, batuk, pilek. Nafsu makan menurun. BAB dan
BAK seperti biasa.
Pasien memiliki riwayat penyakit kencing manis sejak 5 tahun yang
lalu dan pasien mengkonsumsi obat kencing manis secara rutin. Riwayat
penyakit hipertensi juga ada sejak 2 tahun yang lalu dan pasien
mengkonsumsi obat hipertensi jika hanya ada keluhan saja. Pasien baru
pertama kalinya mengalami keluhan sepertin ini.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum:
Keadaan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat badan : 69 kg
Tinggi badan : 172 cm
Keadaan Gizi : Normal
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi
- Frekuensi : 95 kali per menit
- Irama : Reguler
- Isi : Cukup
- Tegangan : Kuat
- Kualitas : Baik

8
Pernafasan
- Frekuensi : 20 kali per menit
- Irama : Reguler
- Tipe : Thoraco-abdominal
- Temperatur : 36,8°C

Pemeriksaan Thorax
Bentuk dada : Simetris, Sela iga tidak tampak melebar.
Pembuluh darah : Spider nevi tidak ada, venektasi tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada
Krepitasi : Tidak ada

Paru Depan
- Inspeksi : Statis: Simetris, dinamis: Simetris, paru kanan = paru
kiri tidak ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi tidak
ada, Sela iga tidak tampak melebar. Jejas tidak ada.
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama. Sela iga tidak
melebar.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan dan kiri,
nyeri ketok tidak ada, batas paru hepar ICS V
dan batas peranjakan paru hepar adalah 1 jari.
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler normal, ronchi tidak ada,
wheezing tidak ada

Paru Belakang
- Inspeksi : Statis: Simetris, dinamis: Simetris, paru kanan = paru
kiri tidak ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi tidak
ada. Jejas tidak ada.
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan dan kiri,
nyeri ketok tidak ada.
- Auskultasi :Suara nafas vesikuler normal, ronchi tidak ada,
wheezing tidak ada.

9
Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat.
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba.
- Perkusi : Batas jantung kanan atas ICS II linea parasternalis dextra.
Batas jantung kanan bawah ICS IV linea parasternalis
dextra. Batas jantung kiri atas ICS II linea parasternalis
sinistra, batas jantung kiri bawah ICS V linea
midclavicularis sinistra.
-Auskultasi : HR: 90x/ menit reguler, bunyi jantung S1- S2 reguler,
murmur tidak ada, gallop tidak ada.

Hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal didapatkan


Hemoglobin 8,7 g/dl (menurun), GDS 28 mg/dL.

2.11 Diagnosa Kerja


Penurunan kesadaran ec Hipoglikemia ec Diabetes Melitus tipe 2

2.12 Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
1. Istirahat
2. Edukasi
a. Edukasi mengenai DM, faktor risiko, gejala klinis, komplikasi
terutama tentang hipoglikemia dan penatalaksanaannya.
b. Mengatur pola hidup (Pola makan teratur dan olahraga teratur)
c. Minum obat teratur dan sering kontrol ke dokter teratur.

Medikamentosa
- IVFD D5% gtt 20 x/m
- Injeksi D40% secara bolus iv
- Inj. Lansoprazole 1x1 iv

10
- Amlodipin 1x5 mg
- Neurodex 1x1 tab
- Stop OAT

2.13 Pemeriksaan Anjuran


- EKG
- Pro laboratorium C-Peptide

2.14 Prognosis
- Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
- Quo Ad Fungsionam : Dubia ad bonam

2.14 Follow Up
Tanggal 16 November 2019

S O A P
- Badan TD: 180/100 Hipoglikemia - IVFD D5% gtt 20 x/m
lemas mmHg ec Diabetes - Inj. Lansoprazole 1x1 iv
berukurang HR: 87x/menit Melitus tipe 2 - Inj. Novorapid 3x5 ui
- Os tampak RR: 20x/menit
- Amlodipin 1x5 mg
berbicara T: 36,7 C
- Neurodex 1x1 tab
sendiri
- Konsul dokter spesialis
GDS: 230
jiwa
mg/dl

11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus

3.1.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya2. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes
melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.3

3.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association


(ADA), 2005, yaitu1,7 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah
sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus,
sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus.
Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik,
kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi
insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75%
dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin

12
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

3.1.3 Patofisiologi

Diabetes mellitus tipe 1


Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses
autoimun, meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan
patogenetiknya adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap
penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini
merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat
terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah
monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap keempat adalah
perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima adalah
perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel
asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme
imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan
diabetes.4

Diabetes Melitus Tipe 2


Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut
berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada

13
DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan
konsep tentang3:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat
pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita
DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai
the ominous octet (gambar-1) 3.

Gambar 1. Delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia


pada DM tipe 2

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal


(omnious octet) berikut3:
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2
ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik

14
yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal
oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis. 3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan
gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat
gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin
di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan
yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang
bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM
tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping
hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat

15
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang
berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α
berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di
dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu
yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah
satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

3.1.4 Diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.


Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti tersebut di bawah ini3:

16
1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Jika keluhan khas khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200


mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk
acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa keluhan khas
diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa
sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa
oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200
mg/dl5.

Tabel 1. Kriteria diagnosis diabetes melitus4

17
Tabel 2. Kradar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM4

3.1.5 Tatalaksana3,6

1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka
yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%.

2. Exercise (latihan fisik/olahraga)


Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval,
Progresive, Endurance (CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan
pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30
menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-
malasan.

3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok

18
masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada
kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan
tersier diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit
menahun.

4. Obat : oral hipoglikemik, insulin


Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi
tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan
pemakaian obat hipoglikemik.Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi
menjadi 4 golongan:

1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan


glinid
Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan
merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua,
gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu:
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepatsetelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

2. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion


Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ),
suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan

19
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

3. Penghambat glukoneogenesis: metformin


Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki
ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan
hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan.

4. Penghambat glukosidase alfa (acarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping
hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah
kembung dan flatulens.

5. Insulin
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu, dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian. Insulin merupakan
hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh
sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan
pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam

20
darah sesuai kebutuhan tubuh untik keperluan regulasi glukosa
darah

3.1.6 Komplikasi5,7

Komplikasi diabetes melitus dikelompokkan menjadi akut dan kronis.

1. Komplikasi akut
a) Hiperglikemia
 Ketoasidosis diabetik (KAD)
 Hiperosmolar non ketotik (HNK)
b) Hipoglikemia

2. Komplikasi kronis
a) Makroangiopati
 Penyakit jantung koroner
 Penyakit arteri perifer
 Penyakit serebrovaskular
 Kaki diabetes

Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya


dengan kontrol kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti
secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor
resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin
puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner
sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular.

b) Mikroangiopati
 Retinopati diabetik
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala
berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata

21
yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi
dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan
Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal
dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan
retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh
darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina.
 Nefropati diabetik
Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling
banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal.
Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar
seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria).
Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang
progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri
persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi.
Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol
metabolisme dan kontrol tekanan darah.
 Gastropati diabetik
Gastroparesis diabetika adalah suatu kelainan motilitas lambung
yang terjadi pada penderita diabetes yang dapat dimanisfestasikan
oleh berbagai macam gejala serta dijumpainya kelainan pada uji
pengosongan lambung. Gejala-gejala yang bisa ditemukan pada
penderita gastroparesis diabetika antara lain mual, muntah,
anoreksia, nyeri abdomen, rasa cepat kenyang, rasa tidak enak
diperut bagian atas, rasa terbakar di dada (heart burn), regurgitasi
asam, sendawa, halitosis dan penurunan berat badan.
 Disfungsi ereksi

c) Neuropati
 Neuropati perifer
 Neuropati otonom

22
3.2 Hipoglikemia

3.2.1 Definisi5

Hipoglikemi adalah suatu terminologi klinis yang digunakan untuk


keadaan yang disebabkan oleh menurunnya kadar glukosa dalam darah
sampai pada tingkat tertentu sehingga memberikan keluhan (symptom) dan
gejala (sign) 5.

3.2.2 Klasifikasi5

Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terakit


dengan derajat keparahannya, yaitu5:

1. Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk


pemberian karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.
2. Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70mg/dL disertai gejala
hipoglikemia.
3. Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS 70mg/dL dengan gejala
hipoglikemia.
4. Probable hipoglikemia apabila gejala hipogllikemia tanpa
pemeriksaan GDS.

3.2.3 Etiologi5

Secara etiologis hipoglikemi disebabkan oleh5:

1. Penggunaan obat-obatan diabetes seperti insulin, sulfonilurea yang


berlebihan. Penyebab terbanyak hipoglikemia umumnya terkait
dengan diabetes.
2. Obat-obatan lain meskipun jarang terjadi namun dapat menyebabkan
hipoglikemia adalah beta-blockers, pentamidine, kombinasi
sulfometoksazole dan trimepthoprim.
3. Sehabis minum alkohol, terutama bila telah lama berpuasa dalam
keadaan lama.
4. Intake kalori yang sangat kurang.
5. Hipoglikemia reaktif.

23
6. Infeksi berat, kanker yang lanjut, gagal ginjal, gagal hepar.
7. Insufisiensi adrenal.
8. Kelainan kongenital yang menyebabkan sekresi insulin berlebihan
(pada bayi).
9. Hepatoma, mesothelioma, fibrosarkoma.
10. Insulinoma.

3.3.3 Patofisiologi5

Tubuh memerlukan kadar glukosa yang normal melalui regulasi


glukosa yang fisiologis untuk memenuhi kebutuhan energi jaringan. Pada
kejadian hipoglikemi, mekanisme pertahanan tubuh yang berfungsi akan
mengaktivasi beberapa sistem neuroendokrin, tidak berlangsung secara
adekuat atau mengalami gangguan. Gangguan mekanisme tersebut
menyebabkan keadaan hipoglikemi karena tubuh gagal mempertahankan
kadar normal GD baik oleh penyebab dari luar maupun dalam tubuh sendiri.
Kemampuan regulasi glukosa secara normal diatur melalui rangkaian
beberapa proses yang terjadi secara seimbang dalam tubuh. Terjadi
keseimbangan antara beberapa proses diantaranya absorpsi glukosa di saluran
cerna, uptake glukosa di jaringan, glikogenesis, glikogenolisis,
glukoneogenesis, yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh seperangkat
hormon5.

Beberapa hormon utama yang berperan dalam mengatur keseimbangan


tersebut diantaranya insulin, glukagon, epinefrin (adrenalin), kortisol, dan
growth hormone. Ada tiga sistem neuroendokin penting yang berperan dalam
mengatasi hipoglikemi, yang bekerja secara simultan5:

1. Sel alfa pp. Langerhans: memberi efek penekanan sekresi insulin (sel
beta), serta meningkatkan sekresi glukagon, yang akan meningkatkan gula
darah melalui mekanisme glikogenolisis dan glukoneogenesis di hepar.
2. Hypothalamic glucose sensor di otak: mengaktivasi sistem saraf simpatis
untuk menghasilkan adrenalin yang aksinya di hepar akan meningkatkan
kadar gluosa darah melalui mekanisme yang sama dengan glukagon.

24
3. Hipofise anterior: mensekresikan hormon ACTH yang menstimulasi
kelenjar adrenal melepaskan kortisol kedalam sirkulasi darah, yng
menimbulkan efek yang sama seperti glukagon. Demikian pula growth
hormone, disekresikan oleh hipofise anterior yang juga berdampak pada
peningkatan produksi glukosa di hepar. Patut dicatat bahwa khusus untuk
hormon kortisol dan growth hormone, dapat memberikan efek sebaliknya
yakni menurunkan kadar glukosa melalui mekanisme deposit glukosa di
jaringan perifer. Namun efek ini baru timbul setelah beberapa jam setelah
pemberian sehingga pada prolonged hipoglikemia, fenomena ini harus
dipikirkan.

Regulasi glukosa darah yang normal diperlukan tubuh untuk memenuhi


kebutuhan energi di jaringan. Pada keadaan normal, terjadi keseimbangan
antara proses absorpsi glukosa di saluran cerna, uptake glukosa di jaringan,
glikogenesis, glikogenolisis, glukoneogenensis, yang dipengaruhi oleh
seperangkat hormon. Hipoglikemi terjadi ketika tubuh gagal mempertahankan
kadar normal glukosa darah oleh penyebab dari luar ataupun dalam tubuh.
Keadaan ini disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh dalam mengatur
regulasi glukosa melalui rangkaian beberapa proses yang terjadi secara
seimbang. Keseimbangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hormon yang
penting, diantaranya insulin, glukagon, epinefri (adrenalin), kortisol, dan
growth hormone.

3.3.4 Gejala Klinis5

Pada dasarnya, keluhan maupun gejala klinis hipoglikemi terjadi oleh


karena dua penyebab utama yakni:
1. Terpasunya aktivitas sistem saraf otonom terutama simpatis
2. Tidak adekuatnya suplai glukosa ke jaringan serebral (neuroglikopenia)

Cukup banyak kejadian hipoglikemi luput dari pengamatan pasien dan


dokter disebabkan spektrum gambaran klinis yang cukup lebar sera
kurangnya pemahaman pasien terhadap hipoglikemi tersebut. Pada tahap awal

25
hipoglikemia, respon pertama dari tubuh adalah peningkatan hormon
adrenalin/epinefrin sehingga menimbulkan gejala neurogenik seperti:
 Gemetaran
 Kulit lembab dan pucat
 Rasa cemas
 Keringat berlebihan
 Rasa lapar
 Mudah rangsang
 Penglihatan kabur atau kembar

Gejala klinis biasanya muncul pada kadar glukosa darah (GD) <60
mg/dL, meskipun pada orang tertentu sudah dirasakan dia atas kadar <70
mg/dL. Tapi umumnya pada kadar GD <50 mg/dL telah memberi dampak
pada fungsi serebral.

Pada tahap lanjut, hipoglikemia akan memberikan gejala defisiensi


glukosa pada jaringan serebral (gejala neuroglikopenik) yakni:
 Sulit berpikir
 Bingung
 Sakit kepala
 Kejang-kejang
 Koma

Bila keadaan hipoglikemia tidak cepat teratasi, maka akan


menimbulkan kecacatan dan kematian.

Tabel 3. Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa

26
3.3.5 Diagnosis3

Untuk membuat diagnosis hipoglikemi, berdasarkan definisi diperlukan


adanya trias Whipple (Whipple triad) yang terdiri atas:

1. Adanya gejala klinis hipoglikemi, berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik.
2. Kadar glukosa dalam plasma yang rendah pada saat bersamaan,
berdasarkan pemeriksaan penunjang/laboratorium.
3. Keadaan klinis segera membaik segera setelah kadar glukosa plasma
menjadi normal setelah diberi pengobatan dengan pemberian glukosa.

3.3.6 Tatalaksana5,3

Tujuan pengobatan pada prinsipnya untuk mengembalikan kadar


glukosa darah kembali normal, sesegera mungkin.
A. Pada penderita hipoglikemia dengan gambaran klinis ringan, sadar, dan
kooperatif, penanggulangan biasanya akan cukup efektif dengan
memberikan makanan atau minuman yang manis mengandung gula
seperti pilihan dibawah ini
 2-3 tablet glukosa, atau 2-3 sendok teh gula atau madu
 120-175 jus jeruk
 Segelas susu “non fat”
 Setengah kaleng “soft drink” misalnya coca cola, dll
 Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan
setelah 15 menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring
glukosa darah 15 menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap
ada, pengobatan dapat diulang kembali.
 Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai
normal, pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack
untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.Bila dengan cara ini
tidak teratasi maka dilanjutkan ke pengobatan tahap lajutan.

27
B. Pada hipoglikemi tahap lanjut, terutama yang telah memperlihatkan
gejala neuroglikopeni, memerlukan pengobatan lebih intensif:
 Pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa
diberikan dextore 40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus D5%
atau D10%.
 Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila
kadar glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang
pemberian dextrose 20%.
 Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1- 2 jam kalau
masih terjadi hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat
diulang.
 Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia
 Bila tidak berhasil ditambahkan suntikan glukagon iv atau im.
Basanya dalam 10 menit akan mengembalikan kesadaran penderita.
 Jika masih gagal, diaxozide (Proglycem) atau streptozotocin
(Zanosar) yang berkhasiat menekan sekresi insulin oleh sel beta.

3.3.7 Pencegahan5,3

1. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemi, penanganan


sementara, dan hal lain harus dilakukan.
2. Anjurkan melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM),
khususnya bagi pengguna insulin atau obat oral golongan insulin
sekretagog.
3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi,
tentang: dosis, waktu megkonsumsi, efek samping.
4. Bagi dokter yang menghadapi penyandang DM dengan kejadian
hipoglikemi perlu melalukan:
- Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien
- Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan
melalukan program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek
seperti: jadwal makan, kegiatan oleh raga, atau adanya penyakit

28
penyerta yang memerlukan obat lain yang mungkin berpengaruh
terhadap glukosa darah
- Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil kemungkinan
menimbulkan hipoglikemi.

29
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke IGD RSMP dengan penurunan kesadaran sejak 1 jam


SMRS. Menurut keluarga, pasien tiba-tiba pingsan dan tidak sadar ketika
dibangunkan. Hipoglikemi adalah suatu terminologi klinis yang digunakan untuk
keadaan yang disebabkan oleh menurunnya kadar glukosa dalam darah sampai
pada tingkat tertentu sehingga memberikan keluhan (symptom) dan gejala (sign).

Pada tahap lanjut, hipoglikemia akan memberikan gejala defisiensi glukosa


pada jaringan serebral (gejala neuroglikopenik) yakni:
 Sulit berpikir
 Penurunan kesadaran
 Sakit kepala
 Kejang-kejang
 Koma

Sebelumnya pasien mengeluh badan lemas, sempoyongan disertai mual,


muntah, dan nyeri ulu hati. Gastroparesis diabetika adalah suatu kelainan motilitas
lambung yang terjadi pada penderita diabetes yang dapat dimanisfestasikan oleh
berbagai macam gejala serta dijumpainya kelainan pada uji pengosongan
lambung. Gejala-gejala yang bisa ditemukan pada penderita gastroparesis
diabetika antara lain mual, muntah, anoreksia, nyeri abdomen, rasa cepat kenyang,
rasa tidak enak diperut bagian atas, rasa terbakar di dada (heart burn), regurgitasi
asam, sendawa, halitosis dan penurunan berat badan.

Pasien memiliki riwayat penyakit kencing manis sejak 5 tahun yang lalu dan
pasien mengkonsumsi obat kencing manis secara rutin. Menurut American
Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini:

30
 Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes
melitus.

Hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal didapatkan Hemoglobin 8,7


g/dl (menurun), GDS 28 mg/dL. Pada pasien ini tidak dilakukan transfusi darah.
Transfusi darah perlu diberikan bila kadar Hb < 7 g/dl dan pasien tidak
menujukkan gejala klinis terkait anemia. Tujuan transfusi antara lain untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. Gejala klinis pada pasien hipoglikemi biasanya muncul pada kadar
glukosa darah (GD) <60 mg/dL, meskipun pada orang tertentu sudah dirasakan
dia atas kadar <70 mg/dL. Tapi umumnya pada kadar GD <50 mg/dL telah
memberi dampak pada fungsi serebral.

Pada pasien ini diberikan tatalaksana IVFD D10% gtt 20 x/m, Injeksi D40%
secara bolus iv, Inj. Lansoprazole 1x1 iv, Amlodipin 1x5 mg,, dan Neurodex 1x1
tab.

Dextrose adalah gabungan antara senyawa gula sederhana dan air, yang
digunakan untuk meningkatkan kadar gula di dalam darah, pada kondisi
hipoglikemia. Indikasi dan dosis dari larutan dextrose tergantung dari tipe cairan
dan kondisi klinis pasien. Indikasi dari pemberian dextrose adalah untuk sumber
kalori dan penggantian cairan tergantung dari tonisitas cairan tersebut. Selain itu,
larutan dextrose juga dapat digunakan untuk melarutkan obat, baik untuk
pemberian secara bolus intravena, maupun melalui drip infus.

Lanzoprazole adalah kelompok obat proton pump inhibitor. Obat ini


digunakan untuk mengatasi gangguan pada sistem pencernaan akibat produksi
asam lambung yang berlebihan. Lanzoprazole bekerja dengan cara mengurangi

31
jumlah asam yang dihasilkan oleh dinding lambung. Lambung menghasilkan
asam secara alami untuk mencerna makanan dan membunuh bakteri. Namun asam
ini bisa menyebabkan iritasi pada lambung sendiri. Oleh karena itu mukosa atau
lendir pelindung diproduksi untuk melindungi dinding lambung.

Amlodipine merupakan obat antihipertensi golongan CCBs yang bekerja


sebagai vasodilator dengan menghambat masuknya ion kalsium pada sel otot
polos vaskuler dan miokard sehingga tahanan perifer turun dan otot relaksasi.
Sifat menguntungkan dari obat antihipertensi golongan CCBs yaitu memiliki efek
langsung pada nodus atrioventrikular dan sinoatrial, dapat menurunkan resistensi
perifer tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti, dan relatif aman bila
dikombinasi dengan β-blocker. Dosis awal 2,5 mg dan 5 mg sehari 1 tablet,
dengan dosis maksimum 10 mg 1 kali sehari.

Kalium klorida adalah obat suplemen mineral dengan fungsi untuk


mengobati atau mencegah hipokalemia, alias kekurangan kalium. Seseorang
dinyatakan kekurangan kalium bila kadar kalium dalam darahnya kurang dari 3,5
mEq (miliekuivalen)/L. Kalium atau juga dikenal sebagai potassium merupakan
mineral penting yang disebut sebagai elektrolit. Di dalam tubuh, mineral ini
membantu sel, ginjal, jantung, otot, dan saraf berfungsi dengan baik.

Neurodex adalah obat untuk mengatasi kram otot, kesemutan, dan gangguan
saraf tepi lainnya akibat kekurangan vitamin B. Neurodex mengandung vitamin B
kompleks seperti vitamin B1, B6, dan B12. Vitamin B kompleks sendiri berfungsi
untuk melindungi dan menjaga fungsi saraf akan berjalan normal. Obat ini juga
berfungsi meningkatkan nafsu makan.

32
BAB V
KESIMPULAN

Pasien datang ke IGD RSMP dengan penurunan kesadaran sejak 1 jam


SMRS. Menurut keluarga, pasien tiba-tiba pingsan dan tidak sadar ketika
dibangunkan. Sebelumnya pasien mengeluh badan lemas, sempoyongan disertai
mual, muntah, dan nyeri ulu hati. Keluhan tidak diserta nyeri dada, demam, batuk,
pilek. Nafsu makan menurun. BAB dan BAK seperti biasa.
Pasien memiliki riwayat penyakit kencing manis sejak 5 tahun yang lalu dan
pasien mengkonsumsi obat kencing manis secara rutin. Riwayat penyakit
hipertensi juga ada sejak 2 tahun yang lalu dan pasien mengkonsumsi obat
hipertensi jika hanya ada keluhan saja. Pasien baru pertama kalinya mengalami
keluhan seperti ini.
Hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal didapatkan Hemoglobin 8,7
g/dl (menurun), GDS 28 mg/dL. Pada pasien ini diberikan tatalaksana IVFD
D10% gtt 20 x/m, Injeksi D40% secara bolus iv, Inj. Lansoprazole 1x1 iv,
Amlodipin 1x5 mg, dan Neurodex 1x1 tab.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku


ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
2. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes.2008 [ diakses tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id
3. Soelistijo, S., dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2015. PB. PERKENI. 2015.
4. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes
mellitus. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson
price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U.
Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259
5. Sudoyo,Aru W, 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. FKUI.
6. Slamet, S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FK-ill;2008.

7. American Diabetes Association. ADA position statement : standard of


medical care in diabetes-2006. Diab Care. 2005;29(suppl. 1):S4-S42.

34

Anda mungkin juga menyukai