Anda di halaman 1dari 33

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
A. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis
kranii, di regio temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga
cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak
yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan posterior. Fosa
anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus
temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan
serebelum.3

B. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari
tiga lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Duramater tidak
melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat ruang subdural.4
Pada trauma kapitis, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan tabula interna
tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis
(fosa media). Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan
lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater
yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal
bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam ruang sub
araknoid.3
4

Ga
mbar 1. Lapisan Meningen

C. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri(lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior).
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai
hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi
motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area
bicara motorik). 4
Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi
sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang
otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat
vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di
bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula
spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.4
5

Gambar 2. Anatomi Otak

2.2. Fisiologi
Konsep fisiologis yang berkaitan dengan trauma kapitis adalah
tekanan intrakranial, doktrin Monroe-Kellie, dan cerebral blood flow.

Gambar 3. Kurva Volume-Tekanan. Kandungan intrakranial pada awalnya mampu berkompensasi


terhadap adanya massa intrakranial baru, seperti perdarahan subdural atau epidural. Pada saat
volume massa ini mencapai suatu titik kritis, akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang
cepat, yang dapat menyebabkan berkurangnya atau berhentinya cerebral blood flow.

A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat
mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan
mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat
6

menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya


mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan tekanan
intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius
dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal
pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O), TIK lebih tinggi
dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg
termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah trauma
kapitis, semakin buruk prognosisnya.4

B. Doktrin Monroe-Kellie
Doktrin Monroe-Kellie adalah suatu konsep sederhana yang dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa
volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya
merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal tidak
berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap
dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.
Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar
kurva berapa banyak volume lesi masanya.4
7

Gambar 4. Doktrin Monro-Kellie, kompensasi Intrakranial terhadap massa yang ekspansi.

C. Aliran Darah Otak (Cerebral Blood Flow)


ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak
per menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka
aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak
mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non-
trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang
konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan arteri
rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO menurun curam dan bila tekanan arteri
rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan
ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan
pada penderita trauma kapitis. Akibatnya, penderita-penderita tersebut
sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai
akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak
bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat
berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya
8

bila terdapat hematoma intra cranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin


dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.5

2.3 Trauma Kapitis


A. Definisi
Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma kapitis (cedera
kepala) adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakankemampuan kognitif dan fungsi fisik.6

B. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera
kepala, dan morfologinya.6

a) Mekanisme cedera kepala


Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan
benda tumpul. Sedangkan cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan.6
b) Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut6 :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera
kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

Tabel 1. Glasgow Coma ScaleG


9

Tabel 2. Kategori Trauma Kapitis Berdasarkan GCS


10

c) Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial. 6
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
11

Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan


petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-
tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervusfasialis. Fraktur cranium terbuka atau komplikata
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan
permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini
membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak
bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada
populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria
linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
dirawat dirumah sakit untuk  pengamatan.

2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau
difusa,walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,secara
umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.
a. Hematoma Epidural
Hematoma epidural relatif jarang, terjadi pada kira-kira 0,5%
penderita dengan cedera otak dan pada 9% TBI yang
koma.hematoma epidurl erbentuk bikonveks atau lentikuler karena
dia menekan dura dari tabula interna tulang tengkorak. Paling
sering terjadi di daerah temporal atau temporoparietal dan
12

disebabkan oleh robekan sinus venosus besar atau perdarahan dari


fraktur tulang tengkorak. Adanya interval lucid antara waktu
cedera dan gangguan neurologis adalah gejala klasik hematoma
epidural.
b. Hematoma Subdural
Hematoma subdural lebih sering terjadi dibandingkan perdarahan
epidural, terjadi pada kira-kira 30% penderita dengan cedera otak
besar. Sering diakibatkan karena robekan pada bagian kecil
permukaan atau pembuluh darah di korteks serebri. Berlawanan
dengan hematoma epidural yang berbentuk lentikuler pada CT
scan, hematoma subdural lebih sering tampak mengikuti bentuk
permukaan otak. Kerusakan otak yang menjadi dasar hematoma
subdurl akut lebih berat daripada yang terjadi pada hematoma
epidural karena terjadinya kerusakan parenkim pada saat yang
bersamaan.

c. Kontusio dan Hematoma Intraserebral


Kontusio serebri lebih sering terjadi (kira-kira 20% - 30% dari
cedera otak berat). Kontusio paling sering terjadi pada lobus frontal
dan temporal. Kontusio dalam waktu beberapa jam atau hari bisa
menjadi hematoma intraserebral atau saling bergabung sehingga
menimbulkan efek massa sehingga perlu dikeluarkan dengan
tindakan operasi. Hal ini terjadi pada 20% penderita yang datang
dengan gambaran CT scan kepala kontusio serebri pada awalnya.
Karena alasan ini, pasien dengan kontusio serebri perlu menjalani
CT scan ulang untuk mengevaluasi perubahan cederanya dalam
waktu 24 jam setelah CT scan.

C. Pemeriksaan Penunjang
a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari
dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila
13

dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi


fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak
dapat digunakan bila CT scan tidak ada. 4

b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting
dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT
scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-
penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang
lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila
dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT
scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita
dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik,
selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang
lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT
scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya
struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan
tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan
outcome yang buruk. 4

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam
menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia
alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan.
Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer,
atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai
prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil
pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial
terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah
terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera
Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala
ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang
14

lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di


korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari
MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus
ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong
menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan
kognitif pada penderita cedera kepala ringan. 4

D. Penatalaksanaan8,9
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya
memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera
kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin
sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah
homeostasis otak.

PRIMARY SURVEY
Tujuannya mengenali secara cepat kedaruratan mengancam jiwa
yang masih dapa diatasi, yakni dalam beberapa menit pertama saat
evaluasi awal.
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu.
Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan
melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
15

b. Pernapasan (Breathing)
 Pernapasan dinilai dengan mengamati naik-turunnya dinding
dada, mendengarkan suara napas dan /atau merasakan aliran
udara pernapasan pasien.
- Kalau suara napas tidak simestris atau hilang, curigai
kemungkinan hemothoraks atau pneumothoraks.
- Kedua keadaan diatas harus segera diatasi dengan
torakostomi lewat pemasangan slang dada (untuk
hemothoraks) atau menggunakan jarum (untuk
pneumothoraks).
 Palpasi trakea untuk menilai ada tidaknya pergeseran. Palpasi
pula dinding dada untuk mencari tanda-tanda fraktur atau
emfisema subkutis.

Tata laksana:

 Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten


 Cari dan atasi faktor penyebab
 Kalau perlu pakai ventilator

c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan
darah sistolik <90 mmHg yang terjadi hanya satu kali saja sudah
dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi
kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik.

Tatalaksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan,


perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
16

Pada pasien yg koma (skor GCS ≤ 8) atau pasien dgn tanda-tanda


herniasi lakukan berdasarkan Guideline for the management of
severe Traumatic Brain Injury:

1. Airway
 Intubasi
 Menjaga PaCO2 35-40 mmHg
 Mempertimbangkan untuk mendapatkan gas darah arteri
dihubungkan dengan end-tidal CO2 (EtCO2)
 Menjaga PaO2 80-120 mmHg
2. Sistemik Perfusi
 Pertahankan euvolemia (keseimbangan cairan positif dengam
500-1000 mL dalam pertama 24 jam)
 Menjaga MAP ≥ 80 mmHg jika tidak ICP monitor di tempat
 Memastikan resusitasi volume adekuat
 Pastikan hemoglobin > 9 g / dL selama pasien akut
 Mempertimbangkan pemantauan lanjutan hemodinamik
 Mempertimbangkan menambahkan norepinefrin 0,05
mcg/kg/menit-titrasi untuk menjaga MAP ≥ 80 mmHg atau
CPP ≥ 60 mmHg
3. Perfusi serebral
 Mempertimbangkan tekanan intrakranial (ICP ) jika GCS ≤ 8
setelah resusitasi dan kekhawatiran ditinggikan ICP pada
pencitraan
 Mempertahankan perfusi serebral tekanan (CPP) ≥ 60 mmH
 Jika CPP < 60 mmHg:
- Pastikan volume resusitasi adekuat resusitasi
- Mempertimbangkan hemodinamik
- Mempertimbangkan menambahkan norepinefrin 0,05
mcg/kg/menit-titrasi untuk menjaga CPP > 60 mmHg
- Pengelolaan berkelanjutan ICP > 22 mmHg untuk 10
menit
17

4. Osmolar terapi
Pertama terapi untuk ICP > 22 mmHg untuk ≥ 10 menit
 7,5% natrium klorida 250
 Mannitol 0,25-1.0 gm/kg IV jika natrium serum < 160
dan/atau pendekatan serum mOsm/L < 32016
5. Melindungi otak
 Menyediakan analgesia dan sedasi kontrol nyeri dan
agitasi
 Analgosedation adalah pilihan
- Fentanil 25-500 mcg/hr IV infus
- Propofol 10-50 mcg/kg/menit IV infus
 Menghindari:
- Hipotensi (SBP < 100 mmHg) atau CPP < 60
mmHg
- Hypoxemia (SpO2 < 92%)
- Hypercarbia (PaCO2 > 45 mmHg)
- Hiponatremia (serum natrium < 140 mEq/L)
- Hipoglikemia atau Hiperglikemia (glukosa serum
< 70 mg/dL atau > 180 mg/dL)
- Hipovolemia
- Demam
- Anemia (menjaga hemoglobin > 9 gm / dL)
dalam tujuh hari yang pertama
18

Gambar 5. algoritma penanganan trauma kepala ringan


19

Gambar 6. algoritma penanganan trauma kepala sedang

Gambar 7. algoritma penanganan trauma kepala berat


20

d. Hendaya (Disability)
 Penilaian neurologis dilakukan dalam waktu singkat untuk
mengevaluasi cedera intrakranial potensial yang mungkin
memerlukan intervensi bedah segera.
 Skala koma GCS dapat dipakai untuk menilai tingkat kesadaran
pasien.
 Respon pupil harus dilaporkan.

e. Pengendalian Pajanan (Exposure)


 Seluruh pakaian pasien harus dilepaskan supaya semua bagian
tubuh dapat diperiksa dengan seksama, karena trauma bisa ada
dimana saja.
 Sewaktu meeriksa pasien, tempat-tempat yang harus mendapat
perhatian khusus meliputi: kepala, ketiak, perineum, punggung.
 Tubuh pasien harus dijaga tetap hangat dengan menyelimutinya
dan memberikan cairan intravena yang hangat, mengingat
hipotermia dapat memicu aritmia, memperberat asidosis, dan
mengganggu fungsi trombosit.

SECONDARY SURVEY
Secondary survey baru boleh dikerjakan seusai primary survey.
Survei ini harus mencakup anamnesis lengkap terfokus dan pemeriksaan
fisik dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tanda-tanda vital (tekanan
darah, frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan suhu) harus
dinilai dan anamnesis terfokus harus dilakukan.
Jembatan keledai “AMPLE” dapat membantu memfokuskan
pertanyaan guna memperoleh fakta yang paling relevan.
A – allergies (alergi)
M – medications (obat-obatan)
P – past medical history and illnesses (riwayat penyakit dahulu)
L – last meal (makan terakhir)
E – events surrounding the injury (kejadian seputar trauma)
21

Pemeriksaan fisik harus lengkap (dari ujung kepala sampai ujung


kaki). Pemeriksaan serial (skor GCS, lateralisasi, dan reaksi pupil) harus
dilkukan untuk mengetahui adanya perburukan neurologis sedini mungkin.
Tanda dari herniasi lobus temporal (unkus) yang khas adalah dilatasi pupi
dan hilangnya refeks cahaya pupil. Trauma langsung pada mata juga bisa
menyebabkan respon pupil yang abnormal dan membuat pemeriksaan
pupil menjadi sulit. Namun pada trauma kepala, cedera otak harus
dipertimbangkan lebih dahulu.3

EVALUASI KLINIS PASIEN TRAUMA CAPITIS9


 Survei primer dan sekunder telah dikerjakan.
 Prioritas terpenting adalah mencegah hipoksia dan hipotensi.
 Intubasi endotrakeal harus dilakukan pada pasien GCS ≤ 8. Pasien
dengan GCS lebih tinggi juga mesti diintubasi bila ada kecenderungan
aspirasi atau gangguan jalan napas.
 Infus harus segera dipasang dan resusitasi cairan (NS atau RL) dapat
dimulai sesuai indikasi.
- Bila pasien tidak kekurangan cairan, jangan memberikan cairan
intravena secara berlebihan karena dapat memicu terjadinya edema
serebri.
- Pada pasien yang kekurangan cairan, setelah kondisi pasien stabil
dengan resusitasi awal, pemberian cairan berikunya harus dilakukan
secara hati-hati.
- Cairan hipotonik jangan dipakai untuk resusitasi.
 Pemeriksaan laboratorium
- Hitung darah lengkap, pemeriksaan metabolik dasar, dan uji
koagulasi harus dilakukan.
- Kadar glukosan dan hemoglobin sewaktu harus diukur.
 Evaluasi radigrafik
- CT scan kepala harus dilakukan sesegera mungkin.
- Pemeriksaan radiologi lain sesuai indikasi klinis.
- Kalau perlu, pemeriksaan vertebral servikal.
22

TATALAKSANA PASIEN TRAUMA CAPITIS9


Kalau ada tanda peningkatan TIK, penangan agresif guna
menurunkan TIK harus segera dilakukan.
 Kepala tempat tidur pasien harus dinaikkan 30 derajat, dengan asumsi
tidak ada kontraindikasi (semial hipotensi atau cedera spinal).
 Hiperventilasi dulu dianggap bermanfaat menurunkan
Tujuan utama dari protokol di intensive care adalah untuk
menghindari kerusakan sekunder dari otak yang telah mengalami trauma.
Prinsip dasarnya adalah bahwa bila jaringan saraf yang telah cedera
diberikan kondisi optimal untuk penyembuhan, maka akan terjadi
perbaikan dan akan memperoleh kembali fungsi normalnya.
a. Cairan Intravena
Cairan intravena, darah, dan produk darah harus diberikan sesuai
kebutuhan untuk melakukan resusitasi pada pasien dan
mempertahankan kondisi normovolemi. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa bisa menyebabkan hiperglikemia, yang telah
dibuktikan berbahaya bagi otak yang mengalami trauma. Cairan ringer
laktak atau salin normal untuk resusitasi. Kadar natrium serum perlu
untuk dimonitor dengan seksama pada pasien dengan cedera kepala.
Hiponatremia berhubungan dengan edema otak dan harus dihindari.
b. Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PaCO2 dan
menyebabkan vasokontriksi serebral. Hiperventilasi yang agresif dan
terlalu lama bisa menyebabkan iskemia serebral pada otak yang telah
cedera karena menyebabakn vasokontriksi serebral yang lebih berat
sehingga mengganggu perfusi serebral. Hal ini terjadi bila PaCO2
dibiarkan turun < 30 mmHg. Namun, hiperkarbia PCO2 > 45 mmHg
bisa membuat vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intrakranial dan
hal ini juga harus dihindari.
c. Agen Osmotik Aktif
23

Manitol boleh jadi bermanfaat untuk menurunkan TIK. Dosis


manitol adalah 0,25-1,0 g/kg iv. Furosemid dapat diberikan bersama-
sama manitol guna memperkuat efek manitol dalam penurunan TIK.
d. Cairan Salin Hipertonis
Pemberian salin hipertonik terbukti bermanfaat untuk membantu
penurunn TIK. Yang digunakan adalah larutan dengan konsentrasi 3%
sampai 23,4% dan ini adalah obat yang lebih baik dipakai pada
penderita dengan hipotensi, karena tidak bekerja sebagai diuretik.
Namun tidak ada perbedaan antara manitol dan salin hipertonis dalam
menurukan TIK, dan keduanya juga tidak akan menurunkan TIK secara
adekuat pada pasien yang hipovolemik.

e. Sedasi dan Analgesia


 TIK akan naik pada pasien yang gaduh gelisah. Kenaikkan TIK ini
bisa dikendalikan dengan menciptakan kodisi sedasi pada pasien
secara hati-hati.
 Agen penyekat neuromuskuler wajib diberikan unuk melumpuhkan
pasien yang tingkat sedasinya kurang memadai. Kalau tidak, akan
terjadi kenaikan TIK yang bermakna.
 Pasien yang tingkat sedasinya kurang memadai dan dilumpuhkan
dengan obat akan menujukkan peningkatan frekuensi denyut
jantung, tekanan darah, dan TIK.
f. Antikonvulsan
Obat yang paling sering digunakan adalah 1g fenitoin, dosis
50mg/menit. Dosis rumatan yang biasa dipakai adalah 100mg/8jam
dimana dosis tersebut dititrasi sampai mencapai kadar terapeutik dalam
serum. Serangan kejang akut harus segera diatasi lewat pemberian
lorazepam atau diazepam. Untuk mencegah menghentikan kejang
berkelanjutan mungkin menggunakan anestesi umum. Akan sangat
menguntungkan bila kejang akut bisa dicegah secepat mungkin, karena
24

kejang yang lama (30-60 menit) bisa menyebabkan cedera otak


sekunder.

2.3. Stroke Hemoragik


Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke
jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau
kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut
saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang
menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan
intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan
menekan batang otak.10

A. Patofisiologi Stroke Hemoragik


1. Patofisiologi Perdarahan Intracerebral
Aneurisma intrakranial merupakan lesi yang didapatkan pada 1-6%
pemeriksaan postmortem. Sebagian besar aneurisma ini tidak ruptur dan tetap
tidak terdiagnosis. Sekitar 27.000 kasus perdarahan subarakhnoid baru akibat
ruptur aneurisma terjadi setiap tahun (sekitar 5-15%). Rupturnya aneurisma
ini tidak diketahui secara jelas, namun berhubungan dengan hipertensi dan
merokok. Merokok dan hipertensi diketahui menyebabkan defek struktural
dengan menginduksi perubahan endovaskular, terutama di bagian tunika
media, yang menyebabkan kelemahan fokal pada dinding pembuluh darah
yang menyebabkan aneurysmal ballooning pada bifurkasio arteri.10
Lokasi paling sering terjadinya aneurisma serebri pada daerah sekitar
arteri kommunikans anterior dan arteri serebri anterior, pada percabangan
dekat arteri serebri media dan percabangan antara arteri basiler dan arteri
serebri posterior. Terjadinya perdarahan parenkim otak pada aneurisma
tersebut merupakan perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral terdiri
dari tiga fase, (1) perdarahan awal, (2) ekspansi hematoma, dan (3) edema
perihematom.10
Perdarahan awal terjadi karena ruptur arteri serebri yang disebabkan
faktor risiko yang telah disebutkan sebelumnya. Ekspansi hematoma terjadi
25

beberapa jam setelah gejala awal terjadi dimana terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Ekspansi ini akan berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam. Ekspansi hematoma juga akan mengganggu integritas jaringan lokal
(cedera otak primer yang diakibatkan dari efek masa hematom).10
Cedera otak sekunder, sebagian besar, menyebabkan perdarahan
intraparenkim otak dan terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti (1)
sitotoksisitas darah, (2) hipermetabolisme, (3) eksitotoksisitas, (4) penyebaran
tekanan, dan (5) stres oksidatif dan inflamasi. Keseluruhan hal ini pada
akhirnya menyebabkan gangguan ireversibel neurovaskular dan diikuti
dengan gangguan sawar darah otak, dan edema yang diikuti kematian sel otak
secara masif. Selain itu, gangguan aliran keluar vena yang terobstruksi akan
menginduksi pelepasan tromboplastin, yang menyebabkan koagulopati.10
Lebih dari sepertiga pasien, terjadi ekspansi hematom yang disebabkan
hiperglikemia, hipertensi, dan antikoagulan. Ukuran awal hematom dan
kecepatan penyebaran hematom merupakan salah satu faktor prognostik
untuk menentukan perburukan neurologis. Ukuran hematoma > 30 ml
berhubungan dengan tingginya mortalitas. Diikuti penyebaran hematoma,
edema serebri terbentuk sekitar hematoma yang disebabkan inflamasi dan
gangguan sawar darah otak. Edema peri-hematoma ini merupakan penyebab
utama terjadi perburukan neurologis dan terus berkembang hingga beberapa
hari sejak perdarahan awal.10
Perdarahan intraserebral mempunyai daerah predileksi pada otak seperti
talamus, putamen, serebelum, dan batang otak. Selain daerah otak yang rusak
karena perdarahan, otak sekeliling dapat rusak karena tekanan yang
disebabkan efek masa hematom. Peningkatan tekanan intrakranial dapat
terjadi.10
Pada sekitar 40% kasus ICH, perdarahan menyebar sampai ventrikel
serebri menyebabkan perdarahan intraventrikel. Perdarahan intraventrikel
dapat menyebabkan hidrosefalus obstruksi dan memperburuk prognosis. ICH
dan edema yang terjadi dapat mengganggu dan menekan jaringan sekitar. Hal
ini yang menyebabkan gangguan neurologis. Tergesernya parenkim otak
26

dapat meningkatkan tekanan darah intrakranial dengan menyebabkan


sindroma herniasi.10

2. Patofisiologi Perdarahan Subarakhnoid


Proses patologis yang terjadi pada PSA adalah terjadi pecahnya darah
arteri secara tiba-tiba yang terjadi pada ruang subarakhnoid atau ke bagian
otak. Pada perdarahan subarakhnoid, perdarahan disebabkan dari aneurisma
Berry pada salah satu arteri pada dasar otak, sekitar sirkulus Willis.10
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada
percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena
atau tumor. Efek patologis dari perdarahan subarakhnoid bersifat multifokal.
Pada PSA, terjadi iritasi meningens yang mengakibatkan peningkatan TIK
dan mengganggu autoregulasi serebri. Gangguan ini dapat terjadi dengan
adanya vasokonstriksi akut, agregasi platelet mikrovaskular, dan hilangnya
perfusi mikrovaskular serebri yang menyebabkan penurunan aliran darah otak
dan iskemik serebri.10

B. Diagnosis Stroke Hemoragik


Perdarahan intraserebral merupakan kegawatdaruratan. Diagnosis dan
manajemen yang cepat diperlukan karena perburukan terjadi pada beberapa
jam setelah onset serangan. Lebih dari 20% pasien akan mengalami
penurunan GCS > 2 poin sebelum tiba pada pelayanan kesehatan gawat
darurat dan penilaian awal pada ruang gawat darurat. Apabila terjadi
penurunan kesadaran sebanyak 6 poin pada pasien prehospital, telah diketahui
angka mortalitasnya > 75%.11
Hal yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah stroke yang
diderita adalah stroke infark atau hemoragik. Pembuatan diagnosis stroke
iskemik atau perdarahan di pusat neurologis tidak sulit karena adanya CT-
Scan, tetapi karena alat ini hanya dijumpai pada kota besar, maka diagnosis
harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis.11

1. Anamnesis
Hal yang harus diketahui adalah mengenai onset gejala, apakah gejala
dialami pada saat pasien sedang beraktivitas, bagaimana perjalanan gejala,
27

faktor-faktor risiko yang ada pada pasien, berapa kali serangan telah dialami
oleh penderita. Apakah serangan disertai nyeri kepala, mual dan muntah.11
Hal lain yang perlu ditanyakan juga adalah apakah pasien mengalami
kesemutan separuh badan, gangguan penglihatan, apakah terjadi penurunan
intelektualitas, dan riwayat pemakaian obat sebelumnya. Riwayat trauma juga
perlu ditanyakan.11

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi tanda vital, pemeriksaan umum
meliputi kepala, jantung, paru, abdomen, dan ekstremitas. Pemeriksaan
kepala dan leher (cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan
tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). 11 Pemeriksaan
neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan
saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan,
refleks koordinasi, sensorik, dan fungsi kognitif. Skala stroke yang digunakan
adalah NIHSS (National Institutes of Heart Stroke Scale). Hipertensi (tekanan
darah sistolik di atas 220 mmHg) biasanya ditemukan pada stroke hemoragik.
Tekanan darah awal yg tinggi berhubungan dengan kerusakan neurologis
dini. Hal yang sama juga berlaku pada demam.11
Onset akut defisit neurologis, perubahan kesadaran atau status mental
lebih sering ditemukan pada stroke hemoragik. Hal ini disebabkan karena
peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus dapat juga terjadi karena
darah pada ruang subarakhnoid.10
Defisit neurologis yang terjadi tergantung daerah otak yang terlibat.
Apabila terkena pada hemisfer yang kiri, sindroma berikut dapat terjadi: 10
1. Hemiparesis kanan
2. Kehilangan sensorik pada bagian kanan tubuh
3. Kecenderungan melihat pada sebelah kiri
4. Kehilangan lapangan pandang sebelah kanan
5. Afasia
Apabila terjadi pada hemisfer sebelah kanan, terjadi hal sebaliknya dari
yang telah disebutkan di atas. Apabila perdarahan terjadi pada serebellum,
pasien berisiko tinggi terjadi herniasi dan kompresi batang otak. Herniasi
28

akan menyebabkan penurunan kesadaran yang cepat dan mengakibatkan


apnea dan kematian. Tanda lain dari perdarahan pada serebelum atau batang
otak dapat berupa ataxia, vertigo atau tinitus, mual dan muntah, hemiparesis
atau quadriparesis, kehilangan fungsi sensorik sebagian tubuh atau keempat
ekstremitas, gangguan sensorik pada separuh tubuh atau keempat ekstremitas,
kelemahan orofaringeal atau disfagia, crossed signs (wajah ipsilateral dan
badan kontralateral). Sindrome stroke lainnya berhubungan dengan
perdarahan intraserebral, bervariasi mulai dari nyeri kepala ringan sampai
gangguan neurologis. Perdarahan serebri pada onset awal dapat menimbulkan
kejang.10

Tabel 3. Perbedaan Perdarahan Intraserebral dan Perdarahan Subarakhnoid

Gejala Perdarahan Intraserebral Perdarahan Subarakhnoid

Nyeri kepala ++ +++


Kaku kuduk + +++
Kernig + +++
Gangguan n. III, IV + (bila besar) +++
Kelumpuhan Biasanya hemiplegi Hemiparesis
Cairan serebrospinal Eritrosit > 1000 Eritrosit > 25000
Hipertensi ++ -

3. Pemeriksaan Penunjang
Gejala stroke yang ditandai dengan nyeri kepala hebat, muntah, tekanan
darah sistolik > 220 mmHg, defisit neurologis fokal, gangguan kesadaran,
dan onset secara tiba-tiba diasumsikan merupakan stroke hemoragik. Untuk
membedakan perdarahan atau iskemik dan penyebab gangguan neurologis
yang lain, pemeriksaan neuroimaging stroke yang merupakan gold standard
adalah CT-Scan atau MRI.11
Tingginya angka perburukan neurologis setelah ICH untuk mengetahui
apakah perdarahan aktif dapat berlanjut selama beberapa jam setelah onset.
29

CT-Scan dapat memberikan informasi mengenai lokasi, ukuran infark atau


perdarahan, apakah perdarahan dapat menyebar ke ruang intraventrikular,
serta membantu perencanaan operasi. Di antara pasien yang diperiksa head
CT dalam 3 jam setelah onset ICH, 28-38% mengalami ekspansi hematoma.
Ekspansi hematom diketahui merupakan perburukan klinis dan peningkatan
morbiditas dan mortalitas. 11
Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan infark pada fase akut dalam
beberapa saat setelah serangan yang dengan pemeriksaan CT-Scan belum
terlihat. Sedangkan pemeriksaan MRI pada perdarahan intraserebral baru
dapat terdeteksi setelah beberapa jam pertama perdarahan. Pemeriksaan ini
rumit serta memerlukan waktu lama sehingga kurang digunakan pada stroke
perdarahan akut.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah darah lengkap,
elektrolit, kadar ureum, kadar kreatinin, dan glukosa. Kadar kreatinin yang
tinggi berhubungan dengan adanya ekspansi hematom. Kadar glukosa yang
tinggi juga menunjukkan adanya ekspansi hematoma dan prognosis yang
lebih buruk.10
Pemeriksaan elektrolit serum untuk memeriksa osmolaritas serum yang
berkaitan dengan dehidrasi dan pemberian osmoterapi pada penderita stroke
dengan peningkatan tekanan intrakranial. Faal hemostasis seperti jumlah
trombosit, waktu protrombin, dan tromboplastin (aPTT) diperlukan untuk
pemakaian obat antikoagulan dan trombolitik. Pemeriksaan elektrokardiografi
untuk mengetahui adanya iskemik dan aritmia jantung atau penyakit jantung
lainnya untuk menilai fungsi jantung. Foto toraks digunakan untuk menilai
besar jantung ataupun adanya edema paru.11
Pemeriksaan lain yang diperlukan pada keadaan tertentu seperti tes faal
hati, saturasi oksigen, analisa gas darah, toksikologi, kadar alkohol dalam
darah, pungsi lumbal (apabila dugaan kuat perdarahan subarakhnoid, tetapi
gambaran CT scan normal), elektroensefalografi (terutama pada paralisis
Todd).11
30

Untuk membedakan stroke iskemik akut dan stroke perdarahan, jika


sarana tidak memungkinkan, dapat menggunakan sistem skoring Siriraj
Stroke Score.11

Rumus Siriraj Stroke Score adalah


(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan
darah diastolik) – (3 x tanda ateroma) – 12.
Skor < -1 menunjukkan kemungkinan stroke iskemik
Skor > 1 menunjukkan kemungkinan stroke perdarahan
Catatan:
 Derajat kesadaran: sadar = 0
 Mengantuk/stupor = 2
 Koma/semikoma = 2
 Nyeri kepala: Tidak ada nyeri kepala = 0
 Nyeri kepala= 1
 Tanda ateroma: Tidak ada tanda ateroma = 0
 Tanda ateroma (diabetes, angina, penyakit arteri perifer) = 1

C. Diagnosis Banding
Diagnosis banding stroke hemoragik adalah stroke iskemik. Perbedaan
klinisnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Perbedaan Stroke

Hemoragik Iskemik
Intraserebral Subaraknoid Trombosis Emboli
 Sering pada  Penyebab  Sering  Gejala
usia dekade terbanyak didahului mendadak
5-8 pecahnya aneurisma dengan TIA  Sering
 Tidak ada  Sering terjadi pada  Sering terjadi terjadi pada
gejala dekade 3-5 dan 7 pada waktu waktu
31

prodormal  Gejala prodormal istirahat dan bergiat


yang jelas. sering berupa nyeri bangun pagi  Umumnya
Kadang kepala hebat  Biasanya kesadaran
hanya  Kesadaran sering kesadaran bagus
berupa nyeri terganggu bagus  Sering
kepala hebat,  Rangsang  Sering terjadi terjadi pada
mual, meningeal positif pada dekade dekade 2-3
muntah. 6-8 dan 7.
 Sering  Harus ada
terjadi waktu sumber
siang, waktu emboli
bergiat,
waktu emosi
 Sering
disertai
penurunan
kesadaran
Hasil CT Scan: Hasil CT Scan: Hasil CT Scan: Hasil CT
hiperdens hiperdens hipodens Scan:
hipodens

D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan perdarahan intraserebral yang luas
dan koma antara lain mempertahankan ventilasi yang adekuat, dengan
mengkontrol hiperventilasi mencapai PCO2 25 – 30 mmHg, mengawasi
peningkatan tekanan intrakranial pada beberapa kasus dengan melakukan
pemberian cairan Mannitol (osmolaritas dipertahankan 295 – 305 mosmol/L.
Pengurangan secara cepat tekanan darah dengan harapan dapat mengurangi
perdarahan pada otak tidak dianjurkan, setelah ditemukan adanya risiko
perfusi serebral pada kasus peningkatan tekanan intracranial.11
Pada kondisi lain, tekanan darah rata – rata lebih dari 110 mmHg dapat
menimbulkan edema otak dan risiko ekstensi dari penyumbatan. Diperkirakan
pada saat hipertensi akut menggunakan obat beta blocker (esmolol, labetalol),
32

atau ACE inhibitor dianjurkan. Diuretik sangat membantu dalam kombinasi


dengan obat antihipertensi lainnya.11
Tindakan pembedahan pada hematoma serebellar secara umum telah
diterima sebagai tindakan perdarahan intraserebral dan hal ini merupakan
masalah yang utama dikarenakan proksimalitas massa pada brainstem dan
risiko progresi yang cepat menuju koma dan gagal nafas. Hematoma
serebellar dengan diameter kurang dari 2 cm pada gambaran klinis penderita
menunjukkan penderita sadar kemudian jarang menunjukkan deteorisasi,
biasanya tidak memerlukan tindakan pembedahan.11
Hematoma dengan diameter 4 cm atau lebih khususnya berlokasi pada
daerah vermis dan beberapa dokter bedah menganjurkan evakuasi lesi dengan
diameter ukuran terserbut tanpa memperdulikan keadaan klinis penderita.
Penentuan untuk diperlukan tindakan pembedahan berdasarkan status
kesadaran penderita, efek massa yang disebabkan adanya clot yang tampak
pada gambaran CT Scan (terutama derajat kompresi pada sisterna
quadrigeminal) dan tampaknya hidrosefalus. Penderita yang hanya dengan
keadaan mengantuk dan hematoma dengan diameter 2 – 4 cm merupakan
kondisi yang sulit untuk dipertimbangkan tindakan pembedahan. Bila tingkat
kesadaran mengalami fluktuasi dan obliterasi dari sisterna perimesenchepalic,
terutama disertai dengan hidrosefalus11.
Pada saat dilakukan pertimbangan untuk dilakukan tindakan
pembedahan dan terapi lainnya, dapat dibagi menjadi tiga kelompok antara
lain pada perdarahan yang masif, lesi berkembang dengan sangat cepat yang
mana berisiko menimbulkan kematian sebelum penderita sampai ke rumah
sakit, untuk jenis lesi ini sedikit tindakan yang dapat dilakukan. Sedangkan
hematoma yang kecil, dimana terapi yang dilakukan adalah mengkontrol
faktor risiko seperti hipertensi, untuk mencegah terjadi kekambuhan Pada
perdarahan dengan volume sedang dengan adanya efek massa setelah
penderita sampai di rumah sakit, tindakan pembedahan sangat diperlukan.9

E. Prognosis
33

Tiga prediktor utama yang menentukan prognosis pada kasus


perdarahan intraserebral adalah ukuran perdarahan, lokasi dari perdarahan
dan status kesadaran dari penderita. Ekspansi perdarahan juga
mengindikasikan prognosis yang buruk dengan hematoma ukuran yang luas.
Pada saat fase akut perdarahan intraserebral, efek massa yang berasal dari
hematoma menunjukkan risiko yang lebih besar untuk terjadinya kematian
dibandingkan ukuran stroke iskemik. Tidak seperti perdarahan subarakhnoid,
pengulangan perdarahan intraserebral selama penyakit akut jarang terjadi.
Fakta yang sederhana ini memberikan petunjuk untuk pengobatan perdarahan
intraserebral dimana secara agresif untuk mempertahankan perluasan
hematoma untuk mencegah kematian dan mengurangi morbiditas.10

F. Terapi pembedahan pada perdarahan intraserebral


Metode evakuasi hematom dibagi menjadi dua yaitu
kraniotomi/kraniektomi dan prosedur invasif minimal10.
A. Kraniotomi.
International Surgical Trial for Intra Cerebral Haemorrhage
(STICH) adalah studi multisenter terkait pembedahan pada perdarahan
intraserebral adalah. Pada studi ini 1033 pasien dari 83 senter di 27 negara
terutama eropa, asia, dan afrika, dirandomisasi menjadi 2 kelompok terapi.
Pada satu kelompok, pasien diberikan terapi konservatif, sedangkan
kelompok yang lain dilakukan pembedahan pada waktu 24 jam paska
onset sebagai tambahan dari terapi konservatif. Tidak ditemukan adanya
keuntungan yang signifikan dari pembedahan pada angka mortalitas
(63,7% pada kelompok terapi bedah dibandingkan 62,6% pada kelompok
terapi konservatif), skala Rankin dan indeks Barthel (outcome baik pada
23,8% kelompok pembedahan vs 26,1% pada kelompok konservatif). Pada
studi STICH, kraniotomi dan evakuasi hematom pada perdarahan
intraserebral dikaitkan dengan luaran yang baik bila hematom terletak
sejauh 1 cm dari permukaan otak.10

Pembedahan invasif minimal.


34

Pembedahan ini dapat dilakukan dengan 2 prosedur yaitu secara


blind dan endoskopi.
1. Prosedur Blind.
Secara umum prosedur blind ini dilakukan dengan aspirasi burr
hole, dengan atau tanpa bantuan sterotaksis dan fibrinolisis. Stereotaksis
menambah presisi dari prosedur ini sementara fibrinolisis membuat klot
lebih mudah saat dikeluarkan. Fibrinolisis dapat secara kimiawi yaitu
dengan urokinase atau t-PA, atau secara mekanik dengan archimedes
screw, aspirator ultrasound, atau pemotong oscillating. Prosedur ini
terutama menguntungkan bila lesi terletak di dalam.10
2. Neuroendoskopi.
Prosedur ini dikatakan lebih baik dari pada sterotaksis dan
kraniotomi untuk evakuasi klot perdarahan intraserebral di area basal
ganglia pada pasien yang tidak koma. Evakuasi klot secara
neuroendoskopi pada perdarahan intraventrikular dibandingkan dengan
drainase ventrikular eksternal (EVD) saja, ditemukan memberikan luaran
yang lebih baik, namun tidak ada perbedaan dalam mortalitasnya. Teknik
pembedahan menjadi kurang invasif karena menggunakan endoskopi.
Prosedur ini hanya perlu sedikit saja bukaan di tulang untuk insisi kortikal,
biasanya dengan diameter kurang dari 1 cm. Rekomendasi American
Stroke Association guidelines menyarankan operasi dilakukan dalam
waktu 12 jam dengan metode invasif minimal. Kraniotomi diperlukan
padalesi yang akut dan lebih solid, sedangkan burr hole dilakukan pada
lesi kronis dan liquid. Sebagai tambahan, pembedahan dapat pula memiliki
peran diagnostik, misalnya pada biopsi yang dikerjakan pada perdarahan
intraserebral akibat vaskulitis.10
Pada Guideline Stroke 2007 oleh Perdossi dikatakan guideline
pengelolaan perdarahan intraserebral dengan pembedahan masih
kontroversial. Pasien bukan kandidiat operasi bila:
(1) pasien dengan perdarahan kecil (< 10cm3) atau defisit neurologis
minimal (kelas II-IV, tingkat evidensi B),
35

(2) pasien dengan GCS : 4 , kecuali pada perdarahan serebelar yang


disertai kompresi batang otak, untuk menyelamatkan nyawa.
Sedangkan indikasi dioperasi adalah:
(1) pasien dengan perdarahan serebelar > 3 cm dengan perburukan klinis
atau kompresi batang otak dan hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel,
(2) perdarahan intraserebral dengan lesi struktural seperti aneurisma,
arteriovena malformasi, atau angioma kavernosa dibedah jika mempunyai
harapan luaran yang baik dan lesi strukturnya terjangkau (kelas III-IV,
tingkat evidensi C),
(3) pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang-besar yang
memburuk (kelas II-IV, tingkat evidensi B),
(4) pembedahan untuk mengevakuasi hematom pada pasien usia muda
dengan perdarahan lobar yang luas (50 cm3) masih menguntungkan (kelas
II-IV, tingkat evidensi B). Indikasi pembedahan pada perdarahan
intraserebral supra tentorial kurang nyata.10

Anda mungkin juga menyukai