Anda di halaman 1dari 43

PERAN KREDIT PERTANIAN DALAM MENINGKATKAN

KESEJAHTERAAN PETANI DI INDONESIA

TUGAS ANALISIS AGRIBISNIS

OLEH:

NELVA MEYRIANI GINTING (197039020)

EMMA REGINA BR PINEM (197039027)

RIPKA PRIANTI GINTING (197039030)

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................. i

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 5

1.3 TujuanPenelitian....... ................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pendanaan Agribisnis ............................................................... 6

2.2 Kondisi Eksisting Modal di Indonesia ..................................... 10

2.3 Sumber-sumber Pendanaan Kredit Usaha Tani di Indonesia ... 22

2.4 Risiko Komoditi Kopi di Indonesia ......................................... 32

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan............................................................................... 38

3.2 Saran ......................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar Keterangan Halaman


1 Realisasi Investasi Sektor Pertanian 19
2 Nilai Tukar Petani 21
3 Aksesibilitas Petani terhadap Sumber Modal 23
4 Risiko Produksi komoditi Kopi 32
5 Risiko Finansial komoditi Kopi 33
6 Risiko Pasar komoditi Kopi 34
7 Risiko Sumber Daya Manusia komoditi Kopi 35

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan

penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari

banyaknya penduduk Indonesia yang bekerja pada sektor pertanian, kehutanan

dan perikanan. Tahun 2019 diketahui bahwa 27.33 persen penduduk Indonesia

yang berumur lima belas tahun ke atas bekerja pada sektor pertanian, kehutanan,

dan perikanan (SAKERNAS, 2019). Selain itu, berdasarkan data Produk

Domestik Bruto atas dasar harga yang konstan menurut lapangan usaha pada

tahun 2019 diketahui bahwa sektor pertanian, kehutanan dan perikanan

memberikan kontribusi yaitu sebesar 13.02 persen dari total keseluruhan

(BPS Indonesia, 2019).

Sektor pertanian memainkan peran yang sangat strategis dalam pembangunan

ekonomi, diantaranya sebagai penyerap tenaga kerja, kontribusi terhadap produk

domestik bruto, sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan

gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi riil lainnya

(Ashari, 2009). Walaupun perannya sangat strategis, sektor pertanian masih

menghadapi banyak permasalahan, salah satu yang paling penting adalah

keterbatasan permodalan petani dan pelaku usaha pertanian lain.

Modal tidak selalu tersedia pada petani, maka disini diperlukan subsistem

penunjang yang dapat memberikan modal kepada petani, baik kepada petani kecil

maupun pengusaha yang besar yang disediakan oleh lembaga. Lembaga

perkreditan atau permodalan sangat berperan dalam memberikan modal kerja

1
2

kepada petani kecil di wilayah pedesaan. Banyak lembaga-lembaga keuangan

lainnya yang dapat melakukan hal sama dalam membantu petani. modal tidak

hanya diperlukan oleh petani yang melakukan kegiatan produksi primer, namun

juga diperlukan oleh pengusaha yang bergerak pada subsistem pengadaan sarana

produksi, subsistem agroindustri maupun subsistem distribusi/ pemasaran

(Su’ud,2005).

Permodalan merupakan salah satu faktor produksi penting dalam usaha pertanian.

Namun, dalam operasional usahanya tidak semua petani memiliki modal yang cukup.

Aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan masih sangat terbatas, terutama

bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit yang merupakan komunitas terbesar dari

masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak jarang ditemui bahwa kekurangan biaya

merupakan kendala yang menjadi penghambat bagi petani dalam mengelola dan

mengembangkan usahatani.

Pembiayaan usaha di sektor pertanian yang ada saat ini, hampir semua berbasis

perhitungan bunga (Ashari dan Saptana, 2005). Pihak perbankan umumnya menunjukkan

kekurangan tertarikan untuk membiayai sector pertanian yang dipandang beresiko tinggi,

baik karena gangguan alam seperti banjir dan kekeringan, serangan hama dan penyakit

tanaman, maupun fluktasi harga output. Kondisi minimnya pembiayaan bank untuk

sektor pertanian karena kurang cocoknya karakteristik usaha disektor ini dengan usaha

diperbankan. Menurut Indiastuti (2005) disebabkan oleh: Pengalaman dan trauma

beberapa bank menghadapi kenyataan kredit bermasalah sewaktu pengucuran kredit;

Aturan BI yang cukup ketat agar bank prudent dalam penyaluran dana; serta Banyak

bank khususnya bankbesar yang tidak memiliki pengalaman menyalurkan kredit mikro.

Sehingga sumber permodalan informal seringkali menjadi opsi lain bagi petani untuk

mendapatkan pinjaman modal karena prosedur pengajuan yang lebih mudah. Pemerintah

telah berupaya membantu meringankan beban permodalan petani dengan menetapkan


3

berbagai skim pembiayaan yang mudah diakses oleh petani kecil. Kebijakan ini

diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan usahatani petani kecil

di Indonesia. Berhubungan dengan kredit mikro lebih banyak menyoroti tentang

efektivitas program kredit dalam penanggulangan kemiskinan serta perilaku rumah

tangga dan perusahaan, seperti konsumsi per kapita, supply tenaga kerja, kinerja bisnis,

dan bukti-bukti kesuksesan dari program (Madajewicz, 2003; McKernan, 2002).

Perbankan nasional, secara teori memiliki potensi sangat besar sebagai salah satu

sumber pembiayaan sektor pertanian. Namun, fakta menunjukkan bahwa secara

umum ada kecenderungan perbankan nasional kurang antusias untuk menyalurkan

kredit ke sektor pertanian. Dari sisi perbankan, rendahnya alokasi kredit ke sector

pertanian disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya (1) perbankan memandang

sektor pertanian sangat berisiko, (2) pihak perbankan ada yang trauma dengan

pengalaman KUT yang kurang baik, (3) banyak perbankan yang tidak mempunyai

cukup pengalaman menyalurkan kredit di sector pertanian, (4) dominasi usaha

mikro-kecil memiliki kelemahan dalam manajemen dan pembukuan

(nonbankable), serta (5) adanya risiko sosial dan status lahan yang kurang

kondusif bagi perbankan (Ashari, 2009).

Rendahnya minat perbankan dalam hal penyaluran kredit ke sektor pertanian

dikarenakan sektor pertanian tidak memberikan benefit yang diharapkan oleh

bank, baik dalam hal pengembalian maupun jaminan kredit. Sifat dari bisnis

sektor pertanian yang musiman membuat pihak perbankan kesulitan dalam

menghitung risiko bisnis yang menjadi pertimbangan utama dalam menyalurkan

kreditnya. Sifat komoditas pertanian yang secara umum tidak seragam, mudah

rusak atau busuk, voluminous (banyak makan ruang), dan harganya tidak
4

kompetitif dengan produk luar membuat perbankan ekstra hati-hati dan cenderung

menutup diri (Burhanuddin, 2003).

Untuk menjawab permasalahan keterbatasan akses petani terhadap sumber

permodalan, kemampuan fiskal pemerintah yang terbatas, serta keengganan

perbankan untuk memberikan kredit kepada petani, maka perlu ada upaya untuk

lebih mengoptimalkan potensi lembaga keuangan yang dapat menjadi alternatif

sumber dana bagi petani di pedesaan. Salah satu bentuk lembaga kuangan non-

bank yang sudah cukup akrab di kehidupan petani adalah koperasi. Koperasi yang

dapat dikategorikan sebagai lembaga pembiayaan adalah koperasi simpan pinjam

(Budiyoko, 2015).

.Menurut, koperasi bagi petani sangat penting terutama dalam peningkatan

produksi dan kesejahteraan petani. Koperasi dapat mengupayakan pembukaan

pasar baru bagi produk anggotanya. Selain itu, koperasi dapat memberikan akses

kepada anggotanya terhadap berbagai penggunaan faktor produksi dan jasa. Para

petani anggota dapat lebih mudah dalam menangani risiko, seperti pengaruh

iklim, heterogenitas kualitas produksi dan sebaran daerah produksi. Para petani

anggota juga lebih mudah berinteraksi secara positif terkait dalam proses

pembelajaran guna meningkatkan kualitas sumberdaya mereka (Anggara, 2015).

Kondisi saat ini menunjukan bahwa sektor privat yang ikut serta dalam

pembiayaan pembangunan pada bidang-bidang tersebut masih sangat sedikit

antara lain lembaga pembiayaan infrastruktur berbentuk BUMN Persero dan

lembaga keuangan perbankan baik BUMN Persero maupun swasta.

Selain itu, Pemerintah memiliki Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai Badan

Layanan Umum (BLU) yang memberikan pembiayaan kepada Pemerintah Daerah


5

dalam rangka pembangunan infrastruktur daerah. Pada bidang lainnya seperti

industri dan pertanian, sektor perbankan memegang porsi terbesar dalam

pemberian pembiayaan. Khusus pada sektor pertanian, Pemerintah telah

mengamanatkan pembentukan unit khusus pembiayan pertanian pada bank

BUMN dan BUMD. Selain itu, terdapat pula lembaga keuangan mikro yang

bernama Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) yang didirikan untuk

memberikan pembiayaan kepada sektor pertanian.

Hal inilah yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini dan yang akan dibahas

selanjutnya dalam pembahasan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pendanaan agribisnis di Indonesia?

2. Bagaimana kondisi eksisting modal di Indonesia?

3. Bagaimana sumber-sumber pendanaan kredit usahatani di Indonesia?

4. Bagaimana risiko komoditi kopi di Indonesia ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pendanaan agribisnis di Indonesia

2. Untuk mengetahui kondisi eksisting modal di Indonesia

3. Untuk mengetahui sumber-sumber pendanaan kredit usahatani di Indonesia

4. Untuk mengetahui risiko komoditi kopi di Indonesia


6

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pendanaan Agribisnis

Pertanian masih memiliki peranan yang dominan dalam perekonomian Indonesia,

dan agar pertanian mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi maka peranan

agribisnis menjadi penting. Menurut Soekartawi (1997) agribisnis adalah suatu

kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu ataukeseluruhan dari mata

rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan

pertanian dalam arti luas. Aspek agribisnis adalah meliputi kaitan dari mulai

proses produksi, pengolahan sampai pada pemasaran termasuk di dalamnya

kegiatan lain yang menunjang kegiatan proses produksi pertanian serta kegiatan

lain yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.

Menurut Mubyarto (1995), berdasarkan titik tolak kenyataan adanya kemelaratan

yang luas di kalangan petani, maka orang lalu menyimpulkan bahwa persoalan

yang paling sulit dalam kegiatan pertanian adalah persoalan pembiayaan. Orang

mengatakan bahwa petani tidak dapat meningkatkan produksinya karena kurang

biaya. Secara ekonomi, dapat dikatakan bahwa pembiayaan dalam pertanian

dapat berasal dari milik sendiri atau pinjaman dari luar. Pembiayaan yang berasal

dari luar usaha biasanya merupakan kredit. Petani memerlukan kredit yang

murah dan mudah. Petani juga membutuhkan kredit dengan bunga rendah yang

tepat jumlah dan waktunya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 Pasal 1 tentang

perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun

6
7

1998, pengertian kredit adalah sebagai berikut : Kredit adalah penyediaan uang

atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi utangnya seteah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga. Secara umum menurut Burhanuddin (2010), di dalam

pengertian kredit selalu ada tiga faktor di bawah ini :

a. Nilai sejumlah uang

b. Jangka waktu pengembalian

c. Menimbulkan biaya (bunga dan denda)

Dalam pemberian kredit dikenal suatu prinsip yang sampai saat ini masih

dipergunakan sebagai pedoman dalam pemberian kredit. Adapun prinsip tersebut

terkenal dengan istilah 5 C (Supriyono, 2013), yang terdiri atas :

a. Character, pihak bank harus yakin bahwa calon debitur mempunyai moral,

watak, sifat yang positif dan kooperatif serta mempunyai rasa tanggung jawab

dalam membayar kembali kredit yang telah diberikan bank, informasi

mengenai data diri debitur ini dapat diperoleh bank melalui riwayat hidup,

riwayat usaha, dan informasi dari usaha-usaha yang sejenis.

b. Capacity, yaitu penilaian mengenai kemampuan calon debitur untuk

mengelola usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan sehingga

usahanya berjalan dengan baik mampu memberikan keuntungan guna

menjamin pembayaran kembali kreditnya dari usahanya yang dibiayai.


8

c. Capital, adalah modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur, hal ini bias

dilihat dari neraca / pembukuan yang dilakukan oleh calon debitur.

d. Collateral, adalah barang jaminan yang diserahkan oleh calon debitur kepada

bank sebagai agunan atas kredit yang diberikan bank, jaminan disini

merupakan pengaman (back up) atas resiko yang mungkin terjadi atas tidak

terbayarnya kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

e. Condition of economy, yaitu situasi dan kondisi ekonomi, politik, sosial,

budaya yang dapat mempengaruhi keadaan perekonomian atau keuangan pada

suatu saat dan dapat mempengaruhi kelancaran usaha calon debitur yang akan

dibiayai oleh bank.

Sumber pembiayaan agribisnis adalah :

1) Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan (financial institution) adalah suatu perusahaan yang

usahanya bergerak di bidang jasa keuangan. Artinya kegiatan yang

dilakukan oleh lembaga ini akan selalu berkaitan dengan bidang keuangan,

apakah penghimpunan dana, menyalurkan, dan/atau jasa-jasa keuangan

lainnya (Burhanuddin, 2010).

Fungsi dan peran lembaga keuangan menurut Burhanuddin (2010) adalah

sebagai berikut :

 Melancarkan pertukaran produk (barang dan jasa) dengan menggunakan

jasa keuangan.
9

 Menghimpun dana dari masyarakat untuk disalurkan kembali dalam

bentuk pembiayaan.

 Memberikan pengetahuan/informasi kepada pengguna jasa keuangan

sehingga membuka peluang keuntungan.

 Lembaga keuangan memberikan jaminan hukum mengenai kemanan dana

masyarakat yang dipercayakan.

 Menciptakan likuiditas sehingga dana yang disimpan dapat dipergunakan

ketika dibutuhkan.

Lebih lanjut Burhanuddin (2010) menyatakan, lembaga keuangan dapat

dibagi menjadi dua, yaitu :

a) Bank

Menurut UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.

7 Tahun 1992, yang dimaksud Bank adalah badan usaha yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada

masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk bentuk lainnya dalam

rangka meningkatkan taraf hidup rakyat (Pasal 1). Menurut hukum

perbankan yang berlaku saat ini, Indonesia adalah Negara yang menganut

konsep perbankan nasional dengan sistem ganda (dual banking system).

Artinya bahwa selain ada perbankan konvensional yang beroperasi

berdasarkan sistem ‘bunga’, juga ada perbankan lain yang menjalankan

kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Perbankan syariah


10

merupakan lembaga keuangan bank yang menjalankan kegiatan usaha

berdasarkan pada prinsip syariah.

b) Bukan Bank

Lembaga keuangan bukan bank adalah semua badan usaha yang melakukan

kegiatan di bidang keuangan, baik secara langsung atau tidak langsung

menghimpun dana terutama dengan jalan mengeluarkan kertas berharga dan

menyalurkan dalam masyarakat terutama guna membiayai investasi

perusahaan. Dan salah satunya adalah koperasi.

2.2. Kondisi Eksisting Modal di Indonesia

Kredit Program Pemerintah

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mempunyai peran yang cukup

penting dan strategis dalam perekonomian Indonesia, karena pelaku usaha skala

mikro, kecil, menengah dan koperasi merupakan bagian terbesar dari seluruh

aktivitas ekonomi rakyat seperti petani, peternak, petambang, pengrajin,

pedagang, nelayan dan penyedia berbagai jasa. Selain itu UMKM merupakan

salah satu penopang perekonomian Indonesia dengan kontribusi terhadap Produk

Domestik Bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja serta ekspor yang cukup

besar. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM kontribusi sektor

UMKM terhadap PDB nasional terus meningkat menjadi sebesar 62,57% pada

tahun 2017. Kontribusi sektor UMKM terhadap penyerapan total tenaga kerja

juga tinggi, yaitu sebesar 96,99% dari total tenaga kerja sektor swasta. Selain itu,

UMKM sudah terbukti mampu bertahan saat terjadi krisis moneter di tahun 1997-

1998. Hal penting lainnya UMKM berperan dalam mendistribusikan hasil-hasil


11

pembangunan dan merupakan salah satu solusi untuk mengurangi ketimpangan

maupun kesenjangan pendapatan masyarakat.

Di sisi lain UMKM juga mengalami kendala terkait dengan permasalahan

permodalan yang aksesnya masih sulit diperoleh dan tingkat suku bunga yang

sangat tinggi. Berdasarkan hal tersebut pemerintah terus menciptakan dan

mendukung program pemberdayaan ekonomi berbasis kerakyatan dengan

memberikan program pembiayaan kredit pemerintah seperti KUR dan UMI.

Dukungan program pembiayaan ini sangat penting karena diharapkan

menumbuhkan pelaku usaha baru maupun meningkatkan daya saing UMKM

sehingga bisa meningkat ke skala usaha yang lebih besar.

Pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR)

KUR merupakan program prioritas pemerintah dalam mendukung UMKM

melalui pemberian kredit/ pembiayaan modal kerja dan/ atau investasi.

Pembiayaan tersebut dapat dinikmati oleh debitur individu, badan usaha dan/ atau

kelompok usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan

tambahan atau agunan tambahan belum cukup. Program KUR bertujuan untuk

meningkatkan dan memperluas akses pembiayaan kepada usaha produktif,

meningkatkan kapasitas daya saing UMKM, mendorong pertumbuhan ekonomi

dan penyerapan tenaga kerja.

Program KUR yang dimulai pada bulan November 2007, dalam pelaksanaannya

terjadi beberapa perubahan kebijakan pemerintah khususnya pada skema

penyaluran. KUR yang disalurkan pada tahun 2007 - 2014 menggunakan skema

Imbal Jasa Penjaminan (IJP), sedangkan KUR generasi kedua yang disalurkan
12

sejak Agustus 2015 sampai dengan saat ini, disalurkan dengan skema subsidi

bunga. Pelaksanaan pembiayaan KUR berpedoman pada Peraturan Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pedoman

Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat.

Penyaluran KUR dilakukan melalui dua pola yaitu secara langsung dan tidak

langsung. Pola secara langsung yaitu UMKM dan Koperasi dapat langsung

mengakses KUR di Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank

Pelaksana. Sedangkan secara tidak langsung yaitu usaha mikro dapat mengakses

KUR melalui Lembaga Keuangan Mikro dan KSP / USP Koperasi, atau melalui

kegiatan linkage program lainnya yang bekerjasama dengan Bank Pelaksana hal

tersebut bertujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada usaha mikro.

Dalam pelaksanaanya untuk memperluas akses pembiayaan program KUR selain

adanya kemudahan dalam memperoleh akses pembiayaan adalah terkait tingkat

suku bunga, pada tahun 2015 pemerintah telah menurunkan suku bunga KUR dari

sebelumnya sebesar 12%, menjadi sebesar 9% di tahun 2016, dan terakhir

diturunkan kembali menjadi 7% di tahun 2018. Penurunan suku bunga KUR

tersebut merupakan upaya pemerintah untuk memberikan kemudahan serta

perluasan akses pembiayaan dengan suku bunga rendah bagi UMKM.

Program KUR terdiri dari beberapa jenis antara lain : KUR Mikro, KUR Kecil,

KUR TKI dan KUR Khusus. Syarat untuk memperoleh pembiayaan KUR antara

lain adalah memiliki KTP (NIK) Elektronik, Kartu Keluarga, tidak sedang

menerima pembiayaan dari perbankan kecuali untuk kredit konsumtif seperti

KPR, KKB dan Kartu Kredit, Usaha telah aktif minimal 6 (enam) bulan, dan
13

memiliki izin/ keterangan usaha. Sedangkan untuk KUR Mikro dan KUR TKI

tidak dipersyaratkan agunan tambahan.

Pada tahun 2018 KUR sektor produksi (pertanian, perikanan, industri pengolahan,

konstruksi dan jasa produksi) mendapat prioritas utama dalam pembiayaan, target

pencapaian minimumnya sebesar 50% dari target total penyaluran KUR sebesar

Rp 120 triliun. Untuk mencapai target penyaluran KUR sektor produksi tersebut,

pemerintah juga mendesain KUR Khusus. Skema KUR Khusus ditujukan untuk

komoditas perkebunan rakyat, peternakan rakyat, dan perikanan rakyat. KUR

Khusus diberikan kepada kelompok dengan menggunakan mekanisme tanggung

renteng termasuk pengusaha pemula yang ikut dalam kelompok, dan dikelola

secara bersama dalam bentuk klaster dengan menggunakan mitra usaha.

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) berharap, penyaluran

Kredit Usaha Rakyat (KUR) di sektor pertanian mengalami pertumbuhan.

Pasalnya, tahun depan plafon KUR sebesar Rp 190 triliun atau meningkat 36%

dari plafon tahun 2019 yang sebesar Rp 140 triliun. Menurut Mentan SYL, untuk

meningkatkan penyaluran KUR di sektor pertanian, maka pihaknya akan

mempermudah akses kepada petani. Dia juga mengatakan, adanya rencana

pembentukan KUR berbasis kelompok atau klaster akan memudahkan Kementan

untuk meningkatkan penyaluran KUR ini.

"KUR untuk sektor pertanian di tahun 2020 bisa di atas Rp 50 triliun. Dana

tersebut digunakan sebagai fasilitas di hulu pertanian, olah pertanian hingga pasar

pertanian," papar Mentan SYL. Sementara itu, sejak Januari hingga September

2019, realisasi penyaluran KUR sudah mencapai Rp 115,9 triliun atau 82,79%
14

dari target. Dari realisasi tersebut, realisasi penyaluran untuk sektor pertanian,

penurunan dan kehutanan mencapai 26% atau sekitar Rp 30,13 triliun.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy

mengatakan, KUR sebaiknya diajukan melalui ketua kelompok tani. Perbankan

biasanya hanya mengecek sekilas karena sudah ada jaminan dari ketua kelompok

itu. Ditjen PSP juga tetap menggerakkan Fasilitator Pembiayaan Petani Swadaya

(FPPS). FPPS ini untuk meningkatkan akses petani terhadap sumber pembiayaan

pertanian seperti KUR. Pada tahun 2019, peran FPPS diperluas untuk

mendampingi petani mengakses ke sumber-sumber pembiayaan pertanian baik

program KUR maupun fasilitasi pembiayaan lainnya.

Pembiayaan Ultra Mikro (UMi)

UMi yang dimaksud disini bukanlah nama panggilan ibu atau nama seseorang,

melainkan program Ultra Mikro yang merupakan pembiayaan yang bersumber

dari APBN atau bersama dengan pemerintah daerah dan/ atau pihak lain untuk

memberikan fasilitas pembiayaan kepada usaha mikro. Pembiayaan UMi

merupakan program dana bergulir pemerintah untuk memberikan akses kepada

usaha mikro. Program ini dilaksanakan oleh BLU Pusat Investasi Pemerintah

(PIP) selaku koordinator dana yang melaksanakan penghimpunan dana dan

penyaluran dana melalui kerjasama dengan Lembaga Keuangan Bukan Bank

(LKBB). Program UMi memberikan pembiayaan kepada masyarakat yang tidak

dapat dijangkau oleh fasilitas pembiayaan perbankan, dengan maksimal pinjaman

Rp10 juta per orang.


15

Program UMi dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor

22/PMK.05 /2017 dan revisinya yaitu PMK nomor 95/PMK.05/2018.

Karakteristik pembiayaan UMi antara lain adalah mengutamakan kemudahan dan

kecepatan dalam proses pembiayaan dengan meniadakan persyaratan surat izin/

keterangan usaha yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi

UMKM. Berbeda dengan KUR pembiayaan UMi menyasar pelaku usaha mikro

lapis terbawah yaitu belum memiliki surat izin/ keterangan usaha dan tidak dapat

dijangkau fasilitas pembiayaan perbankan dengan tujuan menambah jumlah

wirausahawan baru. Syarat untuk memperoleh pembiayaan UMi pun cukup

mudah yaitu memiliki KTP elektronik, dan tidak sedang menerima pembiayaan

program KUR. Program UMi mengharuskan adanya pendampingan bagi debitur.

Penyaluran pembiayaan UMi memiliki kesamaan pola dengan KUR yaitu secara

langsung dan tidak langsung. Pembiayaan UMi disalurkan melalui lembaga

keuangan bukan bank (LKBB) yang saat ini dilaksanakan oleh PT Pegadaian, PT

Permodalan Nasional Madani (PMN) dan PT Bahana Artha Ventura (BAV).

Sedangkan penyaluran secara tidak langsung bekerjasama dengan

lembaga linkage.

Perbedaan KUR dan UMi

Untuk lebih memahami program KUR dan UMi, kita perlu melihat perbedaan

diantara kedua program pemerintah tersebut.

Pertama, adalah terkait sasaran debitur, KUR menyasar UMKM yang mempunyai

surat izin usaha dan usahanya minimal sudah berjalan 6 (enam) bulan sedangkan

UMI tidak mempersyaratkan surat izin usaha dan bisa dimanfaatkan


16

wirausahawan baru, sehingga UMi menyediakan fasilitas pembiayaan yang

mudah dan cepat bagi usaha ultra mikro. Sasaran pembiayaan UMi sebenarnya

adalah usaha ultra mikro yang skala usahanya lebih kecil dari usaha mikro.

Kedua, tingkat suku bunga KUR cukup rendah yaitu sebesar 7% memang lebih

menarik bagi masyarakat dibandingkan tingkat bunga program UMi yang cukup

tinggi, tetapi tingkat bunga UMi masih lebih rendah dibandingkan pinjaman ke

Koperasi atau BPR. Pemerintah juga berencana memangkas tingkat suku bunga

pembiayaan UMI sehingga bisa lebih rendah dari KUR, tentunya ini merupakan

berita gembira bagi calon debitur UMi.

Ketiga, batas pinjaman KUR lebih tinggi, untuk usaha mikro bisa sampai dengan

Rp25 juta dan untuk usaha kecil bisa mencapai Rp500 juta. KUR ada beberapa

jenis yang dibagi sesuai dengan kriteria penerima yang sudah ditetapkan,

sedangkan UMi hanya satu jenis yaitu untuk menjangkau pelaku usaha mikro

yang membutuhkan dana dalam jumlah kecil seperti Rp500 ribu sampai dengan

Rp10 juta.

Keempat, terkait agunan baik KUR Mikro maupun UMi (Debitur Kelompok)

tidak mewajibkan adanya agunan tambahan, walaupun berdasarkan survey kami

kepada debitur penerima KUR sebagian besar mereka masih dikenakan agunan

tambahan seperti rumah, mobil dan sebagainya.

Kelima, pembiayaan UMi dilakukan pendampingan oleh penyalur. Adanya

pendampingan dalam program pembiayaan UMi dapat memberikan manfaat bagi

debitur dalam pengembangan usaha dan merupakan salah satu mitigasi resiko

terjadinya non performing loan. Sedangkan KUR tidak dilakukan pendampingan.


17

Keenam, Pembiayaan KUR disalurkan melalui perbankan seperti BRI, BNI,

Mandiri dan sebagainya. Sedangkan UMi disalurkan melalui lembaga keuangan

bukan bank (LKBB) yang saat ini dilaksanakan oleh PT Pegadaian, PT

Permodalan Nasional Madani (PMN) dan PT Bahana Artha Ventura (BAV). Di

Kota Palangka Raya saat ini penyaluran UMi baru disalurkan oleh PT. Pegadaian.

Dari beberapa kondisi tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan program

KUR dan UMI sebenarnya adalah saling melengkapi, program UMi yang dimulai

pada tahun 2017 melengkapi program KUR yang masih menyisakan keterbatasan

dalam besaran kredit dan persyaratan. Dengan demikian para pelaku usaha mikro

mempunyai pilihan alternatif akses pembiayaan sesuai kebutuhan dan

karakteristik usaha yang dijalankannya.

Pelaksanaan Program KUR dan UMi tentunya memerlukan kerjasama dan sinergi

dengan berbagai pihak seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Teknis,

pemerintah daerah dan bank/ lembaga penyalur maupun masyarakat sendiri.

Peranan pemerintah pusat tentunya adalah memperbaiki regulasi, melakukan

pembinaan dan pengawasan. Pemerintah daerah berperan dalam memberikan data

jumlah dan karakteristik UMKM di daerahnya dan lebih aktif dalam penyiapan

dan pengunggahan data calon debitur KUR pada Sistem Informasi Kredit Program

(SIKP). Pengunggahan data calon debitur oleh pemerintah daerah dapat

dimanfaatkan oleh lembaga keuangan penyalur KUR maupun UMi. Dengan data

tersebut diharapkan dapat mendukung peningkatan target penyaluran KUR

maupun UMi. Sedangkan peranan kita sebagai masyarakat, bisa berpartisipasi

untuk berperan serta menyebarluaskan informasi adanya program pembiayaan

pemerintah yang murah dan mudah untuk para pelaku usaha UMKM. Dan tidak
18

kalah penting hendaknya kita bersama juga peduli dengan keberlangsungan usaha

dengan membeli produk-produk hasil UMKM . Dengan adanya sinergi bersama

dalam pemberdayaan UMKM tersebut, diharapkan dapat segera mewujudkan

kemandirian ekonomi rakyat menuju masyarakat yang adil dan sejahtera.

Pembiayaan pertanian memegang peranan penting dalam mendukung peningkatan

produksi, meningkatkan kesejahteran petani, dan pembangunan pertanian.

Berbagai program yang telah dijalankan oleh pemerintah sejak zaman orde baru,

reformasi dan pasca reformasi untuk menciptakan insentif dan meningkatkan

kesejateraan bagi petani.

Menurut Kementerian Keuangan pada Tahun 2015-2019 anggaran pemerintah di

sektor pertanian mengalami penurunan. Tercatat pada tahun 2015 alokasi

anggaran pemerintah di sektor pertanian yang dikeluarkan sebesar Rp 34 trilliun,

dan nilai ini mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2019 menjadi

Rp 21.6 trilliun. Anggaran atau pembiayaan pertanian yang berasal dari

pemerintah ini dialokasikan untuk Kementerian Pertanian, Irigasi (Kementerian

PU), Subsidi (Pangan, Pupuk, dan Benih), Cadangan Beras Pemerintah, Stabilisasi

Pangan, Benih Nasional, Cadangan Ketahanan Pangan dan transfer ke daerah

pertanian.

Disamping itu pemerintah juga mendorong dunia perbankan untuk dapat

meningkatkan jumlah dan akses pembiayaan ke sektor pertanian. Pada tahun 2019

jumlah alokasi pinjaman yang disalurkan oleh perbankan ke sektor pertanian

sebesar Rp 946.9 Milyar. Harapannya alokasi pinjaman ini akan memudahkan

petani untuk melaksanakan kegiatan usahataninya, dengan demikian upaya untuk

meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani juga dapat dicapai. Hal ini
19

sesuai dengan pandangan Ashari (2009),bahwa perbankan nasional memiliki

potensi yang sangat besar untuk mendukung pembiayaan sektor pertanian, baik

dari segi kemampuan menghimpun dan menyalurkan dana.

Selain dukungan pembiayaan yang berasal dari anggaran pemerintah dan

perbankan nasional, investasi disektor pertanian juga sangat berperan dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan petani (Susilowati, 2009). Melalui kegiatan investasi,

kegiatan perekonomian akan dapat bergerak dan memberikan multiplier effect

bagi perekonomian di perdesaan maupun nasional.

Gambar 1. Realisasi Investas Sektor Pertanian

Nilai realisasi investasi untuk sektor pertanian dan peternakan pada 2015-2019,

rata-rata 7,1% dari total realisasi investasi asing (PMA) maupun domestik

(PMDN). Dengan angka 7,1% porsinya terbilang kecil. Investasi terutama PMA

yang secara jumlah lebih besar lebih banyak dialokasikan untuk sektor tersier

seperti jasa perdagangan yang serapan tenaga kerjanya rendah alias lebih padat

modal ketimbang padat karya. Walau nilai realisasi PMDN ke sektor ini terus

meningkat dari tahun ke tahun, tetapi realisasi investasi PMA cenderung turun.

Hal ini terlihat dari realisasi PMDN yang naik 254% secara point to point pada
20

2015-2019, tetapi juga diikuti dengan penurunan realisasi investasi PMA sebesar

47% pada periode yang sama.

Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian sektor pertanian yang bersumber dari

PMDN meningkat 47,5% dari sebesar Rp29,6 triliun tahun 2018 menjadi

Rp 43,6 triliun tahun 2019, terdapat peningkatan nilai penanaman modal asing

(PMA) di sektor pertanian pada Desember 2019 (US$ 710.1 juta). Dengan adanya

investasi di sektor pertanian, diharapkan adanya pembangunan infrastruktur di

sektor pertanian, adanya peningkatan usaha pengolahan dan produk yang

berorientasi ekspor. Adanya peningkatan aktivitas ekonomi ini tentunya akan

memberikan nilai tambah bagi produk pertanian. Sehingga dengan demikian, ada

isentif yang diterima oleh petani baik dari segi kemudahan dan harga jual produk.

Data makro menunjukkan bahwa alokasi pembiayaan pertanian baik yang berasal

dari pemerintah, perbankan dan swasta dalam bentuk investasi mengalami

peningkatan. Adanya peningkatan pembiayaan di sektor pertanian diharapkan

mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara keseluruhan. Walaupun alokasi

pembiayaan untuk sektor pertanian dari beberapa sumber mengalami peningkatan,

namun kondisi secara umum yang dihadapi oleh pertanian dan petani tidak lebih

baik.
21

Gambar 2. Nilai Tukar Petani

Berdasarkan hasil sensus pertanian (SP) yang dilakukan oleh BPS pada tahun

2019 tercatat bahwa peningkatan pendapatan petani yang diukur dari nilai tukar

petani (NTP) nilai NTP Periode 2015-2019 lebih tinggi 5,1 persen dari periode

2010-2014, yaitu 106,92 berbanding 101,78. Pada tahun ke-2 lebih tinggi sekitar

2,3 persen, sedangkan pada tahun ke-3 dan ke-4, lebih tinggi masing-masing

sebesar 1,3 persen dan 2,8 persen. Demikian juga pada tahun-5 dengan

menggunakan data Januari 2019, nilai NTP periode 2015-2019 juga lebih tinggi

1,3 persen dibanding periode 2010-2014.

Semakin tinggi NTP, makin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani.

Peningkatan daya beli petani ini tidak terlepas dari upaya pemerintah

meningkatkan produksi dan mengendalikan harga di tingkat petani maupun

konsumen. Pemerintah telah berupaya mengurangi disparitas antara harga di

tingkat petani dan konsumen. Dalam konteks tersebut, petani untung karena

produk yang mereka hasilkan dapat dibeli dengan harga tinggi, sekaligus bisa

membeli kebutuhan-kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. Kementerian


22

Pertanian secara kontinyu memberikan insentif bagi petani, di antaranya melalui

pemberian bantuan sarana produksi (saprodi) dan alat mesin pertanian. Sejumlah

program terobosan yang dijalankan Kementan selama empat tahun dan berlanjut

ke lima tahun, dirasakan sangat efektif dalam meningkatkan produksi pertanian

yang hampir merata pada semua komoditas.

Padahal beberapa kajian menunjukkan bahwa, peningkatan pembiayaan di sector

pertanian memiliki pengaruh terhadap peningkatan kesejateraan petani dan

pengurangan kemiskinan di perdesaan (Bastin and Matteucci, 2007; Franks, 2009;

Sayaka et al, 2010; Akudugu, 2014).

2.3. Sumber-sumber Pendanaan Kredit Usahatani di Indonesia

Secara garis besar sumber biaya usaha pertanian terdiri dari empat kelompok,

yaitu : pemilik usaha (modal sendiri); kredit formal; kredit nonformal; dan

kemitraan. Lembaga keuangan yang memfasilitasi pembiayaan pertanian sampai

sekarang masih sulit diakses oleh petani (faktor internal). Hal tersebut disebabkan

oleh sistem dan prosedur penyaluran kredit dari perbankan yang cukup rumit,

birokratis, dan kurang memperhatikan kondisi lingkungan social budaya

perdesaan (Swastika et al., 2007). Rendahnya dukungan pembiayaan bagi sektor

pertanian juga disebabkan oleh faktor eksternal dalam pembentukan lembaga

pembiayaan khusus pertanian atau Bank Pertanian. Keberadaan kredit dapat

meningkatkan efisiensi usahatani. Peningkatan efisiensi dapat diukur dari

produksi, produktivitas dan pendapatan petani yang meningkat. Pentingnya

pembiayaan berupa kredit dalam rangka peningkatan produksi, produktivitas dan

pendapatan ushatani telah dibuktikan oleh beberapa peneliti. Tetapi seperti yang

ketahui bahwa sumber kredit dipedesaan beraneka ragam, ada yang berasal dari
23

lembaga keuangan formal (Bank Komersil/Cabang, Bank Komersil/Unit,

BPR/BPRS, Koperasi, Pengadaian, Bank Kredit/Desa/LKDP, dan Bantuan

BUMN) dan lembaga keuangan non formal (kios sarana produksi pertanian,

pengolah hasil pertanian, pedagang hasil pertanian, pelepas uang, Bank

Keliling/harian, famili/tetangga dan lainnya) (Hastuti dan Supadi, 2001).

Gambar 3. Aksesibilitas Petani Terhadap Sumber Modal


1. Pemilik Usaha (Modal Sendiri)

Petani yang hanya menggunakan modal sendir memiliki alasan, bahwa modal

sendiri sudah merasa cukup untuk memenuhi usahatani untuk skala usahatani

yang kecil. Biasanya petani yang menggunakan modal sendiri memperolehnya

dari pendapatan hasil panen periode sebelumnya, namun hal ini jarang digunakan

petani karena biasanya ketika panen tiba banyak tunggakan petani sehingga modal

untuk usaha tani selanjutnya (modal sendiri) biasanya akan habis

2. Kredit Formal

1) Bank

Pengertian Bank menurut Kasmir (2012:42) “ Badan Usaha yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada

masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
24

meningkatkan taraf hidup orang banyak”. Petani yang dapat meminjam ke bank

harus memiliki agunan yang disyaratkan yaitu sertifikat tanah/ bangunan dan juga

BPKB. Persyaratan inilah yang selama ini menjadi kendala aksesibilitas petani

terhadap lembaga perbankan. Ada beberapa alasan petani responden enggan untuk

mengakses lembaga perbankan, diantaranya:

1. Sebagian besar petani belum memiliki sertifikat atas tanahnya, Petani yang

memiliki lahan sempit belum memiliki sertifikat atas tanahnya, hal ini

menyebabkan petani sulit untuk mengakses ke lembaga keuangan formal karena

tidak memiliki agunan yang ditentukan Bank sebagai salah satu syarat

peminjaman.

2. Prosedur kredit di perbankan sangat rumit Prosedur yang rumit ini

menyebabkan petani enggan mengakses ke lembaga keuangan formal. Anggapan

ini juga disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan petani dalam

mengakses ke lembaga keuangan formal serta kurangnya penyuluhan tentang

prosedur kredit dari pihak perbankan terhadap petani yang menyebabkanpetani

beranggapan sulitnya prosedur kredit perbankan

3. Ketakutan tidak bisa membayar cicilan. Suku bunga yang tinggi menyebabkan

petani merasa takut untuk mengakses lembaga keuangan formal. Saat ini pihak

perbankan menerapkan pembayaran suku bunga dan pokok dibayar perbulan,

berbeda dengan sebelumnya yang hanya menerapkan pembayaran suku bunga

saja. Hal ini sangat memberatkan bagi petani, oleh sebab itu petani enggan

mengakses ke lembaga keuangan formal karena takut tidak mampu membayar

cicilan.
25

Kelebihan dari Bank ini yaitu dalam kegiatan usahatani akan selalu dipantau dan

akan diberi pinjaman yang lebih besar jika usahanya berhasil dan

pengembaliannya selalu tepat, sementara kekurangannya yaitu system dan

prosedur peminjaman masih begitu rumit sehingga banyak petani responden yang

enggan untuk meminjam ke lembaga ini.

2) Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)

Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan

baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan

penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infak dan sedekah. Sedangkan

baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial

(Sudarsono, 2004:64). Dalam pengertian lebih jelasnya Baitul Maal Wa Tamwil

yaitu rumah pengembangan harta yang melakukan kegiatan pengembangan

usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi

pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan

menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi. Baitul maal menerima titipan dana

zakat, infaq dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan

peraturan dan amanah. BMT juga merupakan organisasi bisnis yang juga

berperan sosial sebagai lembaga bisnis. BMT lebih mengembangkan usahanya

pada sektor keuangan yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan,

yakni menghimpun dana anggota dan calon anggota (nasabah) serta

menyalurkannya pada sector ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun

demikian, terbuka luas bagi BMT untuk mengembangkan lahan bisnisnya pada

sektor riil maupun sektor keuangan lain yang dilarang dilakukan oleh lembaga
26

keuangan bank. Karena BMT bukan bank, maka ia tidak tunduk pada aturan

perbankan (Ridwan, 2003:126).

3) Credit Union (CU)

Koperasi kredit atau Credit Union atau biasa disingkat CU adalah sebuah lembaga

keuangan yang bergerak di bidang simpan pinjam yang dimiliki dan dikelola oleh

anggotanya, dan yang bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya sendiri.

Credit Union berbeda dengan koperasi atau lembaga perbankan umumnya.

Manfaat CU bagi anggota adalah mengubah pola pikir. Maksudnya, dari yang

terbiasa instan/ langsung memanfaatkan uang saat mendapat pinjaman menjadi

menciptakan modal dahulu dengan menabung secara rutin. Menabung sistem CU

berbeda dengan menabung secara ‘tradisional’ di lembaga lain, misalnya bank,

setelah menabung, uang itu ditarik untuk dipergunakan.Tetapi di CU lebih modern

karena ada dana yang tersimpan. Konsep Koperasi kredit (Credit Union)

memiliki tiga prinsip utama yaitu:

1) asas swadaya (tabungan hanya diperoleh dari anggotanya)

2) asas setia kawan (pinjaman hanya diberikan kepada anggota), dan

3) asas pendidikan dan penyadaran (membangun watak adalah yang utama;

hanya yang berwatak baik yang dapat diberi pinjaman).

Menurut Carolina dan Sutarto (2013) sesuai dengan visi, misi, falsafah, asas dan

prinsip-prinsip Credit Union yang dimiliki, CU mempunyai fungsi dan peran

sebagai berikut:

a) Membangun dan mengembangkan potensi kemampuan ekonomi anggota

Credit Union pada khususnya dan masyarakat pada khususnya dan masyarakat

pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial.


27

b) Berperan aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia

masyarakat.

c) Memperkokoh perekonomian anggota dan masyarakat sebagai usaha dasar

kekuatan dan ketahanan perekonomian sosial.

3. Kredit Non Formal

Dalam mengakses ke lembaga kredit non formal, petani tidak harus menyerahkan

agunan dalam proses peminjamannya. Selain itu tidak membutuhkan waktu lama

dalam proses pencairannya. Hal ini merupakan salah satu alasan petani meminjam

dari kredit non formal. Adapun lembaga kredit non formal sebagai berikut :

a) Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA)

LKM pertanian memiliki peran strategis sebagai intermediasi dalam aktifitas

perekonomian bagi masyarakat tani yang selama ini tidak terjangkau jasa

pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional (Wijono, 2005).

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) semakin berkembang di perdesaan maupun di

perkotaan, mulai dari yang formal (dukungan pemerintah), semi formal hingga

yang non formal atau informal. Orientasi LKM lebih ditujukan pada usaha

ekonomi non pertanian, sedangkan LKM yang melayani permodalan di sektor

pertanian jumlahnya masih terbatas. Sedangkan menurut Hendayana, dkk.

(2007) inisiatif pembentukan LKM seiring diluncurkannya program

pembiayaan bagi usaha pertanian oleh Direktorat Pembiayaan Ditjen Bina Sarana

Pertanian tahun 2003. LKM diakomodasi dalam struktur kelembagaan Agro

Industrial Perdesaan (AIP) pada Program Rintisan Akselerasi Pemasyarakatan

Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMATANI) (BPTP, 2010).


28

LKM kembali dijadikan sarana pemberdayaan bagi Kelompok Tani penerima

Penguatan Modal Usaha Kelompok (PUMK) oleh Pusat Pembiayaan Pertanian.

Label Agribisnis pun disematkan sehingga menjadi LKM-Agribisnis. Keberadaan

LKM-Agribisnis dalam PUAP menjadi keharusan untuk mengelola keuangan

Gapoktan. Menurut Pusat Pembiayaan Pertanian (2007) LKM-Agribisnis

dijadikan salah satu unit permodalan Gapoktan yang ditumbuhkembangkan atas

inisiatif petani anggota kelompok tani dalam Gapoktan tesebut (BPTP, 2010).

Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) merupakan satu dari sekian

banyak lembaga keuangan yang terbentuk dari program-program pemberdayaan

masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan. Lembaga ini terbentuk dari

program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang berada di

bawah koordinasi Kementerian Pertanian. Wujud dari program PUAP adalah dana

Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp 100 juta yang disalurkan

langsung ke rekening Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) sasaran program.

Dana ini kemudian dikelola oleh unit usaha dalam GAPOKTAN dan di tahun ke-3

sejak penyaluran dana tersebut diharapkan berdiri sebuah Lembaga Keuangan

Mikro Agribisnis yang merupakan unit usaha mandiri milik GAPOKTAN yang

pengelolaannya terpisah dari GAPOKTAN itu sendiri. Secara khusus

pembentukan LKM-A bertujuan untuk: 1) Meningkatkan kemudahan akses petani

terhadap skim pembiayaan yang disediakan pemerintah atau pihak lainnya

2.)Meningkatkan produktifitas dan produksi usahatani/usaha ternak dalam rangka

mendorong tercapainya nilai tambah usahatani 3.) Mendorong pengembangan

ekonomi perdesaan dan lembaga ekonomi perdesaan, utamanya Gapoktan. Secara

khusus peran dari LKMA yaitu untuk menyediakan modal usahatani bagi petani
29

yang membutuhkan untuk kegiatan usahatani agar tidak meminjam kepada

pelepas uang yang keberadaanya sangat merugikan petani.

4. Kemitraan

1. Pola kemitraan inti plasma

Pola ini merupakan hubungan antara petani, kelompok tani , atau kelompok mitra

sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra uasha. Perusahaan inti

menyediakan lahan , sarana produksi , bimbingan teknis, manajemen, menampung dan

mengolah , serta memasarkan hasil produksi. Sementara itu kelompok mitri bertugas

memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan persyeratan yang telah ditentukan.

Keunggulan system inti-plasma :

 Tercipta saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan

 Tercipta peningkatan usaha

 Dapat mendorong perkembangan ekonomi

Kelemahan system inti-plasma :

 Pihak plasma masih kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga

kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan kurang lancer.contoh produk plasma

sering tidak dijual ke prusahaan inti.

 Komitmen perusahan inti masih lemah dalam memenuhi fungsi dan kewajibannya

sesuai dengan kesepakatan yang diharapkan plasma.

 Belum ada kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas

plasma sehingga terkadang perusahaan inti mempermainkan harga komoditas

plasma.

Solusi : Pemahaman tingkat ekonomi dan skala usaha, Kesepakatan atau perjanjian,

Kemampuan investasi perusahaan inti


30

2. Pola kemitraan subkontrak

Keunggulan

 Pola subkontrak ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak bersama ang

mencakup,volume, harga , mutu, dan waktu.

Kelemahan

 Hubungan subkontrak yang terjalin semakin lama semakin mengisolasi produsen

kecil dan mengarah ke monopoli atau monopsoni terutama dalam penyediaan

bahan baku serta dalam hal pemasaran

 Berkurangnya nilai-nilai kemitraan kedua belah pihak

 Control kualitas produk ketat tapi tidak diimbangi dengan system pembayaran yang

tepat

Solusi

 Asosiasi kelompok mitra yang terdiri dari beberapa usaha kecil perlu

dikembangkan

 Komponen – komponen kemitraan seperti pengembangan SDM, inovasi

teknologi,manajemen, dan permodalan harus diperhatikan

 Menumbuhkan rasa saling percaya antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra

dan sesame anggota kelompok mitra

3. Pola kemitraan dagang umum

Keunggulan

 Kelompok mitra atau koperasi tani berperansebagai pemasok kebutuhan yang

diperlukan perusahaan mitra. Sementara itu perusahaan mitra memasarkan produk

mitra ke konsumen. Kondisi tersebut menguntungkan kelompok mitra karena tidak

perlu bersusah payah memasarkan hasil produknya sampai ke tangan konsumen


31

Kelemahan

 Dalam praktiknya , harga dan volume produknya sering ditentukan sepihak oleh

pengusaha mitra sehingga merugikan pihak kelompok mitra

 Sistem perdagangan sering kali ditemukan berubah menjadi bentuk konsiyansi.

Solusi : Perlunya peningkatan komitmen perusahaan besar untuk menerapkan prinsip-

prinsip bermitra usaha, Mengembangkan asosiasi kelompok mitra, contoh gapoktan

4. Pola kemitraan keagenan

Keunggulan : Pola ini memungkinkan dilaksanakan oleh para pengusaha kecil ang urang

kuat modalnya karena biasanya menggunakan system mirip konsinyasi

Kelemahan

 Usah kecil mitra menetapkan harga produk secara sepihak sehingga harga menjad

tinggi di tingkat konsumen

 Usaha kecil sering memasarkan produk dari beberapa mitra usaha saja sehingga

kurang mampu membaca segmen pasar dan tidak memenuhi target

Solusi : Perlunya peningkatan profesionalisme, kepiawaian dalam mencari pelangganserta

memberikan pelayanan yang memuaskan kepada konsumen

5. Pola kemitraan kerja sama operasional agribisnis (KOA)

Keungulan pola koa ini sama dengan keunggulan system inti-plasma. Pola ini banyak

ditemukan pada masyarakat pedesaan antara usaha kecil di desa dengan usaha rumah

tangga dalam bentuk bagi hasil

Kelemahan adalah pengambilan untung olaeh perusahaan mitra yang menangani aspek

pemasaran dan pengolaan produk terlalu besar sehingga dirasakan kurang adil oleh

kelompok usaha kecil mitranya, perusahaan mitra cenderung monopsoni sehingga


32

memperkecil keuntungan yang diperoleh perusahaan kecil mitranya, belum ada pihak

ketiga yang berperan efektif dalam memecahkan permasalahan diatas. Adapun solusinya

adalah penyelesaian humanistis dan kekeluargaan

2.4. Risiko Komoditi Kopi di Indonesia

a. Sumber Risiko

1) Risiko Produksi

Sumber risiko produksi ceri kopi di Indonesia diidentifikasi terdapat 19


sumber risiko. Sumber-sumber risiko diantaranya adalah kegiatan
pemeliharaan yang tidak sesuai dengan SOP, serangan hama dan penyakit,
curah hujan yang tinggi, infrastruktur yang tidak mendukung, bibit yang
digunakan adalah bibit asal atau bibit yang bukan dari kebun entres atau
kebun yang bersertifikat, varietas tanaman tidak seragam, pengadaan saprodi
yang tidak terpenuhi, pemetikan buah yang belum masak (tidak merah), dan
bahan baku yang tidak sesuai. Berikut ini adalah gambar diagram fish bone
(diagram sebab-akibat) produksi ceri (budidaya).

Gambar 4. Risiko Produksi Komoditi Kopi


33

Sumber risiko produksi menyebabkan beberapa kendala dalam aktivitas

bisnis yang dilakukan, penurunan produktivitas, dan penambahan biaya

operasional. Penurunan produktivitas dapat berasal dari hama, dan penyakit,

curah hujan yang tinggi, pemeliharaan yang tidak sesuai dengan SOP yang

dikeluarkan oleh Puslitkoka, input produksi yang tidak sesuai, proses panen

yang salah. Penambahan biaya dari risiko produksi dapat terjadi karena green

bean yang rusak akibat mesin yang menyebabkan akan mengeluarkan biaya

tambah untuk sortasi green bean. Penambahan biaya operasional juga dapat

berasal dari bahan baku yang tidak sesuai yang menyebabkan harus

mengeluarkan biaya sortasi untuk memisahkan ceri yang sesuai dengan

standar kopi specialty dan yang tidak.

2) Risiko Finansial

Sumber risiko finansial juga merupakan menjadi permasalahan dalam proses

bisnis yang dilakukan usahatani Kopi di Indonesia. Modal yang terbatas,

pencatatan produksi dan keuangan yang belum tercatatan, tenggang waktu

pembayaran yang sering tertunda, dan kelembagaan keuangan seperti resi

gudang belum menjangkau usahatani kopi. Berikut ini adalah diagram fish

bone sumber dari risiko finansial.

Gambar 5. Risiko Finansial Komoditi Kopi


34

Penyebab risiko finansial di usahatani kopi di Indonesia adalah sistem

pembayaran tunda bayar, modal yang terbatas, biaya produksi yang tinggi,

belum adanya pencatatan, dan tidak adanya lembaga keuangan, seperti resi

gudang. Risiko-risiko tersebut menyebabkan kendala dalam bisnis yang

dilakukan oleh kelompok tani, seperti keterlambatan pembayaran kepada

kelompok dari konsumen karena sistem tunda bayar, produksi yang tidak

dapat maksimal dikarenakan modal yang terbatas dan terbatasnya lembaga

keuangan di tingkat kelompok, pengolahan yang tidak maksimal akibat biaya

produksi yang tinggi, dan kelompok tani tidak mengetahui cash flow

keuangan kelompok akibat dari tidak adanya pencatatan di kelompok.

3) Risiko Pasar

Risiko pasar dan harga yang terjadi di Kelompok Tani Maju Mekar bersumber

dari konsumen, dan kualitas produk. Berikut ini adalah diagram fishbone

sumber risiko pasar dan harga. Berikut ini adalah diagram fishbone risiko

pasar.

Gambar 6. Risiko Pasar Komoditi Kopi

Penyebab risiko dari sisi pasar kopi di Indonesia adalah perubahan permintaan

green bean, permintaan yang tidak terpenuhi, dan mutu yang yang sesuai, seperti

kadar air yang tidak sesuai dengan permintaan. Perubahan permintaan green bean
35

menyebakan perubahan keuntungan usahatani kopi, tidak terpenuhinya

permintaan menyebabkan usahatani kopi di Indonesia tidak dapat menghasilkan

keuntungan maksimal, dan membuka pasar untuk pesaingnya, kadar air yang tidak

sesuai dengan permintaan menyebabkan penurunan services level kelompok tani.

4) Risiko Sumber Daya Manusia

Risiko Sumber Daya Manusia yang terjadi di usatani kopi di Indonesia

bersumber dari tingkat pengetahuan, dan ketekunan petani dalam melakukan

pemeliharaan. Berikut ini adalah diagram fish bone sumber risiko sumber daya

manusia.

Gambar 5. Risiko Sumber Daya Manusia Komoditi Kopi

Penyebab risiko di usahatani kopi adalah ketekunan petani dalam melakukan

pemeliharaan, rendahnya konsistensi petani dalam melakukan pengolahan, dan

rendahnya tingkat pengetahuan. Rendahnya ketekunan petani dalam melakuakn

pemeliharaan menyebabkan rendahnya produktivitas di usahatani kopi, rendahnya

tingkat pengetahuan tentang budidaya menyebabkan kelompok tani tidak

melakukan pemeliharaan sesuai dengan SOP. Pemeliharaan yang tidak sesuai

dengan SOP menyebabkan produktivitas tanaman kopi rendah, dan rendah


36

konsitensi petani dalam melakukan pengolahan menyebabkan mutu produk di

usahatani tidak konsiten.

b. Strategi Pengendalian Risiko

Usaha Tani kopi di Indonesia mempuyai berbagai macam sumber risiko yang

harus dihadapi agar tidak menggangu aktivitas bisnis usaha tani yaitu modal

petani yang terbatas dengan cara memperbaiki system pembayaran tunda bayar

dengan sistem pembayaran diawal atau sistem pre order. Konsumen yang akan

memberi produk green bean. Usaha Tani kopi diwajibkan membayar uang muka

sebelum produk green bean dibeli oleh konsumen.

Aksi mitigasi yang dapat dilakukan untuk mencegah risiko finansial yang

bersumber dari belum adanya pencatatan produksi dan keuangan, dengan

melakukan pencatatan secara sederhana terutama untuk bahan baku produksi

(ceri), dan produk yang dihasilkan baik dari green bean, roast bean, dan ground

coffee yang tujuannya untuk mengetahui berapa besar uang yang harus

dikeluarkan untuk pembelian bahan baku (ceri), dan mengetahui berapa besar

uang yang diterima dari hasil penjualan produk tersebut. Tujuan pencatatan

keuangan di kelompok secara sederhana agar kelompok mengetahui bagaimana

keadaan cash flow uang yang dikelola di kelompok tani. Pencatatan cash flow

yang bertujuan melihat bagaimana likuiditas keadaaan keuangan usaha tani di

Indonesia.

Aksi mitigasi yang dapat dilakukan untuk mencegah sumber risiko pemupukan dan

kurangnya ketekunan petani dalam melakukan pemeliharaan adalah menanam tanaman

hortikultura sepeti tanaman wortel dan jahe dibawah tanaman kopi. Pemupukan yang

ditunjukan untuk tanaman wortel dan jahe dapat juga menyerap untuk tanaman kopi.

Petani juga dapat melakukan pemeliharaan hortikutura seperti wortel dan jahe bersamaan
37

dengan pemeliharaan tanaman kopi. Aksi mitigasi ini dalam penanaman tanaman

hortikutura juga harus diperhatikan. Tidak semua tanaman hortikultura dapat ditanam

dibawah tanaman kopi, Tanaman hortikultura sepeti kentang adalah salah satu tanaman

hortikultura yang kurang baik untuk ditanama dibawah tanaman kopi. Aksi mitigasi

lainya dari sumber risiko pemupukan yang tidak sesuai dengan SOP adalah dengan

menggunakan pupuk yang berasal dari sekitar seperti limbah kulit ceri kopi, kotoran

hewan ternak yang dimiliki, dan limbah organik yang berasal dari rumah tangga adalah

salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pencegahan sumber risiko yaitu pemupukan

tidak sesuai dengan SOP.

Ketinggian tempat penanaman kopi yaitu 800 mdpl dapat mempengaruhi produktivitas

tanaman kopi dan kualitas kopi yang dihasilkan. Ketinggian tempat penanaman kopi yaitu

800 mdpl dapat dilakukan aksi mitigasi dengan cara melakukan pemeliharaan sesuai

dengan SOP. Pemeliharaan tanaman kopi meliputi pemupukan, pemangkasan, dan

penyiangan gulma yangbtumbuh disekitar tanaman kopi.

Biaya produksi kopi yang tinggi disebabkan produksi kopi di usaha tani di Indonesia

yang masih sedikit sehingga menyebakan keuntungan yang diperoleh oleh petani masih

lebih kecil jika dibandikan dengan investasi yang dikeluarkan. Biaya produksi yang tinggi

dapat dilakukan aksi mitigasi dengan cara berkerja sama dengan kelompok tani dan mitra

usaha tani yang tujuan untuk penambahan bahan baku sehingga produksi yang dilakukan

oleh usaha tani kopi di Indonesia dapat optimal.


38

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

1. Pendanaan agribisnis memegang peranan penting dalam mendukung


peningkatan produksi, meningkatkan kesejahteran petani, dan
pembangunan pertanian.
2. Kondisi Eksisting modal mengalami peningkatan baik dalam investas
pertanian, nilai tukar petani (NTP), Kredit usaha rakyat (KUR) sehingga
meningkatkan kesejahteraan petani.
3. Sumber pendanaan kredit usaha tani adalah Modal sendiri, Kredit formal
(Bank, Baitul Maal Wa Tamul (BMT), Credit Union), Kredit Non Formal
(Lembaga keuangan mikro agribisnis (LKMA)), Kemitraan (Pola
Kemitraan Inti plasma, subkontrak, dagang umum, keagenan, kerja sama
operasional agribisnis (KOA)).
4. Risiko komoditi kopi di Indonesia adalah risiko produksi, risiko financial,
risiko pasar, dan risiko sumber daya manusia, dengan strategi
penanggulangan risiko dengan pemeliharaan kopi sesuai SOP, pencatatan
cash flow, memperbaiki sistem pembayaran di pasar, peningkatan kualitas
petani kopi

3.2. Saran

1. Petani diharapkan lebih memanfaatkan pembiayaan agribisnis baik dengan


pinjaman (kredit) dari kredit formal dan non formal maupun pola
kemitraan untuk kebutuhan usaha taninya sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan petani.
2. Pada lembaga pembiayaan agribisnis sebaiknya meningkatkan pelayanan,
sehingga lembaga pembiayaan agribisnis untuk menjadi lembaga
pemberdayaan manusia untuk mencapai tingkat kesejahteraan petani yang
lebih baik. Diharapkan agar memberikan motivasi dan mengarahkan
petani untuk menggunakan pinjaman pada kegiatan yang dapat
memberikan penghasilan dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

38
DAFTAR PUSTAKA

Anggara. 2015. Metode Penelitian Administrasi. Cetakan Pertama. Bandung :


Pustaka Setia

Ashari.2009. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di


Indonesia. Analisa kebijakan Pertanian (AKP), Vol 7 (1) :21-42. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Badan Pusat Statistik . 2019. Statistik Indonesia Tahun 2019. Jakarta Pusat :
Badan Pusat Statistik

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). 2010. Lembaga Keuangan Mikro


Agribisnis. Jakarta

Budiyoko. 2015. Koperasi Indonesia. Jakarta

Burhanuddin. 2003. Koperasi dan Pengaturannya di Indonesia. Malang : UIN


Maliki

Burhanuddin. 2010. Koperasi dan Pengaturannya di Indonesia. Malang : UIN


Maliki

Carolina Dan Sutarto. 2013. Peranan Credit Union Sebagai lembaga Pembiayaan
Mikrostudi Kasus: Pada Usaha Umkm Di Desa Tumbang Manggo
Kecamatan Sanaman. Mantikei, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan
Tengah. Studi Ilmu Ekonomi.Yogyakarta.

Hendayana. 2007. Dasar-Dasar Perbankan. Bumi Aksara, Jakarta.

Kasmir. 2012. Bank dan Lembaga Kuangan Lainnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Mubyarto.1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : Edisi ketiga

Ridwan. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta

Soekartawi. 1997. Agribisnis Teori Dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada.


Jakarta

Su’ud, H., 2005. Mewujudkan agribisnis Berkelanjutan Pasca Tsunami.

Sudarsono Heri. 2003. Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia,


Yogyakarta.
Supriyono. 2013. Kredit Perbankan. Jakarta : Rinika Cipta

Susilowati, Indah, (2002), Metode Valuasi Lingkungan, Modul ekonomi Sumber


Daya Alam dan Lingkungan (ESDAL). Semarang

Wijono, W. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai Salah Satu


Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai
Kemiskinan. Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan. Edisi Khusus, 9(4):
86100.

Anda mungkin juga menyukai