Anda di halaman 1dari 2

Beberapa hari kebelakang, hari-hariku terasa

sangatlah berat. Entah karena kondisi kesehatanku


yang memang buruk, atau mungkin pekerjaan
yang tidak kunjung selesai. Tiada hari yang
kurasakan tanpa diriku terasa terbebani. Kadang
aku suka berpikir, kapan aku bisa bebas dari
segala beban yang kurasakan.

Aku sedang bekerja di kubikelku yang


lumayan kecil, dan tiba-tiba teleponku berdering
kencang. Tom? Sudah lama aku tidak dapat
telepon darinya.

“Halo?”
“Hai Edward, apa kabar?”
“Baik, kok lo tiba-tiba nelfon? Kenapa?”
“Gw tuh pengen ngajak lo kemah di Gunung
St. Louis.”
“Kemah? Berdua doang?”
“Ya nggak lah, Ed. Kita berlima.”
“Yang lain udah lo ajak? Kapan?”
“Udah semua, rencananya sih Sabtu depan.”
“Oh yaudah, tapi nyiapinnya bareng yak.”
“Iya, Ed. Tenang aja. Eh gw dipanggil nih.”
“Ok, see you later.”

‘Kita berlima’, yang dimaksudnya aku dan


empat temanku, Tom, Katie, Amy, dan Daniel.
Kami telah bersahabat sejak kami kecil. Tom
adalah orang yang ceroboh. Katie memiliki sifat
kepemimpinan yang besar. Amy jarang peduli
dengan sekitar. Kalau Daniel, ia orang yang
pemberani.

Kami bertemu di satu supermarket untuk


membeli perlengkapan berkemah. Ini pertama
kalinya kami membeli perlengkapan berkemah,
karena kami belum pernah berkemah sebelumnya.
Awalnya, kami agak kebingungan, tetapi setelah
meminta pertolongan dari salah satu karyawan
supermarket agar tahu apa yang harus dibeli.
Akhirnya kami membeli tenda, senter, P3K,
makanan dan minuman, dan lain-lain.

Kami berangkat Sabtu pagi dari rumah Tom,


menuju ke hutan menaiki taksi. Sesampainya di
hutan, kami langsung melanjutkan perjalanan kami
dengan berjalan kaki. Setelah beberapa jam kami

menemukan tempat yang pas untuk berkemah


akhirnya kami mulai membagi tugas masing
masing dengan laki laki mecari kayu bakar dan
memasang tenda dan perempuan memasak.
Sebagai seorang lelaki sejati (anjay) aku lh

Anda mungkin juga menyukai