Anda di halaman 1dari 4

Keterkaitan antara Masalah Kesehatan Mental

dengan Faktor Komunikasi Efektif

A. Masalah Kesehatan (Kesehatan Mental)

Kesehatan mental merupakan komponen mendasar dari definisi kesehatan. Kesehatan


mental yang baik memungkinkan orang untuk menyadari potensi mereka, mengatasi tekanan
kehidupan yang normal, bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada komunitas mereka.
Oleh karena itu kesehatan mental tidak boleh di remehkan. Tetapi saat ini jumlah penderita
gangguan kesehatan mental tidak bisa ki, karena jumlah kasusnya saat ini masih cukup
mengkhawatirkan. Terdapat sekitar 450 juta orang menderita gangguan mental dan perilaku di
seluruh dunia. Diperkirakan satu dari empat orang akan menderita gangguan mental selama masa
hidup mereka.

Kondisi mental yang sehat pada tiap individu tidaklah dapat disamaratakan. Kondisi
inilah yang semakin membuat urgensi pembahasan kesehatan mental yang mengarah pada
bagaimana memberdayakan individu, keluarga, maupun komunitas untuk mampu menemukan,
menjaga, dan mengoptimalkan kondisi sehat mentalnya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

Tantangan lainnya adalah adanya stigma keliru tentang gangguan jiwa yang menghambat
akses ke pelayanan kesehatan sehingga mengakibatkan penanganan yang salah. Seperti laporan
Human Rights Watch Indonesia yang menyoroti buruknya penanganan di Indonesia terhadap
warga yangmengalami gangguan kesehatan jiwa. Diketahui bahwa lebih dari 57.000 orang
dengan disabilitas psikososial (kondisi kesehatan mental), setidaknya sekali dalam hidup mereka
pernah dipasung. Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anggota keluarga dengan
gangguan jiwa berat sebesar 14,3%, terbanyak pada penduduk yang tinggal di pedesaan (18,2%)
serta pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%).

B. Penyebab terjadinya masalah kesehatan mental dari aspek komunikasi

Penyebab terjadinya masalah kesehatan mental jika di nilai dari aspek komunikasi yaitu
kurangnya sosialisasi mengenai gejala-gejala awal seseorang yang mengalami gangguan mental
seperti sering cemas, stress, dan lain sebagainya. Namun, hal tersebut sering di sepelekan dan
masih dianggap dalam batas wajar. Padahal, gejala-gejala tersebut menjadi pemicu awal
seseorang terganggu kesehatan mentalnya. Selain gejala, ada beberapa hal yang perlu di
sosialisasikan kepada masyarakat yaitu bagaimana cara menghadapi dan menangani seseorang
dengan gangguan kesehatan mental. Masih banyak masyarakat yang menyiasati jika ada
seseorang atau keluarganya mengalami gangguan mental hal yang mereka lakukan adalah
memasung penderita. Tetapi, pamasungan boleh dilakukan jika penderita membahayakan oang
lain dengan syarat selalu membersihkan tempat pemasungan.

C. Bagamana penyelesaian masalah kesehatan gangguan mental yang dinilai dari aspek
komunikasi

Masalah kesehatan gangguan mental tidak bisa diselesaikan sepihak, perlu ada integrasi
antara unsur keluarga pasien dan masyarakat. Maka, penyelesaiannya dapat menggunakan aspek-
aspek komunikasi yaitu salah satunya dengan komunikasi publik. Komunikasi public adalah
komunikasi yang ditujukan dan di demonstrasikan dihadapan orang banyak, baik aktif maupun
pasif (Sosialisasi,dll).

Sosialisasi psikoedukasi kepada masyarakat sangat penting terutama penjelasan mengenai


pentingnya deteksi dini masalah kejiwaan. Selaini itu, perlu dijelaskan bahwa dukungan keluarga
bisa menjalankan peran sebagai pelindung utama pasien jiwa dan mampu menciptakan kondisi
emosi yang nyaman bagi mereka. Selain keluarga, peran masyarakat juga diharapkan untuk
meneruskan perilaku bebas stigma negatif terhadap pasien jiwa atau kesehatan mental.

Menurut Journal Penelitian Rasmawati dengan judul Studi Fenomenologi Pengalaman


Hidup Orang Dengan Gangguan Jiwa Pasca Pasung, dijelaskan bahwa beberapa penderita yang
dipasung dapat memberikan dampak, baik pada fisik, psikologis dan hubungan sosialnya untuk
beberapa pasien yang bereisiko membahayakan orang lain. Namun,masyarakat memiliki
pandangan yang salah. Mereka menggap semua penderita jika dilakukan pemasungan akan
mudah sembuh, tetapi pada kenyataanya terdapat 21% ODGJ mengalami cidera atau kondisi
kesehatan memburuk saat dipasung . Pembatasan fisik yang dilakukan pada pasien dapat
menyebabkan cidera pada ekstremitas, melarikan diri dari kekangan, jatuh dan terjadi perlukaan,
serta berisiko asfiksia. Tindakan pemasungan juga dapat mempengaruhi kondisi psikis ODGJ.
pada ODGJ yang telah dilakukan pemasungan dapat mengalami trauma, merasa dibuang, rendah
diri, putus asa dan menyebabkan ODGJ dendam pada keluarga. Selain itu, stigma dan
diskriminasi yang didapatkan ODGJ juga dapat semakin memperburuk keadaannya paling sering
dialami ODGJ yang dipasung. Pemasungan menyebabkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan
dasar hidup yang layak, termasuk kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan ODGJ yang. Pemasungan
sebagai suatu tindakan yang tidak manusiawi dapat merendahkan martabat serta menurunkan
kualitas hidup ODGJ sehingga pemerintah mencanangkan program Indonesia bebas pasung.

D. Rekomendasi

Pemerintah rutin mengadakan sosialisasi mengenai psikoedukasi salah satunya dengan


menjelaskan pengertiann kesehatan mental, bagaimana cara mencegah gangguan mental,
bagaimana menyediakan pelayanan, meningkatkan pemulihan, mempromosikan Hak Asasi
Manusia dan menurunkan kematian, kesakitan, dan kecacatan pada orang dengan gangguan
mental.

Upaya promotif kesehatan jiwa bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan


derajat kesehatan jiwa masyarakat, menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi
ODGJ, serta meningkatkan pemahaman, keterlibatan, dan penerimaan masyarakat terhadap
kesehatan jiwa.9 Oleh karena itu penting untuk melaksanakan upaya promotif di lingkungan
keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja, masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan, media
massa, lembaga keagamaan dan tempat ibadah, serta lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan.

Setiap negara dituntut agar memiliki kepekaan dan memprioritaskan kesehatan mental.
Advokasi dengan pemerintah diperlukan pada pendekatan pengembangan pelayanan kesehatan
mental yang costeffective dan berdasarkan komunitas. Selain itu, perlu adanya peraturan
kesehatan mental yang dapat meningkatkan akses melalui pendanaan layanan kesehatan mental
yang setara dengan layanan kesehatan fisik, atau dengan menetapkan bahwa layanan perlu
disediakan melalui pusat perawatan kesehatan primer (puskesmas) dan di rumah sakit umum.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai