Anda di halaman 1dari 83

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam dunia kesehatan terdapat banyak kondisi yang membuat timbulnya
masalah. Salah satunya ialah kondisi kegawat-daruratan. Kegawatdaruratan
merupakan suatu keadaan kritis yang mendadak atau tidak disangka-sangka yang
dapat mengancam jiwa dimana keadaan akhir pasien bergantung pada pemilihan
keputusan dalam ukuran yang lebih dari biasanya.
Angka kunjungan kasus kegawat-daruratan di dunia memiliki variasi dalam
jumlah kasus pada berbagai pusat kesehatan di berbagai negara. Berdasarkan suatu
observasi tercatat lebih dari 120 juta kasus kegawat-daruratan pada tahun 2009 di
Amerika (Wier, 2013). Angka ini mengalami peningkatan dari tahun 1991 sebanyak
44% hingga tahun 2010. Di Inggris tercatat sebanyak 41 juta kasus kegawatdaruratan
dalam periode tahun 2010 hingga 2013 berdasarkan suatu observasi yang dilakukan
oleh Quality Watch Research Program (Blunt, 2014). Sedangkan di Jepang berdasar-
kan data observasi tercatat sekitar 2,6 juta kasus terjadi pertahun di kota Osaka
(Katayama, dkk, 2016).
Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu unit pelayanan di rumah sakit
yang memberikan pertolongan pertama dan sebagai jalan pertama masuknya pasien
dengan kondisi gawat darurat. Keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan klinis
dimana pasien membutuhkan pertolongan medis yang cepat untuk menyelamatkan
nyawa dan kecacatan lebih lanjut (Depkes RI, 2009).
Kegawatdararutan medis dapat disebabkan karena trauma dan non-trauma. Pada
kasus trauma, cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak (13,1%). Pada
kasus kegawatdaruratan non trauma seperti Sindrom Koroner Akut (SKA), Syok
kardiogenik, Edema Paru Akut, dan Pneumotoraks.
Mengingat banyaknya angka kematian dari kasus kegawatdaruratan pada
penyakit kardiovaskular dan penyakit pada sistem pernapasan, maka pada Tugas

1
Pengenalan Profesi (TPP) blok XX traumatologi dan kegawatdaruratan medis
sehingga penulis merasa perlu untuk membahas mengenai “Observasi Pasien
Kegawatdaruratan non-trauma di IGD RS Bhayangkara”.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran umum dan penatalaksanaan pasien kegawatdaruratan non-
trauma di IGD RS Bhayangkara Palembang?

1.3 Tujuan Kegiatan


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengobservasi pasien kegawatdaruratan nontrauma di IGD RS
Bhayangkara Palembang.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus pada Tugas Pengenalan Profesi ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui manifestasi klinis pasien kegawatdaruratan nontrauma di
IGD RS Bhayangkara Palembang.
2. Untuk mengetahui penyebab yang dialami pasien kegawatdaruratan
nontrauma di IGD RS Bhayangkara Palembang
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien kegawatdaruratan non trauma di
IGD RS Bhayangkara Palembang.
4. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien
kegawatdaruratan non trauma di IGD RS Bhayangkara Palembang.

1.4 Manfaat Kegiatan


Manfaat dalam Tugas Pengenalan Profesi ini adalah:
1. Menambah ilmu tentang kasus kegawatdaruratan nontrauma dan cara
penatalaksanaan nya di IGD.

2
2. Menambah pengalaman dalam mengobservasi pasien kegawatdaruratan non
trauma di IGD.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kegawatdaruratan Non Trauma


Gawat adalah suatu keadaan yang sifatnya mengancam nyawa namun tidak
memerlukan penanganan yang segera. Daruratadalah suatu keadaan yang sifatnya
memerlukan penanganan yang segera (Feldman, 2014).
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011). Kegawatdaruratan
dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba
dan tidak terduga, serta membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan
jiwa/nyawa (Feldman, 2014).
Kegawatdaruratan nontrauma adalah situasi serius dan berbahaya yang terjadi
secara tiba-tiba dan tidak terduga, serta membutuhkan tindakan segera guna
menyelamatkan jiwa/nyawa yang bukan disebabkan oleh luka atau cedera pada tubuh,
melainkan disebabkan karena gangguan fisiologis organ suatu system dari dalam
tubuh (Syamsuhidayat, 2010).

2.2 Klasifikasi Kegawatdaruratan Non Trauma


Pada gangguan sistem kardiovaskular, beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan kegawatdaruratan medik adalah kedaruratan hipertensi, sindrom
coroner akut, gagal jantung kongestif, endocarditis, penyakit pericardium, penyakit
jantung structural, dan kedaruratan aorta (Henderson, 2013).
Pada kedaruratan paru, beberapa penyakit antara lain gagal napas akut (ARF),
asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, pneumonia, hemoptisis, efusi pleura,
pneumotoraks, dan emboli paru (Henderson, 2013).
Pada sistem digestif, beberapa penyakit yang dapat menyebabkan
kegawatdaruratan diantaranya disebabkan oleh infeksi, yaitu apendisitis akut dan
kolesistitis akut. Lalu kegawatdaruratan oleh obstruksi usus / ileus obstruksi yaitu

4
peritonitis akibat perdarahan saluran cerna, hematemesis karena ulkus peptikum,
gastritis erosif, varises esofagus, ruptur mukosa esofagogasrtika, serta hematochezia
(Mansjoer, 2010).

2.3 Etiologi Kegawatdaruratan Non Trauma


2.3.1 Etiologi Kegawatdaruratan Non Trauma Sistem Kardiovaskuler
Etiologi kegawatdaruratan non trauma pada kardiovaskuler diantaranya
disebabkan karenaseptikemia, penyakit valvular signifikan (stenosis aorta), gagal
jantung akut dan kronis, kardiomiopati (hipertropik, balon apikal), penyakit
infiltratif (amiloidosis, sarkoid, hemokromatosis, skleroderma), penyakit
inflamatoris (miokarditis atau meluasnya miokard dari perikarditis dan
endokarditis), obat-obat kardiotoksik (antrasilin, herseptin dan 5-fluorourasil),
kontusio jantung, takikardia atau bradikardia (Rampengan, 2015).
Congestive Heart Failure disebabkan oleh : 1) Kelainan otot jantung Gagal
jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit
degeneratif atau inflamasi. 2) Aterosklerosis coroner, mengakibatkan disfungsi
miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia
dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel
jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit
miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang
secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
3) Hipertensi sistemik atau pulmonal Meningkatkan beban kerja jantung dan pada
gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. 4) Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif Berhubungan dengan gagal jantung karena
kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas
menurun. 5) Penyakit jantung lain Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat
penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung.

5
Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk
jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan
mendadak afterload. 6) Faktor sistemik, terdapat sejumlah besar faktor yang
berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (misal: demam), hipoksia dan anemia diperlukan peningkatan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga
dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik
dan abnormalitas elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung (Dumitru,
2018).
Orang yang beresiko menderita Infark Miokard Akut atau IMA adalahorang
yang merokok, hiperlipidemia, hipertensi, diabetes, obesitas, gaya hidup banyak
duduk, dan stres. Jika dilihatdari jenis kelamin, pria yang berusia lebihdari 50
tahun, cenderung akan mengalami Infark Miokard Akut atau IMA seperti wanita
yang telah mengalami menopause atau pascamenopause (Steg, 2012).
Infark MiokardAkut atau IMA juga dapat terjadi pada orang yang memiliki
anggota keluarga dengan penyakit kardiovaskuler. Dari penelitian
diperolehsebanyak 38 (88,4%) orang laki-laki dan 5 (11,6%) orang perempuan
menderitainfark miokard. Penderita Infark Miokard Akut atau IMA paling banyak
berada pada usia 50-59 tahun, yaitu sebanyak 14 (32,6) pasien (Yasmin,2010).
Beberapafaktor resiko yang dapat diubah terbagi menjadi 2, yaitu mayor dan
minor. Adapunyang termasuk ke dalam kelompok mayor yaitu hiperlipidemia,
hipertensi,merokok, diabetes mellitus, diet tinggi lemak jenuh dan kalori,
sedangkan yangtermasuk ke dalam kelompok minor adalah inaktifitas fisik, pola
kepribadian tipeA (emosional, agresif, ambisius, kompetitif), dan juga stress
psikologis berlebihan (Steg, 2012).
Etiologi angina adalah akibat arterosklerosis, aorta insufisiensi, spasmus
arteri coroner, dan anemi berat.Penyebabnyaialah spasmepembuluh koroner,

6
penyumbatan sementaraoleh trombus dan trombus yang beragregasi (Budaj,
2008).
Stroke biasanya diakibatkan oleh salah satu dari empat kejadian : (1)
trombosis (bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher), (2) embolisme
serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh
lain), (3) iskemia (penurunan aliran darah ke area otak), (4) hemoragi serebral
(pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke jaringan otak atau
ruang sekitar otak). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak, yang
menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berfikir, memori,
bicara atau sensasi (Deb, 2010).

2.3.2 Etiologi Kegawatdaruratan Non Trauma Sistem Respirasi


Etiologi asma didasari oleh imunologik dan non imunologik. Asma alergik
(disebut ekstrinsik ) terjadi pada saat kanak – kanak terjadi karena kontak dengan
elergan dengan penderita yang sensitive. Asma non imunologik atau non alergik
(disebut instrinsik), biasanya terjadi pada usia diatas 35 tahun. Serangan
dicetuskan oleh infeksi pada sinus atau cabang pada bronchial (PDPI, 2009).
Asma campuran yang serangannya diawali oleh infeksi virus atau bacterial
atau oleh allergen. Pada saat lain serangan dicetuskan oleh factor yang berbeda
atau juga dapat di cetuskan oleh perubahan suhu dan kelembaban, uap yang
mengiritasi, asap, bau – bauan yang kuat, latihan fisik dan stress emosional
(PDPI, 2009).
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) adalah : 1. Kebiasaan merokok 2. Polusi udara 3. Paparan debu,asap,dan
gas-gas kimiawi akibat kerja 4. Riwayat infeksi saluran nafas 5. Bersifat genetik
yaitu difisiensi α-1 antitripsin merupakan predisposisi untuk berkembangnya
Penyakit Paru Obstruksi Kronik dini (PDPI, 2009).

7
Etiologi pada pneumonia oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-
akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram negative (PDPI, 2009).
Penyebab efusi pleura adalah peningkatan tekanan negatif intra pleura,
penurunan tekanan osmotik koloid darah, peningkatan tekanan kapiler subpleural,
dan adanya inflamasi atau neoplastic (Boka, 2017).

2.4 Manifestasi Klinis Kegawatdaruratan Non Trauma


2.4.1 Manifestasi Klinis Kegawatdaruratan Non Trauma Ssitem
Kardiovaskuler
2.4.1.1 Congestive Heart Failure
Manifestasi klinis pada Congestive Heart Failure antara lain (Dumitru,
2018):
a. Gejala yang dirasakan pasien bervariasi dari asimptomatis (tak
bergejala) hingga syok kardiogenik.
b. Gejala utama yang timbul adalah sesak nafas (terutama ketika bekerja)
dan kelelahan yang dapat menyebabkan intoleransi terhadap aktivitas
fisik. Gejala pulmonari lain termasuk diantaranya orthopnea, dyspnea,
dan batuk.
c. Tingginya produksi cairan menyebabkan kongesti pulmonari dan
oedema perifer.
d. Gejala yang dapat timbul diantaranyatermasuk nocturia, sakit pada bagian
abdominal, anoreksia, mual, kmbung, dan ascites.

8
2.4.1.2 Infark Miokard
Manifestasi klinis infark miokard (Yulong, 2014):
a. Angina/nyeri dada > 20 menit saat istirahat (prolonged angina)
b. Angina dengan onset yang baru (de novo) dengan tingkat CCS kelas
III
c. Destabilisasi dari angina yang sebelumnya masuk criteria angina stabil
dengan tingkat keparahan minimal CCS kelas III (crescend angina)
d. Angina pasca infark miokard
Manifestasi "prolonged angina" terjadi pada 80% pasien sedangkan "de
novo" atau "accelerated angina" terjadi pada 20 % pasien. Gejala klinis tipikal
SKA (sindrom koroner akut) yakni perasaan tertekan atau rasa berat di
retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher atau rahang dimana gejalanya
dapat hilang timbul atau persisten. Keluhan ini dapat diserta dengan diaphoresis,
nausea, nyeri perut, dyspnea dan sinkope. Beberapa presentasi klinis atipikal
juga tidak jarang ditemui, diantaranya nyeri ulu hati, nyeri dada seperti tertusuk
tusuk, nyeri dada dengan karakteristik pleuritik atau dyspnea yang makin berat.
Keluhan atipikal biasanya terlihat pada pasien yg lebih tua (umur 75 tahun),
wanita dan pasien dengan diabetes, pasien dengan gagal ginjal kronis atau pada
pasien dengan demensia. Tidak adanya gejala nyeri dada akan menyebabkan
ketidak tahuan akan adanya penyakit sehingga otomatis pemberian terapi juga
akan terlambat. Kesulitan dalam diagnostik tentu saja akan timbul apabila
ditemukan pasien dengan gejala tipikal namun dengan presentasi EKG yang
normal atau mendekati normal atau bahkan dengan presentasi EKG dasarnya
yang memang sudah abnormal oleh karena misalnya defek konduksi
intraventrikuler atau hipertropi ventrikel kiri (Yulong, 2014).
Pada pemeriksaan fisik seringkali normal. Apabila ditemukan tanda-tanda
gagal jantung atau instabilitas hemodinamik, sebaiknya segera ditentukan
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Peran penting dari pemeriksaan fisik
yakni untuk mengekslusi penyebab nyeri dada nonkardiak dan penyakit jantung

9
non-iskemik misalnya emboli paru, diseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung
valvular (Yulong, 2014).
Elektrokardiogram Pemeriksaan EKG 12 lead harus dikerjakan dalam 10
menit setelah pertama masuk ke rumah sakit. Karakteristik EKG pada SKA
dapat berupa ST depresi atau perubahan gelombang T, apabila ditemukan suatu
ST elevasi diagnosis STEMI dapat langsung ditegakkan. Jika EKG awal
normal, sebaiknya EKG diulang rekam kembali apabila pasien mangalami
gejala iskemik kembali dan hasilnya dibandingkan dengan EKG sewaktu tidak
ada keluhan. Membandingkan EKG dengan EKG sebelumnya sangat diperlukan
terutama pada pasien dengan koeksistensi penyakit jantung lainnya seperti
hipertropi ventrikel kiri dan infark miokard sebelumnya. Perekaman EKG
sebaiknya diulang sekurang-kurangnya pada 6, 9 dan 24 jam pertama kali
gejala. EKG sebelum keluar dari rumah sakit juga disarankan untuk memastikan
dan juga sebagai data EKG dasar untuk dibandingkan apabila pasien selanjutnya
mengalami serangan berulang. Yang perlu ditekan kan adalah bahwa EKG yang
normal sama sekali tidak dapat secara pasti menyingkirkan SKA. Iskemia yang
meliputi daerah arteri circumflex atau iskemia ventrikel kanan yang terisolasi
biasanya tidak terlihat di lead V7-V9 atau lead V3R dan V4R. Episode BBB
yang transien juga dapat terjadi pada serangan iskemia (Yulong, 2014).

Pada infark miokard, terdapat trias gejala klinis, yaitu (Steg, 2012):
1. Nyeri
Nyeri dada yang terjadi secara mendadak, sangat sakit, dan seperti
tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke bahu dan terus kebawah menuju lengan
kiri, dan leher. Biasanya diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas.
Terjadi lebih intensif dan menetap daripada angina (lebih dari 30 menit), tidak
sepenuhnya menghilang dengan istirahat maupun pemberian nitrogliserin,
sering disertai nausea, berkeringat, dan sangat menakutkan pasien. Pada

10
pemeriksaan fisik didapatkan muka pucat, takikardi, dan bunyi jantung III (bila
disertai gagal jantung kongestif (Steg, 2012).

2. Laboratorium
Jika bagian yang mati cukup besar, enzim akan dilepaskan dari sel
miokardium dalam aliran darah. Pada diagnosis AMI, yang penting bukan
banyaknya kadar konsentrasi enzim, tetapi nilai maksimalnya yang terjadi
hanya sementara (Steg, 2012).
 CPK-MB/CPK
Kreatinin kinase miokardium akan meningkat 4-6 jam, memuncak
pada 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam(Steg, 2012).
 LBH/HBDH
Laktat Dehidrogenasi miokardium meningkat dalam 12-24 jam dan
memakan waktu lama untuk kembali normal (Steg, 2012).
 ASAT/SGOT
Aspartan aminotransferase meningkat dalam 6-12 jam, memuncak
dalam 24 jam, kembali normal dalam 3-4 hari (Steg, 2012).

3. EKG
Ciri utama infark transmural adalah gelombang Q yang abnormal yang
berlangsung >0,04 detik dan voltasenya >25% dari keseluruhan voltase QRS.
Gelombang Q yang abnormal terjadi dalam jangka waktu satu hari, akibat
miokardium yang mengalami nekrosis tidak memberikan sinyal listrik sehingga
saat segmen miokardium iniharus terdepolarisasi (dalam 0,04 detik pertama),
vektor eksitasi dari bagian jantung yang normal dan berseberangan akan
mendominasi vektor penjumlahan. Karena itu “vektor 0,04” ini akan “meunjuk
keluar’ dari tempat infark, misalnya pada infar dinding anterior, sehingga kan
tercatat terutama pada V5, V6, I, dan aVL sebagai gelombang Q yang besar

11
(gelombang R yang kecil). Gelombang Q yang abnormal akan tetap ada selama
beberapa tahun kemudian sehingga bukan merupakan tanda diagnosa infark
akut (Steg, 2012).

Segmen ST elevasi pada EKG merupakan tanda iskemia, namun bukan


(belum) tanda kematian jaringan miokardium. Segmen ST elevasi terjadi (Steg,
2012):
– Selama serangan angina
– Pada infark nontransmural
– Pada permukaan infark transmural
– Pada batas infark transmural yang telah terjadi beberpa jam hingga
beberapa hari sebelumnya.
Segmen ST kembali normal dalam waktu satu hingga dua hari setelah MI,
namun beberpa minggu kemudian akan timbul gelombang T terbalik (Steg,
2012).

2.4.1.3 Angina
Angina tipikal diketahui dengan munculnya tiga fitur, yaitu
ketidaknyamanan yang mengganggu di dada, dan/atau leher, bahu, rahang atau
lengan, kemudian dipicu oleh aktivitas fisik atau stres psikologi, dan hilang
dengan beristirahat atau dengan nitrogliserin sekitar 5 menit. Jika hanya ada dua
dari fitur-fitur di atas, hal ini dianggap sebagai angina atipikal. Jika satu atau
tidak ada dari fitur-fitur tersebut yang muncul, pasien dianggap memiliki nyeri
dada non-angina. Angina kurang mungkin jika nyeri tak berkaitan dengan
aktivitas, dibawa oleh inspirasi, atau berhubungan dengan gejala-gejala seperti
jantung berdebar, kesemutan atau disfagia. Jika nyeri dada non-angina
didiagnosis maka penyebab lain untuk nyeri ini harus dipertimbangkan (Budaj,
2008).

12
STEMI didiagnosis dengan munculnya karakteristik nyeri dada yang lebih
dari 30 menit dan elevasi segmen-ST ≥ 2mV (2mm) pada dua atau lebih lead
perikordial atau > 1mV (1mm) pada dua atau lebih lead adjacent limb atau blok
berkas cabang baru. Pada pasien dengan tipe infark miokard yang berkembang
elevasi ST berkembang cepat (30 sampai 60 detik) setelah oklusi koroner, dan
biasanya berkaitan dengan oklusi total yang panjang dari arteri coroner, elevasi
ST selesai selama beberapa jam dalam merespon reperfusi koroner spontan atau
terapeutik. ST elevasi yang bertahan merupakan tanda dari gagalnya reperfusi,
dan berkaitan dengan infark yang besar dan prognosis yang parah. Inversi
gelombang-T, patologi gelombang Q dan hilangnya gelombang R sering
berkembang dalam zona infark ketika reperfusi terlambat atau tidak lengkap,
mengindikasi munculnya nekrosis miokard luas. Ketika reperfusi berhasil
muncul dengan cepat, dalam perjalanan waktu infark miokard elevasi ST
berkembang, akan ada sedikit nekrosis miokard, preservasi gelombang R dan
tanpa formasi gelombang Q. Kadang, terapi reperfusi bisa diberikan sangat
cepat dimana infark dibatalkan (Budaj, 2008).

2.4.1.4 Stroke
a. Stroke Iskemik
Tanda utama stroke iskemik adalah muncul secara mendadak defisit
neurologik fokal. Gejala baru terjadi dalam hitungan detik maupun menit, atau
terjadi ketika bangun tidur. Defisit tersebut mungkin mengalami perbaikan
dengan cepat, mengalami perburukan progresif, atau menetap (Deb, 2010).
Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau
tungkai, terutama di salah satu sisi tubuh; gangguan penglihatan seperti
penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau dua mata; bingung
mendadak; tersandung selagi berjalan; pusing bergoyang; hilangnya

13
keseimbangan atau koordinasi; dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang
jelas (Deb, 2010).
Mual dan muntah terjadi, khususnya stroke yang mengenai batang otak dan
serebelum (Fitzsimmons, 2007). Aktivasi kejang biasanya bukan sebagai gelaja
stroke. Nyeri kepala diperkirakan pada 25% pasien stroke iskemik, karena
dilatasi akut pembuluh kolateral (Deb, 2010).
Perkembangan gejala neurologis tergantung dari mekanisme stroke iskemik
dan derajat aliran darah kolateral. Pada semua subtipe infark, dari embolik ke
lakunar, terdapat gejala fluktuatif setelah onset, memperlihatkan variasi derajat
aliaran darah kolateral ke jaringan iskemik. TIA dijumpai pada 20% kasus
infark iskemik, walaupun TIA lebih berhubungan dengan aterosklerosis, TIA
dijumpai pada subtipe yang lain. Diperkirakan 10-30% pasien stroke iskemik
akut, defisit neurologik yang progresif pada 24-48 jam pertama yang disebut
stroke in evolution (Deb, 2010).
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak
mungkin berkaitan dengan gejala dan tanda berikut yang disebut sindrom
neurovaskular. Walaupun perdarahan di daerah vaskular yang sama mungkin
menimbulkan banyak efek yang serupa, gambaran klinis keseluruhan cenderung
berbeda karena, dalam perluasannya ke arah dalam, perdarahan dapat mengenai
lebih satu pembuluh. Selain itu, perdarahan menyebabkan pergeseran jaringan
dan meningkatkan tekanan intra kranial (TIK) (Deb, 2010).

b. Stroke Hemoragik
Gejala Perdarahan Intraserebral (PIS), gejala yang sering dijumpai pada
perdarahan intraserebral adalah nyeri kepala berat, mual, muntah, dan adanya
darah dirongga subarachnoid pada pemeriksaan fungsi lumbal merupakan gejala
penyerta yang khas (Shiber, 2010).
Gejala Perdarahan Subarakhoid (PSA), gejala yang sering dijumpai pada
perdarahan subarakhoid adalah nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan

14
punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapatfisik dapat
dilakukan dengan pemeriksaan kaki kuduk, lasegue dan kering
untuk mengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika terasa nyeri maka telah
terjadi gangguan pada fungsi saraf (Shiber, 2010).
Gejala Perdarahan Subdural, pada penderita perdarahan subdural akan
dijumpai gejala adalah nyeri kepala, tajam penglihatan mundur akibat edema
pupil yang terjadi, tanda-tanda deficit neurologik daerah otak yang tertekan.
Gejala ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah terjadinya
trauma kepala (Shiber, 2010).

2.4.2 Manifestasi Klinis Kegawatdaruratan Non Trauma Sistem Respirasi


2.4.2.1 Asma
Manifestasi klinis pada asma, biasanya pada penderita yang sedang bebas
serangan tidak ditemukan gejala klinis,tapi pada saat serangan penderita tampak
bernafas cepat dan dalam, gelisah,duduk dengan menyangga ke depan, serta
tanpa otot-otot bantu pernapasan bekerjadengan keras.Gejala klasik dari asma
bronkial ini adalah sesak nafas, mengi (whezing),batuk, dan pada sebagian
penderitaada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu
dijumpai bersamaan.Padaserangan asma yang lebih berat, gejala-gejala yang
timbul makinbanyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran,
hyperinflasi dada,tachicardi dan pernafasan cepatdangkal. Serangan asma
seringkali terjadi pada malam hari (Kabat, 2010).
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat
hiperaktifitas bronkus.Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan
maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain bising mengi
(Wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop, batuk produktif, sering
pada malam hari, nafas atau dada seperti tertekan (Muchid, 2008).
2.4.2.2 PPOK

15
Pada pneumonia, gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam,
menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400 C, batuk dengan dahak
mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada
(PDPI, 2009).
PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan
tanda dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis,
keganasan dan penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis
lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis (PDPI, 2009).
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai
berikut (PDPI, 2009):
a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2
tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi
pada malam hari.
b. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang
kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai
batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari
ketika bangun tidur.
c. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan
teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.
Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan
riwayat pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko
yangterlibat. Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih
dari80% kematian pada penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang

16
yangmerokok memiliki resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang
tidakmerokok. Resiko untuk perokok aktif sekitar 25%(PDPI, 2009).
Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus
PPOK. Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada
perokokpasif, paparan kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit
pernapasanketika masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan
defisiensi α1-antitripsin (PDPI, 2009).
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya
padaanamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai
batukkronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat
melakukanaktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih
tua (PDPI, 2009).

2.4.2.3 Pneumonia
Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau
bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk
karena nyeri dada.Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding
dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil
fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat
cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub (PDPI,
2009).

2.4.2.4 Efusi Pleural


Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura

bergantung pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil

sering tidak bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah yang besar namun proses

17
akumulasinya berlangsung perlahan hanya menimbulkan sedikit atau bahkan

tidak menimbulkan gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi sebagai akibat

penyakit inflamasi, maka gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada

saat awal proses dan gejala dapat menghilang jika telah terjadi akumulasi

cairan (Boka, 2017).

Gejala yang biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup

besar yakni nafas terasa pendek hingga sesak nafas yang nyata dan progresif,

kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada area yang terlibat,

khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada meningkatkan

kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma atau infark

pulmoner. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika cairan

terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih

berat dan atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda dari

penyakit dasarnya seperti pneumonia atau lesi endobronkial (Boka, 2017).

Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada

pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat

pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll. Riwayat pekerjaan

seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini dapat

meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obat-obat

yang selama ini dikonsumsi pasien(Boka, 2017).

2.5 Patofisiologi Kegawatdaruratan Non Trauma

18
2.5.1 Patofisiologi Kegawatdaruratan NonTrauma Sistem Kardiovaskuler
2.5.1.1 Congestive Heart Failure
Keadaan patofisiologi umum yang menyebabkan terjadinya perkembangan
gagal jantung adalah sangat kompleks, terlepas dari kejadian yang mencetuskan.
Mekanisme kompensasi ada di setiap tingkat organisasi, mulai dari subselular
hingga interaksi organ-ke-organ. Hanya ketika jaringan adaptasi ini menjadi
kewalahan, gagal jantung akan terjadi (Dumitru, 2018).
Yang paling penting dalam menyebabkan CHFdi antaranya adalah adaptasi
yaitu sebagai berikut, (1) mekanisme Frank-Starling, di mana preload yang
meningkat membantu mempertahankan kinerja jantung, (2) perubahan dalam
regenerasi dan kematian myocyte, (3) hipertrofi miokard dengan atau tanpa
dilatasi ruang jantung, di mana massa jaringan kontraktil bertambah, (4) aktivasi
sistem neurohumoral, (5) pelepasan norepinefrin oleh saraf jantung adrenergik
menambah kontraktilitas miokard dan termasuk aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron [RAAS], sistem saraf simpatetik [SNS], dan
penyesuaian neurohumoral lainnya yang berfungsi untuk mempertahankan
tekanan arteri dan perfusi organ vital (Dumitru, 2018).
Pada gagal jantung akut, mekanisme adaptif yang terbatas yang mungkin
cukup untuk mempertahankan kinerja kontraktil keseluruhan jantung pada
tingkat yang relatif normal menjadi maladaptif ketika mencoba untuk
mempertahankan kinerja jantung yang memadai (Dumitru, 2018).
Respon miokardial primer terhadap stres dinding yang meningkat kronis
adalah hipertrofi miosit, kematian / apoptosis, dan regenerasi. Proses ini
akhirnya mengarah pada renovasi, biasanya tipe eksentrik. Remodeling
eksentrik lebih lanjut memperburuk kondisi pemuatan pada sisa miosit dan
melanggengkan siklus yang merusak. Ide menurunkan tekanan dinding untuk
memperlambat proses remodeling telah lama dimanfaatkan dalam merawat
pasien gagal jantung (Dumitru, 2018).

19
Pengurangan cardiac output setelah cedera miokardial menjadi gerakan
riam gangguan hemodinamik dan neurohormonal yang memicu aktivasi sistem
neuroendokrin, terutama sistem adrenergik yang disebutkan di atas dan RAAS
(Dumitru, 2018).
Pelepasan epinefrin dan norepinefrin, bersama dengan zat vasoaktif
endotelin-1 (ET-1) dan vasopresin, menyebabkan vasokonstriksi, yang
meningkatkan kelebihan kalsium dan, melalui peningkatan siklik adenosin
monofosfat (cAMP), menyebabkan peningkatan masuk kalsium sitosol .
Peningkatan masuknya kalsium ke dalam miosit meningkatkan kontraktilitas
miokard dan merusak relaksasi miokard (lusitropy) (Dumitru, 2018).
Kalsium yang berlebihan dapat menyebabkan aritmia dan menyebabkan
kematian mendadak. Peningkatan afterload dan kontraktilitas miokard (dikenal
sebagai inotropi) dan gangguan pada lusitropi myocardial menyebabkan
peningkatan pengeluaran energi miokard dan penurunan lebih lanjut pada curah
jantung. Peningkatan pengeluaran energi miokard menyebabkan kematian /
apoptosis sel miokard, yang menyebabkan gagal jantung dan penurunan lebih
lanjut pada curah jantung, mengabadikan siklus stimulasi neurohumoral yang
meningkat dan respon hemodinamik dan miokard yang merugikan (Dumitru,
2018).
Selain itu, aktivasi RAAS mengarah pada retensi garam dan air, yang
mengakibatkan peningkatan preload dan peningkatan lebih lanjut dalam
pengeluaran energi miokard. Meningkatnya renin, dimediasi oleh peregangan
menurun dari arteri aferen glomerulus, mengurangi pengiriman klorida ke
makula densa dan meningkatkan aktivitas beta1-adrenergik sebagai respon
terhadap penurunan curah jantung. Hal ini menghasilkan peningkatan kadar
angiotensin II (Ang II) dan, pada gilirannya, kadar aldosteron, menyebabkan
stimulasi pelepasan aldosteron. Ang II, bersama dengan ET-1, sangat penting
dalam mempertahankan homeostasis intravaskular efektif sebagai mediated oleh

20
vasokonstriksi dan garam dan retensi air yang diinduksi aldosterone (Dumitru,
2018).
Konsep hati sebagai organ pembaruan diri adalah perkembangan yang
relatif baru. Paradigma ini untuk biologi miosit menciptakan seluruh bidang
penelitian yang ditujukan langsung untuk menambah regenerasi miokard.
Tingkat omset myocyte telah terbukti meningkat selama masa stres patologis.
Pada gagal jantung, mekanisme penggantian ini menjadi kewalahan oleh
peningkatan yang lebih cepat dalam tingkat kehilangan myosit.
Ketidakseimbangan hipertrofi dan kematian selama regenerasi adalah jalur
umum akhir pada tingkat sel untuk perkembangan remodeling dan gagal jantung
(Dumitru, 2018).
Angiotensin II, penelitian menunjukkan bahwa produksi Ang II jantung
lokal (yang menurunkan lusitropi, meningkatkan inotropi, dan meningkatkan
afterload) menyebabkan peningkatan pengeluaran energi miokard. Ang II juga
telah ditunjukkan secara in vitro dan in vivo untuk meningkatkan tingkat
apoptosis miosit. Dalam mode ini, Ang II memiliki tindakan serupa untuk
norepinefrin pada gagal jantung (Dumitru, 2018).
Ang II juga memediasi hipertrofi seluler miokard dan dapat meningkatkan
hilangnya fungsi miokard progresif. Faktor-faktor neurohumoral di atas
menyebabkan hipertrofi miosit dan fibrosis interstisial, menghasilkan
peningkatan volume miokardial dan peningkatan massa miokard, serta
kehilangan miosit. Akibatnya, perubahan arsitektur jantung yang, pada
gilirannya, menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam volume dan massa
miokard (Dumitru, 2018).
Myocytes dan remodeling miokard, pada gagal jantung, peningkatan
volume miokard ditandai oleh miosit yang lebih besar mendekati akhir siklus
hidup mereka. Semakin banyak myocytes drop out, beban yang meningkat
ditempatkan pada miokardium yang tersisa, dan lingkungan yang tidak

21
menguntungkan ini ditransmisikan ke sel progenitor yang bertanggung jawab
untuk menggantikan myocytes yang hilang (Dumitru, 2018).
Sel progenitor menjadi semakin kurang efektif karena proses patologis
yang mendasari memburuk dan kegagalan miokard meningkat. Fitur-fitur ini —
yaitu, peningkatan volume dan massa miokard, bersama dengan kehilangan
bersih miosit — adalah ciri khas remodeling miokard. Proses remodeling ini
mengarah pada mekanisme adaptasi awal, seperti augmentasi volume stroke
(mekanisme Frank-Starling) dan penurunan tekanan dinding (hukum Laplace)
dan, kemudian, mekanisme maladaptif seperti peningkatan kebutuhan oksigen
miokard, iskemia miokard, gangguan kontraktilitas, dan aritmogenesis
(Dumitru, 2018).
Karena kemajuan gagal jantung, ada penurunan relatif dalam efek
counterregulatory dari vasodilator endogen, termasuk nitrat oksida (NO),
prostaglandin (PG), bradikinin (BK), peptida natriuretik atrium (ANP), dan
peptida natriuretik tipe B (BNP). Penurunan ini terjadi bersamaan dengan
peningkatan zat vasokonstriktor dari Raas dan sistem adrenergik, yang
mendorong peningkatan lebih lanjut dalam vasokonstriksi dan dengan demikian
preload dan afterload. Hal ini menyebabkan proliferasi sel, remodeling miokard
yang buruk, dan antinatriuresis, dengan kelebihan cairan tubuh dan
memburuknya gejala gagal jantung (Dumitru, 2018).
Kegagalan sistolik dan diastolic, kegagalan jantung sistolik dan diastolik
masing-masing menghasilkan penurunan volume stroke. Hal ini menyebabkan
aktivasi baroreflexes perifer dan pusat dan chemoreflexes yang mampu
memunculkan peningkatan yang ditandai dalam lalu lintas saraf simpatik
(Dumitru, 2018).
Meskipun ada kesamaan dalam respon neurohormonal terhadap penurunan
volume stroke, kejadian yang dimediasi neurohormone yang mengikuti telah
paling jelas dijelaskan untuk individu dengan gagal jantung sistolik. Ketinggian
berikutnya dalam plasma norepinefrin secara langsung berkorelasi dengan

22
tingkat disfungsi jantung dan memiliki implikasi prognostik yang signifikan.
Norepinephrine, sementara secara langsung beracun untuk myocytes jantung,
juga bertanggung jawab untuk berbagai kelainan transduksi sinyal, seperti
downregulation reseptor beta1-adrenergik, uncoupling reseptor beta2-
adrenergik, dan peningkatan aktivitas penghambatan G-protein. Perubahan
reseptor beta1-adrenergik menghasilkan overekspresi dan meningkatkan
hipertrofi miokard (Dumitru, 2018).
Peptida natriuretik atrium dan peptida natriuretik tipe B, ANP dan BNP
adalah peptida yang dihasilkan secara endogen yang diaktifkan sebagai respons
terhadap ekspansi volume/tekanan atrium dan ventrikel. ANP dan BNP
dilepaskan dari atrium dan ventrikel, masing-masing, dan keduanya
mempromosikan vasodilatasi dan natriuresis. Efek hemodinamik mereka
dimediasi oleh penurunan tekanan pengisian ventrikel, karena pengurangan
preload dan afterload jantung. BNP, khususnya, menghasilkan vasodilatasi
arteriol aferen selektif dan menghambat reabsorpsi natrium di tubulus proksimal
yang berbelit-belit. Ini juga menghambat pelepasan renin dan aldosteron dan,
oleh karena itu, aktivasi adrenergik. ANP dan BNP meningkat pada gagal
jantung kronis. BNP terutama memiliki implikasi diagnostik, terapeutik, dan
prognostik yang penting (Dumitru, 2018).
Sistem vasoaktif lain yang berperan dalam patogenesis gagal jantung
termasuk sistem reseptor ET, sistem reseptor adenosin, vasopressin, dan tumor
necrosis factor-alpha (TNF-alfa). ET, zat yang dihasilkan oleh endotelium
vaskular, dapat berkontribusi pada pengaturan fungsi miokard, tonus pembuluh
darah, dan resistensi perifer pada gagal jantung. Peningkatan kadar ET-1
berhubungan erat dengan tingkat keparahan gagal jantung. ET-1 adalah
vasokonstriktor kuat dan memiliki efek vasokonstriktor berlebihan dalam
pembuluh darah ginjal, mengurangi aliran darah plasma ginjal, laju filtrasi
glomerulus (GFR), dan ekskresi natrium (Dumitru, 2018).

23
TNF-alpha telah terlibat dalam menanggapi berbagai kondisi infeksi dan
inflamasi. Peningkatan kadar TNF-alpha telah secara konsisten diamati pada
gagal jantung dan tampaknya berkorelasi dengan tingkat disfungsi miokard.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa produksi lokal TNF-alpha mungkin
memiliki efek toksik pada miokardium, sehingga memperburuk fungsi sistolik
dan diastolik miokard (Dumitru, 2018).
Pada individu dengan disfungsi sistolik, oleh karena itu, respon
neurohormonal terhadap penurunan volume stroke menghasilkan perbaikan
sementara pada tekanan darah sistolik dan perfusi jaringan. Namun, dalam
semua keadaan, data yang ada mendukung gagasan bahwa respon
neurohormonal ini berkontribusi pada perkembangan disfungsi miokard dalam
jangka panjang (Dumitru, 2018).
Gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang diawetkan, pada gagal jantung
diastolik (gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang diawetkan [HFpEF]), proses
patofisiologi yang sama terjadi yang menyebabkan penurunan curah jantung
pada gagal jantung sistolik, tetapi mereka melakukannya sebagai respons
terhadap serangkaian faktor lingkungan hemodinamik dan peredaran darah yang
berbeda yang menekan curah jantung (Dumitru, 2018).
Dalam HFpEF, perubahan relaksasi dan peningkatan kekakuan ventrikel
(karena penundaan pengambilan kalsium oleh retikulum sarkoplasma myocyte
dan penghabisan kalsium yang tertunda dari miosit) terjadi sebagai respons
terhadap peningkatan afterload ventrikel (tekanan yang berlebihan). Relaksasi
ventrikel yang terganggu kemudian menyebabkan gangguan pengisian diastolik
ventrikel kiri (LV) (Dumitru, 2018).
Morris dkk menemukan bahwa disfungsi sistolik subendocardial kanan
ventrikel (RV) dan disfungsi diastolik, seperti yang dideteksi oleh pencitraan
laju regangan echocardiographic, adalah umum pada pasien dengan HFpEF.
Disfungsi ini berpotensi terkait dengan proses fibrotik yang sama yang
mempengaruhi lapisan subendokard pada LV dan, pada tingkat lebih rendah,

24
dengan tekanan RV yang berlebihan. Ini mungkin memainkan peran dalam
simptomatologi pasien dengan HFpEF (Dumitru, 2018).
Kekakuan ruang LV, peningkatan kekakuan ruang LV terjadi sekunder
untuk salah satu, atau kombinasi apa pun, dari tiga mekanisme berikut, bangkit
dalam tekanan pengisian, bergeser ke kurva volume-tekanan ventrikel yang
curam, penurunan distensibilitas ventrikel, kenaikan tekanan pengisian adalah
gerakan ventrikel di sepanjang kurva tekanan-volume ke bagian yang lebih
curam, yang mungkin terjadi pada kondisi seperti kelebihan volume sekunder
akibat regurgitasi valvular akut atau gagal ventrikel kiri akibat miokarditis
(Dumitru, 2018).
Pergeseran ke hasil kurva volume-volume ventrikel yang curam, paling
sering, tidak hanya dari peningkatan massa ventrikel dan ketebalan dinding
(seperti yang diamati pada stenosis aorta dan hipertensi lama) tetapi juga dari
gangguan infiltratif (misalnya, amiloidosis), fibrosis endomiokardial, dan
iskemia miokard (Dumitru, 2018).
Perpindahan ke atas paralel dari kurva volume-tekanan diastolik umumnya
disebut sebagai penurunan distensibilitas ventrikel. Ini biasanya disebabkan
oleh kompresi ekstrinsik dari ventrikel (Dumitru, 2018).
Concentric LV hypertrophy, tekanan yang berlebihan yang mengarah pada
hipertrofi ventrikel LV (LVH), seperti yang terjadi pada stenosis aorta,
hipertensi, dan kardiomiopati hipertrofik, menggeser kurva volume tekanan
diastolik ke kiri sepanjang sumbu volumnya. Akibatnya, tekanan diastolik
ventrikel meningkat secara abnormal, meskipun kekakuan ruang mungkin atau
tidak dapat diubah (Dumitru, 2018).
Peningkatan tekanan diastolik menyebabkan peningkatan pengeluaran
energi miokard, remodelling ventrikel, peningkatan kebutuhan oksigen miokard,
iskemia miokard, dan perkembangan akhir mekanisme maladaptif jantung yang
menyebabkan gagal jantung dekompensata (Dumitru, 2018).

25
Aritmia, meskipun ritme yang mengancam jiwa lebih sering terjadi pada
kardiomiopati iskemik, aritmia memberikan beban yang signifikan dalam semua
bentuk gagal jantung. Bahkan, beberapa aritmia bahkan mengabadikan gagal
jantung. Yang paling signifikan dari semua ritme yang berhubungan dengan
gagal jantung adalah aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Substrat
struktural untuk aritmia ventrikel yang umum terjadi pada gagal jantung,
terlepas dari penyebab yang mendasari, termasuk dilatasi ventrikel, hipertrofi
miokard, dan fibrosis miokard (Dumitru, 2018).
Pada tingkat sel, miosit mungkin terkena peningkatan peregangan,
ketegangan dinding, katekolamin, iskemia, dan ketidakseimbangan elektrolit.
Kombinasi dari faktor-faktor ini berkontribusi terhadap peningkatan insiden
kematian jantung mendadak aritmogenik pada pasien dengan gagal jantung
(Dumitru, 2018).

2.5.1.2 Infark Miokard


Pada cedera miokard dan kematian sel miokard, secara fisiologis agar
jantung normal terus berfungsi dan memompa darah secara terus-menerus untuk
memenuhi kebutuhan tubuh, ia harus memiliki pasokan oksigen dan nutrisi
yang selalu disediakan terutama oleh sirkulasi koroner. Suatu kondisi yang
disebut myocardial ischemia terjadi jika suplai darah ke miokardium tidak
memenuhi permintaan. Jika ketidakseimbangan ini berlanjut, maka memicu
kaskade sel, inflamasi dan peristiwa biokimia, yang pada akhirnya mengarah
pada kematian sel otot jantung yang tidak dapat diubah lagi, yang
mengakibatkan MI (Zafari, 2018).
Evolusi MI dan remodeling ventrikel, spektrum cedera miokard tidak
hanya bergantung pada intensitas perfusi miokard yang terganggu tetapi juga
pada durasi dan tingkat permintaan metabolik pada saat kejadian. Hilangnya
kemampuan sel otot jantung untuk berkontraksi dapat diamati sedini mungkin
dalam waktu 60 detik. Ketahanan kekurangan oksigen ke miokardium melalui

26
penghentian suplai darah akan menyebabkan cedera miokard yang tidak dapat
diperbaiki dalam 20 hingga 40 menit dan hingga beberapa jam, tergantung pada
beberapa faktor termasuk keadaan metabolisme tubuh yang ada dan adanya
aliran darah kolateral koroner (Zafari, 2018).
MI pada awalnya bermanifestasi sebagai nekrosis koagulasi yang pada
akhirnya diikuti oleh proses penyembuhan yang ditandai dengan pembentukan
jaringan parut miokard, yang dikenal sebagai fibrosis miokard. Mekanisme ini
memungkinkan perubahan arsitektur yang signifikan terhadap komposisi,
bentuk dan fungsi kontraktil miokardium, terutama di ventrikel kiri, yang
merupakan penyumbang utama fungsi kontraktil jantung. Akhirnya ventrikel
kiri melebar dan berubah menjadi bentuk yang lebih bulat, dalam proses yang
dikenal sebagai remodeling ventrikel. Meskipun merupakan proses yang tidak
dapat diubah, remodeling ventrikel adalah proses yang diatur, oleh karena itu,
strategi pengobatan khusus dan agen harus digunakan dalam manajemen MI
akut untuk mengurangi terjadinya dan keparahan remodeling ventrikel (Zafari,
2018).
Cedera reperfusi. Dalam beberapa kesempatan, pemulihan aliran darah ke
miokardium yang rusak memicu kerusakan sel iskemik lebih lanjut, efek
paradoksis ini dikenal sebagai cedera reperfusi. Proses ini melibatkan interaksi
kompleks antara radikal bebas oksigen dan kalsium intraseluler, yang
menyebabkan percepatan kerusakan miokard dan kematian, disfungsi
mikrovaskular dan aritmia yang fatal. Peran nitrit oksida (faktor relaksasi yang
diturunkan dari endothelium) sebagai agen kardioprotektif terhadap cedera
reperfusi, telah ditunjukkan, karena oksida nitrat bekerja untuk menonaktifkan
radikal bebas oksigen, oleh karena itu, memperbaiki proses cedera reperfusi.
Meskipun pemahaman yang meningkat tentang proses cedera reperfusi, tidak
ada terapi khusus untuk mencegahnya (Zafari, 2018).
Stunned Myocardium dan hibernasi. Stunned Myocardium adalah kondisi
disfungsi ventrikel kiri sementara setelah kejadian iskemik pada miokardium.

27
Ini terjadi jika aliran darah koroner terganggu untuk jangka waktu singkat (5
hingga 15 menit). Biasanya, miokardium tertegun bertahan selama berjam-jam
atau berhari-hari setelah pembentukan kembali aliran darah koroner. Namun,
eksposur yang lama dari miokardium ke keadaan iskemik, menghasilkan
gangguan fungsi kontraktilnya, yang dapat parsial atau lengkap, ini dikenal
sebagai hibernasi miokardial, dan dapat dibalik dengan revaskularisasi. Kedua
stunned myocardium dan hibernasi terjadi karena hilangnya metabolit esensial
yang diperlukan untuk kontraktilitas miokard normal, seperti adenosine, yang
diperlukan untuk kontraksi adenosine triphosphate (ATP) (Zafari, 2018).
Plak, plak atheromatous yang bertanggung jawab untuk MI akut
berkembang dalam proses dinamis dalam beberapa tahap. Dimulai dengan
penebalan intima arteri, yang terdiri dari otot polos vaskular dengan sel-sel
inflamasi yang sangat minimal atau tidak ada, proses ini dapat diamati segera
setelah lahir. Selanjutnya, pembentukan fibrous cap atheroma terjadi, yang
memiliki inti nekrotik kaya lipid yang dikelilingi oleh jaringan fibrosa.
Akhirnya, fibroatheroma tipis-topi berkembang, ini juga dikenal sebagai plak
rentan yang tersusun terutama dari inti nekrotik besar yang terpisah dari lumen
vaskular oleh topi fibrosa tipis yang diinfiltrasi oleh sel-sel inflamasi dan
kekurangan sel otot polos, membuatnya rentan pecah. Proses trombosis koroner
akut yang mengarah ke ACS melibatkan mekanisme patogenik dari ruptur plak,
dan erosi plak yang lebih jarang (Zafari, 2018).
Kelompok Studi Jantung Brasilia menunjukkan bahwa perubahan dalam
high-density lipoprotein (HDL) selama MI dapat mengubah fungsi
antiatherogenic HDL untuk mengangkut lipid dari dinding arteri. Para peneliti
mencatat penurunan simultan dalam transfer lipid ke HDL dan dalam kapasitas
HDL untuk penghabisan kolesterol dari sel-sel terjadi pada periode akut setelah
MI (Zafari, 2018).
Dalam studi kasus terkontrol yang mengevaluasi asosiasi penanda
metabolik plasma dengan risiko kejadian MI, stroke iskemik, dan perdarahan

28
intraserebral, para peneliti menemukan hubungan positif lipoprotein dan lipid
dengan MI dan stroke iskemik tetapi tidak dengan hemorrohage intracerebral,
juga sebagai asosiasi positif antara konsentrasi trigliserida dan MI. Kecuali
untuk HDL kecil, ada juga asosiasi inversi partikel HDL dengan MI, dan
hubungan terbalik kolesterol dalam HDL besar dengan MI dan stroke iskemik.
Kohort penelitian termasuk 912 pasien dengan MI, 1146 dengan stroke iskemik,
1138 dengan perdarahan intraserebral, dan 1466 subjek control (Zafari, 2018).

2.5.1.3 Angina
Dua dekade terakhir telah sangat memperluas pemahaman kita tentang
patofisiologi sindrom iskemik miokard. Disfungsi utama pada angina pektoris
adalah penurunan pengiriman oksigen ke sel otot miokard. Dua mekanisme
utama dimana pengiriman terganggu tampaknya penyempitan arteri koroner dan
disfungsi endotel. Mekanisme lain yang mempengaruhi pengiriman oksigen
juga dapat memicu gejala (Haber, 2015).
Penyebab extracardiac angina termasuk, tetapi tidak terbatas pada, anemia,
hipoksia, hipotensi, bradikardia, paparan karbon monoksida, dan gangguan
inflamasi. Hasil akhirnya adalah pergeseran ke metabolisme anaerob di sel-sel
miokard. Ini diikuti oleh stimulasi reseptor rasa sakit yang menginervasi
jantung. Reseptor nyeri ini pada akhirnya dirujuk ke jalur aferen, yang dibawa
dalam beberapa akar saraf dari C7 hingga T4. Nyeri yang dirujuk / memancar
angina pektoris diyakini terjadi karena jalur aferen ini juga membawa serat
nyeri dari daerah lain (misalnya, lengan, leher, dan bahu) (Haber, 2015).
Penyempitan arteri koroner tampaknya menjadi etiologi iskemia jantung
dalam jumlah kasus yang lebih banyak. Ini memiliki signifikansi klinis ketika
penyakit aterosklerosis mengurangi atau menghentikan aliran darah melalui
sirkulasi arteri koroner, mengganggu aliran darah laminar normal. Pentingnya
bahkan perubahan kecil dalam diameter pembuluh darah bisa sangat besar.
Hukum Poiseuille memprediksi hasil ini — laju aliran menurun secara

29
eksponensial oleh setiap perubahan dalam radius lumen. Seperti saluran napas
anak yang lebih kecil, bahkan perubahan diameter yang relatif kecil memiliki
konsekuensi dramatis dalam laju aliran. Jadi, ketika suatu lumen dipersempit
oleh seperlima, laju alir berkurang sekitar setengahnya. Ini memprediksi bahwa
bahkan perubahan kecil dalam ukuran plak arteri koroner dapat mempengaruhi
oksigenasi melalui wilayah pembuluh darah itu (Haber, 2015).
Pembuluh epikardial, tempat aterosklerosis sering terjadi, memiliki
kapasitas untuk melebar melalui mekanisme autoregulatori untuk menanggapi
peningkatan permintaan. Angina terjadi karena mekanisme kompensasi ini
kewalahan baik oleh plak besar (biasanya dianggap obstruksi 70% atau lebih
besar) atau oleh peningkatan permintaan miokard secara signifikan (Haber,
2015).
Faktor endotel juga memainkan peran penting dalam angina pektoris.
Selama stimulasi simpatik, endothelium menjadi sasaran mediator baik
vasokonstriksi dan vasodilatasi. Agonis alfa (katekolamin) secara langsung
menyebabkan vasokonstriksi, sementara sintase nitrous oksida endotel
menciptakan nitro oksida (NO), yang melawan kekuatan konstriksi ini melalui
vasodilatasi (Haber, 2015).
Di arteri koroner yang sakit, produksi NO tidak berkurang atau tidak ada.
Dalam pengaturan ini, dorongan katekolamin dapat membebani mekanisme
autoregulatory. Selain itu, endotelium dari arteri yang mengandung plak itu
sendiri, bisa disfungsional. Ini membatasi kemampuan endotelium intra-arteri
untuk menghasilkan mediator, yang, dalam arteri yang sehat, akan melindungi
terhadap vasokonstriksi lebih lanjut, membantu dilatasi, dan memberikan
perlindungan dari agregasi trombosit. Lesi kecil di pembuluh ini dapat
menghasilkan agregat platelet yang tidak sempurna. Ini akan semakin
menghambat aliran melalui kapal yang terkena (Haber, 2015).

30
Pada jantung yang berpenyakit, 2 faktor ini, penyempitan arteri koroner
dan disfungsi endotel, secara sinergis menghasilkan berkurangnya pengiriman
oksigen ke miokardium. Hasil akhirnya adalah angina pectoris (Haber, 2015).
Faktor ekstrinsik juga dapat memainkan peran dalam keadaan tertentu.
Daya dukung oksigen darah didasarkan pada sejumlah faktor. Yang paling
penting adalah jumlah hemoglobin. Setiap perubahan dalam kemampuan darah
untuk membawa oksigen dapat memicu angina. Anemia dalam derajat apa pun
dapat menyebabkan gejala angina. Dengan skenario di mana permintaan
meningkat, seperti naik tangga, peningkatan stres, atau bahkan hubungan
seksual, gejala angina mungkin muncul. Hemoglobin abnormal, seperti
methemoglobin, carboxyhemoglobin, atau sejumlah hemoglobinopathies,
menciptakan lingkungan yang berisiko lebih besar untuk memicu angina
(Haber, 2015).
Faktor ekstrinsik lain yang mempengaruhi pembentukan hemoglobin,
seperti keracunan timbal atau defisiensi besi, juga menyebabkan penurunan
kapasitas pembawa oksigen yang sama. Setiap mekanisme yang menghambat
pengiriman oksigen ke sel darah merah memiliki efek yang serupa. Oleh karena
itu, sejumlah penyebab paru, seperti emboli paru, fibrosis paru atau jaringan
parut, pneumonia, atau gagal jantung kongestif, dapat memperparah angina.
Lingkungan oksigen yang menurun, seperti perjalanan ke ketinggian yang lebih
tinggi, memiliki konsekuensi yang serupa karena penurunan konsentrasi
oksigen atmosfer (Haber, 2015).
Etiologi angina varian saat ini tidak dipahami dengan baik. Penelitian
menunjukkan bahwa mediator inflamasi dapat menyebabkan vasospasme arteri
koroner fokal. Kemungkinan lain adalah perfusi menurun melalui sirkulasi
mikrovaskuler. Spasme atau penyempitan intermiten dari lumen mikroskopis ini
dapat menyebabkan area hipoperfusi dan kekurangan oksigen yang sementara
(Haber, 2015).

31
Sindrom X adalah triad angina pektoris, hasil tes stres EKG positif, dan
angiogram koroner normal. Patofisiologi penyakit ini tidak dipahami dengan
baik. Banyak teori ada untuk patologi yang mendasarinya. Penurunan
oksigenasi dari miokardium yang mendasari mungkin disebabkan oleh
gangguan vasodilatasi, sel otot polos disfungsional, sirkulasi mikrovaskular
yang buruk atau kurang, atau bahkan masalah struktural pada tingkat sel
(misalnya, saluran natrium ion yang tidak berfungsi dengan baik) (Haber,
2015).

2.5.1.4 Stroke
a. Stroke Iskemik
Stroke iskemik akut terjadi akibat oklusi vaskular sekunder akibat penyakit
thromboemboli. Iskemia menyebabkan hipoksia sel dan menipisnya adenosin
trifosfat seluler (ATP). Tanpa ATP, tidak ada lagi energi untuk
mempertahankan gradien ionik di seluruh membran sel dan depolarisasi sel.
Masuknya ion natrium dan kalsium dan aliran pasif air ke dalam sel
menyebabkan edema sitotoksik (Jauch, 2018).
Inti iskemik dan penumbra, oklusi vaskular akut menghasilkan daerah
heterogen iskemia di wilayah vaskular yang terkena. Aliran darah lokal terbatas
pada aliran sisa di sumber arteri utama ditambah pasokan agunan, jika ada
(Jauch, 2018).
Daerah yang terkena dengan aliran darah cerebral lebih rendah dari 10 mL /
100 g jaringan / menit disebut secara kolektif sebagai inti. Sel-sel ini diduga
mati dalam beberapa menit setelah onset stroke (Jauch, 2018).
Zona penurunan atau perfusi marginal (aliran darah serebral <25 mL / 100g
jaringan / menit) secara kolektif disebut penumbra iskemik. Tisu di penumbra
dapat tetap bertahan selama beberapa jam karena perfusi jaringan marginal
(Jauch, 2018).

32
Kaskade iskemik. Pada tingkat sel, neuron iskemik menjadi terdeposisi
ketika ATP habis dan sistem transport ion membran gagal. Gangguan
metabolisme sel juga merusak pompa membran natrium-kalium plasma normal,
menghasilkan peningkatan intraseluler dalam natrium, yang pada gilirannya
meningkatkan kadar air intraseluler. Pembengkakan seluler ini disebut sebagai
edema sitotoksik dan terjadi sangat awal pada iskemia serebral (Jauch, 2018).
Iskemia serebral merusak protein natrium-kalsium pertukaran normal juga
ditemukan pada membran plasma sel. Masuknya kalsium menyebabkan
pelepasan sejumlah neurotransmiter, termasuk jumlah besar glutamat, yang
pada gilirannya mengaktifkan N-metil-D-aspartat (NMDA) dan reseptor
rangsang lainnya pada neuron lain (Jauch, 2018).
Neuron ini kemudian menjadi terdepolarisasi, menyebabkan masuknya
kalsium lebih lanjut, pelepasan glutamat lebih lanjut, dan amplifikasi lokal dari
penghinaan iskemik awal. Masuknya kalsium besar ini juga mengaktifkan
berbagai enzim degradatif, yang mengarah ke penghancuran membran sel dan
struktur saraf penting lainnya. Radikal bebas, asam arakidonat, dan oksida nitrat
dihasilkan oleh proses ini, yang menyebabkan kerusakan saraf lebih lanjut
(Jauch, 2018).
Iskemia juga secara langsung menghasilkan disfungsi pembuluh darah
otak, dengan gangguan penghalang darah-otak yang terjadi dalam 4-6 jam
setelah infark. Setelah pemecahan penghalang, protein dan air membanjiri ruang
ekstraseluler, menyebabkan edema vasogenik. Ini menghasilkan pembengkakan
otak yang lebih besar dan efek massa yang mencapai puncak pada 3-5 hari dan
menghilang selama beberapa minggu berikutnya dengan resorpsi air dan protein
(Jauch, 2018).
Dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah stroke, gen-gen tertentu
diaktifkan, mengarah pada pembentukan sitokin dan faktor-faktor lain yang,
pada gilirannya, menyebabkan peradangan lebih lanjut dan kompromi
mikrosirkulasi. Pada akhirnya, penumbra iskemik dikonsumsi oleh penghinaan

33
progresif ini, penggabungan dengan inti infark, sering dalam beberapa jam
setelah onset stroke (Jauch, 2018).
Infark menghasilkan kematian astrosit, serta sel pendukung
oligodendroglial dan mikroglial. Jaringan infark akhirnya mengalami nekrosis
likuifaksi dan dihilangkan oleh makrofag, dengan perkembangan kehilangan
volume parenkim. Daerah dengan kepadatan cairan serebrospinal yang rendah -
seperti kepadatan rendah, yang dihasilkan dari encephalomalacia dan perubahan
kistik, akhirnya terlihat. Evolusi perubahan kronis ini dapat terlihat pada
minggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah infark (Jauch, 2018).
Transformasi hemoragik stroke iskemik. Transformasi hemoragik
merupakan konversi dari infark iskemik ke dalam area perdarahan. Ini
diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik tanpa komplikasi, tanpa
adanya perawatan fibrinolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu terkait
dengan penurunan neurologis, dengan konversi mulai dari pengembangan
perdarahan kecil petekie ke pembentukan hematoma yang menghasilkan
penurunan neurologis dan mungkin memerlukan evakuasi bedah atau
hemikraniektomi dekompresif (Jauch, 2018).
Mekanisme yang diusulkan untuk transformasi hemoragik termasuk
reperfusi jaringan yang mengalami cedera iskemik, baik dari rekanalisasi
pembuluh yang tersumbat atau dari pasokan darah kolateral ke wilayah iskemik
atau gangguan penghalang darah-otak. Dengan gangguan penghalang darah-
otak, sel darah merah ekstravasasi dari tempat tidur kapiler yang melemah,
menghasilkan perdarahan petekie atau hematoma intraparenchymal lebih terang
(Jauch, 2018).
Transformasi hemoragik spontan dari infark iskemik terjadi dalam 2-14
hari postictus, biasanya dalam minggu pertama. Ini lebih sering terlihat setelah
stroke kardioembolik dan lebih mungkin terjadi dengan volume infark yang
lebih besar. Transformasi hemoragik juga lebih mungkin setelah pemberian rt-

34
PA pada pasien yang scan CT nonkontras (NCCT) awal menunjukkan area
hipodensitas (Jauch, 2018).
Edema otak pasca-stroke dan kejang. Meskipun edema serebral yang secara
klinis signifikan dapat terjadi setelah stroke iskemik sirkulasi anterior, dianggap
agak jarang (10-20%). Edema dan herniasi adalah penyebab paling umum
kematian dini pada pasien dengan stroke hemisferik.Kejang terjadi pada 2-23%
pasien dalam beberapa hari pertama setelah stroke iskemik. Sebagian kecil
pasien yang mengalami stroke mengalami gangguan kejang kronis (Jauch,
2018).

b. Stroke Hemoragik
Pada perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi langsung ke parenkim
otak. Mekanisme yang biasa dianggap kebocoran dari arteri intracerebral kecil
yang rusak oleh hipertensi kronis. Mekanisme lain termasuk diatheses
perdarahan, antikoagulan iatrogenik, amiloidosis serebral, dan penyalahgunaan
kokain (Liebeskind, 2017).
Intracerebral hemorrhage memiliki predileksi untuk situs-situs tertentu di
otak, termasuk thalamus, putamen, cerebellum, dan batang otak. Selain area
otak yang terluka oleh perdarahan, otak di sekitarnya dapat rusak oleh tekanan
yang dihasilkan oleh efek massa hematoma. Peningkatan umum tekanan
intrakranial dapat terjadi (Liebeskind, 2017).
Pada Subarachnoid hemorrhage, efek patologis dari subarachnoid
hemorrhage (SAH) pada otak bersifat multifokal. SAH menghasilkan tekanan
intrakranial yang tinggi dan merusak autoregulasi serebral. Efek-efek ini dapat
terjadi dalam kombinasi dengan vasokonstriksi akut, agregasi trombosit
mikrovaskuler, dan hilangnya perfusi mikrovaskular, yang mengakibatkan
penurunan tajam dalam aliran darah dan iskemia serebral (Liebeskind, 2017).

35
2.5.2 Patofisiologi Kegawatdaruratan NonTrauma Sistem Respirasi
2.5.2.1 Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi
saluran napas pada pasien asma. Inflamasi saluran napas pada pasien asma
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi
saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan. Obstruksi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang
menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi bronkus
dan pengisian bronkus dengan mukus yang kental (Sundaru, 2009).
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel
mast pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase
sensitisasi yang menyebabkan antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus yang menyebabkan inflamasi
saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi
segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi

36
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8
jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan
Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis
asma (Sundaru, 2009).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-RelatedPeptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinyabronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). Sistem
saraf otonom mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf
vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik, ketika ujung saraf pada
jalan napas dirangsang oleh faktor pencetus maka akan meningkatkan pelepasan
jumlah asetilkolin. Ini menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang
pembentukan mediator kimiawi (Sundaru, 2009).

2.5.2.2 PPOK
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian

37
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru (Kumar,
2015).
Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan
peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar
salurannafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran
nafas kecil berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat
inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit (Kumar, 2015).
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan seimbang.Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru. Radikal bebasmempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru (Kumar,
2015).
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkanterjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan
sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akanmenyebabkan dilepaskannya
faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 danleukotrienB4,tumuor
necrosis factor (TNF),monocyte chemotacticpeptide(MCP)-1
danreactive oxygen species(ROS). Faktor-faktor tersebutakan merangsang
neutrofil melepaskan protease yang akanmerusak jaringan ikat parenkim paru
sehingga timbul kerusakan dinding alveolar danhipersekresi mukus.
Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8,selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan
normal terdapatkeseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH
yang ada dipermukaan makrofagdan neutrophil akan mentransfer satu elektron
ke molekul oksigen menjadi anion superoksidadengan bantuan enzim
superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah

38
menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero
denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl) (Kumar, 2015).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan
fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas.
Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yangmenuju ke arah emfisema
karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap
rokok (Kumar, 2015).

2.5.2.3 Pneumonia
Penyebab pneumonia terdiri dari faktor ekstrinsik atau intrinsik, dan
berbagai penyebab bakteri. Faktor ekstrinsik termasuk paparan agen penyebab,
paparan iritasi paru, atau cedera paru langsung. Faktor intrinsik terkait dengan
host. Kehilangan proteksi saluran napas atas memungkinkan aspirasi isi dari
saluran udara atas ke paru-paru. Berbagai penyebab kehilangan ini termasuk
perubahan status mental karena keracunan dan keadaan metabolik lainnya dan
penyebab neurologis, seperti stroke dan intubasi endotrakeal (Gamache, 2017).
Bakteri dari saluran udara atas atau, lebih jarang, dari penyebaran
hematogen, menemukan jalan sampai ke parenkim paru. Sesampai di sana,
kombinasi faktor (termasuk virulensi organisme yang menginfeksi, status
pertahanan lokal, dan kesehatan pasien secara keseluruhan) dapat menyebabkan
pneumonia bakteri. Pasien dapat dibuat lebih rentan terhadap infeksi karena
kerusakan keseluruhan dari respon imun (misalnya, infeksi human
immunodeficiency virus [HIV], penyakit kronis, usia lanjut) dan / atau disfungsi
mekanisme pertahanan (misalnya, merokok, paru obstruktif kronik penyakit
[PPOK], tumor, toksin yang dihirup, aspirasi). Gigi yang buruk atau
periodontitis kronis merupakan faktor predisposisi lainnya (Gamache, 2017).
Dengan demikian, selama infeksi paru-paru, peradangan akut
menghasilkan migrasi neutrofil dari kapiler dan ke ruang udara, membentuk

39
kolam neutrofil yang tersisihkan yang siap untuk merespon ketika diperlukan.
Neutrofil ini mem-phagocytize mikroba dan membunuh mereka dengan spesies
oksigen reaktif, protein antimikroba, dan enzim degradatif. Mereka juga
mengekstrusi meshwork kromatin yang mengandung protein antimikroba yang
menjebak dan membunuh bakteri ekstraseluler, yang dikenal sebagai perangkap
ekstraseluler neutrofil (NETs). Berbagai reseptor membran dan ligan terlibat
dalam interaksi kompleks antara mikroba, sel parenkim paru, dan sel pertahanan
kekebalan (Gamache, 2017).
Mekanisme umum peningkatan virulensi termasuk yang berikut,
fleksibilitas genetik memungkinkan pengembangan resistensi terhadap berbagai
kelas antibiotic, flagellae dan pelengkap bakteri lainnya yang memfasilitasi
penyebaran infeksi, kapsul tahan terhadap serangan oleh sel pertahanan
kekebalan dan yang memfasilitasi adhesi untuk sel inang, sistem penginderaan
kuorum memungkinkan koordinasi ekspresi gen berdasarkan pensinyalan sel
yang kompleks untuk adaptasi terhadap lingkungan seluler lokal (Gamache,
2017).
Defisit dalam berbagai pertahanan pejamu dan ketidakmampuan untuk
memasang respon inflamasi akut yang tepat dapat mempengaruhi pasien
terhadap infeksi, sebagai berikut, fefisit dalam jumlah neutrofil, seperti pada
neutropenia, defisit dalam kualitas neutrofil, seperti pada penyakit
granulomatosa kronis, kekurangan komplemen, kekurangan immunoglobulin
(Gamache, 2017).
Infeksi virus, dengan pandemi virus influenza H1N1 baru-baru ini, penting
untuk mengatasi peran yang dapat disebabkan oleh infeksi virus pada
pneumonia bakteri.Hubungan antara infeksi dengan virus influenza dan
pneumonia bakteri berikutnya menjadi sangat jelas setelah pandemi influenza
1918, di mana sekitar 40-50 juta orang meninggal. Investigasi sejarah dan
peneliti saat ini berpendapat bahwa sebagian besar kematian terkait paru-paru
dari virus influenza pandemi masa lalu, terutama pandemi 1918, akhirnya

40
dihasilkan dari bakteriologis sekunder atau koinfeksi dan interaksi yang kurang
dipahami antara organisme virus dan bakteri yang menginfeksi. Meskipun virus
influenza adalah yang paling umum dianggap agen dalam konteks co-infective
ini, virus pernapasan lainnya, seperti virus pernapasan syncytial (RSV), virus
parainfluenza, adenovirus, dan rhinovirus, juga dapat menjadi predisposisi
infeksi bakteri sekunder. Penjelasan klasik di balik interaksi virus-bakteri
berfokus pada gangguan epitel pernapasan oleh virus, menyediakan lingkungan
oportinistik untuk infeksi bakteri. Namun, bukti menunjukkan interaksi yang
lebih kompleks dan mungkin sinergis antara virus dan bakteri, termasuk
perubahan fisiologi paru, downregulation pertahanan pertahanan host,
perubahan ekspresi reseptor yang melekat pada bakteri, dan peningkatan proses
inflamasi (Gamache, 2017).

2.5.3.4 Efusi Pleural


Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya adalah untuk memfasilitasi
pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan.1 Cairan pleura
diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura
yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi
maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini
memiliki konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru
danperifer (Boka, 2017).
Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan
hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta
kemampuan drainase limfatik. Efusi pleura terjadi sebagai akibat gangguan
keseimbangan faktor-faktor di atas (Boka, 2017).
Cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada membran pleura
parietal dan viseral (ditunjukkan pada panah yang terputus-putus). Pembuluh

41
darah pleura parietal (mikrovaskular interkostal) merupakan terpenting pada
sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan rongga pleura dan
memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler bronkial
pada pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh
mikrovaskuler, sisanya akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran
limfatik pada pleura parietal (panah utuh) (Boka, 2017).
Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik
itu pulmoner maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi
pleura tersering adalah gagal jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi
pleura dan merupakan penyebab efusi pleura tersering), pneumonia, keganasan
serta emboli paru. Mekanisme-mekanisme terjadinya efusi pleura, yaitu (1)
adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya : inflamasi,
keganasan, emboli paru), (2) berkurangnya tekanan onkotik intravaskular
(misalnya : hipoalbuminemia, sirosis), (3) meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah atau kerusakan pembuluh darah (misalnya : trauma, keganasan,
inflamasi, infeksi, infark pulmoner, hipersensitivitas obat, uremia, pankreatitis),
(4) meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada sirkulasi sistemik
dan atau sirkulasi sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung kongestif, sindrom
vena kava superior), (5) berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga
menyebabkan terhambatnya ekspansi paru (misalnya : atelektasis ekstensif,
mesotelioma), (6) berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik atau
bahkan dapat terjadi blokade total, dalam hal ini termasuk pula obstruksi
ataupun ruptur duktus torasikus (misalnya : keganasan, trauma), (7)
meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi sepanjang diafragma
melalui jalur limfatik ataupun defek struktural. (misalnya : sirosis, dialisa
peritoneal), (8) berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura visceral, (9)
meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara persisten dari efusi
pleura yang telah ada sebelumnya sehingga menyebabkanakumulasi cairan lebih
banyak lagi (Boka, 2017).

42
Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi semakin
datar atau bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis pleura viseral dan
parietal, serta defek ventilasi restriktif (Boka, 2017).
Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan eksudat,
bergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi
tersebut. Cairan transudat dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tekanan
hidrostatik dan onkotik, sementara eksudat dihasilkan oleh proses inflamasi
pleura ataupun akibat berkurangnya kemampuan drainase limfatik. Pada kasus-
kasus tertentu, cairan pleura dapat memiliki karakteristik kombinasi dari
transudat dan eksudat (Boka, 2017).

2.6 Tindakan Kegawatdaruratan Non Trauma di IGD


2.6.1 Tindakan Kegawatdaruratan Non Trauma Kardiovaskuler di IGD
2.6.1.1 Congestive Heart Failure (CHF)
a. Tatalaksana
(i) Airway
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi,
chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta
nasofaringeal. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat
kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.
Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara

43
mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver) (Depkes RI, 2009).

(ii) Breathing
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas
dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (Depkes RI, 2009).
Cara melakukan pemasangan face-mask, yaitu(Depkes RI, 2009):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-
sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang
bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

44
(iii) Circulation
Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan
denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. Untuk
penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi
korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Lokasi
kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang
pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan
di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan
dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan
dada (Depkes RI, 2009).

(iv) Disability (evaluasi neurologis)


Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil.
Ada suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metoda
AVPU (Depkes RI, 2009):
A: Alert (sadar)
V: Respon terhadap rangsang vokal/verbal
P: Respon terhadap rangsang nyeri (pain)
U: Unresponsive

(v) Exposure
Datang ke IGD biasanya sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dandarah. Atasi : dengan
kontrol perdarahan dengan cepat ; usaha menjaga suhu tubuh penderita, jaga
suhu tubuh penderita, pakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan IV (Depkes RI, 2009).

45
b. Pemeriksaan Fisik
Untuk memperkuat diagnosis dilakukan pemeriksaan fisik, yang biasanya
menunjukkan denyut nadi yang lemah dan cepat, tekanan darah menurun, bunyi
jantung abnormal, pembesaran jantung, pembengkakan vena leher, cairan di
dalam paru-paru, pembesaran hati, penambahan berat badan yang cepat dan
pembengkakan perut atau tungkai(Depkes RI, 2009).

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah (Depkes RI, 2009):
1. Pemeriksaan Rontgen thorax
2. Nilai besar jantung, ada atau tidaknya edema paru dan efusi pleura. 
Tetapi banyak juga pasien CHF tanpa disertai kardiomegali.
3. Pemeriksaan EKG
4. Nilai ritmenya, apakah ada tanda dari strain ventrikel kiri, bekas infark
miokard dan bundle branch block
5. Echocardiography
6. Menunjukkan adanya penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri,
pembesaran ventrikel dan abnormalitas katup mitral.

2.6.1.2 Infark Miokard


a. Tatalaksana
Langkah pertama yang harus dilakukan, yaitu (Depkes RI, 2009) :
(i) Airway
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi,
chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta
nasofaringeal. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.

46
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat
kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.
Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver) (Depkes RI, 2009).

(ii) Breathing
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas
dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (Depkes RI, 2009).
Cara melakukan pemasangan face-mask (Depkes RI, 2009):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-
sama)

47
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang
bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

(iii) Circulation
Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan
denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. Untuk
penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi
korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Lokasi
kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang
pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan
di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan
dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan
dada (Depkes RI, 2009).

(iv) Disability (evaluasi neurologis)


Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil.
Ada suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metoda
AVPU (Depkes RI, 2009):
A: Alert (sadar)
V: Respon terhadap rangsang vokal/verbal
P: Respon terhadap rangsang nyeri (pain)
U: Unresponsive

48
(v) Exposure
Datang ke IGD biasanya sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dandarah. Atasi : dengan
kontrol perdarahan dengan cepat ; usaha menjaga suhu tubuh penderita, jaga
suhu tubuh penderita, pakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan IV (Depkes RI, 2009).
Setelah diagnosis kerja ditegakkan secepatnya maka tatalaksana awal yang
dilakukan tidak berbeda dengan sindroma koroner akut yaitu (1) pemberian
oksigen, oksigen hanya diberikan bila ada , (2) pemberian analgesic, nitrat
sublingual atau spray dapat diberikan dalam interval 3-5 menit namun tidak
diberikan bila keadaan hipotensi. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg secara
intravena dan dapat diulang dalam 5-10 menit, (3) pemberian aspirin dan
klopidogrel. Dosis inisial aspirin adalah 160-320 mg yang pada umumnya
sediaannya dapat dikunyah, sedangkan dosis klopidogrel inisial adalah 300-600
mg. Selanjutnya, bisa diberikan aspirin 80 mg per hari dan klopidogrel 75 mg
per hari (Steg, 2012).
Selanjutnya adalah terapi reperfusi. Tujuan penanganan infark miokard
akut (acute myocardial infarct) adalah untuk mengembalikan perfusi sesegera
mungkin. Pada kasus NSTEMI, terapi reperfusi dapat ditunda sesuai dengan
stratifikasi risiko. Namun pada kasus STEMI dengan onset kurang dari 12 jam,
terapi reperfusi secara mekanik atau farmakologis harus dilakukan secepatnya
(Steg, 2012).
Sesuai panduan yang dikeluarkan oleh European Society of Cardiology
(ESC), berdasarkan onset serangannya, terapi reperfusi dilakukan pada keadaan
infark miokard akut sebagai berikut (Steg, 2012):

49
 Kurang 12 jam
Pada pasien yang datang dengan onset keluhan kurang dari 12 jam,
terapi reperfusi dilakukan pada seluruh pasien dengan gejala dan
elevasi segmen ST dan LBBB baru yang persisten (Steg, 2012).
 Lebih dari 12 jam dan terdapat proses iskemik yang sedang
berlangsung(Steg, 2012).
Pada pasien yang datang setelah 12 jam dari onset, maka dapat
diutamakan untuk dilakukan primary PCI (Steg, 2012).
 Pada pasien yang datang dalam rentang 12 – 24 jam setelah onset, PCI
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien yang kondisinya
stabil (Steg, 2012).
 Sedangkan pada pasien yang datang setelah lebih dari 24 jam, tidak
dianjurkan dilakukan PCI walaupun sebelumnya telah dilakukan terapi
fibrinolysis (Steg, 2012).

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali normal. Apabila ditemukan tanda-tanda
gagal jantung atau instabilitas hemodinamik, sebaiknya segera ditentukan
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Peran penting dari pemeriksaan 4
fisik yakni untuk mengekslusi penyebab nyeri dada nonkardiak dan penyakit
jantung non-iskemik misalnya emboli paru, diseksi aorta, perikarditis, penyakit
jantung valvular (Steg, 2012).
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstrimitas pucat disertai keringat dingin.
Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan
kecurigaan kuat adanya STEMI (Steg, 2012).

50
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan infrak miokard terdiri dari tiga pemeriksaan atau yangdisebut
dengantriple cardiac markeryaitu CK-MB, Myoglobin, danTroponin I.
pemeriksaan ini dapat dilakukan secara bersamaan sehinggasensitivitas dalam
menetapkan diagnosis infrak miokard semakin tinggi. CK(creatinie kinase)
merupakan suatu enzim yang mengidentifikasi adanya
AMI(Acute Myocard  Infrak ) akan tetapi pemeriksaan CK ini tidak terlalu
spesifikuntuk kerusakan otot miokard karena enzim CK juga terdapat dalam
paru- paru, otot skelet, dan otak sehingga jika terjadi kerusakan pada
organ tersebutCK akan mengalami peningkatan. CK dibagi menjadi tiga, yaitu
MM, MB,dan BB. CK-MM paling banyak terdapat di skelet, CK-MB di
miokardium(jantung), sedangkan CK-BB ditemukan maksimum di otak. CK-
MM danCK-MB akan mengalami peningkatan dalam suatu keadaan seperti
cedera otot,injeksi intra muskular, dan infrak miokard. Pemeriksaan CK
dilakukandengan mengambil serum/plasma vena, pengambilan ini dilakukan
sebeluminjeksi intra muskular karena jika dilakukan setelah injeksi intra
muskularakan memberikan nilai yang positif palsu seperti yang telah
dijelaskansebelumnya, sample juga harus bebas dari hemodialisis, jika sample
tidaklangsung diperiksa maka harus disimpan dalam keadaan beku. Kadar
normalCK dalam suhu 300C pada laki-laki yaitu 5-35 μg/ml atau 30-180 IU/l,
padawanita 5-25 μg/ml atau 25-150 IU/l, neonates 65-580 IU/l, anak laki-laki 0-
70IU/l, anak perempuan 0-50 IU/l (Steg, 2012).

2.6.1.3 Angina
a. Tatalaksana
(i) Airway
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi,

51
chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta
nasofaringeal. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat
kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.
Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver) (Depkes RI, 2009).

(ii) Breathing
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas
dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (Depkes RI, 2009).
Cara melakukan pemasangan face-mask (Depkes RI, 2009):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan

52
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-
sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang
bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

(iii) Circulation
Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan
denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. Untuk
penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi
korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Lokasi
kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang
pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan
di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan
dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan
dada (Depkes RI, 2009).

(iv) Disability (evaluasi neurologis)


Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil.
Ada suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metoda
AVPU (Depkes RI, 2009):
A: Alert (sadar)
V: Respon terhadap rangsang vokal/verbal
P: Respon terhadap rangsang nyeri (pain)
U: Unresponsive

53
(v) Exposure
Datang ke IGD biasanya sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dandarah. Atasi : dengan
kontrol perdarahan dengan cepat ; usaha menjaga suhu tubuh penderita, jaga
suhu tubuh penderita, pakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan IV (Depkes RI, 2009).
Setelah dilakukan ABCDE, pada waktu mendapat serangan angina obat
yang paling baik adalah preparat nitrogliserin atau derivatnya yang diberikan
secara sublingual. Dosis nitrogliserin bervariasi daro 0,5 – 1. Tablet yang dapat
diulang sampai beberapa kali pemberian. Untuk mencegah timbulnya serangan
angina dapat dipakai beberapa preparat yaitu : 1 gr actiry nitrase, seperti
issosorbiddinitrat atau nitrogliserin dalam bentuk salep atau refard/sustained
(Rahman, 2008).
Pengobatan pada serangan akut, nitrogliserin sublingual 5 mg merupakan
obat pilihan yang bekerja sekitar 1-2 menit dan dapat diulang dengan interval
3 - 5 menit (Rahman, 2008).
Pencegahan serangan lanjutan, gunakan (Rahman, 2008):
 Long acting nitrate, yaitu ISDN 3 kali sehari 10-40 mg oral.
 Beta blocker : propanolol, metoprolol, nadolol, atenolol, dan pindolol.
 Calcium antagonist : verapamil, diltiazem, nifedipin. 

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya normal pada penderita angina pectoris. Tetapi
pemeriksaan fisik yang dilakukan saat serangan angina dapat memberikan
informasi tambahan yang berguna. Adanya gallop, mur-mur regurgitasi mitral,
split s2 atau ronkhi basah basal yang kemudian menghilang bila nyerinya
mereda dapat menguatkan diagnosa pjk. Hal-hal lain yangn bisa didapat dari

54
pemeriksaan fisik adalah tanda-tanda adanya factor resiko, misalnya tekanan
darah tinggi (Rahman, 2008).
Data subyektif yang berhubungan dengan nyeri (Rahman, 2008):
 Lokasi dan durasi kedaerah lain –sering didaerah substernal
 Kwalitas nyeri : nyeri dapat mencekik atau rasa berat dalam dada
 Datang dan menetapnya rasa nyeri singkat

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu (Rahman, 2008):
 Elektrokardiogram (EKG)
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina
sering masih normal (Rahman, 2008).
 Foto rontgen dada
Foto rontgen dada seringmenunjukkan bentuk jantung yang normal;
padapasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang
tampak adanya pengapuran pembuluh darah aorta(Rahman, 2008).
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis
angina pectoris (Rahman, 2008).
Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis serangan jantung
akut sering dilakukan pemeriksaan enzim jantung. Enzim tersebut akan
meningkat kadarnya pada serangan jantung akut sedangkan pada angina
kadarnya masih normal (Rahman, 2008).
Pemeriksaan profil lemak darah seperti kolesterol, HDL, LDL,
trigliserida dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk mencari
faktor risiko seperti kolesterol dan/atau diabetes mellitus (Rahman, 2008).

2.6.1.4 Stroke

55
a. Tatalaksana
(i) Airway
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi,
chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta
nasofaringeal. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat
kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.
Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver) (Depkes RI, 2009).

(ii) Breathing
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas
dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (Depkes RI, 2009).
Cara melakukan pemasangan face-mask (Depkes RI, 2009):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)

56
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-
sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang
bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

(iii) Circulation
Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan
denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. Untuk
penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi
korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Lokasi
kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang
pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan
di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan
dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan
dada (Depkes RI, 2009).

57
(iv) Disability (evaluasi neurologis)
Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil.
Ada suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metoda
AVPU (Depkes RI, 2009):
A: Alert (sadar)
V: Respon terhadap rangsang vokal/verbal
P: Respon terhadap rangsang nyeri (pain)
U: Unresponsive

(v) Exposure
Datang ke IGD biasanya sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dandarah. Atasi : dengan
kontrol perdarahan dengan cepat ; usaha menjaga suhu tubuh penderita, jaga
suhu tubuh penderita, pakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan IV (Depkes RI, 2009).
Perbaikan jalan nafas, proteksi terhadap risiko gagal nafas, oksigenasi,
serta perbaikan fungsi sirkulasi harus sudah diberikan pada penanganan pra-
rumah sakit baik oleh dokter mau- pun paramedis yang menanganinya pertama
kali. Antitrombotik atau an- tikoagulan tidak boleh diberikan se- belum
pemeriksaan CT Scan atau MRI kepala untuk memastikan diagnosis patologis
strokenya. Obat-obat anti hipertensi hanya diberikan jika tekan- an darah lebih
dari 220/120 mmHg, khususnya pada pasien yang menun- jukkan tanda-tanda
gagal jantung atau iskemia miokard (Setyopranoto, 2010).
Di ruang rawat darurat, evaluasi ha- rus segera dilakukan secara simultan
oleh dokter spesialis saraf dan dokter instalasi rawat darurat. Assessment
tersebut meliputi fungsi neurologis dan fungsi vital yang dilaksanakan bersama
tindakan kedaruratan sesuai kondisi pasien saat itu sebagai basic life support
(Setyopranoto, 2010).

58
Manajemen kedaruratan pasien stroke akut meliputi tiga proses secara
paralel, yaitu; (1) manajemen terha- dap kondisi mengancam yang dapat
menyebabkan perburukan maupun komplikasi pada fase akut, (2) evalu- asi
medik maupun neurologik dengan peralatan pencitraan terkini, dan (3)
manajemen terhadap strokenya den- gan pemberian terapi primer
(Setyopranoto, 2010).
Pemeriksaan awal yang harus dilaku- kan di ruang rawat darurat adalah
pemeriksaan fungsi pernafasan, tekan- an darah, fungsi jantung, dan analisis gas
darah. Secara simultan dilakukan pengambilan darah untuk pemerik- saan darah
rutin, kimia darah, pemer- iksaan koagulasi darah serta fungsi hematologi lain;
bersamaan dengan tindakan tersebut dipasang jalur intra- vena dengan cairan
elektrolit standar hingga diganti dengan cairan lainnya sesuai hasil pemeriksaan
kimia darah; selanjutnya dilakukan pemeriksaan Elektrokardiogra (EKG).
Segera di- lakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI untuk memastikan
diagnosis patologisnya. Pemberian antitrom- botik dilakukan dengan
mempertim- bangkan beberapa fungsi koagulasi, jika akan diberi antikoagulan
oral, harus didahului pemeriksaan Interna- tional Normalized Ratio (INR)
(Setyopranoto, 2010).
Tim stroke di rumah sakit terdiri dari dokter spesialis saraf sebagai koor-
dinatornya, spesialis neuroradiologi, spesialis bedah saraf, spesialis kardi- ologi,
spesialis penyakit dalam kon- sultan endokrin dan perawat terlatih. Tim stroke
bekerja secara kompre- hensif dan terpadu dalam manajemen stroke terkini dan
melakukan evaluasi bersama, evaluasi hasil pemeriksaan neuroimaging,
menentukan diagno- sis tambahan/adanya penyulit, review penentuan
pemberian trombolitik, dan kemudian membuat keputusan akhir tentang
tindakan yang harus di- lakukan (Setyopranoto, 2010).
Semua tindakan dan pemberian tera- pi harus ditulis pada checklist sesuai
protokol, baik saat pra-rumah sakit sampai pada follow up harian selama
dirawat. Berdasarkan catatan tersebut perkembangan pasien dapat dipan- tau

59
dengan rinci dan merupakan infor- masi berharga sebagai pembelajaran
sehingga outcome pasien akan makin baik, dan kemampuan serta ketrampi- lan
tim juga akan makin meningkat (Setyopranoto, 2010).

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu berupa pemeriksaan tekanan darah,
pemeriksaan jantung, dan neurologi (Setyopranoto, 2010).

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk pasien stroke yaitu terdiri dari
elektrokardiogram, laboratorium (kimia darah, kadar gula darah, analisis urin,
gas darah, dan lain-lain), dan pemeriksaan radiologi seperti foto rontgen dada
dan CT Scan (Setyopranoto, 2010).

2.6.2 Tindakan Kegawatdaruratan Non Trauma Respirasi di IGD


2.6.2.1 Asma
a. Tatalaksana
(i) Airway
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi,
chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta
nasofaringeal. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat
kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.
Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara

60
mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver) (Depkes RI, 2009).

(ii) Breathing
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas
dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (Depkes RI, 2009).
Cara melakukan pemasangan face-mask, yaitu(Depkes RI, 2009):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
1. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
2. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan
3. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-
sama)
4. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
5. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang
bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

61
(iii) Circulation
Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan
denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. Untuk
penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi
korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Lokasi
kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang
pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan
di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan
dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan
dada (Depkes RI, 2009).

(iv) Disability (evaluasi neurologis)


Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil.
Ada suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metoda
AVPU (Depkes RI, 2009):
A: Alert (sadar)
V: Respon terhadap rangsang vokal/verbal
P: Respon terhadap rangsang nyeri (pain)
U: Unresponsive
(v) Exposure
Datang ke IGD biasanya sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dandarah. Atasi : dengan
kontrol perdarahan dengan cepat ; usaha menjaga suhu tubuh penderita, jaga
suhu tubuh penderita, pakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan IV (Depkes RI, 2009).

62
b. Tatalaksana pada Eksaserbasi Akut
Pada eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut
(Depkes RI, 2009):
1. Oksigen (target saturasi oksigen 95%)
2. Menggunakan agonis β2 inhalasi kerja cepatdengan dosis adekuat
(pemberian tiap 20 meniit selama satu jam pertama, selanjutnya
setiap jam)
3. Dapat juga menggunakan komninasi ipratropium bromida dengan
agonis β2 inhalasi kerja cepat.
4. Kortikosteroid oral dengan dosis 0,5- 1 mg prednisolon /kg atau
ekivalen dalam periode 24 jam.
5. Metilsantin tidak dianjurkan. Namun teofilin dapat digunakan jika
agonis β2 inhalasi tidak tersedia.
6. Dapat menggunakan 2g magnesium sulfat IVpada pasien dengan
eksaserbasi berat yang tidak respon dengan bronkodilator dan
kortikosteroid sistemik.
7. Antibiotika bila ada infeksi sekunder.
8. Pasien diobservasi 1-2 jam kemudian. Jika respon baik dan tetap baik
60 menit sesudah pemberian agonis β2 terakhir, tidak ada distres
pernapasan, APE > 70%, saturasi oksigen >90%, pasien dapat
dipulangkan dengan pengobatan (3-5hari): inhalasi agonis β2
diteruskan, steroid oral dipertimbangkan, penyuluhan dan
pengobatan lanjutan, antibiotika diberikan bila ada indikasi,
perjanjian kontrol berobat.
9. Bila setelah observasi 1-2 jam respons kurang baik atau pasien
termasuk golongan risiko tinggi, gejala dan tanda tetap ada,
APE<60% dan tidak ada perbaikan saturasi oksigen, pasien harus
dirawat.

63
10. Bila setelah observasi 1-2jam tidak ada perbaikan atau pasien
termasuk golongan risiko tinggi, gejala bertambah berat, APE < 30%,
PCO2>45mmHg, PO2<60mmHg, pasien harus dirawat di unit
perawatan intensif.

c. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya
kelainan. Perlu diperharikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya.
Tanda sma yang paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian
pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma
yang sangat berat mengi tidak dapat terdengar (silent chest), biasanya pasien
dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun (Kemenkes RI, 2008).
secara umum, pada inspeksi ditemukan pasien terlihat gelisah, sesak (napas
cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi
suprasternal), dan sianosis (Kemenkes RI, 2008).
Pada palpasi biasanya tidak ditemukan kelainan, tetapi apda serangan berat
dapat terjadi pulsus paradoksus. Pada perkusi biasanya tidak ditemukan
kelainan. Pada auskultasi terdengar ekspirasi memanjang, terdapat mengi, dan
suara lender (Kemenkes RI, 2008).

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma yaitu
pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer, pemeriksaan arus puncak
eksprasi dengan alat peak flow rate meter, uji reversibilitas (dengan
bronkodilator), uji provokasi bronkus (untuk menilai ada/tidaknya
hipersensitivitas bronkus), uji alergi yaitu tes tusuk kulit/skin prick test (untuk
menilai ada tidaknya alergi), dan foto toraks untuk menyingkirkan penyakit
selain asma (Kemenkes RI, 2008).

64
2.6.2.2 PPOK
a. Tatalaksana
(i) Airway
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi,
chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta
nasofaringeal. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat
kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.
Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver) (Depkes RI, 2009).

(ii) Breathing
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas
dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (Depkes RI, 2009).
Cara melakukan pemasangan face-mask, yaitu(Depkes RI, 2009):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)

65
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-
sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang
bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

(iii) Circulation
Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan
denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. Untuk
penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi
korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Lokasi
kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang
pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan
di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan
dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan
dada (Depkes RI, 2009).

66
(iv) Disability (evaluasi neurologis)
Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil.
Ada suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metoda
AVPU (Depkes RI, 2009):
A: Alert (sadar)
V: Respon terhadap rangsang vokal/verbal
P: Respon terhadap rangsang nyeri (pain)
U: Unresponsive

(v) Exposure
Datang ke IGD biasanya sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dandarah. Atasi : dengan
kontrol perdarahan dengan cepat ; usaha menjaga suhu tubuh penderita, jaga
suhu tubuh penderita, pakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan IV (Depkes RI, 2009).

b. Pemeriksaan Fisik
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan
fungsi paru yang signifikan.Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak
ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan,
karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK
derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara
bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks (PDPI, 2009).
Pada inspeksi, bentuk dada barrel chest (dada seperti tong),
terdapatpurselips breathing (seperti orang meniup), terlihat
penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas. Pada palpasi, sela iga
melebar. Pada perkusi terdapat hipersonor, dan pada auskultasi terdengar
fremitus melemah, suara nafas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi

67
memanjang, bunyi jantung menjauh, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu
bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa(PDPI, 2009).

c. Pemeriksaan Penunjang
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya
menggunakan spirometri.The National Heart, Lung, dan Darah Institute
merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua,
terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak
persisten. Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan prosedur
sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan
oleh praktisi kesehatan (PDPI, 2009).
Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (ForcedExpiratory
Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity) adalah volume udara yang
pasien dapat keluarkan secara pak dalam satu detik pertama setelah inspirasi
penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi
badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang pasien dapat
hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh (PDPI, 2009).
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut.
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri normal
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.
SpirometriFEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
3. Derajat II (PPOK sedang)

68
Gejala klinis dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis sesak napas derajat sesak 3 dan 4.Eksaserbasi lebih sering
terjadi.
Spirometri FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun
beberapa tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan.
Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau
perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan
computedtomography untuk memonitor kanker paru-paru. Hitung darah
lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.Hal
ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien
dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi
paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama
tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan
oksigen tambahan (PDPI, 2009).

2.6.2.3 Pneumonia
a. Tatalaksana
(i) Airway
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi,

69
chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta
nasofaringeal. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat
kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.
Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver) (Depkes RI, 2009).

(ii) Breathing
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas
dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (Depkes RI, 2009).
Cara melakukan pemasangan face-mask, yaitu(Depkes RI, 2009):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan

70
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-
sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang
bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

(iii) Circulation
Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan
denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. Untuk
penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi
korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Lokasi
kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang
pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan
di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan
dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan
dada (Depkes RI, 2009).

(iv) Disability (evaluasi neurologis)


Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil.
Ada suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metoda
AVPU (Depkes RI, 2009):
A: Alert (sadar)
V: Respon terhadap rangsang vokal/verbal
P: Respon terhadap rangsang nyeri (pain)
U: Unresponsive

71
(v) Exposure
Datang ke IGD biasanya sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dandarah. Atasi : dengan
kontrol perdarahan dengan cepat ; usaha menjaga suhu tubuh penderita, jaga
suhu tubuh penderita, pakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan IV (Depkes RI, 2009).

b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi
fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara
napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah
halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi (PDPI,
2009).

c. Pemeriksaan Penunjang
Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil
pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologis, evaluasi radiologi foto x-ray dada
(PDPI, 2009).

2.6.2.4 Efusi Pleural


a. Tatalaksana
(i) Airway
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi,
chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta
nasofaringeal. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale

72
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat
kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.
Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver) (Depkes RI, 2009).

(ii) Breathing
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas
dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (Depkes RI, 2009).
Cara melakukan pemasangan face-mask, yaitu(Depkes RI, 2009):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan

73
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-
sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang
bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

(iii) Circulation
Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan
denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. Untuk
penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi
korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Lokasi
kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang
pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan
di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan
dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan
dada (Depkes RI, 2009).

(iv) Disability (evaluasi neurologis)


Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil.
Ada suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metoda
AVPU (Depkes RI, 2009):
A: Alert (sadar)
V: Respon terhadap rangsang vokal/verbal
P: Respon terhadap rangsang nyeri (pain)
U: Unresponsive

74
(v) Exposure
Datang ke IGD biasanya sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dandarah. Atasi : dengan
kontrol perdarahan dengan cepat ; usaha menjaga suhu tubuh penderita, jaga
suhu tubuh penderita, pakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan IV (Depkes RI, 2009).

b. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi.

Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume

300 mL. Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada

perkusi toraks, egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang

biasanya dapat ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan.

Cairan efusi yang masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi

kontralateral. Efusi yang sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit

dibedakan dengan pneumonia lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura.

Merubah posisi pasien dalam pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian

yang lebih baik sebab efusi dapat bergerak berpindah tempat sesuai dengan

posisi pasien. Pemeriksaan fisik yang sesuai dengan penyakit dasar juga

dapat ditemukan misalnya, edema perifer, distensi vena leher, S3 gallop pada

gagal jantung kongestif. Edema juga dapat muncul pada sindroma nefrotik

serta penyakit perikardial. Ascites mungkin menandakan suatu penyakit hati,

75
sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau massa yang dapat diraba

mungkin merupakan suatu keganasan (Boka, 2017).

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada efusi pleura meliputi pemeriksaan pencitraan
radiologis, pemeriksaan cairan pleura, dan evaluasi terhadap efusi
eksudatif(Boka, 2017).

76
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Tempat Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi dilaksanakan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Bhayangkara Kota Palembang.

3.2 Waktu Pelaksanaan


Waktu pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi dilaksanakan pada
Hari : Senin-Jum’at.
Tanggal : 9-13 Juli 2018.
Pukul : 02.00 WIB s.d selesai

3.3 Subjek Tugas Mandiri


Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi blok XX ini
adalah pasien kegawatdaruratan non trauma di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Bhayangkara Kota Palembang.

3.4 Alat dan Bahan


1. Alat Tulis
2. Checklist
3. Kamera

3.5 Langkah Kerja


1. Membuat proposal
2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi
3. Meminta surat jalan dari kampus untuk melaksanakan TPP
4. Melakukan observasi lapangan
5. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu kesimpulan

77
6. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi dari data yang sudah
didapatkan

78
DAFTAR PUSTAKA

Astowo Pudjo. 2005.Terapi oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi. FKUI. Jakarta.

Blunt, I. 2014. Focus on Attendances Qualitywatch. Nuffieldtrust: The Health


Foundation.

Boka, K. 2017. Pleural Efusion. Emedicine: Medscape Journals. (online:


https://emedicine.medscape.com/article/299959-overview, diakses pada 27
Juni 2018).

Budaj, A. 2008. Benefit of clopidogrel in patients with acute coronary syndromes


without ST-segment element evelation in various risk group. Pubmed: NCBI
Journals. Circulation Vol 106, Hal. 1622-6. (online:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12270853, diakses pada 23 Juni 2018).

Centers for Disease Control and Prevention. 2015. Emergency department visits and
proximity to patients’ residences, 2009–2010. (online:
http://www.cdc.gov/nchs/fastats/emergency-department.htm, diakses pada 23
Juni 2018).

Deb, P. 2010. Pathophysiologic mechanisms of acute ischemic stroke: An overvie


with emphasis on therapeutic significance beyond thrombolysis. Pubmed:
NCBI Jourbals Pathophysiology. Vol. 17. Hal. 197–218. (online:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20074922, diakses pada 27 Juni 2018).

Depkes RI. 2009. Pedoman Pelayanan Gawat Darurat. Jakarta : Department


Kesehatan Republik Indonesia. 

79
Dumitru, Ioana. 2018. Heart Failure. Emedicine: Medscape Journals (online:
https://emedicine.medscape.com/article/163062-overview#a3, diakses pada 23
Juni 2018).

Feldman, Robert S. 2014. Understanding Psychology. New York: McGraw-Hill


Education.

Fisher, J.,D., Nelson D.,G., Beyersdorf, H., Satkowiak, L.,J. 2010. Clinical spectrum
of shock in the pediatric emergency department. Pubmed: NCBI Jurnals.
Pediatric Emergency Care. Vol. 26. Hal. 622-5. (online:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20805778, diakses pada 23 Juni 2018).

Gamache. Justina. 2017. Bacterial Pneumonia. Emedicine: Medscape Journals


(online: https://emedicine.medscape.com/article/300157-overview#a3, diakses
pada 23 Juni 2018).

Haber, M., D. 2015. Angina Pectoris in Emergency Medicine. Emedicine: Medscape


Journals. (online: https://emedicine.medscape.com/article/761889-
overview#a5, diakses pada 27 Juni 2018).

Henderson, S., O. 2013. Kedokteran Emergensi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

Jauch, E., C. 2018. Ischemic Stroke. Emedicine: Medscape Journals. (online:


https://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview#a4, diakses pada
27 Juni 2018).

Kabat. 2010. Asma Bronkial. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

Katayama, Y., Kitamura, T., Kiyohara, K., Iwami, T., Kawamura, T., Hayashida, S.
2016. Factors Associated With The Difficulty In Hospital Acceptance At The
Scene By Emergency Medical Service Personnel: A Population-Based Study

80
In Osaka City, Japan. BMJ Journal. (online:
http://bmjopen.bmj.com/content/6/10/e013849, diakses pada 23 Juni 2018).

Kemenkes RI, 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Pdpersi : Keputusan


Menteri Kesehatan Republik Indonesia (online:
http://www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk10232008.pdf, diakses
pada 23 Juni 2018).

Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi (Edisi ketujuh). Jakarta: Penerbit Kedokteran
EGC.

Liebeskind, D., S. 2017. Hemorraghic Stroke. Emedicine: Medscape Journals.


(online: https://emedicine.medscape.com/article/1916662-overview#a5,
diakses pada 27 Juni 2018).

Muchid,Abdul2008. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta:Departemen


Kesehatan RI.

Panggabean, M., M. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam “Penyakit Jantung
Hipertensi” (Jilid III Edisi Keempat). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

PDPI. 2009. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Pneumonia di Indonesia.


Pneumonia Komuniti : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (online:
http://klikpdpi.com/konsensus/konsensus-pneumoniakom/pnkomuniti.pdf,
diakses pada 23 Juni 2018).

Rahman, Muin. 2008. Angina Pectoris Stabil (Edisi keempat, Jilid III). Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

81
Setyopranoto, I. 2010. Manajemen Umum stroke di Ruang Rawat Darurat. Jakarta:
FKUI. Hal. 351–355.

Shiber, J.,R. 2010. Stroke registry: Hemorrhagic vs Ischemic Strokes. Pubmed: NCBI
Journals Emerg Med. Vol. 28(3). Hal. 331‐
3. (online: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20223391, diakses pada 27
Juni 2018).

Sjamsuhidajat, Dejong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Steg, P.,G. 2012. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction
in patients presenting with ST-segment elevationThe Task Force on the
management of ST-segment elevation acute myocardial infarction of the
European Society of Cardiology (ESC). (online:
http://dx.doi.org/10.1093/eurheartj/ehs215, diakses pada 27 Juni 2018).

Sundaru, Heru. 2009. Asma Bronkial. Jakarta : Department Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.

Sudoyo, A.W., Setiati S., Alwi I., Setiyohadi, B., Syam, A.F., Simadibrata, M.
2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. VI. Jakarta: Interna Publishing.

Wier, M.W. 2013. Overview of Children In The Emergency Department. Healthcare


Cost and Utilization Project. Rockville : HCUP. Hal 157.

Yulong, L. 2014. The Impact of the 2008-2009 Economic Recession on Acute


Myocardial Infarction Occurrences in Various Socioeconomic Areas of
Raritan Bay Region, New Jersey. Pubmed: NCBI Journal of Medical
Sciences. Vol. 6(5) Hal. 215-18 (online:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4049054/, diakses pada 27
Juni 2018).

82
Zafari, A., M. 2018. Myocardial Infarction. Emedicine: Medscape Journals. (online:
https://emedicine.medscape.com/article/155919-overview#a4, diakses pada 27
Juni 2018).

83

Anda mungkin juga menyukai