Anda di halaman 1dari 31

SISTEM IMUN DAN REPRODUKSI MANUSIA

Disusun oleh :

Arachis Arumawati (F18025)

MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN

POLITEKNIK INDONUSA SURAKARTA

2018

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................ii

PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................1

PEMBAHASAN............................................................................................2

1. SISTEM IMUN..................................................................................2
A. Imunitas Humoral........................................................................2
B. Molekul Antibodi.........................................................................3
C. Imunitas Seluler...........................................................................3
D. Mediator “Lymphokines”............................................................4
E. Sistem Komplemen......................................................................5
F. Imunopatologi..............................................................................6
2. SISTEM REPRODUKSI MANUSIA...............................................13
A. Sistem Reprouksi Pria..................................................................13
B. Sistem Reproduksi Wanita...........................................................18
C. Kelainan pada Sistem Reproduksi...............................................21

PENUTUP......................................................................................................25

A. Kesimpulan........................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................26

ii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem imun di dalam tubuh manusia mempunyai fungsi yang agak
kompleks dan dapat dipersamakan dengan sistem saraf, oleh karena kedua
sistem itu mempunyai organ-organ yang berdifusi diseluruh jaringan tubuh
(Jerne, 1973). Sistem imun terdiri dari lebih kurang satu triliun sel limfosit
dan lebih kurang 100 juta triliun molekul antibody, suatu molekul protein
yang diproduksi dan disekresikan oleh sel limfosit. Fungsi utama sistem
imun ini ialah pengenalan antigen asing (“recognition”) dan menjaga
tubuh dari serangan benda-benda asing tersebut (Roitt, 1975).
Sekali sistem imun telah dibangkitkan terhadap suatu antigen
asing, maka ia tetap kenal akan antigen tersebut, seolah-olah sistem imun
mempunyai daya ingatan (“memory”), dan daya imunita yang
dibangkitkan itu selalu sifatnya spesifik, artinya sistemimun tubuh tidak
akan bersifat protektif terhadap mikroorganisme yang keantigenannya
berbeda sama sekali. Dengan perkataan lain, tubuh kita ini sanggup
membedakan dua macam antigen yang berlainan, terutama membedakan
antara “self-antigen” dengan “non-self-antigen” (Bretcher & Cohn, 1970).
Sistem reproduksi adalah sistem yang berperan dalam
menghasilkan gamet fungsional pada tubuh. Pack (2007: 265) menjelaskan
reproduksi menggambarkan pembuatan telur, sperma dan proses-proses
yang menyertainya sampai pembuahan (fertilisasi). Sistem reproduksi
terdiri dari organ seks primer atau gonad (testis pada pria dan ovarium
pada wanita), yang mensekresikan hormone dan menghasilkan gamet
(sperma dan telur). Selain itu, juga ada organ seks sekunder berupa
kelenjar dan saluran-saluran.

1
PEMBAHASAN

1. SISTEM IMUN
Secara garis besar, tubuh manusia mempunyai dua sistem imunitas
yang dapat menjada diri dari kerusakan-kerusakan oleh infeksi dan kanker
(Cooper & Lawton, 1974). Yang satu merupakan respons imunitas seluler,
yang dapat menyerang bakteri intraseluler, virus dan menolak tumor serta
jaringan transplantasi, sedangkan yang lain merupakan respons imunitas
humoral, kekebalan yang dibawakan oleh molekul antibody dan sangat
efektif dalam menanggulangi infeksi bakteri ekstraseluler dan reinfeksi
virus. Walaupun kedua mekanisme ini tidak seluruhnya berdiri sendiri,
akan tetapi daapatlah dikatakan bahwa keduanya berbeda (Ritzmann et al.,
1973). Dasar utama pembagian sistem imun ke dalam dua bagian terletak
pada dua macam populasi sel limfoid yang beredar di dalam sirkulasi
darah. Selama masa perkembangan, kedua macam sel limfoid itu tidak
dapat dibedakan, oleh karena tampaknya serupa, dan tambahan lagi,
mereka sebenarnya berasal dari sumber yang sama dengan sel-sel darah
lain, yaitu “hemopoietic sterm cell”. Walaupun bentuk dan asalnya sama,
akan tetapi kedua sel ini memperlihatkan fungsi dan respons yang berbeda
apabila berhadapan dengan antigen-antigen asing.

A. Imunitas Humoral
Deferensiasi “sterm cell” menjadi sel-sel limfoid yang cukup
kompeten sebagai mediator imunitas humoral, selama perkembangannya
dipengaruhi oleh sutu organ, yang pada burung disebut “bursa fabricius”,
sedangkan pada manusia walaupun belum ada kepastian tetapi telah ada
dugaan keras, termasuk sistem “Gut Associated Lymphoid Tissues”
(GALT), seperti tonsil, usus buntu, “Peyer’s patches” (Ammann &
Wara, 1975). Sel limfoid ini kemudian berkembang menjadi sel limfosit-
B, dan apabila berkontak dengan suatu antigen asing, sel ini akan
melanjutkan deferensiasinya menjadi sel-sel plasma yang matang dan

2
sanggup memproduksi antibodi serta mensekresikannya ke dalam
sirkulasi darah (Roitt, 1975).
B. Molekul Antibodi
Secara kolektif, molekul antibodi itu merupakan suatu protein yang
disebut immunoglobulin (Ig) (WHO, 1974). Walaupun spesifisitas
antibodi sangat diversa, namun kumpulan molekul immunoglobulin itu
dapat dibagi dalam 5 kelas, tergantung pda struktur molekulnya yaitu
IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE.
Pada prinsipnya struktur immunoglobulin itu terdiri dari empat
rantai polipeptida, dua rantai “Light” dan dua rantai”Heavy”
(berdasarkan berat molekul), yang masing-masing dihubungkan oleh
ikatan nonkovalen dan ikatan disulfide (Bernier, 1974). Sebagian dari
susunan asam amino pada keempat rantai polipeptida tersebut adalah
variabel, dan sebagian lagi konstan (Putnam, 1969). Gabungan bagian
yang variabel penting sekali karena menentukan spesifisitas aktivitas
antibodi terhadap suatu antigen asing, dan bagian ini dikenal dengan
istilah Fab (“antibody binding fragment”). Bagian konstan dari dua
rantai “Heavy” yang disebut Fc (crystalizable fragment”) merupakan
suatu bagian yang menentukan aktivitas biologic suatu kelas
immunoglobulin ke dalam lima kelas.
Tiap kelas immunoglobulin mempunyai karakteristik yang unik
dan fungsi yang spesifik pula (Spiegelberg, 1974).
C. Imunitas Seluler
Deferensiasi “sterm cell” kearah sel-sel limfoid yang cukup
kompeten sebagai mediator imunitas seluler, selama perkembangannya
berada di bawah pengaruh kelenjar timus (thymus) (Ammann & Wara,
1975). Sel-sel limfoid dapat dipengaruhi secara langsung oleh epitel
timus atau lewat sistem hormonal, seperti timosin (thymosin) (Saunders,
1970). Sel yang cukup kompeten ini kemudian berubah menjadi sel
limfosit-T dan apabila berkontak dengan antigen asing, ia akan segera
berdeferensiasi lagi menjadi “specific sensitized lymphocyte cell”

3
(SSLC) dan segera memperlihatkan aktivitas imunitas selulernya
(Goldschneider & Mc Gregor, 1973). Sekitar 65-75% dari sel limfosit
berukuran kecil, dan lokalisasinya di dalam lien dan kelenjar limfe,
masing-masing pada daerah periarterioler dan parakortikal serta
porifolikuler (Ammann & Wara, 1975). Hal ini berbeda dengan sel
limfosit-B di dalam lien terdapat pada daerah “germinal centre”,
sedangkan pada kelenjar limfe di daerah “germinal centre”,
“corticomedullary junction” dan “medullary cord” (Roitt, 1975).
Secara mikroskopik cahaya biasa, kedua macam sel limfosit ini
tidak dapat dibedakan akan tetapi deengan kemajuan teknik mikroskopik
electron, ditemukan jumlah vili pada permukaan sel limfosit-T lebih
sedikit dan bentuknya agak tumpul dibandingkan dengan sel limfosit-B
(WHO, 1974). Sel limfosit-T, setelah mempunyai keantigenan yang
berbeda dengan dengansel limfosit-B, dengan segera dapat membentuk
suatu “rosetters” dengan sel darah merah biri-biri. Walaupun fungsi
utama sel limfosit-T adalah membangkitkan sistem imunitas seluler,
akan tetapi pada keadaan tertentu, sel ini juga membantu sel limfosit-B
secara kooperatif dalam membentuk suatu antibodi terhadap antigen
asing (Playfair, 1971). Sifat kooperatif sel limfosit-T ini dapat terjadi
secara kontak langsung sel dengan sel atau dapat juga oleh karena
dilepaskannya suatu mediator oleh sel limfosit-T, yang semuanya ini
padaa hakekaatnya akan meningkatkan efisiensi pengenalan antigen
asing oleh sel limfosit-B, baik secara langsung maupun tidak, yaitu
setelah diproses dahulu di dalam sel makrofag (Roitt, 1975; Playfair,
1971).
D. Mediator “Lymphokines”
Apabila sel limfosit telah berdeferensiasi menjadi SSLC, maka sel
tersebut akan segera melepaskan berbagai mediator yang dikenal dengan
nama limfokin (“lymphokines”) (Steinnetz & Balko, 1973). Lewat
sirkulasi darah, zat limfokin ini akan mempengaruhi sel-sel fagosit lain
di dalam tubuh, yaitu antara lain, merangsang sel limfosit berkembang

4
biak lebih banyak lagi, mengaktifkan sel makrofag sehingga dapat
membunuh sel bakteri intraseluler, menghambar pergerakan sel
makrofag sehingga sehingga terlokalisasi di daerah adanya antigen asing
(WHO, 1969). Zat limfokin ini juga mengandung suatu racun
(lymphocytoxin) yang dapat menghancurkan secara langsung antigen
asing (Steinmetz & Balko, 1973). Di samping liwat zat limfokin, maka
antigen asing tadi dapat juga dihancurkan oleh sel limfosit-T yang
tersensitisasi secara langsung, dalam hal ini sel tersebut langsung
bersifat sitotoksik terhadap sel target (Waksman & Brunner, 1971). Jadi
secara garis besar, maka hasil akhir imunitas seluler ialah hancurnya
antigen asing, baik secara langsung oleh sel limfosit, maupun tidak
secara langsung, yaitu lewat mediator limfokin.
E. Sistem Komplemen
Apabila ini dalam tubuh terjadi suatu reaksi antara antibodi, dalam
halini IgG atau IgM, dengan suatu bakgram negatif, maka bakteri itu
akan bakteri itu akan diaglutinasikan tetapi tidak mati (Bellanti, 1971).
Pembunuhan bakteri itu dapat dilaksanakan secara langsung oleh sl-sel
fagosit tubh, akan tetapi seringkali sebelum difagosit, bakteri tersebut
mengalami proses bakteriolisis. Peristiwa initerjadi setelah sistem
komplemen di dalam darah (emia) diaktifkan oleh kompleks antigen
dengan antibodinya.
Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari 11
komponen protein yang beredar di dalam sirkulasi darah secara terpisah
dan inaktif. Oleh para ahli komponen-komponen itu dinamakan : Clq,
Clr, Cls, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9.
Secara garis besar, aktivasi sistem komplemen ini dapat
dikelompokkan menjadi lima tingkat (Tjokronegoro, 77), yaitu:
1. Pengenalan serta pengikatan permulaan sistem komplemen
oleh kompleks antigen-antibodi.
2. Pengikatan komponen C2 dan C4, serta pembentukan “C3-
convertase” (C124).

5
3. Pengikatan komponen C3 dan pembentukan “C3-dependent-
peptida-se” (C1243).
4. Pembentukan suatu intermediate C1 – 7 yang stabil terhadap
suhu panas.
5. Tingkat terakhir, aktivasi komponen C8 dan C9, sehinggan
seluruh kompleks komponen terbentuk: (C124356789).

Sistem komplementen sebenarnya dapat diaktifkan lewat jalan


sampingan, artinya tidak perlu harus ada reaksi antara antigen dengan
antibodinya. Hal ini umpamanya dapat terjadi akibat pengaruh: endotoksin
bakteri gram negatif, bisa ular kobra, protein-A bakteri stafilokok, lapisan
lipopolisakarida bakteri, agregat-agregat molekul IgG dan IgA (Gotze et
al., 1971).

F. Imunopatologi
Telah diutarakaan bahwa baik reaksi imun humoral maupun seluler
memegang peranan yang penting dalam menjaga tubuh dari serangan
mikroorganisme. Immunoglobulin dan “sensitized lymphocyte cell”
adalah sebagian dari mekanisme efektor imun yang cukup ampuh
menjaga tubuh. Sudah lama diketahui bahwa efektor imun yang sama
dapat pula menyebabkan penyakit, sehingga sistem imun tubuh sering
diumpamakan sebagai sebilah pisau yang kedua sisinya tajam. Reaksi
imun yang menyebabkan kerusakan itu, kemudian dikenal dengan nama
alergi atau hipersenitivitas, dan ilmu yang mempelajari perubahan
jaringan atau sel akibat manifestasi berbagai tipe reaksi hiperenitiviitass
atau alergik dibahas dalam imunologi.
Biasanya lebih dari satu sistem organ ikut terkena dalam satu
macam proses alergik, dan perunahan dalam berbagai sistem organ yang
disebabkan oleh prosesyang sama memperlihatkan kelainan patologik
yang sama pula. Berdasarkan hal ijni, maka para ahli telah mengajukan
klasifikasi kelainan yang disebabkan oleh suatu tipe mekanisme alerrgik
yang terjadi, dan bukan klasifikasi yang didasarkan atas kelainan lokasi

6
anatomic proses patologik. Klasifikasi yang dianut ini tidak lain adalah
klasifikasi reaksi alergik menurut Coomb dan Gell yang terkenal itu
(Coombs & Gell, 1968).
Menurut pembagian yang ditinjau dari sudut mekanisme imun,
maka proses imunopatologi di dalam tubuh dapat dibagi dalam empat
tipe, yaitu:
1. Reaksi atopic atau anafilaktik (Reaksi tipe I)
2. Reaksi sitotoksik atau sitolitik (Reaksi tipe II)
3. Reaksi Arthus atau kompleks-toksik (Reaksi tipe III)
4. Reaksi seluler atau “delayed hypersensitivity” (Reaksi tipe IV).

Tipe I hingga II adalah reaki yang dibawakan oleh antibody,


sedangkan tipe IV oleh “specifically senitized lymphocytecell”, dengan
perkataan lain, tiga yang pertama termasuk imunitashumoral,
sedangkan yang terakhir termauk imunitas seluler. Akhir-akhir ini
berbagai sarjan mencoba memperluas pembagian ini walaupun
dasarnya masih tetapsama, tetapi pada kertas kerja ini tidak akan
disinggung.

 Reaksi tipe I (Reaksi anafilaktik)


Reaksi anafilaktik atau reaksi yang disebabkan regain
sering disebut reaksi “immediate hypersensitivity”
(hipersensitivitas jenis cepat) untuk membedakan dengan reaksi
“delayed hypersensitivity” (hipersensitivitas jenis lambat). Yang
dimaksudkan dengan reaksi jenis cepat ini ialah reaksi jaringan
yang terjadi dalam beberapa menit sebagai mmanifestasi
berkontaknya antigen dengan antibodi (Indrayana &
Tjokronegoro, 1976).
Tergantung pada cara masuknya antigen atau allergen,
gejala klinik dapat bersifat sistemik atau local. Gejala klinik yang
mungkin ditemukan pada berbagai sistem organ adalah sebagai
berikut:

7
1) Tractus respiratorius: obstruksi bronkial dan edema
laryngeal.
2) Tractus gastrointestinal: enek, muntah, kramp, rasa
sakit dan diare.
3) Tactus kardiovaskular: hipotensi dan “shock” dan
4) Kulit: gatal, eritema, edema dan erupsi makulo-popular.
 Reaksi tipe II (Reaksi sitotoksik)
Kalau reaksi tipe I disebabkan karena adanya antigen bebas
yang bereaksi dengan antibody yang sudah terikat pada suatu
jaringan aatau sel, maka pada reaksi tipe II ini, justru ditemukan
antibody dalam keadaan bebas yang nantinya akan bereaksi
dengan suatu antigen di permukaan sel atau membrane jaringan
tubuh (Well, 1976). Oleh karena hanya dua kelas
immunoglobulin yang dapat mengaktifkan sistem komplemen,
maka reaksi tipe II ini umumnya disebabkan oleh IgG atau IgM
(Spiegelberg, 1974). Keadaan kerusakan dapat diperburuk lagi
dengan turut terangsangnya sel-sel fagosit, baik dengan atau
tanpa pengaruh aktivasi sistem komplemen maupun akibat
adanya efektor sel-sel limfoid lain (Roitt, 1973). Suatu sel target
yang telah bereaksi dengan antibodi IgG dapat dihancurkan oleh
sel limfosit yang “non-sensitized” secara non-fagositosis
ekstraseluler (Byer & Levin, 1976). Di dalam klinik, maka reaksi
tipe II ini sering ditemukan pada:
1) Transfusi darah yang tidak sesuai dengan sistem
golongan darah, sehingga menimbulkan penyakit
anemia hemolitik (Race & Sanger, 1962).
2) Pemberian obat-obatan seperti phenacetin, yang akan
mengubah keantigenan sel darah merah, sehingga
antibody yang terbentuk akan bereaksi dan
menimbulkan penyakit anemia hemolitik (Dacie &
Wolledge, 1969).

8
3) Keadaan dimana ibu dengan faktor Rhesus negatif
mengandung bayi dengan Rhesus positif, sehingga anti-
Rhesus IgG ibu akan menyebabkan penyakit
Erythroblastosis foetalis pada bayi (Race & Sanger).
4) Pemberian obat-obatan seperti sulfapyrinine dan
aminopurine. Di dalam tubuh obat ini akan bersifat
sebagai hapten dan melekat pada sel darah putih,
sehingga reaksi dengan antibodinya akan menimbulkan
penyakit Agranulocytosis acuta (Waksman, 1958).
5) “Allergic aspermatogenesis”, yaitu keadaan dimana
terdapat anti-testis yang bersifat sitotoksik terhadap
jaringan testis (Tjokronegoro, 1976).
6) Sindroma goodpasture, dimana ditemukan autoantibodi
terhadap membrane basalis glomerulus ginjal dan
kerusakan ini diperhebat dengan turut aktifnya sistem
komplemen (Benoit et al., 1964).
 Reaksi tipe III (Reaksi kompleks-toksik)
Berbeda dengan reaksi tipe I dan II, maka antigen “soluble”
maupun antibodinya, berada dalam keadaan bebas di dalam
sirkulais darah dan apabila keduanya bereaksi, akan timbul suatu
kompleks imun; tergantung daripada perbandingan antara antigen
dengan antibodi, maka kompleks imun itudapat berada dalam
bentuk “antigen excess” (“soluble complex”) atau “antibodi
excess” (“precipitate” atau “insoluble complex”) (Roitt, 1975).
Kelainan ini dimulai dengan terbentuknya kompleks
antigen-antibodi dalam bentuk “soluble”, karena jumlah antigen
dalam bentuk bebas lebih banyak daripada antibodinya, dan
kompleksini akan mengikuti sirkulasi darah hingga akhirnya
dideposit di berbagai tempat diseluruh tubuh, umpamanya
glomerulus ginjal, limpa, kelenjar limfe, dll. Setelah berada pada
jaringan-jaringan itu, sistem komplemen kemudian diaktifkan

9
sehingga terjadi kerusakan yang lebih hebat kagi, oleh karena
sel-sel lekosit telah ikut mengambil bagian. Dewasa ini, banyak
penyakit yang patofisiologinya berhubungan dengan
terbentuknya kompleks imun di dalam pembuluh darah atau
jaringan dan kumpulan penyakit ini dikenal dengan nama
“immune complex disease” (Wells, 1976), yaitu antara lain:
1. Glomerulonephritis: peradangan glomerulus ginjal yang
disebabkan karena deposit kompleks antigen-antiibodi dan
aktivasi komplemen.
2. “Collagen disease”, suatukumpulan penyakit kelainannya
ditemukan pada jaringan penyambung berupa nekrosis
fibrinoid dan penyebabnya adalah kompleks imun antigen-
antibodi (Turk, 1972). Penyakit-penyakit yang tergolong
“collagen disease”, antara lain:
a. Polyarteritis nodosa, kelainaan paada ppembuluh darah
kecil berupa peradangan sehingga timbul thrombosis dan
obstruksi aliran darah (McCombs, 1965).
b. “Systemic lupus erythematosis”, suatu sindroma yang
kompleks disebabkan karena adanya autoantibodi
terhadap antigen sel tubuhnya sendiri, terutama nukleo-
protein (Cohen & Canoso, 1972).
c. “Rheumatoid arthritis”, suatu sindroma dimana
ditemukan peradangan pada persendian akibat adanya
autoantibodi dan biasanya ditemukan faktor rheumatoid,
yaitu sirkulasi immunoglobulin (biasanya IgM) dengan
aktivitas antibody terhadap berbagai komponen
immunoglobulin (Bartfeld & Epstein, 1969).
d. “Rheumatic fever”, yaitu suatu penyakit sistemik akuta
yang meliputi perandangan jantung (carditis), persendian
(polyarthritis), kulit (erythema), pergerakan otot yang
tidak teratur (chorea) dan nodul subkutan, yang agaknya

10
disebabkan karena adanya antibodi terhadap komponen
bakteri streptokokus grup A (Sumarmo & Tjokronegoro,
1976).
 Reaksi tipe IV (Reaksi seluler)
Reaksi tipe IV atau reaksi seluler, terjadi oleh karena sel
limfosit yang telah tersensitisasi bereaksi spesifik dengan suatu
antigen tertentu, sehingga menimbulkan reaksi imun dengan
manifestasi infiltrasi sel-sel limfosit dan monosit (makrofag)
serta adanya indurasi jaringan pada daerah tempat lokalisasi
antigen tersebut (Maddison, 1973). Reaksi ini sama sekali tidak
memerlukan antibodi seperti pada ketiga tipe alergi, bahkan juga
tidak memerlukan aktivasi sistem komplemen, sehingga reaksi
ini tidak dapat ditransfer secara pasif dengan mempergunakan
serum, melainkan dengan sel limfosit sensitive atau ekstraknya
berupa “transfer factor” (Kirkpatrick, 1975).
Berbagai contoh hipersensitivitas jenis lambat sebagai
manifestasi imunitas seluler, dapat ditemukan antara lain pada
keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Kontak alergi, suatu respon imun yang bermanifestasi di
kulit akibat berkontak dengan zat-zat kimia yang sederhana,
tetapi sanggup bergabung dengan protein tubuh. Hapten-
hapten seperti ini, antara lain: mercury, nickel, chromium,
potassium dichromate, dinitro-chloro-benzen, picrylchloride
dll. (Gell & Benacerraf, 1961).
2. Infeksi berbagai virus. Hipersensitivitas jenis lambat
terhadap infeksi virus dapat bersifat proteksi dengan jalan
menghalangi multiplikasi virus atau bersifat destruktif
terhadap sel-sel manusia yang masih berfungsi, tetapi sudah
mengekspresikan antigen virus, hal ini sering ditemukan
pada enchepalomyelitis post-infeksi (mumps, measles),
hepatitis virus (Merigan, 1974).

11
3. Pembentukan granuloma, yaitu suatu reaksi peradangan
kronik yang berhubungan denga poliferasi sel histiosit di
dalam jaringan yang makin laama makin berkembang
menjadi besar dan menetap untuk waktu lama. Hal ini sering
ditemukan pada penyakit tuberculosis (Dannenburg, 1968),
lepra tipe tuberkuloid (Tjokronegoro et al., 1976) dan
parasite, seperti schistosomiasis (WHO, 1974).
4. Penyakit autoimun, yaitu penyakit yang disebabkan oleh
adanya reaksi imunitas seluler terhadap antigen tubuhnya
sendiri, tentu kemungkinan adanya imunitas humoral
bersama-sama tidak dapat diabaikan (Talal et al., 1976).

12
2. SISTEM REPRODUKSI MANUSIA
A. Sistem Reproduksi Pria
1. Testis
Testis merupakan kelenjar tubuler majemuk yang
mempunyai dua fungsi, yaitu reproduksi dan hormonal. Testis
terletak didalam skrotum. Skrotum adalah kantong kulit dan fasia
superfisal yang menggantung dari bagian dasar penis (Pack, 2007:
266). Testis memiliki struktur dari luar sebagai berikut:
1. Tunika vaginalis, merupakan membrane serum luar
berlapis dua yang mengelilingi setiap testis.
2. Tunika albugenia terdapat di dalam tunika vaginalis dan
menonjol ke dalam, membagi setiap testis menjadi
beberapa ruang yang disebut lobules.
3. Tubulus seminefirus, yang terdapat didalam lobulus.
Diantara tubulus-tubulus seminiferous yangmempunyai
fungsi reproduksi terdapat sel-sel intersisiel yang disebut
sel leydig. Sel-sel leydig inilah yang menghasilkan
hormone testosterone. Hormone testosterone
bertanggujawab terhadap perkembangan sifat kelamin
sekunder pria, seperti tumbuhnya rambut pada tempat-
tempat tertentu, membesarnya laring, hingga suara
menjadi berat dan rendah (Hernawati, 2008).
4. Rete testis, adalah jaringan tabung yang dibentuk oleh
bersatunya beberapa tubulus rektus dari setiap lobula.
5. Duktus eferen, saluran yang memindahkan sperma ke
luar testis, dari rete testis ke epididimis.
2. Epididimis dan Pematangan Spermatozoa
Epididymis merupakan organ berbentuk koma yang terletak
di sebelah testis. Setiap dua epididymis mempunyai tabung yang
bergelung dengan ketat. Epididymis dibedakan menjadi tiga
region, yitu kepala (caput), badan (corpus) dan ekor (corda).

13
Pada spermatogenesis, proses pematangan spermatozoa
terjadi di epididymis. Spermatozoa yang matang merupakan sel
yang sangat khas, dimana inti dikemas sangat padat dengan
akrosom terdapat di daerah apikal dekat inti dan mitikondria
tersusun dalam bentuk spiral di sekeliling pangkal flagel (Garner
dan Hafez, 2000). Sel spermatozoa diproduksi, kemudian
meninggalkan testes belum mampu untuk membuahi sehingga
diperlukan tahapan pematangan dalaam epididymis (Visconti et al.,
1995).
Pada tahap spermiogenesis terjadi perubahan topografi di
dalam sel spermatid yang terdiri dari empat fase yaitu golgi,
tudung, akrosom dan maturasi. Pada proses ini, inti akan menjadi
padat dan bagian kepalan spermatozoa dikelilingi oleh sedikit
sitoplasma, selanjutnya sebagian sebagian besar sitoplasma
bergerak ke arah ekor, dan kompleks golgi mensistesis akrososm di
daerah apical kepala, sedangkan di daerah ekor sentriol menjadi
titik awal untuk perkembangan flagel dan sentriol posterior
membentuk suatu cincin yang mengelilingi pangkal flagell
(Jhonson dan Everit, 1995).
Proses pematangan spermatozoa juga diiringi dengan
terjadinya serangkaian prubahan jumlah dan keberadaan protein
khususnya pada membrane kepala spermatozoa. Proses ini disebut
dengan polarisasi protein. Polarisasi protein diperlukan dalam
perubahan morfologi dan fungsi spermatozoa (Hunnicut et al.,
1997). Pada proses ini, protein membrane kepala spermatozoa akan
bersegegasi dari anterior head domain (AHD) atau posterior head
domain (PHD) dan ditemukan ketika spermatozoa sesaat
meninggalkan testes (Hunnicut et al., 2004). Faktor-faktor yang
mempengaruhi polarisasi protein membrane spermatozoa adalah
interaksi protein dengan sitoskeleton, interaksi protein dengan

14
matriks ekstraeluler dan peningkatan fluiditas lipid bilayer
(Hunnicut et al., 1997).
Membrane spermatozoa sebelum bercampur dengan
ejakulat masih memiliki materi penting ketika dibagian cauda
epididymis. Struktur membrane spermatozoa masih diliputi oleh
banyak zat seperti protein, karbohidrat, lipid dan materi lain
(Kohane et al., 1987). Pelepasan sebagian materi dari permukaan
membrane spermatozoa merupakan bagian penting dalam kapaitasi
(Visconti et al., 1995). Sel sel epitel epididymis aktif
mensekresikan cairan yang dibutuhkan spermatozoa selama berada
di epididymis (Setchell et al., 1994) seperti untuk perubahan
spermatozoa (Hammerstedt dan Parks, 1987) dan mencegah
terjadinya reaksi akrosom dini di epididymis dan sesaat setelah
ejakulasi (Hunter et al., 1978).
3. Duktus Deferen (Vas Deferen)
Duktus deferen (vas deferen) adalah tabung yang dilewati
perma ketika meninggalkan epididymis. Setiap dua tabung
memasuki rongga perut, melewati kandung kemih (cysto),
kemudian bersama-sama dengan duktus dari vesikula seminalis
bergabung dengan duktus ejakulatori. Sebelum memsuki saluran
ejakulatori, duktus deferen membesar membentuk daerah yang
disebut ampula. Sperma disimpan dalam duktus eferen sampai
koontraksi peristaltic otot polos di sekitar duktus mendorong
sperma ke depan selama ejakulasi.
4. Duktus ejakulator
Duktus ejakulator adalah tabung pendek yang
menghubungkan setip duktus deferen dan uretra.
5. Uretra
Uretra adalah jalan bagi urin dan semen. Terdapat tiga
daerah uretra yaitu uretra prostat, melewati kelenjar prostat. Uretra
menyelaput, melewati diaafragma urogenitalia dan uretra spons

15
(penil), yang melewati daeraah peenis. Uretra berakhir pada mulut
uretra eksternal.
6. Pita Sperma (Spermatid Cord)
Pita sperma (Spermatid cord) mengandung pembuluh
darah, pembuluh darah limfa, saraf, duktus deferen dan otot
kremaster. Pita sperma menghubungkan setiap testis ke rongga
tubuh, memasuki dinding perut melewati saluran inguen.
7. Kelenjar Asesoris
Kelenjar asesoris adalah kelenjar pelengkap yang
mensekresikan zat ke dalam jalan yang membawa sperma.
Fungsinya adalah sebagai penghasil cairan pada semen. Ada tiga
kelenjar asesoris yaitu:
a. Vesikula Seminalis
Vesikula seminalis berfungsi mensekresikan:
 Cairan alkali, yang menetralkan asama di
dalam vagina
 Fruktosa, yang menghasilkan energy bagi
sperma.
 Prostaglandin, yang menambah daya tahan
hidup perma dan merangsang kontraksi
rahim wanita untuk membantu sperma mauk
ke dalam rahim.
b. Kelenjar Prostat
Mensekresikan cairan berwarna putih susu, sedikit
asam ke dalam uretra. Berbagai zat di dalam cairan ini
menambah gerakan dan kelangsungan sperma.
c. Kelenjar Cowper
Mensekresikan cairan alkali ke dalam uretra spons. Cairan
tersebut menetralkan keasaman urin pada uretra sebelum
terjadi ejakulasi.

16
8. Penis
Penis adalah organ silindris yang berfungsi untuk
melewatkan urin dan membawa sperma. Penis terdiri dari tiga
bagian, yaitu:
 Akar yang menghubungkan penis ke perineum.
 Badan (batang) yang menyusun sebagian besar penis.
 Gland penis, bagiaan ujung badan yang membesar.

Gland penis dilapisi oleh preputium yang dapat dihilangkan


saat operasi sunat (circumsisi). Secara internal, penis terdiri atas
tiga massa jaringan silindris, masing-masing dikelilingi oleh lapisa
tipis jaringan menyerabut yang disebut tunika albuginia. Tiga masa
silindris, yangberfungsi sebagai badan erektil adalah sebagai
berikut:

 Dua corpora kavernosa (corpora cavernosa) mengisi


sebagian besar volume penis. Bagian dasatnya disebut
kru penis, menempel pada diafragma urogenitalia.
 Korpus spongiosum (corpora spongiosum), merupakan
badan tunggal melindungi uretra dan membesar di
bagian ujung membentuk gland penis. Bagian bulat
pada penis merupakan pembesara korpus spongiosum,
yang menempel pada diafragma urogenitalia.

17
B. Sistem Reproduksi Wanita
Sistem reproduksi wanita meliputi ovarium, sebagai organ
primer. Saluran dan kelenjar berupa oviduk, uterus, vagina dan alat
reproduksi genitalia luar.
1. Ovarium
Ovarium merupakan organ berbentuk buah amandel,
bergaris tengan 5 cm, dengan lebar 1-3 cm dan tebal antara 0,6-1,5
cm. terdiri atas bagian medulla yang merupakan jaringan ikat
vaskuler, serta bagiian korteks yamng banyak mengandung folikel-
folikel telur (Hernawati, 2008). Pack (2007: 272) menjelaskan
ovarium akan menghasilkan ovum atau telur yangterdaapat di kiri
dan kanan, yang ditahan oleh beberapaa ligament berikut:
1. Mesovarium, lipatan peritoneum yang menahan ovararium
pada tempatnya.
2. Ligament suspensori, berfungsi sebagai kait pada bagian
atas ovarium ke dinding panggul.
3. Ligament lebar (broad ligament), bagian dari peritoneum
yang menyelimjuti ovarium dan uterus.
4. Ligament ovarium, mengaitkan ujung bagian bawah ke
uterus.

Bagian luar ovarium dilapisi oleh epithelium germinal berupa


epitel sederhana daan tunika albugenia, merupakan lapisan
menyerabut di dalam epitel germinal. Sedangkan di gbagian dalam
ovarium (stroma) dibedakan menjadi du daeraah yaitu korteks
(bagian luar) dan medulla (bagian dalam). Folikel-folikel ini
tertanam dalam stroma korteks. Ada tiga macam folikel telur yaitu
(1) folikel oerimordial (primer); (2) folikel pertumbuhan
(sekunder); dan (3) foliker Graaf. Folikel Graaf akan berovulasi
daan sel-sel folikel yang tersissa akan menjadi korpus luteum.

18
2. Oviduct
Oviduct merupakan saluran yang menghubungkan ovarium
dengan uterus. Bersama dengan tuba fallopi, oviduct membawa
oosit sekunder dari ovarium ke uteruss. Oviduct juga merupakan
tempat pertemuan sperma dengaan oosit (fertilisasi). Struktur
oviduct (Pack, 2007: 274) adalah:
a) Infundibulum, daerah terpanjang dan terlebar yang memiliki
penonjolan seperti jari-jari yang disebut fimbria. Silia yang
bergetar pada fimbria memancing oosit untuk berpindah ke
oviduct.
b) Ampulla, daerah terpanjang dan terlebar dari oviduct.
Fertilisasi terjadi di ampulla.
c) Isthmus, daerah sempit pada oviduct yang ujungnya memasuki
uterus.
3. Uterus
Uterus (rahim) adalah organ berongga tempat
berkembangnya janiin. Uterus memiliki bagian berikut:
 Fundus, bagian atas uterus yang berhunungan dengan
oviduct.
 Corpus, bagian utama uterus.
 Isthmus, bagian bawah pada uterus.
 Serviks, saluran sempit di bagian dalam uterus menuju
vagina. Bagian dalam serviks saluran serviks terbuka
menuju uterus di atasnya melewati ostium internal menuju
vagina di bawahnya lewat ostium ksternal. Mucus serviks
yang disekresi oleh lpisan mukosa pada saluran serviks
berfungsi untuk melindungi diri dari bakteri yang masukke
uterus dari vagina.

Uterus ditahan oleh empat ligament, yaitu ligament


lebar,ligament uterosakral, ligament bulat dan ligament cardinal

19
(serviks lateral). Dinding uterus (rahim) terdiri dari tiga lapisan
yaitu perimetriium, myometrium dan endometrium. Perimetrium
adalah membrane serum yang membatasi bagian luar rahim.
Miometrium terdiri atas beberapa lapisan otot polos dan menjadi
sebagian besarr dinding rahim. Kontraksi otot-otot iniselama
melahirkan, mendororng janin ke luar rahim. Endometrium adalah
mukosa yang mempunyai banyak oembuluh darah yang membatasi
bagian dalam rahim.

4. Vagina
Vagina (saluran kelahiran) berfungsi sebagai jalan yang
dilewati oleh bayi ketika dilahirkan dan tempat penyimpanan
semen saat kopulasi. Bagian atas vagina mengelilingi serviks yang
menonjol, menciptakan rongga yang disebut forniks. Bagian bawah
vagina terbuka ke luar pada mulut vagina. Membrane tipis yang
disebut selaput dapat menutup mulut vagina.
5. Vulva
Vulva adalah bagian yang menjadi alat genitalia eksterrnal.
Vulv memiliki struktur mons pubis, labia mayor,labia minor,
vestibula dan klitoris.
 Mons pubis adalah daerah jaringan adiposedi atas vagina.
 Labia mayor adalah dua lipatan jaringan adipose yang
membatasi tiap sisi vagina. Terdapat juga rambut,
kelenjar minyak dan kelenjar keringat. Dalam
perkembangannya, labia mayor dianalogikan dengan
skrotum pada pria.
 Labia minor adalah lipatan kulit yang kecil, terdapat di
dalam labia mayor.
 Vestibula adalah rongga yang dibentuk oleh labia mayor.
Vestibula menutupi mulut vagina, lubang uretra dan

20
duktus dari kelenjar vestibula mayor yang sekresi
mukusnya melumasi vestibula.
 Klitoris adalah jaringan saraf erektil kecil yang terdapat
di atas vestibula. Perpanjangan labia minor bergabung
membentuk preputium pada klitoris, tudung lipatan kulit
yang melapisi klitoris.

C. Kelainan pada Sistem Reproduksi


1. Sifilis
Sifilis adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh
bakteri. Tanda-tanda Sifilis, antara lain terjadi luka pada alat
kelamin, rectum, lidah, dan bibir; pembengkakan getah bening
pada bagian paha; bercak-bercak diseluruh tubuh; tulang dan sendi
terasa nyeri ruam pada tubuh, khususnya tangan dan telapak kaki.
Tanda-tanda penyakit ini dapat hilang, namun bakteri
penyebab penyakit tetap masih di dalam tubuh, setelah beberapa
tahun dapat menyerang otak sehingga bisa mengakibatkan
kebutaan dan gila. Penyakit ini dapat disembuhkaan jika dilakukan
pengobatan dengna penggunaan antibiotic secara cepat.
2. Gonore (Kencing Nanah)
Gonore (kencing nanah) disebabkan oleh bakteri. Gejaala
dari gonore, antara lain keluarnya cairan seperti nanah dari saluran
kelamin; rasa panasdan sering kencing. Bakteri penyebab penyakit
ini dapat menyebar ke seluruhh tubuh sehingga menyebabkan rasa
nyeri pada persendian dan dapat mengakibatkaan kemandulan.
Penyakit ini dapat disembuhkan jika dilakukan pengobatan dengan
menggunakan antibiotic secara cepat.

21
3. Herpes Genetalis (Herpes simplex)
Herpes genetalis disebabkan oleh virus. Virus penyebab
penyakit herpes genetalis adalah Herpes simpleks. Gejala penyakit
herpes genetalis, antara lain timbulnya rasa gatal atau sakit pada
daerah kelamin dan adanya luka yang terbuka atau lepuhan berair.
4. Kanker Leher Rahim (Cervix uteri)
Kanker leher rahim adalah kanker yang menyerang leher
rahim pada perempuan dewasa. Layaknya semua kanker, kanker
leher rahim terjadi ditandai dengan adanya pertumbuhan sel-sel
pada leher rahim yang tidak lazim (abnormal). Tetapi, sebelum sel-
sel tersebut menjadi sel-sel kanker, terjadi beberapa perubahan
yang diaalaami oleh sel-sel tersebut. Perubahan sel-sel tersebut
biasanya memakan waktu sampai bertahun-tahun sebelum sel-sel
tadi berubah menjadi sel-sel kanker. Perubahan awal yang terjadi
pada sel kanker rahim tidak selalu merupakan suatu tanda-tanda
kanker. Perubahan sel-sel kanker, selanjutnya dapat menyebabkan
pendarahan di antara masa menstruasi.
5. Kanker Ovarium
Kanker ovarium adalah kanker yang menyerang ovarium,
biasanya menyerang wanita yang sudah menopause. Kanker
ovarium sebagian bear berbentuk tumor krisstik dan sebagian kecil
berbentuk tumor padat.
6. Kanker Prostat
Kanker prostat adalah penyakit kanker yang menyerang
kelenjar prostat, dimana sel-sel kelenjar prostat tumbuh secara
abnormal sehingga mendesak dan merusak jaringan sekitarnya.
Prostat adalah kelenjar seks pada pria yang berukuran kecil,
terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi saluran
kencing.

22
Gejala kanker prostat di antaranya adalah:
 Sering buang air kecil atau sulit buang air kecil.
 Urine berdarah.
 Nyeri pinggung atau punggung.
7. Candiloma Accuminata
Penyakit candiloma accuminata disebabkan oleh virus
Human papilloma. Gejalanya adalah timbulnya kutil yang dapat
membesar di mulut rahim yang bisa menimbulkan kanker rahim.
8. AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia, sehingga penderita AIDS menjadi rentan terhadap
berbagai infeksi.
9. Vulvovaginitis
Vulvovaginitis adalah peradangan pada vulva dan vagina
yang sering menimbulkan gejala keputihan (flour albus) yaitu
keluarnya cairan putih kehijauan dari vagina. Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Gardnertella vaginalis. Dapat pula oleh
protozoa, misalnya Trichomona vaginalis atau jamur Candida
albicans.
10. Impotensi
Impotensi adalah ketidakmampuan mempertahankan ereksi
penis. Impotensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
gangguan produksi hormone testosterone, kelainan psikis, penyakit
diabetes mellitus, kecanduan alkohol, obat-obatan, dan gangguan
sistem saraf.
11. Endometriosis
Endometriosis adalah terdapatnya jaringan endometrium di
luar rahim. Misalnya dapat ditemukan di ovarium, peritoneum,
usus besar, dan kandung kemih, akibat pengaliran balik darah

23
menstruasi melalui Tuba fallopi. Gejalanya adalah rasaa nyeri saat
menstruasi karena jaaringa endometritis luruh bersama dengan
menstruasi. Dapat diobati dengan operrasi atau pemberian hormone
progesterone.
12. Ejakulasi Dini (ED)
Ejakulasi dini (ED) yaitu gangguan seksual pada pria
dimana proses ejakulasi tidak bisa dikendalikan.

24
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem imun adalah bagian terpenting dari sistem pertahanan
tubuh. Sistem imun melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen.
Sistem imun mampu menghasilkan sel-sel serta molekul yang secara
spesifik dapat mengenali dan memberi respon berupa eliminasi berbagai
unsur patogen. Secara garis besar, tubuh manusia mempunyai dua sistem
imunitas yang dapat menjada diri dari kerusakan-kerusakan oleh infeksi
dan kanker. Yang satu merupakan respons imunitas seluler, yang dapat
menyerang bakteri intraseluler, virus dan menolak tumor serta jaringan
transplantasi, sedangkan yang lain merupakan respons imunitas humoral,
kekebalan yang dibawakan oleh molekul antibody dan sangat efektif
dalam menanggulangi infeksi bakteri ekstraseluler dan reinfeksi virus.
Sistem reproduksi adalah sistem yang berperan dalam
menghasilkan gamet fungsional pada tubuh. Reproduksi menggambarkan
pembuatan telur, sperma dan proses-proses yang menyertainya sampai
pembuahan (fertilisasi). Sistem reproduksi terdiri dari organ seks primer
atau gonad (testis pada pria dan ovarium pada wanita), yang
mensekresikan hormone dan menghasilkan gamet (sperma dan telur).
Selain itu, juga ada organ seks sekunder berupa kelenjar dan saluran-
saluran.

25
DAFTAR PUSTAKA

Amman, J. A., &Wars, D. W. 1975 Evaluation of infant and children with


recurrent infection.

Bellannti, J. A. 1971 Immunology, W. B. Saunders Company, London

Benoit, F.I., Rulon, D. B., Theil, G. B., Doolan, P.D., & Watten, R. H., 1964
Goodpasture’s syndrome: A clinicopathologic entity, Am. J. Med. 37: 424-9

Bernier, G. M. 1974 Structur of human immunoglobulin: Myeloma proteins as


analogues of antibody. Prog. Allergy 14: 1-5

Bretcher, P. A., & Cohn, A. 1970 Atheory of self-non-self discrimination. Science


153; 1042-5

Byers, V. S., & Levin, A. S. 1976 Tumor immunology, dalam H. H. Fudenberg et


al. (eds): Basic and Clinical Immunology, pp. 230-35. Maruzen Company
Limited, Tokyo

Coombs, R. R. A., & Gell. P. G. H. 1968 Classification of allergic reaction


responsible for clinical hypersensitivity and disease, dalam P. G. H. Gell & R. R.
A. Coombs (eds): Clinical Aspects of Immunology. 2nd ed., pp. 208-214. Blackwell
Scientific Publications, London.

Cooper, M. D., & Lawton, A. R. 1974 The development of the immune system,
Sci. Am. 231; 58-61.

Dacic, J. V., & Wolledge, S. M. 1969 Autoimmune hemolytic anemia. Progr.


Hematol. 6: 1-5.

Garner DL and Hafz ESE. 2000. Spermatozoa and seminal plasma. In: Hafez B,
Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animals, 7th Ed. South Caroline:
Lippincot Williem and Wilson: 96-109.

26
Goldschneider, I., & McGregor, D. D. 1973 Anatomical distribution of T and B
limphocytes in the rat. Development of lymphocyte specific antisera. J. Exp. Med.
138: 1433-6.

Gotze, O., & Muller – Eberhard, H. J. 1971 The C3 activator system : An


alternate pathway of complement activation. J. Exp. Med. 134: 905-909.

Hammerstedt RH and Parks JE. 1987. Changes in sperm surface associated with
epididymal transit. J Reprod Fertil Suppl 34: 133-149.

Hunnicut G, Koppel DE and Myles DG. 1997. Analysis of the process of


localization of fertilin to the sperm posterior head plasma membrane domain
during sperm maturation in the epididymis. Dev Biol 191: 146-159.

Hunter RHF, Holtz W and Hermann H. 1978. Stabilizing role of epididymal


plasma in relation to the capacitation time of boar spermatozoa. Anim Reprod Scie
1: 161-166.

Indrayana, T., & Tjokronegoro, A. 1976 Beberapa istilah dan asas dalam bidang
alergologi. M. Ked. Indon. 26 (5-6): 897-9.

Jerne, N. K. 1973 The immune system. Sci. Am. 230: 20-28.

Jhonson MH and Everit BT. 1995. Essentrial Reproduction, 4th Ed. Oxford:
Blackwell Scientific Ltd: 50-74.

Kohane Al, Pinicoro L and Blaqueir JA. 1987. Androgen controlled synthesis of
specific protein in the rat epididymis. Endocrinology 112: 1590-1596.

Pack PE. 2007. Anatomi dan Fisiologi (Terjemahan oleh Thedorus Dharma
Wibisono). Bandung: Pakar Raya: 265-282.

Playfair, J. H. L. 1971 Gell cooperation in the human response. Clin. Exp.


Immunol. 3: 521-7.

Putnam, F. W. 1969 Immunoglobulin structure: Variability and homology.


Science 163: 633-7.

27
Race, R. R., & Sanger, R. 1962 Blood Groups in Man. F. A. Davis, Philadelphia.

Ritzmann, S. E., Daniels, J. C., Sakai, H., & Beathard, G. A 1973 The lymphocyte
in immunobiology. Ann. Allergy 31: 109-112.

Roitt, I. M. 1975 Essential Immunology, 2nd ed. Blackwell Scientific Publication,


London.

Saunders, G. C. 1970 Development of the immune response, dalam P. Abramof &


M. La Via (eds): Biology of the Immue Response, pp. 93-128. McGraw-Hill Book
Company, New York.

Spiegelberg, H. L. 1974 Biological activities of immunoglobulins of different


classes nd subclasses. Adv. Immunol. 19: 259-62.

Teinmetz, P. R., & Balko, G. 1973 Lymphocyte mediators and cellular


hypersensitivy. New Engl. J. Med. 288: 143-7.

Tjokronegoro, A. 1976 Penyakit autoalergi pada sistem traktus reproduksi pria.


Cermin Dunia Ked. 6: 25-30.

Visconti PE et al. 1995. Capacitation of mouse spermatozoa, correlation beetwen


the capacitation state and protein tyrosine phosphorylation. Dev Bio 121: 1129-
1150.

Waksman, B. H., & Brunner, K. T. 1971 Cytotoxic activities of lymphocytes,


dalam B. Amos (ed): Progress in Immunology, pp. 84-90. Academic Press, New
York.

Wells, J. V. 1976 Immune mechanisms in tissue damage, dalam H. H. Fudenberg


et al. (eds): Basic and Clinical Immunology, pp. 208-211. Maruzen Company
Limited, Tokyo.

World Health Organization 1974 Immunology of Schistosomiasis. Bull. World


Health Org. 51: 553-8.

28
https://www.google.co.id/url?q=http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php
%3FdataId
%3D8273&sa=U&ved=2ahUKEwi8pYyrpezeAhXKq48KHZuwCaI4ChAWMA
R6BAgBEAE&usg=AOvVaw3v5yQn4El23Ht18dTqFHeV

https://www.google.co.id/url?
q=https://media.neliti.com/media/publications/129559-ID-dua-sistem-tubuh-
reproduksi-dan-endokrin.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwjKpZOXp-
zeAhXVTX0KHVCGAnAQFjAEegQIAxAB&usg=AOvVaw1nEq_0k9vVlYaDb
yjtGu_O

https://www.google.co.id/url?
q=http://web.unair.ac.id/admin/file/f_35969_kelainan-
12.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwitxZW42PneAhVOfysKHQycAswQFjAEegQIAh
AB&usg=AOvVaw02UoU8GVuLZK0SOtTxABOw

29

Anda mungkin juga menyukai