Anda di halaman 1dari 35

GANGGUAN PERTUMBUHAN

Growth Faltering (Gangguan Pertumbuhan) adalah ketidakmampuan anak untuk


mencapai BB/TB sesuai dengan jalur pertumbuhan normalnya. Growth Faltering merupakan
kejadian yang sangat umum terjadi pada anak umur 0-6 bulan, dengan tanda goncangan
pertumbuhan, baik dalam pertumbuhan massa tubuh maupun pertumbuhan linier, yang kedua –
duanya menjurus ke arah penurunan grafik bila dibandingkan dengan rujukan tertentu. Anak
yang dua kali penimbangan berturut – turut tidak bertambah berat badannya merupakan
peringatan kepada ibu untuk segera mengambil tindakan pencegahan agar BB anak tidak
berlanjut menurun. Anak yang tidak sehat menurut kurva pertumbuhan pada KMS balita adalah
jika berat badannya berada pada pita warna kuning, di bawah pita warna hijau atau berat badan
anak berkurang / turun / tetap dibandingkan dengan bulan lalu, ditandai dengan berpindah ke pita
warna di bawahnya, juga jika berada di bawah garis merah.

 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pertumbuhan


Menurut Ali Khomsan, (2004) pertumbuhan fisik seseorang dipengaruhi oleh dua faktor
dominan yaitu lingkungan dan genetis. Kemampuan genetis dapat muncul secara optimal jika
didukung oleh faktor lingkungan yang kondusif, yang dimaksud dengan faktor lingkungan di
sini adalah intake gizi. Apabila terjadi tekanan terhadap dua faktor di atas, maka munculah
growth faltering. Hal senada juga diungkapkan oleh Soetjiningsih (2001) bahwa faktor
genetik merupakan modal dasar mencapai hasil pertumbuhan. Faktor internal seperti
biologis, termasuk genetic dan faktor eksternal seperti status gizi. Faktor internal (genetic)
antara lain termasuk berbagai faktor bawaan, jenis kelamin, obstetrik dan ras atau suku
bangsa. Apabila potensi genetik ini dapat berinteraksi dengan lingkungan yang tidak baik
maka akan menghasilkan gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan di Negara maju
lebih sering diakibatkan oleh faktor genetik ini. Di Negara sedang berkembang, gangguan
pertumbuhan selain disebabkan oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh lingkungan yang
tidak memungkinkan seseorang tumbuh secara optimal.
Faktor eksternal (lingkungan) antara lain faktor prenatal dan pasca natal. Faktor
lingkungan prenatal adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih
dalam kandungan. Lingkungan prenatal yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan adalah:
1. Gizi pada saat hamil. Apabila gizi ibu buruk akan menyebabkan berat badan bayi lahir
rendah, terhambatnya pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru lahir.
2. Mekanis
Kelainan bawaan pada bayi dapat disebabkan oleh trauma dan cairan yang kurang.
Demikian posisi janin yang tidak normal dapat menyebabkan berbagai kelainan pada
bayi yang dilahirkan dan pertumbuhan terhambat.
3. Toksin, berbagai jenis obat yang bersifat racun.
4. Endokrin / hormone, produksi hormone pertumbuhan terganggu.
5. Radiasi, seperti radiasi dari bom atom dan bocornya pipa gas beracun.
6. Infeksi Intrauterine, seperti varisela, malaria, HIV, virus hepatitis dan virus influenza.
7. Stres pada ibu hamil, apabila ibu hamil stress akan mempengaruhi pertumbuhan janin.
8. Anoksia Embrio, menurunnya oksigenasi janin melalui gangguan pada plasenta atau
tali pusat.

Faktor lingkungan pascanatal yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan adalah


lingkungan biologis, lingkungan fisik, faktor psikososial dan faktor keluarga dan adat
istiadat. Lingkungan biologis meliputi ras, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan ksehatan,
kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolism. Lingkungan fisik meliputi
cuaca, keadaan geografis, sanitasi lingkungan, keadaan rumah dan radiasi. Faktor psikososial
meliputi kualitas interaksi antara orang tua dan anak. Faktor keluarga dan adat istiadat
meliputi pekerjaan atau pendapatan keluarga, stabilitas rumah tangga.
Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu juga berperan menyebabkan
kasus gizi kurang. Juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yaitu kemiskinan yang tidak
memungkinkan orang tua memberikan makanan bergizi tingkat tinggi pada anaknya. Dalam
tumbuh kembang anak tidak sedikit peranan ibu dalam ekologi anak, yaitu peran ibu sebagai
genetik faktor yaitu pengaruh biologis terhadap pertumbuhan janin dan pengaruh
psikologisnya terhadap pertumbuhan postnatal. Memberikan ASI sedini mungkin segera
setelah lahir, merupakan stimulasi dini terhadap tumbuh kembang anak. Keuntungan untuk
bayi selain gizi ASI yang tinggi, juga adanya zat anti pada ASI yang melingungi bayi
terhadap berbagai macam infeksi. Hasil penelitian Satoto (1990) mengatakan bahwa growth
faltering oleh hampir semua anak sejak usia 2 – 6 bulan lebih awal dari pada tumbuh
kembang anak dalam jangka panjang. Growth faltering ini sangat dipengaruhi oleh pola
pemberian ASI, pemberian makanan tambahan yang terlalu dini dalam bentuk makanan yang
rendah energi dan sangat rendah protein menurunkan pemberian ASI yang pada gilirannya
menurunkan pertumbuhan gizi anak dan peningkatan kerentanan anak terhadap infeksi.,
kerentanan terhadap infeksi juga dipengaruhi oleh buruknya sanitasi lingkungan keluarga dan
perilaku perawatan kesehatan anak yang kurang baik. Jadi faktor determinan kuat yang
mempengaruhi pertumbuhan adalah lingkungan asuh anak dan konsumsi makanan anak
terutama masukan energi, protein, dan Fe. Sedangkan faktor yang secara tidak langsung
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah keadaan gizi dan kesehatan ibu
serta keadaan sosial ekonomi keluarga. Juga jenis kelamin diketahui berpengaruh dengan
keterlibatan sosial budaya dimana anak laki – laki cenderung tumbuh lebih baik daripada
anak perempuan.

 Penyebab Gangguan Pertumbuhan Tinggi Badan


Gangguan pertumbuhan dapat diakibatkan oleh penyebab primer dan sekunder. Penyebab
primer antara lain kelainan pertumbuhan tulang (osteokondroplasia, osteogenesis
imperfekta), kelainan kromosom (sindrom Turner, Down, dan lain-lain), kelainan metabolik
(mukopolisakaridosis, mukolipidosis), dan faktor keturunan (genetik, familial).
Gangguan pertumbuhan akibat penyebab primer umumnya sulit diperbaiki. Penyebab
sekunder antara lain retardasi pertumbuhan intra uterin, malnutrisi kronik, penyakit-penyakit
kronik (infeksi, kelainan jantung, paru, saluran cerna, hati, ginjal, darah dan lain-lain),
kelainan endokrin (defisiensi GH, IGF-1, hipotiroidisme, kelebihan glukokortikoid, diabetes
melitus, diabetes insipidus, rickets hipopostamemia) dan kelainan psikososial (sindrom
deprivasi emosional). Ada perawakan pendek pada anak yang akhirnya pada masa dewasa
dapat mencapai tinggi normal (dalam rentang midparental height), disebut lambat tumbuh
konstistusional akibat keterlambatan maturasi (usia) tulang lebih dari 2 tahun. Gangguan
pertumbuhan dapat berupa perawakan jangkung, antara lain disebabkan oleh kelainan
endokrin (pituitary gigantism, sexual precocity, tirotoksikosis, sindrom Beckwith-
Wiedeman), kelainan kromosom, dan variasi normal (genetik, konstitusional).

 Berat Badan
Berat badan dapat membantu mendeteksi gangguan pertumbuhan, yaitu dengan
menimbang berat badan secara periodik, kemudian dihubungkan menjadi sebuah garis pada
kurva berat badan yang dipublikasi oleh United Stated National Center for Health Statitistic
(NCHS) pada tahun 1979. Umumnya balita normal berat badannya selalu di atas persentil 5
kurva NCHS, namun bisa naik atau turun memotong 1-2 kurva persentil berat badan. Jika
kurva berat badan anak mendatar atau menurun hingga memotong lebih dari 2 kurva persentil,
disebut failure to thrive (gagal tumbuh), bisa disebabkan oleh faktor medik (organik,
penyakit) atau non medik (psikososial). Berat badan berkaitan erat dengan masalah nutrisi
(termasuk cairan, dehidrasi, retensi cairan). Obesitas dapat dijumpai dengan retardasi mental
(sindroma Prader-Willi dan Beckwith-Wiedeman).

 Kepala
Perhatikan ukuran, bentuk dan simetri kepala. Mikrosefali (lingkar kepala lebih kecil dari
persentil 3) mempunyai korelasi kuat dengan gangguan perkembangan kognitif, sedangkan
mikrosefali progresif berkaitan dengan degenerasi SSP. Makrosefali (lingkar kepala lebih
besar dari persentil 97) dapat disebabkan oleh hidrosefalus, neurofibromatosis dan lain-lain.
Bentuk kepala yang ‘aneh’ sering berkaitan dengan sindrom dengan gangguan tumbuh
kembang. Ubun-ubun besar biasanya menutup sebelum 18 bulan (selambat-lambatnya 29
bulan). Keterlambatan menutup dapat disebabkan oleh hipotiroidi dan peninggian tekanan
intrakranial (hidresefalus, perdarahan subdural atau pseudotumor serebri).
GANGGUAN PERKEMBANGAN

Masalah yang sering timbul dalam pertumbuhan dan perkembangan anak meliputi
gangguan pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, bahasa, emosi, dan perilaku.

 Gangguan Perkembangan Motorik


Perkembangan motorik yang lambat dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu
penyebab gangguan perkembangan motorik adalah kelainan tonus otot atau penyakit
neuromuskular. Anak dengan serebral palsi dapat mengalami keterbatasan perkembangan
motorik sebagai akibat spastisitas, athetosis, ataksia, atau hipotonia. Kelainan sumsum tulang
belakang seperti spina bifida juga dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik.
Penyakit neuromuscular sepeti muscular distrofi memperlihatkan keterlambatan dalam
kemampuan berjalan. Namun, tidak selamanya gangguan perkembangan motorik selalu
didasari adanya penyakit tersebut. Faktor lingkungan serta kepribadian anak juga dapat
mempengaruhi keterlambatan dalam perkembangan motorik. Anak yang tidak mempunyai
kesempatan untuk belajar seperti sering digendong atau diletakkan di baby walker dapat
mengalami keterlambatan dalam mencapai kemampuan motorik.

 Gangguan Perkembangan Bahasa


Kemampuan bahasa merupakan kombinasi seluruh system perkembangan anak.
Kemampuan berbahasa melibatkan kemapuan motorik, psikologis, emosional, dan perilaku
(Widyastuti, 2008). Gangguan perkembangan bahasa pada anak dapat diakibatkan berbagai
faktor, yaitu adanya faktor genetik, gangguan pendengaran, intelegensia rendah, kurangnya
interaksi anak dengan lingkungan, maturasi yang terlambat, dan faktor keluarga. Selain itu,
gangguan bicara juga dapat disebabkan karena adanya kelainan fisik seperti bibir sumbing
dan serebral palsi. Gagap juga termasuk salah satu gangguan perkembangan bahasa yang
dapat disebabkan karena adanya tekanan dari orang tua agar anak bicara jelas (Soetjingsih,
2003).
 Gangguan Emosi dan Perilaku
Selama tahap perkembangan, anak juga dapat mengalami berbagai gangguan yang terkait
dengan psikiatri. Kecemasan adalah salah satu gangguan yang muncul pada anak dan
memerlukan suatu intervensi khusus apabila mempengaruh interaksi sosial dan
perkembangan anak. Contoh kecemasan yang dapat dialami anak adalah fobia sekolah,
kecemasan berpisah, fobia sosial, dan kecemasan setelah mengalami trauma. Gangguan
perkembangan pervasif pada anak meliputi autisme serta gangguan perilaku dan interaksi
sosial. Menurut Widyastuti (2008) autism adalah kelainan neurobiologis yang menunjukkan
gangguan komunikasi, interaksi, dan perilaku. Autisme ditandai dengan terhambatnya
perkembangan bahasa, munculnya gerakan-gerakan aneh seperti berputar-putar, melompat-
lompat, atau mengamuk tanpa sebab.

 Beberapa Gangguan Tumbuh-Kembang yang Sering Ditemukan


1) Gangguan bicara dan bahasa.
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena
kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem
lainnya, sebab melibatkan kemampuan kognitif, motor, psikologis, emosi dan lingkungan
sekitar anak. Kurangnya stimulasi akan dapat menyebabkan gangguan bicara dan
berbahasa bahkan gangguan ini dapat menetap.
2) Celebral Palsy.
Merupakan suatu kelainan gerakan dan postur tubh yang tidak progresif, yang
disebabkan oleh karena suatu kerusakan/gangguan pada sel-sel motorik pada susunan
saraf pusat yang sedang tumbuh/belum selesai pertumbuhannya.
3) Sindrom Down.
Anak dengan Sindrom Down adalah individu yang dapat dikenal dari fenotipnya
dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom
21 yang berlebih. Perkembangannya lebih lambat dari anak yang normal. Beberapa faktor
seperti kelainan jantung kongenital, hipotonia yang berat, masalah biologis atau
lingkungan lainnya dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan
keterampilan untuk menolong diri sendiri.
4) Perawakan Pendek.
Short stature atau Perawakan Pendek merupakan suatu terminologi mengenai
tinggi badan yang berada di bawah persentil 3 atau -2 SD pada kurva pertumbuhan yang
berlaku pada populasi tersebut. Penyebabnya dapat karena varisasi normal, gangguan
gizi, kelainan kromosom, penyakit sistemik atau karena kelainan endokrin.
5) Gangguan Autisme.
Merupakan gangguan perkembangan pervasif pada anak yang gejalanya muncul
sebelum anak berumur 3 tahun. Pervasif berarti meliputi seluruh aspek perkembangan
sehingga gangguan tersebut sangat luas dan berat, yang mempengaruhi anak secara
mendalam. Gangguan perkembangan yang ditemukan pada autisme mencakup bidang
interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.
6) Retardasi Mental.
Merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensia yang rendah (IQ < 70)
yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan beradaptasi terhadap
tuntutan masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal.
7) Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)
Merupakan gangguan dimana anak mengalami kesulitan untuk memusatkan
perhatian yang seringkali disertai dengan hiperaktivitas
GLOBAL DEVELOPMENT DELAY (GDD)

DEFINISI
Merupakan keterlambatan tumbuh kembang anak berupa ketertinggalan secara signifikan
pada lebih dari dua aspek fisik, kemampuan kognitif, perilaku, emosi, atau perkembangan sosial
seorang anak bila dibandingkan dengan anak normal seusianya. Seorang anak dengan kondisi
tersebut akan tertunda dalam mencapai satu atau lebih perkembangan kemampuannya.

ETIOLOGI
Etiologi atau penyebab terjadinya GDD dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu: Faktor
Internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor dalam atau faktor keturunan yang
diturunkan kepada sang anak atau faktor genetik. Faktor eksternal Seperti kehamilan, kelahiran,
gizi, psikologis, pola asuh kedua orang tua dan stimulasi (Wahyono, 2008).

PATOFISIOLOGI
Keterlambatan perkembangan motorik anak diartikan sebagai keterlambatan
perkembangan dari unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh, dan perkembangan
tersebut erat kaitannya dengan perkembangan pusat motorik anak. Perkembangan pengendalian
gerakan tubuh meliputi kegitan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan spinal
cord. Keterlambatan perkembangan gerakan motorik anak dapat dibagi menjadi dua yaitu
motorik kasar dan motorik halus. Motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan
pergerakan dan sikap tubuh dan biasanya memerlukan tenaga, karena dilakukan oleh otot-otot
tubuh yang besar. Contohnya menegakkan kepala, tengkurap, merangkak, berjalan, berlari dan
sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh
tertentu saja dan dilakukan otot otot kecil, tetapi diperlukan koordinasi yang cermat, contohnya
memegang benda kecil dengan jari telunjuk dan ibu jari, memasukan benda kedalam botol,
menggambar (Khan & Underhill, 2006).

TANDA DAN GEJALA


Seorang anak GDD pada umumya akan mengalami tanda dan gejala diantaranya:
Keterlambatan perkembangan sesuai tahap perkembangan pada usianya misalnya anak terlambat
untuk bisa duduk, berdiri, dan berjalan, keterlambatan kemampuan motorik halus/kasar,
rendahnya kemampuan sosial, Perilaku agresif (Waspada, 2010).

DIAGNOSIS
Anamnesis
Dokter memulai anamnesis dengan mendengarkan penjelasan orangtua secara seksama
tentang perkembangan anaknya. Orang tua dapat mencatat setiap keterlambatan perkembangan,
perubahan tubuh dan kurang responsifnya anak tersebut, sehingga perlu perhatian khusus. Tiap
orangtua tentunya memiliki daerah perhatian yang berbeda. Penggalian anamnesis secara
sistematis meliputi, resiko biologi akibat dari gangguan prenatal atau perinatal, perubahan
lingkungan akibat salah asuh, dan akibat dari penyakit primer yang sudah secara jelas
terdiagnosis saat infant.

Pemeriksaan Fisik
Faktor risiko untuk keterlambatan dapat dideteksi dari pemeriksaan fisik. Pengukuran
lingkar kepala (yang mengindikasikan mikrosefali atau makrosefali) adalah bagian penting
dalam pemeriksaan fisik. Perubahan bentuk tubuh sering dihubungkan dengan kelainan
kromosom, atau faktor penyakit genetik lain sulit dilihat dalam pemeriksaan yang cepat. Sebagai
tambahan, pemeriksaan secara terstruktur dari mata, yaitu fungsi penglihatan dapat dilakukan
saat infant, dengan menggunakan pemeriksaan sederhana seperti meminta mengikuti arah cahaya
lampu. Saat anak sudah memasuki usia pre-school, pemeriksaan yang lebih mendalam
diperlukan seperti visus, selain itu pemeriksaan saat mata istirahat ditemukan adanya strabismus.
Pada pendengaran, dapat pula dilakukan test dengan menggunakan brain-stem evoked potentials
pada infant. Saat umur memasuki 6 bulan, kemampuan pendengaran dapat dites dengan
menggunakan peralatan audiometri. Pada usia 3-4 tahun, pendengaran dapat diperiksa
menggunakan audiometer portable. Pemeriksaan telinga untuk mencari tanda dari infeksi otitis
media menjadi hal yang penting untuk dilakukan karena bila terjadi secara kontinyu akan
menyebabkan gangguan pendengaran ringan. Pemeriksaan kulit secara menyeluruh dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit ektodermal seperti tuberous sklerosis atau
neurofibromatosis yang dihubungkan dengan delay. Pemeriksaan fisik juga harus meliputi
pemeriksaan neurologi yang berhubungan dengan perkembangan seperti adanya primitive reflek,
yaitu moro reflex, hipertonia atau hipotonia, atau adanya gangguan tonus.

Pemeriksaan Penunjang
a. Skrining metabolic
Skrining metabolik meliputi pemeriksaan: serum asam amino, serum glukosa, bikarbonat,
laktat, piruvat, amonia, dan creatinin kinase. Skrining metabolic rutin untuk bayi baru lahir
dengan gangguan metabolisme tidak dianjurkan sebagai evaluasi inisial pada GDD.
Pemeriksaan metabolik dilakukan hanya bila didapatkan riwayat dari anamnesis atau temuan
pemeriksaan fisik yang mengarah pada suatu etiologi yang spesifik. Sebagai contohnya, bila
anak-anak dicurigai memiliki masalah dengan gangguan motorik atau disabilitas kognitif,
pemeriksaan asam amino dan asam organik dapat dilakukan. Anak dengan gangguan tonus
otot harus diskrining dengan menggunakan kreatinin phospokinase atau aldolase untuk
melihat adanya kemungkin penyakit muscular dystrophy.

b. Tes sitogenetik
Tes sitogenetik rutin dilakukan pada anak dengan GDD meskipun tidak ditemukan
dismorfik atau pada anak dengan gejala klinis yang menunjukkan suatu sindrom yang
spesifik. Uji mutasi Fragile X, dilakukan bila adanya riwayat keluarga dengan GDD.
Meskipun skrining untuk Fragile X lebih sering dilakukan anak laki-laki karena insiden yang
lebih tinggi dan severitas yang lebih buruk, skrining pada wanita juga mungkin saja
dilakukan bila terdapat indikasi yang jelas. Diagnosis Rett syndrome perlu dipertimbangkan
pada wanita dengan retardasi mental sedang hingga berat yang tidak dapat dijelaskan.

c. Skrining tiroid
Pemeriksaan tiroid pada kondisi bayi baru lahir dengan hipotiroid congenital perlu
dilakukan. Namun, skrining tiroid pada anak dengan GDD hanya dilakukan bila terdapat
klinis yang jelas mengarahkan pada disfungsi tiroid.
d. EEG
Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada anak dengan GDD yang memiliki riwayat
epilepsia tau sindrom epileptik yang spesifik (Landau-Kleffner). Belum terdapat data yang
cukup mengenai pemeriksaan ini sehingga belum dapat digunakan sebagai rekomendasi
pemeriksaan pada anak dengan GDD tanpa riwayat epilepsi.

e. Imaging
Pemeriksaan imaging direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada GDD (terlebih
bila ada temuan fisik berupa mikrosefali). Bila tersedia MRI harus lebih dipilih dibandingkan
CT scan jika sudah ditegakkan diagnosis secara klinis sebelumnya

TATALAKSANA
Pengobatan bagi anak-anak dengan GDD hingga saat ini masih belum ditemukan. Hal itu
disebabkan oleh karakter anak-anak yang unik, dimana anak-anak belajar dan berkembang
dengan cara mereka sendiri berdasarkan kemampuan dan kelemahan masing-masing. Sehingga
penanganan GDD dilakukan sebagai suatu intervensi awal disertai penanganan pada faktor-
faktor yang beresiko menyebabkannya. Intervensi yang dilakukan, antara lain
 Speech and Language Therapy, dilakukan pada anak-anak dengan kondisi CP, autism,
kehilangan pendengaran, dan GDD. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan berbicara, berbahasa dan oral motoric abilities. Metode yang dilakukan
bervariasi tergantung dengan kondisi dari anak tersebut. Salah satunya, metode
menggunakan jari, siulan, sedotan atau barang yang dapat membantu anak-anak
untuk belajar mengendalikan otot pada mulut, lidah dan tenggorokan. Metode tersebut
digunakan pada anak-anak dengan gangguan pengucapan. Dalam terapi ini, terapis
menggunakan alat-alat yang membuat anak-anak tertarik untuk terus belajar dan
mengikuti terapi tersebut.
 Occupational Therapy. Terapi ini bertujuan untuk membantu anak-anak untuk menjadi
lebih mandiri dalam menghadapi permasalahan tugasnya. Pada anak-anak, tugas mereka
antara bermain, belajar dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, memakai
pakaian, makan, dan lain-lain. Sehingga anak-anak yang mengalami kemunduran pada
kemampuan kognitif, terapi ini dapat membantu mereka meningkatkan kemampuannya
untuk menghadapi permasalahannya.
 Physical Therapy. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar
dan halus, keseimbangan dan koordinasinya, kekuatan dan daya tahannya. Kemampuan
motorik kasar yakni kemampuan untuk menggunakan otot yang besar seperti berguling,
merangkak, berjalan, berlari, atau melompat. Kemampuan motorik halus yakni
menggunakan otot yang lebih kecil seperti kemampuan mengambil barang. Dalam terapi,
terapis akan memantau perkembangan dari anak dilihat dari fungsi, kekuatan, daya tahan
otot dan sendi, dan kemampuan motorik oralnya. Pada pelaksanaannya, terapi ini
dilakukan oleh terapi dan orang-orang yang berada dekat dengan anak tersebut. Sehingga
terapi ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
 Behavioral Therapy. Anak-anak dengan delay development akan mengalami stress pada
dirinya dan memiliki efek kepada keluarganya. Anak-anak akan bersikap agresif atau
buruk seperti melempar barang-barang, menggigit, menarik rambut, dan lainlain.
Behavioral therapy merupakan psikoterapi yang berfokus untuk mengurangi masalah
sikap dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi.
Terapi ini dapat dikombinasikan dengan terapi yang lain dalam pelaksanaanya.
Namun, terapi ini bertolak belakang dengan terapi kognitif. Hal itu terlihat pada terapi
kognitif yang lebih fokus terhadap pikiran dan emosional yang mempengaruhi sikap
tertentu, sedangkan behavioural therapy dilakukan dengan mengubah dan mengurangi
sikap-sikap yang tidak diinginkan. Beberapa terapis mengkombinasikan kedua terapi
tersebut, yang disebut cognitive-behavioural therapy.
CEREBRAL PALSY (CP)

DEFINISI
Palsi serebral adalah terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan kelompok
penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis yang
tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak akan bertambah buruk
pada usia selanjutnya. Istilah cerebral ditujukan pada kedua belahan otak, atau hemisfer, dan
palsy mendeskripsikan bermacam penyakit yang mengenai pusat pengendalian pergerakan tubuh.
Jadi, penyakit tersebut tidak disebabkan oleh masalah pada otot atau jaringan saraf tepi,
melainkan terjadi perkembangan yang salah atau kerusakan pada area motorik otak yang akan
mengganggu kemampuan otak untuk mengontrol pergerakan dan postur secara adekuat.

EPIDEMIOLOGI
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi insidensi Cerebral palsy yaitu populasi yang
diambil cara diagnosis dan ketelitiannya. Misalnya insudensi serebral palsi sebanyak 2 per 1000
kelahiran hidup. 5 dari 1000 anak memperlihatkan defisit motorik yang sesuai dengan Cerebral
(4)
palsy. 50% kasus termasuk ringan dan 10% termasuk kasus berat. Yang dimaksud ringan
adalah penderita dapat mengurus dirinya sendiri dan yang tergolong berat adalah penderita yang
membutuhkan pelayanan khusus. 25% memiliki intelegensia rata-rata (normal) sementara 30%
kasus menunjukan IQ dibawah 70. 35% disertai kejang dan 50% menunjukan gangguan bicara.
Laki-laki lebih banyak dari perempuan (1,4 : 1,0).
Rata-rata 70 % ada pada tipe spastik. 15% tipi atetotic, 5% ataksia, dan sisanya
campuran. Dengan meningkatnya pelayanan obstetrik dan perinatologi dan rendahnya angka
kelahiran di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat angka kejadian Cerebral
palsy akan menurun. Narnun di negara-negara berkembang, kemajuan tektiologi kedokteran
selain menurunkan angka kematian bayi risiko tinggi, juga meningkatkan jumlah anak-anak
dengan gangguan perkembangan. Adanya variasi angka kejadian di berbagai negara karena
pasien cerebal palsy datang ke berbagai klinik seperti klinik saraf, anak, klinik bedah tulang,
klinik rehabilitasi medik dan sebagainya. Di samping itu juga karena para klinikus tidak
konsisten menggunakan definisi dan terminologi Cerebral palsy.
ETIOLOGI
Palsi serebral adalah penyakit dengan berbagai macam penyebab Hal-hal yang
diperkirakan sebagai penyebab palsi serebral adalah sebagai berikut :
a) Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya oleh
lues, toksoplasmosis, rubela dan penyakit inklusi sitomegalik. Kelainan yang menyolok
biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental. Anoksia dalam kandungan
(misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi maternal, atau tali pusat yang
abnormal), terkena radiasi sinar-X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan
“Cerebral palsy”
b) Perinatal
1. Anoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah “brain injury”, yang
disebabkan oleh anoksia. Hal ini terdapat pada kedaan presentasi bayi abnormal,
disproporsi sefalo-pelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus
menggunakan bantuan instrumen tertentu dan lahir dengan seksio caesaria.
2. Perdarahan otak
Perdarahan otak dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu
pusat pernapasan dan peredaran darah hingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat
terjadi di ruang subarachnoid akan menyebabkan pennyumbatan CSS sehingga
mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan spatium subdural dapat menekan korteks
serebri sehingga timbul kelumuhan spaatis.
3. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak yang lebih
banyak dari pada bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktor
pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.
4. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang
permanen akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan
inkompatibilitas golongan darah.
5. Meningitis Purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa “Cerebral palsy”.

c) Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat
menyebabkan “cerbral palsy”.
1. Trauma kapitis dan luka parut pada otak pasca-operasi.
2. Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri,tromboplebitis, ensefalomielitis.
3. Kern icterus

PATOFISIOLOGI
a. Cedera otak atau perkembangan otak abnormal
Mengingat kompleksitas perkembangan otak prenatal dan bayi, cedera atau
perkembangan abnormal dapat terjadi setiap saat, sehingga presentasi klinis palsi serebral
bervariasi (apakah karena kelainan genetik, etiologi toksin atau infeksi, atau insufisiensi
vaskular). Misalnya, cedera otak sebelum 19 minggu kehamilan dapat mengakibatkan defisit
migrasi neuronal; cedera antara minggu ke-19 dan 34 dapat mengakibatkan leukomalasia
periventrikular (foci nekrosis coagulative pada substantia alba yang berdekatan dengan
ventrikel lateral); cedera antara minggu ke-34 dan ke-40 dapat mengakibatkan cedera otak
fokal atau multifokal. Cedera otak akibat insufisiensi vaskular tergantung pada berbagai
faktor pada saat cedera, termasuk distribusi pembuluh darah ke otak, efisiensi aliran darah
otak dan regulasi aliran darah, serta respon biokimia jaringan otak untuk oksigenasi.
b. Prematuritas
Stres fisik pada bayi prematur dan ketidakmatangan pembuluh darah otak dan otak dapat
menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor resiko yang signifikan untuk palsi
serebral. Sebelum matur, distribusi sirkulasi janin masih kurang baik, sehingga terjadi
hipoperfusi pada substantia alba periventrikular. Hipoperfusi dapat mengakibatkan
perdarahan matriks germinal atau leukomalasia periventrikular. Antara minggu ke-19 dan 34
usia kehamilan, daerah substantia alba periventrikular yang berdekatan dengan ventrikel
lateral adalah daerah yang paling rentan mengalami cedera. Karena daerah-daerah tersebut
membawa serat yang bertanggung jawab atas kontrol motorik dan tonus otot kaki. Cedera ini
dapat terjadi dengan manifestasi klinik seperti diplegi spastik (yaitu, kelemahan tungkai,
dengan atau tanpa keterlibatan lengan ).
c. Periventrikular Leukomalasia
Ketika lesi lebih besar yang menjangkau daerah saraf descenden dari korteks motor dan
melibatkan centrum semiovale dan korona radiata, manifestasi klinik dapat terjadi pada
ekstremitas bawah dan atas. Leukomalasia periventrikular umumnya simetris dan
menyebabkan cedera iskemik substantia alba pada bayi prematur. Cedera asimetris pada
substantia alba periventrikular dapat menghasilkan satu sisi tubuh yang lebih terpengaruh
dari yang lain. Hasilnya hampir sama dengan hemiplegi spastik tetapi lebih terlihat sebagai
kejang diplegia asimetris. Matriks germinal di daerah periventrikular sangat rentan terhadap
cedera hipoksiaiskemik karena lokasinya di zona perbatasan vaskular antara zona akhir arteri
striata dan thalamik.
d. Perdarahan Periventrikular – Intraventrikular
Banyak pihak berwenang telah menentukan tingkatan beratnya perdarahan periventricular
-perdarahan intraventricular menggunakan sistem klasifikasi awalnya dijelaskan oleh Papile
dkk pada 1978 sebagai berikut:
1. Grade I - Perdarahan subependymal dan/atau matriks germinal
2. Grade II - perdarahan Subependymal dengan ekstensi ke dalam ventrikel lateral tanpa
pembesaran ventrikel
3. Grade III - perdarahan Subependymal dengan ekstensi ke dalam ventrikel lateral
dengan pembesaran ventrikel
4. Grade IV - Sebuah perdarahan matriks germinal yang membedah dan meluas ke
parenkim otak yang berdekatan, terlepas dari ada atau tidak adanya perdarahan
intraventricular, juga disebut sebagai perdarahan intraparenchymal saat ditemui di
tempat lain di parenkim tersebut. Perdarahan meluas ke white matter periventricular
berkaitan dengan perdarahan germinal ipsilateral perdarahan/intraventricular matriks
yang disebut infark vena periventricular hemorragic
e. Cedera Vaskuler Serebral dan Hipoperfusi
Saat matur, ketika sirkulasi ke otak paling menyerupai sirkulasi serebral dewasa, cedera
pembuluh darah pada saat ini cenderung terjadi paling sering pada distribusi arteri serebral
tengah, mengakibatkan cerebral palsy spastik hemiplegia. Namun, otak matur juga rentan
terhadap hipoperfusi, yang sebagian besar menargetkan daerah aliran dari korteks (misalnya,
akhir zona arteri serebral utama), mengakibatkan cerebral palsy spastik quadriplegik. Ganglia
basal juga dapat dipengaruhi, sehingga cerebral palsy ekstrapiramidal atau dyskinetic.
Adanya malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron, dan degenerasi
laminar akan menimbulkan narrow gyrus, sulcus dan berat otak rendah. Cerebral palsi
digambarkan sebagai kekacauan pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacat
nonprogresif atau trauma otak. Suatu presentasi serebral palsi dapat diakibatkan oleh suatu
kelainan dasar (Struktur otak : awal sebelum dilahirkan, perinatal atau luka-luka/ kerugian
setelah melahirkan dalam kaitan dengan ketidak cukupan vaskuler, toksin dan infeksi).
Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi
dorsal yang terjadi pada minggu ke 3-4 masa gestasi dan induksi ventral, berlangsung pada
minggu ke 5-6 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan terjadinya
kelainan kongenital seperti kranioskisis totalis, anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya.
Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 2-4.
Gangguan pada fase ini bisa mengakibatkan mikrosefali, makrosefali. Stadium selanjutnya
yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan 3-5. Migrasi terjadi melalui dua
cara yaitu secara radial, sd berdiferensiasi dan daerah periventnikuler dan subventrikuler ke
lapisan sebelah dalam koerteks serebri; sedangkan migrasi secara tangensial sd
berdiferensiasi dan zone germinal menuju ke permukaan korteks serebri. Gangguan pada
masa ini bisa mengakibatkan kelainan kongenital seperti polimikrogiri, agenesis korpus
kalosum. Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa tahun
pascanatal. Gangguan pada stadium ini akan mengakibatkan translokasi genetik, gangguan
metabolisme. Stadium mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal.
Pada stadium ini terjadi proliferasi sd neuron, dan pembentukan selubung mialin. Kelainan
neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan ringannya kerusakan Jadi kelainan
neuropatologik yang terjadi sangat kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik
traktus piramidalis daerah paraventkuler ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anoksia
serebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan subependim Asfiksia
perinatal sering berkombinasi dengan iskemi yang bisa menyebabkan nekrosis. Kerniktrus
secara klinis memberikan gambaran kuning pada seluruh tubuh dan akan menempati ganglia
basalis, hipokampus, sel-sel nukleus batang otak; bisa menyebabkan Cerebral palsy tipe
atetoid, gangguan pendengaran dan mental retardasi. Infeksi otak dapat mengakibatkan
perlengketan meningen, sehingga terjadi obstruksi ruangan subaraknoid dan timbul
hidrosefalus. Perdarahan dalam otak bisa meninggalkan rongga yang berhubungan dengan
ventrikel. Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau perobekan sekunder.
Trauma lahir ini menimbulkan gejala yang ireversibel. Lesi ireversibel lainnya akibat trauma
adalah terjadi sikatriks pada sel-sel hipokampus yaitu pada kornu ammonis, yang akan bisa
mengakibatkan bangkitan epilepsi.

MANIFESTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI


Penyakit
Klasifikasi Perkembangan Motorik Gejala
penyerta
Minimal Normal, hanya terganggu Kelainan tonus sementara Gangguan
secara kualitatif Refleks primitif menetap komunikasi
terlalu lama Gangguan belajar
Kelainan postur ringan spesifik
Gangguan gerak motorik
kasar dan halus, misalnya
clumpsy
Ringan Berjalan umur 24 bulan Beberapa kelainan pada
pemeriksaan neurologis
Perkembangan refleks
primitif abnormal
Respon postular terganggu
Gangguan motorik<
misalnya tremor
Gangguan koordinasi
Sedang Berjalan umur 3 tahun, Berbagai kelainan Retardasi mental
kadang memerlukan neurologis Gangguan belajar
bracing Refleks primmitif menetap dan kominikasi
Tidak perlu alat khusus dan kuat Kejang
Respon postural terlambat
Berat Tidak bisa berjalan, atau Gejala neurologis dominan
berjalan dengan alat bantu Refleks primitif menetap
Kadang perlu operasi Respon postural tidak
muncul

DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Tanda awal palsi serebral, biasanya terlihat pada usia kurang dari tiga tahun. Orang tua mulai
mencurigai ketika fungsi motorik anak tidak normal. Bayi dengan palsi serebral sering
mengalami keterlambatan perkembangan, misalnya pada usia enam bulan belum bisa tengkurap.
Sebagian mengalami abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus otot/hipotonia membuat bayi
tampak lemah dan lemas, kadang floppy. Peningkatan tonus otot/hipertonia membuat bayi
tampak kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada periode awal tampak hipotonia dan selanjutnya
berkembang menjadi hipertonia setelah dua sampai tiga bulan pertama. Anak- anak palsi serebral
dapat pula menunjukan postur abnormal pada satu sisi tubuh. Pada Cerebral palsy dapat
ditemukan gejala danggun motorik berupa kelainan fungsi dan lokasi serta kelainan bukan
motorik yang menyulitkan gambaran klinis “Cerebral palsy”.
Kelainan fungsi motirik terdiri dari :
a) Spastisitas
Terdapat peningkatan tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan refleks
babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun
penderita dalam keadaan tidur. Peningkatan tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu
gabungan otot, karena itu tampak sikap yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur
misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan dalam
pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan.
Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam fleksi plantar
dan telapak kaki berputar ke dalam.
“Tonic neck reflex” dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan
biasanya terletak pada traktus kortikospinalis. Golongan spastisitas ini meliputi 2/3 – ¾
penderita “Cerebral palsy”. Banyak kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan
besarnya kerusakan, yaitu :
Gambar 1. Kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan

b) Tonus otot yang berubah


Bayi pada golonggan ini pada usia bulan pertama tampak flasid dan berbaring seperti
kodok terlentang, sehingga tampak seperti kelainan pada “lower motor neuron”. Menjelang
umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan
berbaring tampak flasid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila dirangsang atau
mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastis. Refleks otot yang normal dan
refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah refleks neonatal dan “tonic neck reflex”
menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh asfiksia perinatal
atau ikterus. Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus “Cerebral palsy”.

c) Koreo-atetosis (extrapiramidal Cerebral Palsy)


Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan
sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak bayi flasid, tapi sesudah
itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya
perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia. Kerusakan terletak
di ganglia basal dan disebabkan oleh afiksia berat atau kernikterus pada masa neonatus.
Golongan ini meliputi 5-15% dari kasus “Cerebral palsy”.
d) Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flasid dan
menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tampak bila
mulai belajar duduk. Mulai berjaan sangat lambat dan semu pergerakan canggung dan
kaku. Kerusakan terletak di serebelum. Terdapat kira-kira 5% dari kasus “Cerebral palsy”.

e) Gangguan pendengaran
Terdapat pada 5-10 % anak dengan “Cerebral palsy”. Gangguan berupa gangguan
neurogen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada
golongan koreo-atetosis.

f) Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi
dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut
sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak beliur.

g) Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi. Pada kedaan
afiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25%penderita “Cerebral palsy” menderita
kelainan mata.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Tonus
2. Pemeriksaan Muskuloskeletal
a. Panggul
 Kontraktur fleksi, rotasi internal & ekternal, aduksi, panjang tidak simetris
 Thomas test : kontraktur fleksi
 Ely test : kontraksi kuadriseps
 Aduksi : rotasi
b. Lutut: sudut poplitea
c. Kaki dan Pergelangan: kontraktur, torsi tibia
d. Punggung: postur, skoliosis, asimetris
e. Exstermitas Atas: posisi saat istirahat, gerak spontan, grip, koordinasi motor halus
3. Pemeriksaan Refleks
a. Refleks tendon
b. Refleks Patologis/klonis
c. Refleks Primitif menetap
 Asymetric tonic neck refleks
 Neck righting refleks
 Grasp refleks
d. Refleks Protektif terlambat
 Parachute, dll

PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pemeriksaan khusus neuroradiologi untuk mencari kemungkinan penyebab cerebral palsy
perlu dikerjakan, tergantung pada keparahan dan sifat kelainan neurologis. EEG dasar, dan CT
scan dindikasikan untuk menentukan lokasi dan luas lesi struktural atau malformasi kongenital
yang terkait. Salah satu pemeriksaan yaitu dengan melakukan CT-Scan kepala, CT-Scan kepala
yaitu pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur jaringan otak selain itu juga dapat
menjabarkan area otak yang kurang berkembang, kista abnormal ataupun kelainan lainnya. MRI
merupakan tehnik imaging yang canggih, dimana menghasilkan gambar yang lebih baik dalam
hal struktur atau area abnormal dengan lokasi dekat dengan tulang. Neuroimaging
direkomendasikan dalam evaluasi anak cerebral palsy jika etiologi tidak dapat ditemukan.
Dalam hal ini pun perlu adanya pemeriksaan lainnya, dimana yang mempertimbangkan
kondisi lain yang berhubungan dengan cerebral palsy. Beberapa dokter mengatakan bahwa
terdapat penyakit kejang maka harus dilakukan EEG, dimana dapat membantu untuk melihat
aktivitas elektrik otak dan akan menunjukkan penyakit kejang tersebut. Identifikasi kelainan
penyerta sangat penting sehingga diagnosis dini akan lebih mudah ditegakkan. Banyak kondisi
diatas dapat diperbaiki dengan terapi spesifik sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup
penderita cerebral palsy. Pemeriksaan tambahan dapat mencakup uji pendengaran dan fungsi
penglihatan.

PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap Cerebral palsy. Terapi bersifat simtomatik, yang
diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan dapat mencegah atau
mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk menentukan jenis terapi atau latihan yang diberikan
dan untuk menentukan ke- berhasilannya maka perlu diperhatikan penggolongan Cerebral palsy
berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan, sedang dan berat. Tujuan terapi
pasien Cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya memperbaiki fungsi motorik
dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga pendenta sedikit
mungkin memerlukan pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri. Pada keadaan
ini perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu team antara dokter anak, neurolog, psikiater,
dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikologi, fisioterapi, “occupational therapist”, pekerja
sosial, guru sekolah luar biasa dan orang tua penderita.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan Lingkar Kepala
Ukuran lingkar kepala mempunyai korelasi kuat dengan perkembangan otak. Mikrosefalus
umumnya berhubungan dengan atrofi serebri yang menunjukkan bahwa otak tidak berkembang
dengan semestinya. Hidrosefalus merupakan kelainan progresif, yang dapat merupakan
komplikasi neonatus dengan perdarahan intraventrikular atau meningitis. Bila ditemukan
mikrosefalus atau makrosefalus, dapat dilakukan pencitraan misalnya ultrasonografi, CT scan
atau MRI. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi perdarahan intraventrikular, ventrikulomegali,
leukomalasia periventricular, dan infark hemoragis periventrikular. Namun, pemeriksaan USG
kurang akurat dibandingkan MRI. CT scan kadang diperlukan bila kita ingin melihat perdarahan
otak, atau kalsifikasi patologis dalam otak yang sering kita temukan pada infeksi kongenital
CMV dan toksoplasma, namun radiasi yang diterima bayi sangat besar. Pemeriksaan MRI jauh
lebih unggul dibandingkan USG dan CT scan untuk mendeteksi kelainan otak dengan detail,
terutama gangguan substansia alba dan substansia grisea.

Pemeriksaan Gerak
Komplikasi terbanyak gangguan perinatal adalah palsi serebral yang ditandai dengan adanya
gangguan gerak, refleks primitif menetap, gangguan refleks postural, dan gangguan tonus.

Gangguan Gerak
Pada masa bayi, gangguan gerak terlihat sebagai gerakan yang kurang atau tidak sempurna.
Adanya gangguan gerak tentunya akan menyebabkan keterlambatan perkembangan gerak.
Secara neurologis, gangguan gerak akibat lesi otak dapat berupa spastisitas, gerakan kore-
atetosis, hemiparesis, dan lain-lain.

Refleks Primitif
Refleks primitif merupakan refleks yang ditemukan pada bayi baru lahir. Refleks primitif harus
menghilang pada umur 6 bulan agar kemampuan gerak dapat berkembang. Salah satu tanda palsi
serebral adalah refleks primitif yang menetap. Refleks primitif yang lazim digunakan dalam
mendeteksi palsi serebral adalah refleks genggam palmar. Telapak tangan yang masih terkepal
pada umur 4 bulan menunjukkan kemungkinan palsi serebral. Asymmetrical tonic neck reflex
(ATNR) diperiksa terhadap bayi dalam posisi supine. Bila kepala ditolehkan ke sisi kanan,
terjadi ekstensi lengan kanan dan fleksi lengan kiri. Refleks ATNR yang menetap juga
menunjukkan kemungkinan palsi serebral dan tidak kompatibel dengan kemampuan anak
memasukkan makanan dan minuman ke dalam mulut.

INTERPRETASI : Refleks positif (+), bila stimulasi tersebut menimbulkan gerakan bibir, rahang
bawah seolah-olah menetek.
Pemeriksaan terhadap Spastisitas
Refleks crossed extensor dapat dibangkitkan pada bayi dalam posisi supine, kemudian dilakukan
fleksi maksimal pada lutut dan panggul salah satu tungkai. Bila dijumpai spastisitas, terlihat
ekstensi dari tungkai sisi kontralateral. Refleks suprapubik juga merupakan petanda spastisitas.
Bila terhadap bayi dalam posisi supine dilakukan penekanan pada derah suprapubik dan terlihat
ekstensi tungkai bawah.

Pemeriksaan Tonus
Pemeriksaan tonus dapat berupa pemeriksaan tonus pasif dan tonus postural. Pemeriksaan tonus
pasif dilakukan dengan melakukan gerakan terhadap ekstremitas dan menilai resistensi terhadap
gerakan tersebut. Bayi dengan gangguan susunan saraf pusat memperlihatkan resistensi yang
meningkat, sebaliknya bayi dengan lesi lower motor neuron menunjukkan resistensi pasif yang
menurun. Pemeriksaan tonus aktif dapat dilakukan melalui 3 gerakan, yaitu respon traksi,
suspensi vertical, dan suspensi horisontal. Pemeriksaan respon traksi dilakukan terhadap bayi
dalam posisi supine. Ibu jari pemeriksa diletakkan dalam genggaman bayi, kemudian kita pegang
seluruh telapak tangan bayi. Terhadap bayi dilakukan elevasi perlahan ke posisi duduk. Dalam
keadaan normal, kepala bayi segera mengikuti dan hanya tertinggal sedikit. Pada waktu posisi
duduk kepala dapat tetap tegak selama beberapa detik, kemudian jatuh ke depan. Pada waktu
dilakukan elevasi bayi normal memperlihatkan fleksi di siku, lutut, dan pergelangan kaki.
Apabila kepala tertinggal jauh, lengan ekstensi selama tarikan berarti tidak normal. Suspensi
vertikal dilakukan dengan memegang bayi pada ketiak, kemudian dilakukan elevasi bayi ke atas
lurus. Pada waktu dilakukan elevasi, kepala tetap tegak sebentar, lengan atas dapat menjepit
tangan pemeriksa dan tungkai tetap fleksi pada lutut, panggul dan pergelangan kaki. Dalam
keadaan abnormal, bayi tidak dapat menjepit tangan pemeriksa, kepala terkulai, dan dapat
terlihat scissor sign berupa menyilangnya ekstremitas. Suspensi horisontal dilakukan terhadap
bayi dalam posisi prone. Tangan pemeriksa diletakkan pada toraks, dan dilakukan elevasi bayi
secara horisontal. Pada bayi normal terlihat ekstensi kepala dengan fleksi anggota gerak untuk
menahan gaya berat. Pada bayi abnormal kepala, badan dan anggota gerak menggantung lemas
atau sebaliknya terlihat ekstensi kepala, batang tubuh dan ekstremitas berlebihan disertai scissor
sign.

Pemeriksaan Refleks Postural


Reaksi ini memungkinkan bayi mempertahankan postur tubuh dan keseimbangan melawan
gravitasi. Umumnya mulai muncul pada umur sekitar 6 bulan. Reaksi righting dan protektif
dikontrol oleh susunan saraf pusat setinggi midbrain dan mengintegrasikan input dari
penglihatan dan proprioseptif. Reaksi ekuilibrium dikontrol oleh korteks serebri, hasil interaksi
antara korteks, ganglia basalis, dan serebelum. Beberapa macam reaksi ini adalah labyrinthine
reaction on the head, optical righting reaction dan body righting reaction. Secara praktis agak
sulit dilakukan.

Pemeriksaan Refleks Fisiologis dan Refleks Patologis


Bayi dengan lesi susunan saraf pusat memperlihatkan refleks fisiologis yang meningkat. Bayi
dengan lesi otak pada awalnya dapat menunjukkan hipotonia menyeluruh, sehingga sulit
menentukan apakah gangguan disebabkan lesi upper motor neuron atau lower motor neuron.
Dalam keadaan lesi upper motor neuron, refleks fisiologis pasti meningkat. Pemeriksaan refleks
fisiologis sangat mudah. Jangan melakukan pemeriksaan terlalu keras, karena rangsang yang
ringan sekalipun telah dapat membangkitkan refleks fisiologis. Refleks patologis berupa refleks
Babinsky kurang reliable untuk diperiksa pada masa bayi, karena refleks ini dapat ditemukan

INTERPRETASI : Positif (+) jika didapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari , yang dapat disertai
mekarnya jari-jari lainnya.
Tahapan Gerak Refleks

Pada anak usia balita, gerak refleks pada umumnya tidak berlangsung hingga melampaui ulang
tahun pertama. Namun demikian, sebagian gerak refleks akan bertahan dalam waktu yang lebih
lama bahkan selama hidupnya pada orang normal dan sehat. Gerak refleks bukan hanya
merupakan salah satu aspek perkembangan manusia yang menarik, melainkan juga menjadi salah
satu hal yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Manusia lahir hanya dengan sedikit
kemampuan yang dapat dilakukan secara sadar dan dengan mobilitas yang sangat terbatas.
Manusia pada saat baru lahir (neonatal) sangatlah tidak berdaya dan sangat menggantungkan diri
pada orang lain dan pada refleks untuk perlindungan dan kelangsungan hidupnya. Gerak refleks
pada bayi digunakan sebagai perlindungan kadar makanan (nutrisi). Refleks seperti ini seing
disebut dengan refleks primitif artinya gerak refleks yang muncul pada saat perkembangan dalam
kandungan atau setelah lahir dan biasanya hilang setelah umur bayi 6 bulan. Gerak refleks
menghisap/menyusu merupakan salah satu refleks primitive yang paling dikenal, refleks ini
ditandai dengan gerakan menghisap jika bibir dirangsang. Seorang bayi yang baru lahir, tanpa
kemampuan yang dapat dilakukan secara sadar untuk mencerna makanan. Oleh karena itu, gerak
refleks menyusu ini membuat bayi dapat memperoleh makanan yang penting bagi kelangsungan
hidupnya dengan gerakan yang dilakukan secara tidak sadar. Gerak refleks lainnya, yang penting
untuk mempertahankan kecukupan zat makanan adalah refleks menarik atau menekan. Keduanya
berfungsi untuk menghisap makanan. Gerak refleks ini akan muncul apabila daerah pipi dekat
mulut dirangsang. Kepala bayi akan berputar kearah pemberi rangsangan. Gerak refleks ini
membuat bayi yang belum mampu bergerak dapat mencari makanan yang disediakan oleh
ibunya saat dirangsang dengan puting susu ibunya. Gerak refleks yang agak sukar (labyrinthine
reflex) merupakan refleks perlindungan yang sedikit berbeda dengan refleks sebelumnya. Jika
seorang bayi ditempatkan dalam posisi telungkup sehingga membuat pernafasannya agak
terhambat. Bayi akan berusaha untuk membalikkan badanya agar dapat bernafas, refleks ini
dapat merangsang bayi untuk dapat memutar atau memiringkan kepalanya ke posisi yang sesuai
dengan posisi tubuhnya. Selain gerak refleks yang dilakukan tanpa kesadaran, ada juga gerak
refleks yang dilakukan dengan sadar (postular reflex). Gerak refleks ini dianggap sebagai dasar
dari gerakan-gerakan pada masa datang, karena rangsangan timbul dari pusat otak. Gerak refleks
postular ini diintegrasikan, dimodifikasi, dan diterapkan secara langsung ke dalam pola-pola
gerakan secara sadar yang lebih kompleks. Contoh, gerak refleks berjalan, seorang anak berusia
1 atau 2 bulan jika diangkat dengan kedua kaki menyentuh lantai, maka tekanan pada telapak
kaki akan merangsang kaki untuk melakukan aksi berjalan. Jadi, gerak refleks memberikan suatu
gerak otomatis untuk mencapai gerakan-gerakan pada masa datang. Gerak refleks ini akan
digabung dengan pola-pola gerak yang dilaksanakan secara sadar dan diperlukan untuk memulai
gerakan dengan mengembangkan otot. Bentuk-bentuk perilaku gerak yang dilakukan secara
tidak sadar pada usia dini sangatlah penting dalam menentukan tingkat kematangan syaraf pada
bayi. Masing-masing gerak refleks pada bayi itu akan muncul dan menghilang sebagai variasi
untuk masing-masing bayi. Namun, penyimpangan yang terlalu jauh dari kerangka waktu normal
sebagai bukti adanya ketidakberfungsian syaraf-syaraf bayi tersebut. Salah satu refleks yang
paling sering dipergunakan untuk menguji ketidakberfungsian syaraf adalah refleks moro, yang
dapat menunjukkan kerusakan otak pada saat lahir jika refleks itu kurang simetris. Metode
pengujian gerak refleks yang terstandarisasi ini dapat memberikan peluang untuk memeriksa
secara visual pola gerak anak dan kelayakan pola gerak tersebut untuk usia anak yang
bersangkutan. Beberapa tahapan perkembangan gerak refleks yang dialami anak saat usia balita
secara kronologis diuraikan pada kegiatan belajar 1, sebagai berikut:

1. Tahap Gerak Refleks Telapak Tangan (palmar grasp reflex)

Tahapan gerak refleks telapak tangan merupakan salah satu dari seluruh refleks bayi yang paling
dikenal dan merupakan salah satu yang paling awal muncul pada usia balita. Gerak refleks ini
merupakan respons yang ditampilkan terhadap rangsangan yang halus pada telapak tangannya.
Apabila telapak tangan dirangsang dengan apa saja, maka keempat jari tangan secara spontan
akan menutup, meskipun ibu jari tidak memberikan respons terhadap rangsangan ini. Namun
gerak refleks tangan ini menjadi ciri khas dari perkembangan motorik yang diperlihatkan anak
balita.

2. Tahap Gerak Refleks Menghisap (sucking reflex)

Tahapan gerak refleks menghisap dilakukan oleh bibir yang mendapat rangsangan, misalnya
sentuhan susu ibu. Rangsangan ini sebenarnya menimbulkan dua respons yang berkaitan dengan
menghisap. (1) terbentuk tekanan negatif di dalam oral sehingga timbul aksi menghisap, dan (2)
lidah akan menimbulkan tekanan positif, lidah akan menekan ke arah atas dan sedikit ke arah
depan dengan setiap aksi menghisap. Setelah diberi rangsangan yang sesuai akan terjadi
serangkaian gerakan menghisap, masingmasing gerakan ini terdiri dari penerapan tekanan positif
dan negatif secara serentak.

3. Tahap Gerak Refleks Pencarian (search reflex)

Tahapan gerak refleks pada pencarian ini membantu bayi mendapatkan sumber makanan dan
kemudian refleks menghisap membuat bayi dapat mencerna makanan. Refleks ini pada
umumnya dapat ditimbulkan dengan sentuhan lembut pada daerah sekitar mulut.

4. Tahap Gerak Refleks Moro (moro reflex)

Tahapan gerak refleks moro paling bermanfaat untuk mendiagnosis kematangan neurologis bayi.
Gerak refleks ini sering kali muncul pada saat lahir dan berakhir pada saat bayi berumur 4 s/d 6
bulan. Salah satu rangsangan untuk membangkitkan refleks moro adalah dengan jalan
menelentangkan bayi di atas kasur. Rangsangan ini akan membuat lengan, jari-jari, dan kaki
meregang.

5. Tahap Gerak Refleks tidak Simetrik Leher (asymmetrical tonic neck reflex)

Tahapan gerak refleks tidak simetrik leher pada umumnya dapat dilihat pada bayi yang lahir
prematur. Refleks ini dapat muncul jika bayi dalam keadaan telungkup. Jika kepala bayi diputar
ke salah satu sisi atau yang lainnya, maka anggota tubuh yang searah dengan perputaran tersebut
akan membuka, sedangkan anggota tubuh pada arah berlawanan akan menutup. Gerak refleks ini
biasanya paling bertahan hingga bayi berusia 2 s/d 3 bulan, selanjutnya akan menghilang.

6. Tahapan Gerak Refleks Simetrik Leher (symmetrical tonic neck reflex)

Tahapan gerak refleks simetrik pada leher memberikan respons yang sama dengan anggota
tubuhnya. Respons simetris ini dapat timbul dengan jalan menempatkan bayi dalam posisi duduk
yang ditumpu (dipegang orang dewasa). Jika bayi dimiringkan cukup jauh ke belakang, maka
leher akan memanjang, yang sesuai dengan refleks membuka tangan dan menutup kaki. Namun,
apabila dimiringkan ke depan maka terjadi refleks yang sebaliknya. Apabila refleks ini bertahan
lama akan menimbulkan hambatan pada kemampuan bayi dalam mengangkat kepala dengan
sadar saat berada dalam posisi telungkup.
7. Tahap Gerak Refleks Telapak Kaki (plantar grasp reflex)

Tahapan gerak refleks ini normalnya dapat dilihat pada anak mulai dari sejak lahir hingga
sepanjang tahun pertama usia bayi tersebut. Refleks ini dapat ditimbulkan dengan jalan
menerapkan sedikit tekanan, biasanya dengan ujung jari, pada tumit kaki, yang membuat seluruh
jari kaki menutup. Gerakan menutup ini sebagai upayanya untuk menangkap rangsangan.
Refleks ini harus lebih dahulu dilampaui sebelum anak dapat berdiri dengan tegak, berdiri
sendiri, dan berjalan.

8. Tahap Gerak Refleks kedua Telapak Tangan (palmar mandibular reflex)

Tahapan gerak refleks ini dapat muncul dengan jalan menerapkan tekanan secara serentak
terhadap telapak dari masing-masing tangan, sehingga akan menimbulkan semua atau salah satu
dari respons berikut: mulut terbuka, mata tertutup, dan leher menekuk. Gerak refleks ini juga
timbul jika tangan bayi itu dirangsang. Refleks ini biasanya hilang setelah bayi berumur 3 bulan.

9. Tahap Gerak Refleks Berjalan Kaki (stepping reflex)

Tahapan gerak refleks ini merupakan gerakan yang sangat penting yang dilakukan secara sadar,
yaitu berjalan kaki. Gerak ini dapat ditimbulkan dengan mengangkat bayi pada posisi tegak
dengan kaki menyentuh lantai. Tekanan pada telapak kaki akan membuat kaki mengangkat dan
selanjutnya diturunkan. Aksi kaki ini sering muncul secara bergantian, dan oleh karena mirip
dengan gerakan berjalan yang masih pemula. Refleks ini sering disebut juga dengan refleks
berjalan, namun tidak disertai oleh stabilitas atau gerakan lengan yang terjadi jika berjalan secara
sadar.

10. Tahap Gerak Refleks Berenang (swimming reflex)

Tahapan Gerak refleks ini sangat luar biasa, karena gerakannya seperti orang berenang gaya
dada. Gerakan ini umumnya dilakukan dengan tidak sadar. Untuk menimbulkan respons ini, bayi
harus dipegang dalam posisi telungkup (horizontal) seperti di atas sebuah permukaan meja atau
lantai, di atas air, atau di dalam air. Respons terhadap rangsangan ini adalah gerakan tangan dan
kaki seperti berenang yang terkoordinasi dengan sangat baik. Gerakan-gerakan ini dapat diamati
mulai dari minggu ke 2 setelah lahir dan akan tetap bertahan hingga bayi berumur 5 bulan.
Pengenalan gerakan ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap populernya program
berenang pada bayi. Jadi, pada tahapan ini anak sudah dapat melakukan gerak berenang.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar.
Hendy dan Soetjiningsih. 2013. Tumbuh Kembang Anak: Palsi Serebral. Jakarta: EGC.
IDAI. Jadwal Imunisasi Anak 0-18 Tahun 2017.
Jones, Martha Wilson dkk. “Cerebral Palsy: Introduction and Diagnosis (Part 1)” dalam Journal
of Pediatric Health Care, 21:3, 146-152 (Vancouver, 2007).
Kliegman et al. 2015. Nelson Textbook of Pediateric 20th Edition. Philadelphia: Elsevier.
dr. Ashari Bahar, M. S. (2014). PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK DAN REFLEKS. MANUAL CSL
IV.
Pusponegoro, H. D. (2013). Deteksi Dini Kelainan Neurologis. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM LXV.

Anda mungkin juga menyukai