ISLAMICMARKETING.XYZ
NO HARM AND NO HARMING
BAGAIMANA MEMAHAMI
ISLAMIC MARKETING?
___
Islamic marketing is not about selling more “stuff” to Muslims, it is about presenting Allah (SWT)
the best conduct one could have while participating in markets.
-Djavlonbek Kadirov
Seperti tidak ingin hanya berhenti pada pertanyaan ‘Apa itu Islamic Marketing?’, Suhail
Nadeem (2011) lalu melanjutkan dengan empat pertanyaan lainnya: (1) ‘Apakah itu tentang
menjual produk halal?’; (2) ‘Apakah itu tentang menjual produk yang digunakan untuk
mempraktikkan ajaran Islam?’; (3) ‘Apakah itu tentang memasarkan konten atau aplikasi Islami
2
pada berbagai alat?’; atau (4) ‘Apakah itu tentang memilih nama atau simbol yang terkait
(langsung atau tidak langsung) dengan Islam untuk sebuah merek atau tagline produk?’ .
Pertanyaan pertama mengacu pada fenomena produk-produk yang telah memperoleh label
halal, apakah yang dimaksud dengan Islamic Marketing adalah tentang memasarkan
produk-produk tersebut? Atau, pertanyaan kedua yang menangkap tren gaya hidup di kalangan
Muslim saat ini yang gemar mengonsumsi produk-produk untuk mempraktikkan ajaran-ajaran
Islam dan Sunnah, seperti layanan travel haji dan umrah, Qur'an digital, pencari kiblat digital,
pengobatan bekam, atau pengobatan herbal habbatussauda, apakah yang dimaksud dengan
Islamic Marketing adalah tentang memasarkan produk-produk tersebut? Atau, pertanyaan
ketiga yang merujuk pada Generasi M yang suka meng-install berbagai konten atau aplikasi
Islami di berbagai perangkat komunikasi seperti, mobile phone, tablet, atau notebook, apakah
yang dimaksud dengan Islamic Marketing adalah tentang memasarkan konten atau aplikasi
tersebut? Atau pertanyaan keempat yang melihat fenomena menarik terhadap berbagai merek
atau tagline produk yang menggunakan nama atau simbol yang terkait (langsung maupun tidak)
dengan Islam, seperti Mecca Cola, Qibla Cola, Zamzam Cola, jilbab syar'i, nasi goreng barokah
atau kurma nabi, apakah yang dimaksud dengan Islamic Marketing adalah tentang strategi
penggunaan merek atau tagline seperti itu?
Islamic Marketing bukan hanya tentang memasarkan produk dengan label halal, atau produk
untuk menunjang praktik-praktik ajaran Islam/sunnah, atau produk dengan konten Islami, atau
pula tentang strategi merek dengan nama/simbol Islam. Islamic Marketing adalah tentang
bagaimana menghadirkan Allah Subhanahu wa ta'ala dalam sebuah perilaku terbaik dari
seseorang ketika dia berpartisipasi di pasar (Kadirov, 2019). Karena, nilai-nilai dan
ajaran-ajaran Islam, dalam Islamic Marketing, bukan sebagai tool, melainkan sebagai resource
(Jafari, 2012). Islam menjadi referensi utama dalam memengaruhi aktivitas pemasaran.
3
Sedikitnya, selama ini, terdapat dua istilah yang lazim telah dipakai untuk mengasosiasikan
perihal "pemasaran dengan cara Islam". Istilah-istilah tersebut yaitu, 'Halal Marketing'
(Pemasaran Halal) dan 'Shari'ah Marketing' (Pemasaran Syari'ah). Pemasaran Halal dapat
didefinisikan sebagai proses sosial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang
mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran barang dan jasa
yang memiliki nilai tertentu dengan individu atau kelompok lain sesuai kaidah dan tuntunan
yang ditetapkan oleh syari’at Islam (Salehudin & Mukhlish, 2012). Sedangkan, Pemasaran
Syari'ah merupakan sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan,
penawaran, dan perubahan value dari suatu inisiator kepada stakeholders-nya, yang dalam
keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah (bisnis) dalam Islam
(Sula & Kartajaya, 2006). Kadangkala, keduanya lalu dipahami serupa oleh para praktisi
pemasaran. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, keduanya kemudian bermuara pada
sebuah terminologi yaitu 'Islamic Marketing'.
'Islamic Marketing' terdiri dari dua terminologi yang lebih dulu eksis yaitu, 'Islamic' dan
'Marketing'. Arti 'Islamic' (alih bahasa: 'Islami'), dalam Collins English Dictionary, adalah
'belonging or relating to Islam' (alih bahasa: 'bagian dari atau berkaitan dengan Islam').
Sementara apabila merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti 'Islami' adalah
'bersifat keislaman'. Sedangkan, arti 'Marketing' (alih bahasa: 'Pemasaran'), dalam Cambridge
Dictionary, adalah 'the business activity that involves finding out what customers want, using that
information to design products and services, and selling them effectively' (alih bahasa: 'aktivitas
bisnis untuk mencari tahu apa yang diinginkan oleh Konsumen, lalu menggunakan informasi
tersebut untuk merancang produk dan layanan, dan kemudian menjualnya secara efektif').
Sementara apabila mengacu kepada KBBI, arti 'Pemasaran' adalah 'proses, cara, perbuatan
memasarkan suatu barang dagangan'. Sehingga 'Islamic Marketing' atau 'Pemasaran Islami',
secara linguistik, dapat diartikan sebagai 'proses, cara, perbuatan memasarkan barang dan
layanan secara keislaman'.
Namun, mendefinisikan Islamic Marketing tidak cukup dipahami secara linguistik saja. Para
Cendekiawan pemasaran lalu mencoba untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang atau
pendekatan. Walaupun begitu, masih terdapat sejumlah tantangan konseptual dengan
4
#2 Konjektur Etika
Beberapa Cendekiawan merujuk pada pedoman etika dari Islam. Menurut sudut pandang ini,
Islamic Marketing merupakan jenis pemasaran etis (ethical marketing) . Pilihan konseptual
seperti itu mungkin menyebabkan regresi tanpa akhir dengan meninggalkan sejumlah
pertanyaan substansial seperti: apakah etika Islam secara radikal berbeda dari pedoman etika
lainnya?; apakah semua aktivitas pemasaran yang disetujui oleh Islam secara konsisten juga
sesuai dengan label "etis"?; atau apakah praktik pemasaran yang dianggap "etis" itu sudah pasti
Islami? seperti bank atau produsen minuman alkohol atau rokok yang menggunakan praktik
tanggung jawab sosial perusahaan untuk masyarakat (sumbangan, sponsor atau hibah) sebagai
salah satu strategi pemasarannya; apakah Islamic Marketing lantas tidak dapat dipraktikan oleh
5
non-Muslim?; dan dapatkah kita dengan aman mengklaim bahwa semua kegiatan pemasaran
yang tidak etis itu adalah tidak Islami?
#3 Konjektur Konsumen
Pendekatan lain untuk memahami Islamic Marketing adalah dengan mengamati aktivitas
pemasar yang secara khusus menargetkan konsumen Muslim. Karena selama ini, masih banyak
perusahaan berskala global yang mengabaikan kebutuhan umat Islam (El-Bassiouny, 2014).
Sehingga asumsinya adalah, bahwa dengan menargetkan konsumen Muslim, secara bertahap,
akan mengubah cara pemasaran perusahaan-perusahaan tersebut menjadi pemasaran yang
Islami. Hal itu mungkin saja sebagian benar. Namun, belum cukup meyakinkan untuk
menyatakan pendekatan ini tepat. Contoh sederhana, bahwa sebagian besar perusahaan
penerbangan komersial jarak jauh tidak dibangun secara sengaja dengan mempertimbangkan
kebutuhan para penumpang Muslim. Bahwa memang benar terdapat layanan travel halal yang
sedang tumbuh, namun itu belum dianggap sebagai industri utama. Hingga kini, umat Islam
masih tertinggal dalam arena penciptaan nilai yang sangat kompetitif di pasar global. Sehingga,
peran Muslim baru sebatas sebagai konsumen pasif, yang senantiasa mengharapkan pemasar
dapat memahami akan kebutuhan khusus mereka.
#4 Konjektur Positivis
Menurut perspektif ini, pemasaran yang Islami adalah segala aktivitas pemasaran yang
dilakukan oleh Muslim, atau semua kegiatan konsumsi/produksi yang dilakukan oleh Muslim.
Perspektif positivis mengamati perilaku Muslim ketika melakukan kegiatan transaksi di pasar.
Perlu diperhatikan bahwa, tidak semua Muslim memiliki pengetahuan atau motivasi yang
cukup untuk menjalankan aktivitas pemasaran yang Islami, sehingga selalu terbuka
kemungkinan akan terjadi kegiatan pasar yang meragukan dari prinsip-prinsip ajaran Islam.
Oleh karena itu, Islamic Marketing tidak selalu dapat disamakan dengan apa yang dilakukan
atau dipraktikkan oleh pelaku pasar Muslim.
#5 Konjektur Amoralitas
Sudut pandang pendapat ini adalah, bahwa bisnis atau perdagangan merupakan kegiatan yang
amoral. Maksudnya, netral secara moral, bebas dari etika, terlepas dari vonis agama, dan berada
6
di luar penilaian benar atau salah. Pendapat ini menganggap bisnis dan Islam merupakan dua
hal yang bertolak belakang dan tidak dapat dipadukan. Bisnis mewakili masalah teknis/praktis
sedangkan Islam merupakan moral/dogma. Karenanya, semua aktivitas pemasaran seharusnya
dilakukan dengan cara yang sama/tidak berbeda untuk Muslim atau non-Muslim. Pendapat
paling salah kaprah seperti itu dapat disangkal hanya dengan menunjukkan, bahwa segala
macam perilaku Manusia, termasuk dalam bisnis dan perdagangan, merupakan bentuk dari
tindakan moral.
Kadirov (2019) meyakini bahwa Islamic Marketing, sebagai sebuah studi yang baru, seharusnya
melakukan kajian-kajian ilmiah yang lebih luas daripada usulan-usulan konseptualisasi yang
berdasarkan perspektif normatif, etis, konsumeris, atau positivis. Karena sejauh ini,
usulan-usulan tentang definisi Islamic Marketing yang telah diformulasikan oleh beberapa
Cendekiawan memang berangkat dari salah satu perspektif tersebut.
-Alserhan (2011)
-Hussnain (2011)
"Pemasaran Islami adalah suatu proses dan strategi (hikmah) untuk: (1) memenuhi kebutuhan akan
barang dan layanan yang halal (tayyibat) berdasar kesepakatan bersama (Pembeli dan Penjual);
dan (2) menyejahterakan (falah) kedua belah pihak (Pembeli dan Penjual), sehingga mereka dapat
berkecukupan secara material dan spiritual di dunia maupun akhirat."
7
"Pemasaran Islami dapat dilihat sebagai: (1) Suatu aplikasi ketakwaan melalui aktivitas
pemasaran, baik dari perspektif Pemasar maupun Konsumen, yang bersumber dari nilai-nilai dan
ajaran-ajaran Islam; (2) Sebuah mazhab pemikiran, dalam ranah Ilmu Pemasaran, yang memiliki
kompas moral ke arah nilai-nilai Islam; dan (3) Sebuah kajian yang menafsirkan perilaku
Konsumen Muslim dari berbagai latar budaya."
-Wilson (2012)
"Pemasaran Islami adalah sebuah studi tentang fenomena pemasaran yang berkaitan dengan
prinsip-prinsip dan praktik-praktik dalam ajaran Islam, atau dalam konteks masyarakat Muslim."
-Jafari (2012)
"Pemasaran Islami didefinisikan sebagai sebuah ilmu untuk: (1) memuaskan kebutuhan konsumen
akan barang dan layanan yang halal, sehat, suci, dan sah melalui perilaku yang baik dan
kesepakatan bersama (Pemasar dan Konsumen), guna mencapai kesejahteraan material dan
spiritual di dunia maupun akhirat; dan (2) menyadarkan Konsumen akan pentingnya cara-cara
pemasaran dan beriklan yang etis."
-Abuznaid (2012)
Kadirov (2019) lalu menawarkan sebuah konsep yang berangkat dari fungsi dasar pemasaran
yaitu, creating value (menciptakan nilai) dan/atau bridging the value gap (menjembatani
kesenjangan nilai). Pemasaran adalah tentang bagaimana menciptakan nilai dan/atau
menjembatani kesenjangannya. Value atau nilai artinya berharga atau berguna. Dalam konteks
bisnis, sesuatu yang bernilai adalah sesuatu yang dianggap layak untuk dapat ditukar dengan
sesuatu yang lain sebagai imbalan. Bagaimana sesuatu itu dianggap layak tukar? Jika ia
bermanfaat untuk tujuan penggunaan, kepemilikan, intensionalitas, atau penciptaan nilai lebih
lanjut. Sehingga, menjadi tugas pemasar agar sesuatu tersebut kemudian dapat dianggap
sebagai layak tukar.
8
Secara umum dan masih dalam konteks bisnis, value dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu,
value-in-use atau nilai-pakai; dan value-in-exchange atau nilai-tukar. Seringkali, terjadi
kesenjangan di antara mereka, yaitu nilai-tukar yang tidak sama dengan nilai-pakai. Misalnya,
karya seni yang mungkin memiliki nilai-tukar (harga) yang tinggi, sedangkan nilai dalam
penggunaannya rendah karena hanya sebagai hiasan, atau bahkan sama dengan nol jika
disimpan dalam gudang. Maka kemudian, menjadi tugas lain dari pemasar untuk menutup celah
antara nilai-tukar dengan nilai-pakai.
Jika fungsi dasar pemasaran tersebut lalu ditarik ke dalam kerangka konsep Islamic Marketing,
maka proses menciptakan nilai dan/atau menjembatani kesenjangan nilai tersebut harus sesuai
dengan apa-apa saja yang diharapkan oleh ajaran Islam. Kadirov (2019) merangkumnya menjadi
sebuah definisi yaitu, "Islamic Marketing adalah sebuah proses menciptakan nilai
(menjembatani kesenjangan nilai) yang sesuai dengan ekspektasi-ekspektasi dalam ajaran
Islam."
Lalu dalam konteks pemasaran, apa saja ekspektasi-ekspektasi dalam ajaran Islam? Banyak.
Spektrumnya terbentang mulai dari normatif hingga etis. Namun meski demikian, ekspektasi
utama terhadap Islamic Marketing adalah no harm and no harming, yang merupakan cerminan
dari hadits, "Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (Ibnu Majah,
no. 2340).
Referensi
Abuznaid, S. (2012). Islamic marketing: addressing the Muslim market. An-Najah University
Journal of Research (Humanities), 26(6), 1473-1503.
Alom, M. M., & Haque, M. S. (2011). Marketing: an Islamic perspective. World Journal of Social
Sciences, 1(3), 71-81.
Alserhan, B. A. (2011). The Principles of Islamic Marketing (1st ed.): Routledge, 2011.
9
Hussnain, S. A. (2011). What is Islamic marketing. Global Journal of Management and Business
Research, 11(11), 101-103.
Jafari, A. (2012). Islamic marketing: insights from a critical perspective. Journal of Islamic
Marketing, 3(1), 22-34. doi:doi:10.1108/17590831211206563
Kadirov, D. (2019). Islamic Marketing Theories, Practices, and Perspectives: Conscientia Capital
Press, 2019.
Wilson, J. A. J. (2012). The new wave of transformational Islamic marketing: Reflections and
definitions. Journal of Islamic Marketing, 3(1), 5-11. doi:doi:10.1108/17590831211225436