Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321110175

Tafsir al-Qur'an: Konsep Dasar, Klasifikasi, dan Perkembangannya

Working Paper · October 1998


DOI: 10.13140/RG.2.2.21097.39528

CITATIONS READS

0 36,634

1 author:

Sokhi Huda
UIN Sunan Ampel Surabaya
95 PUBLICATIONS   19 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Zakat, infaq dan shadaqah View project

Regional Autonomy Research View project

All content following this page was uploaded by Sokhi Huda on 03 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TAFSIR AL-QUR’AN:
Konsep Dasar, Klasifikasi, dan Perkembangannya

Makalah Dipresentasikan pada Seminar Kelas


Mata Kuliah Studi al-Qur’an

Oleh:
Sokhi Huda
NIM : FO.2.4.98.42
Konsentrasi: Pemikiran Islam

Dosen Pembimbing:
DR. H.M. Roem Rowi, M.A.

Program Pascasarjana
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
1998/1999
1

TAFSIR AL-QUR’AN:
Konsep Dasar, Klasifikasi, dan Perkembangannya

Oleh: Sokhi Huda

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk umat manusia. Ia sendiri menamakan
dirinya “petunjuk bagi umat manusia” (Hudan li al-Nas)1, sebagaimana dijumpai dalam
surat al-Baqarah (2), ayat 185:

yϑsù 4 Èβ$s%öà ø9$#uρ 3“y‰ßγø9$# zÏiΒ ;M≈oΨÉit/uρ Ĩ$¨Ψ=Ïj9 ”W‰èδ ãβ#uöà)ø9$# ϵŠÏù tΑÌ“Ρé& ü“Ï%©!$# tβ$ŸÒtΒu‘ ãöκy−

ª!$# ߉ƒÌãƒ 3 tyzé& BΘ$−ƒr& ôÏiΒ ×Ïèsù 9x y™ 4’n?tã ÷ρr& $³ÒƒÍ÷s∆ tβ$Ÿ2 tΒuρ ( çµôϑÝÁuŠù=sù töꤶ9$# ãΝä3ΨÏΒ y‰Íκy−

öΝä31y‰yδ $tΒ 4†n?tã ©!$# (#ρçŽÉi9x6çGÏ9uρ nÏèø9$# (#θè=Ïϑò6çGÏ9uρ uŽô£ãèø9$# ãΝà6Î/ ߉ƒÌãƒ Ÿωuρ tó¡ãŠø9$# ãΝà6Î/

∩⊇∇∈∪ šχρãä3ô±n@ öΝà6¯=yès9uρ

Al-Qur’an adalah sebuah perisai untuk umat manusia. Ia sendiri bahkan memiliki
julukan al-Furqan, al-Bayan, serta berbagai julukan lain dalam ayat-ayat lain. Al-Qur’an
bukanlah wahyu yang diturunkan dalam masyarakat yang nir-sejarah dan kosong budaya.
Ia diwahyukan dalam konteks historisitas dan kebudayaan tertentu, sehingga pantas
apabila di setiap dekade muncul studi al-Qur’an dalam variasi kecenderungan dan
substansinya.
Studi al-Qur’an menguat, bukan saja di negara-negara berpenduduk muslim, namun
juga di Barat.2 Studi al-Qur’an kebanyakan lebih ditekankan pada kajian produk tafsir
daripada metodologi tafsir. Padahal mengetahui perkembangan metodologi tafsir lebih
signifikan, melalui studi kritis terhadap perkembangan dan metodologinya, sehingga
rekonstruksi lebih mudah dilakukan.

1
Periksa A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an, 73.
2
Fazlur Rahman, Some Recent Books on The Qur’an by Western Authors, 73.
2

Upaya menafsirkan al-Qur’an sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Predikat al-
Qur’an sebagai Hudan (petunjuk) dan Rahmatan (rahmat) bagi manusia, membuka
kemungkinan yang luas bagi penafsiran terhadapnya.
Susunan al-Qur’an yang tidak sistematis3 juga merupakan alasan tersendiri mengapa
penafsiran serta penggalian terhadap makna ayat-ayatnya justru menjadi tugas umat yang
tidak pernah berakhir.
Sebagai kerangka kontrol normatif maupun metodologis, ada prinsip-prinsip dasar
yang penting diperhatikan —kalau tidak secara sakelik dikatakan harus dipenuhi— dalam
penafsiran terhadap al-Qur’an. Dalam posisinya sebagai kontrol normatif, prinsip-prinsip
tersebut sebagai rambu agar substansi tafsir bernilai representatif bagi kandungan al-
Qur’an. Sedangkan kedudukannya sebagai kontrol metodologis, tafsir menjelaskan asas-
asas prosedur kerja, metode, maupun pendekatannya. Sejarah telah menyajikan ke
hadapan kita perkembangan tafsir al-Qur’an yang digelarkan oleh ahlinya dengan metode
dan pendekatan yang bermacam-macam.

B. Pengertian Tafsir dan Ta’wil


Kata tafsir adalah bentuk kata benda dari kata kerja fassara. Tafsir berarti
penjelasan, uraian, interpretasi, atau komentar. Kata ini terdapat hanya satu kali dalam al-
Qur’an; surat al-Furqan (25): 33.4

∩⊂⊂∪ #·ŽÅ¡ø s? z|¡ômr&uρ Èd,ysø9$$Î/ y7≈oΨ÷∞Å_ āωÎ) @≅sVyϑÎ/ y7tΡθè?ù'tƒ Ÿωuρ

Tafsir dapat juga diartikan menyingkap dan menampakkan makna yang abstrak,
yang tertutup, maksud lafal yang musykil, pelik.5
Tafsir dalam wacana istilah —menurut Abu Hayyan— dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, tentang petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun kala tersusun, dan
makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun, serta hal-hal lain yang

3
Rashid Rida, al-Wahy al-Muhammadiy, 107-108.
4
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, 519.
5
Manna‘ Khalil al-Qattan, Mabahith fi `Ulum al-Qur’an, 323.
3

melengkapinya.6 Dalam format yang lebih sederhana, al-Zarkashiy menekankan definisi


tafsir sebagai ilmu untuk memahami al-Qur’an, serta mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.7 Kemudian, substansi definisi ini memberikan muara bagi kemungkinan
diidentikkannya istilah tafsir dengan istilah hikmah —kaitannya dengan tafsir dalam
perspektif al-Qur’an.
Pengertian tafsir di atas membuka wacana dua dimensinya, yakni sebagai ilmu dan
produk. Sebagai ilmu, tafsir merupakan perangkat pengetahuan untuk mengungkap
kandungan makna al-Qur’an, baik petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di
dalamnya. Sementara sebagai produk, tafsir berupa penjelasan petunjuk-petunjuk, hukum-
hukum maupun hikmah yang dikandung al-Qur’an.
Selanjutnya, pengertian ta’wil —secara etimologis— berasal dari kata awwala yang
berarti fassara (menafsirkan) dan bayyana (menjelaskan). Atas dasar itu, ta’wil berarti
penafsiran (al-tafsir) dan penjelasan (al-tabyin) tentang apa yang dimaksud oleh perintah
kalam.8
Sebagai pengayaan wawasan, penulis angkat sumbangan al-Qat}t}a>n yang menjelaskan
bahwa pengertian etimologis ta’wil adalah memikirkan, memperkirakan, dan menafsirkan.
Ta’wil berasal dari kata aul yang berarti kembali ke asal. Makna ta’wil menurut golongan
salaf adalah esensi (haqiqah); misalnya ta’wil al-’amr (esensi perbuatan yang
diperintahkan) dan ta’wil al-ikhbar (esensi dari apa yang diberitakan yang benar-benar
terjadi). Sementara dalam tradisi muta’akhkhirin, arti ta’wil adalah sampai di manakah
akibat yang dimaksud oleh kalam.9 Perbedaan kedua pandangan ini jelas. Tetapi, kalau
keduanya dimanfaatkan, maka ta’wil dapat dipahami esensi tentang sesuatu yang
ditakwilkan, yang dalam esensi itu termuat juga akibat-akibat yang ditimbulkan oleh

6
Ibid., 324. Abu Hayyan juga menjelaskan secara rinci unsur-unsur definisinya; ilmu, yang
membahas..., petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya..., makna-makna..., hal-hal yang
melengkapinya.
7
Jalal al-Din al-Suyutiy, al-’Itqa n fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid II, 174. Definisi al-Zarkashi yang
dikutip oleh al-Hasaniy, Zubdah al-’Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, 167, diikuti penjelasan tentang
perangkat yang diperlukan oleh tafsir, juga penyebutan ayat al-Qur’an, 2: 269, yang di dalamnya
ada kata hikmah.
8
Al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras ....., Jilid I, 69-70.
9
Al-Qattan, Mabahith..., 325. Dalam hal ini kelompok salaf diwakili oleh al-Tabariy dan al-
Raghib, golongan muta’akhkhirin diwakili oleh al-Zarkashiy dan Ibn Faris.
4

sesuatu tersebut. Sementara definisi ta’wil adalah memalingkan makna lafal yang kuat
(rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya.10 Definisi
yang dikemukakan oleh golongan muta’akhkhirin ini tidak sesuai dengan lafal ta’wil
dalam al-Qur’an menurut versi salaf.
Al-Zarqani mengemukakan bahwa tafsir menjelaskan lafal dari aspek riwayah, dan
ta’wil dari aspek dirayah. Tafsir menjelaskan makna yang digali dari topik ibarat,
sedangkan ta’wil menjelaskan makna dengan metode isyarat.11
Paparan di atas memberikan aset mengenai perbedaan arti dan kandungan tafsir dan
ta’wil. Tafsir menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedangkan ta’wil menerangkan
hakikat yang dikehendaki. Operasionalisasi tafsir lebih dekat pada pendekatan historis-
fenomenologis, sementara ta’wil pada pendekatan filosofis.

C. Tafsir dan Ta’wil dalam Perspektif al-Qur’an


Pada al-Qur’an, surat al-Furqan 33 diredaksikan ahsan tafsir, yang dalam pendapat
Ibn Abbas diartikan lebih baik perinciannya.
Ayat itu merupakan kelanjutan dari penjelasan argumentatif atas gugatan orang-
orang kafir tentang mengapa al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus (jumlah wahidah).
Tidak lain, kebertahapan wahyu al-Qur’an agar mudah dipahami dan dihafalkan (li
nuthabbit bih fu’adak) dalam konteksnya.
Kata hikmah12 yang dikutip oleh al-Zarkashiy menyertai definisi tafsirnya13
diperkuat oleh riwayat dari Ibn Abbas yang menjelaskan maknanya sebagai pengetahuan
tentang al-Qur’an (al-Ma’rifah bi al-Qur’an); yakni nasikh-mansukh, muhkam-mutashabih,
muqaddam-mu’akhkhar, halal-haram. Atas dasar ini al-Qur’an mengidentikkan istilah dan
substansi tafsir dengan hikmah. Dengan demikian, ada dua hal yang penting dicatat
kaitannya dengan tafsir dalam perspektif al-Qur’an, yaitu: pertama, tafsir merupakan
instrumen untuk memahami al-Qur’an secara lebih mudah dan sistematis, dan kedua, tafsir

10
Ibid., 326. Periksa al-Qur’an, 7: 52-53, sebagai masukan komparatif lafal ta’wil menurut
golongan salaf.
11
Al-Zarqaniy, Manahil al-’Irfa n fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid II, 4-5.
12
Al-Qur’an, 2: 269.
13
Al-Hasaniy, Zubdah ..., 168.
5

—yang diidentikkan dengan hikmah—, adalah pelita yang mengungkap hukum-hukum


(fiqh), rahasia kandungan makna, unsur-unsur dan historisitas al-Qur’an.
Mengenai pengertian ta’wil dalam perspektif al-Qur’an, dalam penjelasan Khalid
‘Abd al-Rahman al-`Ak14, terpancar melalui surat-surat:

(1) al-Nahl (16), ayat 44 dan 64:

öΝßγ¯=yès9uρ öΝÍκöŽs9Î) tΑÌh“çΡ $tΒ Ä¨$¨Ζ=Ï9 tÎit7çFÏ9 tò2Ïe%!$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ 3 ̍ç/–“9$#uρ ÏM≈uΖÉit7ø9$$Î/

∩⊆⊆∪ šχρ㍩3x tGtƒ

šχθãΖÏΒ÷σム5Θöθs)Ïj9 ZπuΗ÷qu‘uρ “Y‰èδuρ   ϵŠÏù (#θà n=tG÷z$# “Ï%©!$# ÞΟçλm; tÎit7çFÏ9 āωÎ) |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã $uΖø9t“Ρr& !$tΒuρ

∩∉⊆∪

(2) Ali Imran (3), ayat 7:

$¨Βr'sù ( ×M≈yγÎ7≈t±tFãΒ ãyzé&uρ É=≈tGÅ3ø9$# ‘Πé& £èδ ìM≈yϑs3øt’Χ ×M≈tƒ#u çµ÷ΖÏΒ |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã tΑt“Ρr& ü“Ï%©!$# uθèδ

ÿ…ã&s#ƒÍρù's? ãΝn=÷ètƒ $tΒuρ 3 Ï&Î#ƒÍρù's? u!$tóÏGö/$#uρ ÏπuΖ÷GÏ ø9$# u!$tóÏGö/$# çµ÷ΖÏΒ tµt7≈t±s? $tΒ tβθãèÎ6®KuŠsù Ô+÷ƒy— óΟÎγÎ/θè=è% ’Îû tÏ%©!$#

(#θä9'ρé& HωÎ) ㍩.¤‹tƒ $tΒuρ 3 $uΖÎn/u‘ ωΖÏã ôÏiΒ @≅ä. ϵÎ/ $¨ΖtΒ#u tβθä9θà)tƒ ÉΟù=Ïèø9$# ’Îû tβθã‚Å™≡§9$#uρ 3 ª!$# āωÎ)

∩∠∪ É=≈t6ø9F{$#

Muaranya begini, pada kedua ayat surat al-Nahl, kata tabyin (bentuk masdar dari
tubayyin) berafiliasi pada makna ta’wil. Apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
SAW, tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali dengan tabyinnya mengenai semua
pemahaman: ragam perintah, wajib-sunnah-petunjuk, aneka larangan, pemenuhan hak dan
batas-batasnya, dan sebagainya. Sedangkan maksud wa ma ya’lam ta’wilah illa Allah,
bahwa pada sebagian ta’wil, tiada yang tahu kecuali Allah, yaitu mengenai berita tentang
penentuan waktu (kejadian) sudah berlalu maupun yang akan datang, seperti realisasi hari
kiamat, peniupan roh pada makhluk, turunnya Nabi Isa as dan sebagainya.

14
Khalid ‘Abd al-Rahman al-`Ak, Usul al-Tafsir wa Qawa`iduh, 49-51.
6

Secara lebih luas dan rinci, Muhammad Hayyan menjelaskan variasi makna ta’wil
dalam perspektif al-Qur’an. Ta’wil dapat berarti penafsiran dan penentuan (Al Imran: 7),
akibat dan tempat kembali (al-Nisak: 59), kejadian apa yang diberitakan (al-’A‘raf: 53;
Yunus: 39), esensi petunjuk rasionalitas (Yusuf: 6,37,44,45,100), pemaparan fakta historis
tentang tenggelamnya perahu, terbunuhnya bocah, dan ditegakkannya pagar (pada kisah
Nabi Musa as, pen.).15
Kevariasian makna ta’wil yang dikemukakan oleh Hayyan tersebut, dapat dipakai
sebagai standar alternatif untuk memahami ayat-ayat lain, apabila substansinya sama
dengan ayat-ayat yang disebutkannya. Termasuk di dalamnya, sebab-sebab yang meliputi
hal-hal dalam substansi tersebut.

D. Urgensi Tafsir
Urgensi tafsir terkait dengan kedudukan, sistem, tujuan, serta keutamaannya, juga
kaitannya dengan kompetensi praktis-religius maupun pragmatis. Kedudukan tafsir dapat
dipahami sebagai kunci representatif untuk membuka tabir rahasia makna al-Qur’an.
Kedudukan tersebut, dalam sistem ajaran Islam berfungsi sebagai media (tariqah) untuk
menggapai tujuan yang dikehendaki dalam memahami makna al-Qur’an, yakni
memperoleh mutiara dan permata —sebagai simbol makna tertinggi— di dalamnya.
Pemahaman tersebut dijadikan sebagai pegangan yang kokoh untuk mencapai
kebahagiaan yang hakiki. Sehingga, kompetensi apapun yang berorientasi pada hal-hal
profanik (duniawi) maupun eskatologik (ukhrawi) secara langsung bergantung pada
equilibrium pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam kalamullah sebagai
sumber utama yurisprudensi kehidupan.
Demikianlah kelindan tafsir dengan kepentingan praktis-religius maupun pragmatis.
Dari sini dapat dicerna secara aksentuatif akan mendesaknya kebutuhan terhadap tafsir.
Berikut, penulis hadirkan perbandingan masukan dua ahli ulum al-Qur’an. Pertama,
menurut al-Sabuniy, tafsir merupakan kunci untuk membuka gudang simpanan yang
terhimpun dalam al-Qur’an. Tanpa tafsir orang tidak akan dapat membuka gudang

15
Muhammad Hayyan Al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Iraq: Hafuzah li al-Muallif,
1976), 16-17.
7

simpanan tersebut untuk mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya.16 Itulah
sebabnya tafsir menjadi kebutuhan yang begitu penting. Karena tanpa tafsir tentu tidak
akan diperoleh pemahaman yang tepat terhadap berbagai ayat al-Qur’an.17 Kedua, dengan
kalimat yang sedemikian romantis al-Suyutiy menyatakan urgensi tafsir, demikian:

‫ وﻫﻮ اﺷﺮف اﻟﻌﻠﻮم ﻣﻮﺿﻮﻋﺎ وﻏﺮﺿﺎ وﺣﺎﺟﺔ‬,‫واﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﻣﻦ اﺟﻞ ﻋﻠﻮم اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ وارﻓﻌﻬﺎ ﻗﺪرا‬
‫ وﻷن‬,‫ ﻷن ﻣﻮﺿﻮﻏﻪ ﻛﻼم اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻟﺬي ﻫﻮ ﻳﻨﺒﻮع ﻛﻞ ﺣﻜﻤﺔ وﻣﻌﺪن ﻛﻞ ﻓﻀﻴﻠﺔ‬,‫اﻟﻴﻪ‬
‫اﻟﻌﺮض ﻣﻨﻪ ﻫﻮ اﻻﻋﺘﺼﺎم ﺑﺎﻟﻌﺮوة اﻟﻮﺛﻘﻰ اﻟﻰ اﻟﺴﻌﺎدة اﻟﺤﻘﻴﻘﺔ – واﻧﻤﺎ اﺳﺘﺪت اﻟﺤﺎﺟﺔ‬
‫اﻟﻴﻪ ﻷن ﻛﻞ ﻛﻤﺎل دﻳﻨﻲ او دﻧﻴﺎوي ﻻ ﺑﺪ وان ﻳﻜﻮن ﻣﻮاﻓﻘﺎ ﻟﻠﺸﺮع وﻣﻮاﻓﻘﺘﻪ ﺗﺘﻮﻓﻖ ﻋﻠﻰ‬
.‫اﻟﻌﻠﻢ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ‬
Tafsir adalah ilmu syari’at yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Tafsir
merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya, serta dibutuhkan. Objek
pembahasannya adalah kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan tambang
segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan
mencapai kebahagiaan hakiki. Sedangkan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena
segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’, sedang
18
kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang kitab Allah.

Dapat dilihat secara praktis-sistematis mengenai variasi pandangan kedua ahli


tersebut tentang urgensi tafsir, demikian:

16
Al-Sabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, 60; al-Zarkashiy, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz
I, 13; al-Zarqaniy, Manahil..., Juz I, 470.
17
Al-Zarqaniy, Manahil..., Juz II, 6-7; dalam al-Hasaniy, Zubdah.., al-Asbahaniy menyatakan
pentingnya kedudukan tafsir dalam memahami al-Qur’an, yakni: “karya termulia ialah buah
kesanggupan menafsirkan al-Qur’an”. Karena objek tafsir adalah kalamullah yang merupakan
sumber hikmah dan tambang segala keutamaan.
18
Al-Suyutiy, al-’Itqan..., 175.
8

Tabel Variasi Pandangan tentang Urgensi Tafsir


Antara al-Sabuniy dan al-Suyutiy

No. Aspek Tafsir al-S}abu>ni>y al-Suyu>ti} >y


1 sebagai kunci untuk sebagai ilmu yang paling
Kedudukan/Keutamaan
membuka gudang mulia karena objek dan
simpanan al-Qur’an tujuannya
2 Tujuan mendapatkan mutiara media untuk mencapai
dan permata dalam al- kebahagiaan hakiki
Qur’an
3 diperolehnya kebutuhan mendesak
Tekanan Urgensi
pemahaman yang tepat akan kesempurnaan hal-
terhadap al-Qur’an hal duniawi dan agamawi

E. Prinsip-Prinsip Dasar Tafsir


Para ahli menggunakan beberapa istilah untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar
tafsir. Di antaranya adalah Shuru>t al-Mufassir (Al-Qat}t}a>n: 329-331, al-’Ak: 186-187),
Adab al-Mufassir (Al-Qat}t}a>n:331-332), dan Ummahat Ma’akhid al-Tafsir (Al-H}asaniy:
168-169). Istilah-istilah tersebut digunakan secara parsial, tidak disistemasikan secara
tegas dalam topik prinsip-prinsip dasar tafsir (asas al-tafsir). Karenanya, diperlukan media
secara metodologis untuk memahaminya secara komprehensif.
Penulis berikhtiar untuk menyajikan prinsip-prinsip dasar tafsir dengan meng-
klasifikasikannya ke dalam empat bagian, yakni: (1) aspek metodologis (prosedur), (2)
ilmu-ilmu yang diperlukan, (3) kriteria /kualifikasi personalitas, dan (4) etika.
Pertama, aspek metodologis (prosedur):
1) Menafsirkan, lebih dulu, al-Qur’an dengan al-Qur’an.
2) Mencari penafsiran dari al-Sunnah.
3) Meninjau pendapat para sahabat.
4) Memeriksa pendapat tabi’in.19
Kedua, ilmu-ilmu yang diperlukan:
(1) Bahasa, (2) Nahwu, (3) Tasrif, (4) Ishtiqaq, (5) Ma’aniy, (6) Bayan, (7) Badi‘, (8)
Qira’ah, (9) Usul al-Din, (10) Usul al-Fiqh, (11) Asbab al-Nuzul, (12) Nasikh-Mansukh,

19
Ibid., 330-331.
9

(13) Fiqh, (14) Hadis-hadis tentang penafsiran lafal mujmal dan mubham, dan (15)
Mawhibah.20
Ketiga, kriteria/kulalifikasi personalitas:
Seorang mufassir disyaratkan memenuhi kriteria: (1) berakidah yang benar, (2) bersih dari
hawa nafsu, (3) berpengetahuan bahasa Arab, dengan segala cabangnya, (4)
berpengetahuan bahasa, (5) berpengetahuan pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-
Qur’an, (6) berkemampuan pemahaman yang cermat.21
Berbeda halnya dengan pandangan Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Ak, ada limabelas syarat
bagi mufassir, yang justru lebih mencerminkan kemampuan ilmu-ilmu yang diperlukan
bagi penafsiran, bukan kualifikasi personalitas.22 Ini lebih dekat pada komposisi keilmuan
yang ditawarkan oleh al-Hasaniy pada poin ketiga berikut.
Keempat, etika.
(1) Berniat baik dan bertujuan benar, (2) berakhlak baik, (3) taat dan beramal, (4) berlaku
jujur dan teliti dalam penukilan, (5) tawaddu’, (6) berjiwa mulia, (7) vokal dalam
menyampaikan kebenaran, (8) berpenampilan baik, (9) bersikap tenang dan mantap, (10)
mendahulukan orang lain yang lebih utama daripada dirinya, (11) mempersiapkan dan
menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.23
Khusus aspek ketiga dan keempat, pemisahan antara keduanya didasarkan pada
alasan substantif-tipikal masingmasing. Aspek kualifikasi personal merupakan segi statis
yang bercirikan kedirian (individualisasi) mufassir. Sementara aspek etika merupakan segi
dinamis dalam interaksi kedirian mufassir dengan pihak di luarnya. Apabila keempat
aspek tersebut disimplifikasikan, maka aspek pertama dan kedua dapat disatukan kedalam
aspek tafsir (metodologis), sedangkan aspek ketiga dan keempat ke dalam aspek mufassir.

20
Al-H}asaniy, Zubdah..., 170-172.
21
Al-Qat}t}a>n, Mabahith..., 329-330.
22
Khalid ‘Abd al-Rahman al-`Ak, Usul al-Tafsir ..., 186-187.
23
Al-Qat}t}a>n, Mabahith..., 331-332.
10

F. Tafsir Rasul, Sahabat dan Tabi’in

1. Tafsir Rasul
Rasulullah adalah orang pertama yang menguraikan isi al-Qur’an dan
menjelaskannya kepada umatnya. Pada masa ini tidak seorangpun dari para sahabat yang
berani menafsirkan al-Qur’an, karena beliau berada di tengah-tengah mereka.24 Tidak
semata karena alasan bahwa Nabi memikul “beban berat” —sebagaimana penjelasan
S}ubhiy al-S}alih—, tetapi karena memang beliau telah memperoleh garansi dari Allah,
untuk menafsirkan al-Qur’an. Hal ini direferensikan pada firman Allah:
Surat al-Qiyamah (75), ayat 17-19:

∩⊇∪ …çµtΡ$uŠt/ $uΖøŠn=tã ¨βÎ) §ΝèO ∩⊇∇∪ …çµtΡ#uöè% ôìÎ7¨?$$sù çµ≈tΡù&ts% #sŒÎ*sù ∩⊇∠∪ …çµtΡ#uöè%uρ …çµyè÷Ηsd $uΖøŠn=tã ¨βÎ)

Surat al-Nahl, ayat 44:

∩⊆⊆∪ šχρ㍩3x tGtƒ öΝßγ¯=yès9uρ öΝÍκöŽs9Î) tΑÌh“çΡ $tΒ Ä¨$¨Ζ=Ï9 tÎit7çFÏ9 tò2Ïe%!$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ 3 ̍ç/–“9$#uρ ÏM≈uΖÉit7ø9$$Î/

Lebih tepat digunakan istilah amanat —dalam pandangan penulis— daripada beban berat
bagi Nabi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an kepada orang-orang di sekitarnya (para
sahabat). Beliau menunaikan amanat itu lebih merupakan konsekuensi historis sesuai
dengan karakter pesan normatif maupun universal al-Qur’an sendiri.

2. Tafsir Sahabat
Di kalangan para sahabat, yang terkenal sebagai ahli tafsir yang luas
pengetahuannya ada 10 orang. Di antaranya adalah al-Khulafa‘ al-Rashidun, dan Ali
adalah orang yang sering disebut daripada ketiga khalifah lainnya. Sementara yang paling
tepat bergelar “ahli tafsir” adalah Abdullah bin Abbas, sedangkan Nabi sendiri
menyaksikan kedalaman ilmunya.25 Ia juga terkenal dengan gelar “Turjuman al-
Qur’an”.26

24
Subhiy Al-Salih, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, 289.
25
Al-S}alih, Mabahith..., 289.
26
Al-Zarkashiy, al-Burhan..., Jilid II, 161; al-Hasaniy, Zubdah...., 174, diperkuat oleh hadith:
11

Cara yang ditempuh oleh para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an, berpegang
teguh pada: (1) al-Qur’an, (2) penjelasan Nabi, dan (3) pemahaman dan ijtihad. Sedangkan
pendekatan penafsirannya adalah bi al-Ma’thur.27 Tafsir sahabat diterima baik oleh para
ulama dari kaum tabi’in di berbagai daerah Islam, bahkan jumhur ulama berpendapat,
bahwa tafsir sahabat mempunyai status marfu’ apabila berkenaan dengan asbab al-nuzul
dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’y.
Dalam pemahaman dan ijtihad, para sahabat memanfaatkan kemampuan
linguistiknya. Perbedaan kemampuan ini menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat
pemahaman di antara mereka terhadap al-Qur’an. Aspek kebahasaan —tetapi tidak
sepenuhnya— ini ternyata signifikan terhadap derajat intelektual. Maka aspek bahasa
bersifat “antara”, sedangkan aspek intelektual bersifat dominan, dalam perbedaan tersebut.
Karenanya, Hayyan memfalsifikasi (mengkonter) pendapat Ibnu Khaldun yang
menyimplifikasikan bahwa semua sahabat memahami al-Qur’an; mengerti makna
mufradat dan tarkibnya, karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa dan uslub Arab.
Padahal, nyatanya, tidak semuanya mengerti makna kosa kata bahasa Arab.28

3. Tafsir Tabi’in
Pada masa ini, muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah dan
Iraq. Kelompok Makkah memperoleh transformasi dari Ibnu Abbas, yang mereka adalah
para sahabatnya. Kelompok Madinah dituruni ilmu oleh Zaid bin Aslam, yang mereka
adalah anak dan muridnya. Sementara di Kufah (Iraq) muncul para mufassir dari sahabat-
sahabat Abdullah bin Mas’ud.29
Cara yang ditempuh oleh penafsir tabi’in adalah berpegang pada: (1) al-Qur’an, (2)
keterangan dari para sahabat yang bersumber dari Rasulullah, (3) penafsiran para sahabat
sendiri, (4) keterangan dari ahli kitab yang bersumber dari kitab mereka, dan (5) ijtihad.30
Seirama dengan bertambah jauhnya manusia dari masa Nabi dan sahabat, maka
tingkat kesulitan penafsiran semakin bertambah. Karenanya, mufassir tabi’in berupaya
27
Al-Qat}t}a>n, Mabahith..., 335-336.
28
Hayyan, al-Tafsir ....., 23-24.
29
al-Suyutiy, al-’Itqan..., Juz II, 323.
30
Al-Qat}t}a>n, Mabahith..., 338.
12

menambahkan keterangan-keterangan untuk memecahkannya. Di samping itu,


permasalahan yang dihadapi oleh tabi’in adalah, tidak semua ayat al-Qur’an dijumpai
tafsirnya dari Nabi dan sahabat. Bagi tabi’in, yang hidupnya tidak pernah bersama
Rasulullah, persoalan tersebut serius. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh tabi’in untuk
memecahkannya, yakni (1) berpegang pada pengetahuan bahasa Arab, (2) fenomena-
fenomena yang terjadi pada masa turunnya ayat, yang mereka pandang representatif,(3)
perbendaharaan pemahaman mereka, dan (4) kesinambungan pembahasan tafsir.31
Perkembangan tafsir pada masa-masa selanjutnya, baik segi pertumbuhannya antar
dekade maupun variasi metode dan pendekatannya, ditandai munculnya sejumlah karya
(produk) tafsir dan metodologinya. Dalam kacamata historis, ada hal yang dapat
dimaklumi secara logis maupun fenomenal, yaitu perkembangan permasalahan yang
semakin kompleks, sehingga memicu bangkitnya tanggung jawab moral para cendikiawan
muslim untuk memberikan jawabannya. Apalagi, ketika terjadi dialog peradaban Islam
dengan peradaban Barat, dinamika perkembangan ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu
pengetahuan secara luas, tampak mencuat keras.

G. Macam-Macam Tafsir
Macam-macam tafsir ditentukan oleh perbedaan metode yang digunakannya.
Perbedaan ini, selanjutnya, menjadi argumentasi bagi variasi pendekatan sesuai dengan
substansi kajiannya masing-masing. Secara klasik, metode tafsir dibedakan ke dalam dua
bagian besar, yaitu Tafsir bi al-Riwayah dan Tafsir bi al-Dirayah.32 Dari paduan kedua
metode itu lalu muncul empat metode, yakni: (1) Tafsir Tahliliy, (2) Tafsir Ijmaliy, (3)
Tafsir Muqaran, dan (4) Tafsir Mawdu ‘iy.33
Tafsir Tahliliy mengkaji al-Qur’an dari segala aspek dan maknanya. Tafsir ini
memuat beberapa macam, yakni: (1) Tafsir bi al-Ma’thur, (2) Tafsir bi al-Ra’y, (3) Tafsir
Sufiy, (4) Tafsir Ishariy, (5) Tafsir fiqhiy, (6) Tafsir Falsafiy, (7) Tafsir ‘Ilmiy, (8) Tafsir
Adabiy, dan (9) Tafsir Isra ‘iliyyat.

31
Hayyan, al-Tafsir..., 100.
32
Al-Salih, Mabahith..., 290-291.
33
’Abd al-Hay al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu‘iy, 23.
13

Tafsir Ijmaliy menafsirkan al-Qur’an secara singkat dan global, tanpa penjelasan
panjang lebar, untuk konsumsi berbagai tingkatan intelektualitas. Yang ditafsirkan
disesuaikan urutan mushaf, dari ayat ke ayat, dari surat ke surat berikutnya.
Tafsir Muqaran adalah metode tafsir dengan mengambil sejumlah ayat, kemudian
mengemukakan penafsiran para ulama tafsir yang metode dan kecenderungannya berbeda-
beda dan mengkomparasikannya, kemudian menjelaskan kecenderungan legitimasi
kemazhabannya masing-masing.
Tafsir Mawdu‘iy (tematik) ialah metode tafsir dengan cara menghimpun seluruh
ayat yang berbicara mengenai masalah atau tema tertentu serta mengarah pada suatu
pengertian dan ujuan tertentu, meskipun ayat-ayat itu turunnya —baik segi cara, waktu
maupun tempatnya— berbeda, tersebar dalam berbagai surat. Sehingga satu tema dapat
dipecahkan secara tuntas.
Selebih penjelasan di atas, ada juga yang mengklasifikasikan tafsir ke dalam dua
golongan besar, yakni (1) Tafsir Jaf dan (2) Tafsir Mujawiz.34 Tafsir Jaf merupakan tafsir
yang terbatas pada segi kebahasaan, bersifat denotatif. Sedangkan tafsir mujawiz yang
bergerak secara luas (berlebihan), bersifat konotatif.
Tafsir Jaf dikembangkan secara serius oleh di antaranya Muhammad Abduh. Prinsip
teoritik tafsirnya adalah “al-`Ibrah bi ‘Umum al-Lafz la bi khusus al-sabab”35. Model
tafsir Jaf ini benar-benar memperhatikan unsur balaghah, keharmonisan uslub (gaya
bahasa), dan sistemasi rasionalitas al-Qur’an. Demikian ini sebagai konter terhadap
kecenderungan umum —menurut Abduh— penafsiran al-Qur’an, secara parsial antar ayat-
ayatnya. Cara parsial inilah yang disebutnya sebagai cara yang tidak terkendali, sehingga
dapat mungkin bahwa penafsirannya melampaui batas substansial ayat yang ditafsirkannya
(mujawiz, pen.).

34
Al-Zarqaniy, Manahil..., Juz II, 6.
35
‘Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Kairo,
Mesir: Nashr al-Rasail al-Jami’ah, tt), 36-37.
14

H. Simpulan
Konsep dasar tafsir memuat pengertian etimologis dan definisinya, serta
pengertiannya dalam perspektif al-Qur’an, kedudukan dan urgensi tafsir, objek dan tujuan
tafsir, dan prinsip-prinsip dasarnya. Tafsir memiliki dua dimensi, yakni dimensi sebagai
ilmu dan sebagai produk. Sebagai ilmu, tafsir berisi perangkat metodologi untuk
mengungkap petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di dalam al-Qur’an, dan
sebagai produk, tafsir berupa petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di
dalamnya. Tafsir mengkaji makna al-Qur’an dari aspek historis-fenomenologis, sementara
ta’wil dari segi filosofisnya. Al-Qur’an sendiri memandang tafsir sebagai instrumen untuk
memahami maknanya secara lebih mudah dan sistematis, dan ta’wil memiliki pengertian
yang bervariasi.
Urgensi tafsir ada pada posisi strategisnya —melalui produknya— untuk mencapai
kesempurnaan hidup dan kebahagiaan hakiki. Meski demikian, tafsir tetap berhadapan
dengan pola kontrol normatif maupun metodologis, yang di dalamnya ada empat prinsip
yang penting diperhatikan bagi tafsir, yakni aspek prosedur kerja, ilmu-ilmu yang
diperlukan, kriteria/kualifikasi personalitas, dan etika.
Dalam hal klasifikasi, tafsir terbagi ke dalam empat kelompok yang lahir dari
paduan Tafsir bi al-Riwayah dan Tafsir bi al-Dirayah. Keempat kelompok tersebut
mempunyai beberapa macam corak yang ditentukan oleh perbedaan metode dan
pendekatan seiring orientasi substansialnya.
Perkembangan tafsir, mulai Nabi, sahabat, sampai tabi’in, masih didominasi oleh
pendekatan bi al-Ma’thur, yang menekankan pada aspek sumber-sumber riwayah dan
kebahasaan.
15

DAFTAR KEPUSTAKAAN

‘Ak, Khalid ‘Abd al-Rahman. Usul al-Tafsir wa Qawa‘iduh. Beirut: Dar al-Nafa’is, 1964.
‘Ali, Ahmad Yusuf. The Holy Qur’an. Branswood Mryland, AS: Amana Corp., 1989.
Baqiy, Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Mu’jam al Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Dar
al-Sha’ab, 1945.
Farmawy, ‘Abd al-Hay. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu‘iy. Mesir: al-Jumhuriyyah al-
Misriyyah, 1977.
Hasaniy, Muhammad bin al-Sayyid Alwiy al-Malikiy. Zubdah al-’Itqan fi ‘Ulum al-
Qur’an. Madinah: al-Irshad, 1401 H
Mahmud, ‘Abdullah. Manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim.
Kairo, Mesir: Nashr al-Rasail al-Jami’ah, tt.
Qattan, Manna ‘ Khalil. Mabahith fi `Ulum al-Qur’an. Beirut: Mansurat al-‘Asr al-Hadith,
1972.
Rahman, Fazlur. Some Recent Books on The Qur’an by Western Authors, Journal of
Religion, vol. 64, 1984.
Rida, Rashid. al-Wahy al Muh. Ammadiy.
Salih, Subhiy , Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar ‘Ilm li al-Malayin, 1977.
Sabuniy, Muhammad ‘Ali. al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Mekkah: 1980.
Suyutiy, Jalal al-Din. al-’Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid II. Mesir: Dar Ihy al-Kutub al-
’Arabiyyah, t.t.
Zahabiy, Muhammad Hayyan. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I. Iraq: Hafuzah li al-
Muallif, 1976.
Zarkashi, Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah. al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Juz I.
Mesir: Dar Ihy al-Kutub al-’Arabiyyah, t.t.
Zarqaniy, Muhammad ‘Abd al-’Azi z. Manahil al-’Irfa n fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I dan
II. Mesir: Dar Ihy al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai