Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital yang menunjukan keadaan tanpa
anus atau dengan anus yang tidak sempurna. Malformasi anorektal merupakan kelainan
kongenital yang sering kita jumpai pada kasus bedah anak.1 Diagnosis penyakit
kongenital ini sangat mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik yang cermat dan teliti
sehingga hal ini harus diketahui oleh para dokter. (Jurnal kedokteran meditek)
Atresia ani merupakan kelainan kongenital yang sering dijumpai pada bayi baru
lahir di bidang bedah anak. Prevalensinya diperkirakan sekitar 1 dari 2.000-5.000
kelahiran hidup. Sumber lain menyebutkan prevalensi atresia ani 3-5 kasus dari 10.000
kelahiran. Atresia ani merupakan kelainan kongenital yang sering dijumpai pada bayi
baru lahir di bidang bedah anak. Prevalensinya diperkirakan sekitar 1 dari 2.000-5.000
kelahiran hidup. Sumber lain menyebutkan prevalensi atresia ani 3-5 kasus dari 10.000
kelahiran.
Hasil surveilans Kemenkes, pada periode September 2014 – Maret 2018 terdapat
1.085 bayi dengan kelainan bawaan. Jenis kelainan bawaan terbanyak adalah talipes
dan orofacial cleft defect. Sedangkan kasus atresia ani dilaporkan 9,7% kasus, yaitu
urutan kelima dari kelainan bawaan tersering.
(https://www.alomedika.com/penyakit/kesehatan-anak/atresia-ani/epidemiologi )

B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak dengan Atresia Ani?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa memahami asuhan keperawatan pada anak dengan Atresia Ani
2. Tujuan khusus
1. Memahami konsep penyakit Atresia Ani pada anak
2. Melakukan pengkajian

1
3. Merumuskan diagnosa
4. Menentukan intervensi
5. Mengevaluasi hasil intervensi

2
BAB II
TEORI

A. Definisi
Atresia ani atau anus imperforadis adalah suatu keadaan dimana lubang anus tidak
berlubang . Atresia ani berasal dari bahasa Yunani, yaitu “a” yang berarti tidak ada dan
“trepsis” yang artinya nutrisi atau makanan. Meunurut istilah kedokteran atresia ani
adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan yang normal. ( Sudarti,
2010)
Menurut Hidayat ( dslam Yuliasti, 2010) Atresia ani merupakan kelainan kongenital
yang terbanyak pada daerah anorektal dan masih menjadi perdebatan banyak ahli. Atresia
ani terdapat pada satu dari 4000 sampai 5000 kelahiran hidup. Atresia ani adalah kondisi
dimana tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus, merupakan kelainan malformasi
kongenital dimana terjadi ketidaklengkapan perkembangan embrionik pada bagian anus
atau tertutupnya anus secara abnormal. Lokasi terjadinya anus imperforata meliputi
bagiananus, rektum atau keduanya.

B. Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani menurut Buku Ajar Ilmu Bedah ( dalam Yuliasti, 2010)
dibagi berdasarkan garis pubocoxigeus dan garis yang melewati ischi, kelainan disebut:
1. Letak tinggi (supralevator), rektum berakhir diatas muskulus levator ani dengan
jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum >1cm.
2. Letak intermediate, kelainan ini mempunyai cirirektum terletak pada muskulus
levator ani tetapi tidak menembusnya.
3. Letak rendah, rektum berakhir di bawah muskulus levator ani sehingga jarak
antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.
C. Manifestasi Klinis
Menurut Yuliasti Eka (2010) anak yang menderita Atresia Ani terdapat
manifestasi klinis sebagai berikut:
1. Tidak Tidak ditemukan anus dengan ada/tidak adanyanya fistula Bila ada fistula pada
perineum (mekoneum +)

3
2. Kemungkinan letak rendah.
3. Mekonium tidak keluar dalam waktu 24-48 jamsetelah lahir.
4. Feses keluar dari vagina atau utetra.
5. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
6. Muntah.
7. Tidak dapat buang air besar

D. Etiologi Atresia ani


Menurut Sudarti (2010) Atresia ani ini dikarenakan oleh ketidak normalan
perkembangan janin dalam rahim selama kehamilan, kelainan ini karena tidak bertungsinya
secara penuh saluran anus dan akan menjadi kelainan bawaan. Dikatakan kelainan bahwa
karena kelainan ini terjadi pada bayi yang didapat segera setelah bayi lahir. Pada bayi baru
lahir kejadiannya sekitar I banding 5000 kelahiran bayi hidup.
E. Anatomi fisiologi Anus dan rektum
Menurut Syaifudin (2011) Anatomi dan Fisiologi anus dan rectum sebagai berikut:
1. Anatomi
Rektum merupakan lanjutan dari kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus sepanjang 12 cm, dimulai dari pertengahan sakrum dan berakhir pada
kanalis anus. Rektum terletak dalam rongga pelvis, di depan os sakrum dan os koksigis.
Rektum terdiri dari dua bagian:
1. Rektum propia: Bagian yang melebar disebut ampula rekti. Jika ampularekti terisi
makanan akan timbul hasrat defekasi.
2. Pars analis rekti: Sebelah bawah ditutupi oleh serat-serat otot polos (M.sfingter ani
internus) dan serabut otot lurik (M. singter ani eksternus) Kedua otot ini berperan pada
waktu defekasi tunika mukosa rektum banyak mengandung pembuluh darah. Jaringan
mukosa dan jaringan otot membentuk lipatan disebut kolumna rektalis. Bagian bawah
kolumna rektalis terdapat pembuluh darah V. rektalis (V hemoroidalis superior, V
hemoroidalis inferior). Sering terjadi pelebaran atau varises yang disebut hemoroid
(wasir) Bagian dari saluran pencernaan dengan dunia luar terletak di dasarpelvis dan
dindingnya diperkuat oleh sfingter ani yang terdiri dari:
1. Sfingter ani internus, sebelah dalam bekerja tidak menurut kehendak

4
2. Sfingter levator ani, bagian tengah bekerja tidak menurut kehendak.
3. Sfingter ani eksternus, sebelah luar bekerja menurut kehendak
Defekasi adalah hasil refleks apabila bahan feses masuk ke dalam rektum. Dinding
rektum akan meregang menimbulkan impuls aferens yang disalurkan melalui pleksus
mesenterikus dan menimbulkan gelombang peristaltik pada kolon desendens. Kolon
sigmoid mendorong feses ke arah anus. Apabila gelombang peristaltik sampai di anus,
sfingter ani internus dihambat dan sfingter ani eksternus melemas sehingga terjadi
defekasi.
Refleks ini sangat lemah harus diperkuat dengan refleks lain melai segmen sakral
medula spinalis, dikembalikan ke kolon desendens, kolon sigmoid, rektum dan anus
melalui saraf parasimpatis. Ini memperkuat gelombang peristaltik dan mengubah refleks
defekasi dari gelombang lemah menjadi proses defekasi yang kuat. Orang normal dapat
mencegah defekasi dan tempat yang sesuai dengan refleks defekasi, hilang beberapa menit
dan timbul kembali sampai beberapa jam. Pada bayi baruahir refleks defekasi berjalan
Secara otomatis dan mengosongkan usus besar bagian bawah.

2. Fisiologi
Defekasi. Rektum berfungsi sebagai penyimpanan sementara feses Biasanya
rektum kosong, tetapi saat gerakan massa mendorong isi kolon sigmoid ke rektum, ujung
saraf di dindingnya dirangsang oleh regangan. Pada bayi, defekasi terjadi oleh kerja
reftleks (involunter). Akan tetapi, saat individu berusia dua atau tiga tahun, kemampuan
untuk mengendalikan refleks defekasi berkembang. Sfingter anal eksternal berada di
bawah kendali volunter saraf pudendal. Dengan demikian defekasi melibatkan kontraksi
involunter otot rektum dan relaksasi sfingter anal internal. Kontraksi otot abdomen dan
peningkatan tekanan intraabdomen (Valsalva manuver) dapat membantu proses defekasi
saat defekasi ditunda secara sadar kebutuhan berdefekasi cenderung berkurang hingga
gerakan massa selanjutnya terjadi dan refleks dipicu kembali. Supresi refleks yang
berulang dapat menyebabkan konstipasi.
Feses merupakan massa berwarna coklat yang semi-padat. Warna coklat ini
disebabkan sterkobilin. Meskipun absorpsi air berlangsung di usus besar, air tetap
menyusun sekitar 60-70% berat feses, sisanya adalah serat (materi selular nabati dan

5
hewani yang tidak dapat dicerna), mikroba yang hidup dan mati, sisa sel epitelium dari
dinding saluran, asam lemak, dan mukus yang disekresikan oleh epitelium yang melapisi
usus besar.

F. Patofisiologi
Menurut Cecily L (2002), Malformasi kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya. Ada dua klasifikasi anus
imperforata, berhubungan dengan penempatan ujung distal kolon (rektum). Pada anus
imperforata tinggi, rektum berakhir di atas suspensorium puborektal, kompleks otot utama
pengendali sfingter dan defekasi. Pada anus imperforata rendah rektum melintangi
suspensorium puborektal, dengan lokasi abnormal di perineum. Bayi yang terkena dapat
mengalami kontinenta rektal setelah pengobatan. Bersamaan dengan anus imperforata, hal-
hal berikut ini Juga dapat terjadi
1. Pada perempuan, terdapat fistula antara rektum dan vagina.
2. Pada laki-laki, terdapat fistula antara rektum dan saluran kemih pada skrotum.
Tampilan kelainan ini bervariasi, tergantung dari keparahannya. Anus impertorata
ringan tampak sebagai lekukan anal yang dalam dan menunjukan reaksi otot yang kuat
terhadap tusukan jarum, mengindikasikan persarafan ditempat tersebut.pada anus
imperforata yang lebih berat mula mula tampak sebagai perineum datar tanpa lekukan dan
respon yang buruk terhadap tusukan jarum, dan hal tersebut terjadi karna persarafan dan
pembentukan otot yang terganggu. Defek yang berat mencakup adanya kelainan lain. Bayi
pada awalnya tampak mempunyai labia yang kurang berkembang. testes yang tidak
mengalami desensus, dan genitalia ganda. Hasil yang baik dapat diperoleh setelah
pembedahan dilakukan.

G. Penatalaksanaan
Menurut Yuliasti Eka (2010), Penatalaksanaan atresia ani tergantung dari
klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu Pada
tahun 1982, Pena dan Defries memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero
sagital anorectoplasty, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan
muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektumdan pemotongan fistel.

6
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka
panjang meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya bentuk kosmetik serta antisipasi trauma
psikis. Sebagai tujuan utama adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya baik.
Penentuan ketinggian akhiran rektum merupakan hal yang menentukan ketepatan
penanganan atresia ani hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan
pemeriksaan fisik radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak
disebabkan karena kegagalan menentukan letak koloststomi, persiapan operasi yang tidak
adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta keterampilan operator yang kurang serta
perawatan post operasi yang berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan
ada tidaknya fistula.
Leape (1987) menganjurkan pada:
1. Atresia letak tinggi dan intermediate sebaiknya dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD
dahulu setelah 6-12 bulan baru dikerjakan tindakan definitive (PSARP).
2. Atresia letak rendah sebaiknya dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi otot sfingter ani
eksternus.
3. Bila terdapat fistula sebaiknya dilakukan cut back incicion.
4. Stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin (lImu Bedah, 2009)

ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ANI

A. Pengkajian Keperawatan
Pada pengkajian keperawatan dapat ditemukan penyumbatan anus (anus tidak normal),
adanya kembung dan terjadi muntah pada 24-28 jam setelah lahir. Pada bayi laki dengan fistula
urinari didapatkan mekonium pada urine, dan pada bayi perempuan dengan fistula urogeintal
ditemukan mekonium pada vagina Pada pemeriksaan fisik memasukkan jari kelingking dengan
memakai saurung tangan atau juga dengan memasukan termometer sepanjang kurang lebih 2 cm
tidak ditemukan anus secara normal. Adanya berbagai bentuk seperti stenosis rektum yang lebih

7
rendah atau juga pada anus, membran anus yang menetap, adanya fistula antara rektum dan
traktus urinaria, adanya fistula antara rektum, vagina atau erneun pad perempuan.

B. Diagnosis/Masalah Keperawatan
1. Kurang volume cairan (Pra Pembedahan)
2. Nyeri (Pasca Pembedahan)
3. Gangguan integritas kulit (Pasca Pembedahan)

C. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Kurang Volume Cairan


Risiko terjadinya volume yang kurang pada kelainan anus ini dapat disebabkan oleh
karena keluaran yang berlebihan. Dalam hal ini dapat melalui muntahan, maka rencana yang
dapat dilakukan adalah mencegah terjadinya kekurangan volume cairan dengan mempertahankan
keseimbangan status cairan.
Tindakan
1. Monitor status hidrasi (tanda-tanda dehidrasi dan keseimbangan cairan).
2. Pertahankan kebutuhan sesuai dengan kebutuhan.
3. Monitor berat badan.
4. Kolaborasi dengan tim medis dalam rencana pembedahan dengan persiapan sebagai
berikut: kaji adanya distensi abdomen dengan mengukur lingkar perut observasi tanda
vital setiap 4 jam, pantau adanya komplikası usus seperti adanya pertorasi, pantau
respons bayi terhadap evakuasi anus, gunakan NG tube untuk dekompresi lambung,
gunakan kateter untuk dekompresi kandung kemih pertahankan cairan (parenteral)
pantau respons terhadap pemberian antibiotik.
2. Nyeri
Nyeri yang terjadi pada pascapembedahan disebabkan karena dampak insisi pembedahan
dan rencana tindakan yang dapat dilakukan adalah mengatasi nyeri agar dampak dari nyeri yang
ditimbulkannya dapat teratasi
Tindakan:
1. Berikan rendam duduk pascapembedahan 1 minggu lebih
2. Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan pasien.

8
3. Berikan zinkum oksida pada daerah kulit yang mengalami iritasi
4. Lakukan kolaborasi dalam pemberian analgetik.

3. Gangguan Integritas Kulit


Masalah risiko terjadinya gangguan integritas kulit ini dapat disebabkan adanya insisi
pembedahan, dan rencana yang dapat dilakukan adalah mencegah agar tidak terjadi gangguan
integritas kulit.
Tindakan:
1. Lakukan monitoring terhadap dilatasi anus.
2. Pantau daerah insisi.
3. Jangan mengukur suhu melalui rektal, memberi obat perektal atau
melakukapemeriksaan melalui daerah rektal.
4. Pertahankan agar anus tetap bersih dan kering.
5. Berikan zinkum oksida pada daerah kulit yang mengalami iritas
6. Hindari tekanan pada garis sutura (jahitan).
7. Berikan posisi miring atau telungkup pada bayi.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Atresia ani terdapat pada satu dari 4000 sampai 5000 kelahiran hidup. Atresia ani
adalah kondisi dimana tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus, merupakan
kelainan malformasi kongenital dimana terjadi ketidaklengkapan perkembangan
embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal.
Atresia ani disebabkan karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan
struktur kolon antara 7-10 minggu selama perkembangan fetal, kegagalan migrasi
tersebut juga terjadi karena gagalnya agenesis sakral dan abnormalitas pada daerah uretra
dan vagina atau juga pada proses obstruksi ada anus imperforata yang dapat terjadi
karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan
feses tidak dapat keluar

B. Saran

10
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC


Hidayat, Azis A. 2012. Pengantar Ilmu keperawatan Anak buku 2. Jakarta: Salemba Medika
Lokananta, I.,&R.2017. Malformasi Anorektal. Jurnal Kedokteran Meditek, 22(58). Retrieved
from https://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/view/1265
Purwaningrum, Yuliasti. 2010. Penyakit Pada Neonatus, Bayi dan Balita.
Yogyakarta : Fitramaya
Syaifudin. 2011. Anatomi Fisiologi Edisi 4. Jakarta : EGC
Putri, Yoke. Epidemiologi Atresia Ani. Alomedika.
https://www.alomedika.com/penyakit/kesehatan-anak/atresia-ani/epidemiologi
Waugh, Anne, & Allison. 2011. Dasar- dasar Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : Salemba Medika
Sudarti. 2010. Kelainan dan Penyakit pada Bayi dan Anak. Jogjakarta: Muha Medika

11

Anda mungkin juga menyukai