MK : KEPERAWATAN DASAR
DOSEN : NIRVA RANTESIGI S. KEP, MM
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Konstipasi”.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan pada makalah ini. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di
masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya
keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya
jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik (vena), sehingga
saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk melakukan
buang air besar. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia)
akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan
kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti aspirin, antihistamin,
diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi jika makan makananan yang
kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika
sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Kasus konstipasi
umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4% sampai 30% pada kelompok usia 60 tahun
ke atas. Ternyata wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan
perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya umur,
terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke
atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di Inggris ditemukan
30% penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat
pencahar . Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita
konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National Health
Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita
konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik
dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan
kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping
obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan
organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau
kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi
serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika
penderita konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong,
caranya haluskan sayur atau buah tersebut dengan diblender.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum:
Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien
dengan konstipasi, serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan
konstipasi.
2. Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui dan memahami pengertian konstipasi
b. Untuk mengetahui dan memahami pembagian konstipasi
c. Untuk mengetahui dan memahami etiologi konstipasi
d. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi konstipasi
e. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis konstipasi
f. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan pemeriksaan, penatalaksanaan serta
pencegahan untuk pasien dengan konstipasi
g. Untuk memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan
konstipasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Berikut pengertian konstipasi dari beberapa sumber sebagai berikut:
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan
kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan
kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya,
berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi
tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu,
sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras atau
kering sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang
aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus. (Paath, E.F. 2004) .
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekunsi
defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya
mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas
usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar
kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan
melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada
rektum. (Potter & Perry, 2005).
Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada kesulitan,
nyeri, atau perdarahan dapat dianggap normal.
B. Tipe Konstipasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:
1. Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a. Mengedan keras 25% dari BAB
b. Feses yang keras 25% dari BAB
c. Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
d. BAB kurang dari 2 kali per minggu
2. Penundaan pada muara rectum
Kriteria:
a. Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
b. Waktu untuk BAB lebih lama
c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses,
sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi
anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
C. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat
menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging,
produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat) sering
mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna.
Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan
konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain itu,
kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu untuk diisi
kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan dan
kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi
juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang),
diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson dapat
menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan
penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti
obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada
medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia dapat
menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi
dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf
simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau
iritasi colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal,
meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan konstipasi.
11. Umur : Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang
tua turut berperan menyebabkan konstipasi.
D. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja
otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks,
kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran
diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat
pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi
rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi
otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan
peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat
berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang
menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula
dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran
feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot
dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk
BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan
menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan
simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor
yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut,
motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak
mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang
menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi
pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak
mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik
dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang
ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang
usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-
9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi
sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah
kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis
untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan
berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena
degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos
sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang
meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini
dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi
tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos
berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai
kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya
mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus
sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada
mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum,
sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan
peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk
menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien
dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena
dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena
tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada
penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat
BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran
anus saat mengejan.
3. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon
yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi
merupakan hal yang dominan.
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola
makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya
tanda dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa
penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja
sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang
hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan
jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila
sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus
mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan
tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan
dengan tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya (jika
kram perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar
(biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan
di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau, konsistensi, ukuran,
bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya.
Distensi abdomen diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid,
fisura, dan iritasi kulit.
2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi
a. Monitor tanda dan gejala konstipasi.
b. Monitor bising usus.
c. Monitor fases : frekuensi, konsistensi, dan volume.
d. Anjurkan pasien / keluarga untuk mencatat warna , volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja.
e. Anjurkan pasien / keluarga pada penggunaan yang tepat dari obat pencahar.
4. Tujuan
a. Mempertahankan bentuk fases.
b. Lunak 1-3 hari.
c. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi.
d. Mengidentifikasi indikator untuk mencegah konstipasi.
e. Fases lunak dan berbentuk.
5. Implementasi
a. Sudah dimonitor tanda dan gejala konstipasi.
b. Sudah dimonitor bising usus.
c. Sudah dimonitor fases : frekuensi,
d. konsistensi, dan volume.
e. Sudah dianjurkan pasien / keluarga untuk mencatat warna , volume, frekuensi, dan
konsistensi tinja.
f. Sudah dianjurkan pasien / keluarga pada penggunaan yang tepat dari obat pencahar.
6. Evaluasi
a. S : Pasien mengatakan bahwa dalam melakukan pengeluaran fases sudah kembali
normal dan tidak mengalami kesulitan lagi
b. O : pasien sudah merasa lebih baik, yang awalnya pasien tidak dapat makan,
mengalami mual dan muntah sekarang saat pasien sudah mendapatkan tindakan
keperawatan, pasien sudah bisa makan dan tidak lagi mengalami mual dan muntah.
c. A : Tujuan tercapai
d. P : Masalah teratasi
B. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Konstipasi
Contoh kasus:
Seorang kakek bernama Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian
bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB
tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya
karena kurang nafsu makan. Setelah dikaji inspeksi terdapat pembesaran abdomen dan saat
dipalpasi ada impaksi feses.
1. Pengkajian
Nama : Evart
Alamat : Surabaya
Riwayat penyakit sekarang : Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada
perut bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa
sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa
BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak
pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya.
Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.
Review of system :
a. B1 (Breath) : RR meningkat
b. B2 (Blood) : denyut jantung meningkat, TD meningkat
c. B3 (Brain) : nyeri pada abdomen bawah
d. B4 (Bladder) :-
e. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun
f. B6 (Bone) :-
Analisa Data:
Perkusi : redup.
Menurunnya intake
makanan
sulit keluar
Data objektif:
Nyeri abdomen
2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
b. Atur waktu yang tepat untuk defekasi Untuk memfasilitasi refleks defekasi
klien seperti sesudah makan
b.
c. Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai
. Nutrisi serat tinggi untuk
dengan indikasi
melancarkan eliminasi fekal
d. Berikan cairan jika tidak kontraindikasi
c. Untuk melunakkan eliminasi feses
2-3 liter per hari
d
2. Kolaborasi:
Untuk melunakkan feses
Pemberian laksatif atau enema sesuai
indikasi
b. Health Edukasi
1. Mandiri:
a. Observasi
b. Health Education
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras
dan kering. Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena
jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan
kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat,
faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon
seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum,
anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik. Mencegah konstipasi secara
umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang
paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur.
B. Saran
Saran dari kami tim penulis adalah sebaiknya bagi penderita kuncinya adalah dengan
mengonsumsi makanan yang berserat.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Hadi S,.2001.Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta.