Anda di halaman 1dari 26

TUGAS : ASUHAN KEPERAWATAN

MK : KEPERAWATAN DASAR
DOSEN : NIRVA RANTESIGI S. KEP, MM

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KONSTIPASI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

 YUNUS J.E RANDUBADA NIM: PO0220219038


 NURUL AULIA PUTRI NINGSI NIM : PO0220219028
 ELDAT G. E. RANDUBADA NIM : PO0220219012
 NADILA ABDULLAH NIM : PO0220219024
 MOH. ANDIS PRAYUDA NIM : PO0220219022

PRODI D-III KEPERAWATAN POSO


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES PALU
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Konstipasi”. 
Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan pada makalah ini. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di
masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca
umumnya.

Poso, 9 Maret 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstipasi atau  sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya
keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya
jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik (vena), sehingga
saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk melakukan
buang air besar. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia)
akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan
kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti aspirin, antihistamin,
diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi jika makan makananan yang
kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika
sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.

Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Kasus konstipasi
umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4% sampai 30% pada kelompok usia 60 tahun
ke atas. Ternyata wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan
perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya umur,
terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke
atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di Inggris ditemukan
30% penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat
pencahar . Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita
konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National Health
Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita
konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik
dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan
kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping
obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan
organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau
kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.

Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi
serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika
penderita konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong,
caranya haluskan sayur atau buah tersebut dengan diblender.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum:
Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien
dengan konstipasi, serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan
konstipasi.
2. Tujuan Khusus:
a. Untuk  mengetahui dan memahami pengertian konstipasi
b. Untuk mengetahui dan memahami pembagian konstipasi
c. Untuk mengetahui dan memahami etiologi konstipasi
d. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi konstipasi
e. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis konstipasi
f. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan pemeriksaan, penatalaksanaan serta
pencegahan untuk pasien dengan konstipasi
g. Untuk memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan
konstipasi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Berikut pengertian konstipasi dari beberapa sumber sebagai berikut:
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan
kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan
kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya,
berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995). 
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi
tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu,
sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras atau
kering sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang
aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus. (Paath, E.F. 2004) .
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekunsi
defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya
mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas
usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar
kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan
melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada
rektum. (Potter & Perry, 2005).  
Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada kesulitan,
nyeri, atau perdarahan dapat dianggap normal.
B. Tipe Konstipasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:
1. Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a. Mengedan keras 25% dari BAB
b. Feses yang keras 25% dari BAB
c. Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
d. BAB kurang dari 2 kali per minggu
2. Penundaan pada muara rectum
Kriteria:
a. Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
b. Waktu untuk BAB lebih lama
c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses,
sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi
anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
C. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat
menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging,
produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat) sering
mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna.
Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan
konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain itu,
kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu untuk diisi
kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan dan
kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi
juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang),
diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson dapat
menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan
penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti
obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada
medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia dapat
menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi
dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf
simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau
iritasi colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal,
meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan konstipasi.
11. Umur : Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang
tua turut berperan menyebabkan konstipasi.
D. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja
otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks,
kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran
diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat
pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi
rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi
otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan
peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat
berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang
menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula
dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran
feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot
dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk
BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan
menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan
simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor
yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut,
motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak
mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang
menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi
pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak
mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik
dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang
ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang
usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-
9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi
sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah
kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis
untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan
berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena
degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos
sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang
meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini
dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi
tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos
berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai
kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya
mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus
sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada
mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum,
sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan
peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk
menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien
dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena
dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena
tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada
penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat
BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran
anus saat mengejan.
3. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon
yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi
merupakan hal yang dominan.
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola
makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya
tanda dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa
penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja
sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang
hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan
jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila
sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus
mengejan ataupun  menekan-nekan  perut  terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan
tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan
dengan tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya (jika
kram perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar
(biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.

Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan
di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :

1. Konsistensi feses yang keras,


2. Mengejan dengan keras saat BAB,
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB, dan
4. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
F. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas.
Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan
kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput
lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau  tonjolan. Perabaan
permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut.  Perabaan  lebih dalam dapat mengetahui
massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk
dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau
adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar
serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk mengetahui
adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna),
juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau
adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi
seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak,
wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk
mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi
usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat
keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang
konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan
komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus besar (20%),
dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan risiko
perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi
kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan dan penurunan
kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan
cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara
usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal
serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sering
mengejan berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.
G. Penatalaksanaan
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang
upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila mungkin,
pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar
jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi
pengobatan dibagi menjadi:
1. Pengobatan non-farmakologis
a. Latihan usus besar:
Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada
penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan
waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan
waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex
gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita
tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini.
b. Diet:
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat
mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal
lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat
feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini,
diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi
untuk asupan cairan.
c. Olahraga:
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan
kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien,
akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut,
terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.
2. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan
biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose,
Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor,
golongan dochusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya
pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang
banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk
jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon.
Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara
tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total
dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa
transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada respons
dengan  pengobatan yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena
massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
H. Pencegahan
Berikut beberapa pencegahan untuk mencegah terjadinya konstipasi:\
1. Jangan jajan di sembarang tempat.
2. Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.
3. Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari dan cairan lainnya
setiap hari.
4. Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15 menit untuk olahraga
ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang lebih berat.
5. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan buang air besar.
6. Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti buah-buahan dan sayur-
sayuran.
7. Tidur minimal 4 jam sehari.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KONSTIPASI

A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata Pasien
b. Keluhan Utama
c. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi
konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang elininasi
defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat aktifitas,
pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu, terapi
obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting. Pasien harus
ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan
saat defekasi, flatulens, atau diare encer.
d. Riwayat / Keadaan Psikososial
e. Pemeriksaan Fisik
f. Pola Kebiasaan Sehari-hari
g. Analisa Data

Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau, konsistensi, ukuran,
bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya.
Distensi abdomen diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid,
fisura, dan iritasi kulit.

2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi
a. Monitor tanda dan gejala konstipasi.
b. Monitor bising usus.
c. Monitor fases : frekuensi, konsistensi, dan volume.
d. Anjurkan pasien / keluarga untuk mencatat warna , volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja.
e. Anjurkan pasien / keluarga pada penggunaan yang tepat dari obat pencahar.
4. Tujuan
a. Mempertahankan bentuk fases.
b. Lunak 1-3 hari.
c. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi.
d. Mengidentifikasi indikator untuk mencegah konstipasi.
e. Fases lunak dan berbentuk.
5. Implementasi
a. Sudah dimonitor tanda dan gejala konstipasi.
b. Sudah dimonitor bising usus.
c. Sudah dimonitor fases : frekuensi,
d. konsistensi, dan volume.
e. Sudah dianjurkan pasien / keluarga untuk mencatat warna , volume, frekuensi, dan
konsistensi tinja.
f. Sudah dianjurkan pasien / keluarga pada penggunaan yang tepat dari obat pencahar.
6. Evaluasi
a. S : Pasien mengatakan bahwa dalam melakukan pengeluaran fases sudah kembali
normal dan tidak mengalami kesulitan lagi
b. O : pasien sudah merasa lebih baik, yang awalnya pasien tidak dapat makan,
mengalami mual dan muntah sekarang saat pasien sudah mendapatkan tindakan
keperawatan, pasien sudah bisa makan dan tidak lagi mengalami mual dan muntah.
c. A : Tujuan tercapai
d. P : Masalah teratasi
B. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Konstipasi

Contoh kasus:

Seorang kakek bernama Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian
bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB
tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya
karena kurang nafsu makan. Setelah dikaji inspeksi terdapat pembesaran abdomen dan saat
dipalpasi ada impaksi feses.

1. Pengkajian

Nama                                  : Evart

Tanggal lahir                       : 5 November 1945

Jenis kelamin                      : Laki-laki

Tanggal MRS                      : 30 November 2010

Alamat                               : Surabaya

Diagnosa Medis                 : Konstipasi

Sumber Informasi               : Klien, pemeriksaan fisik, kolonoskopi

Keluhan utama                 : nyeri pada perut, seminggu belum BAB

Riwayat penyakit sekarang            : Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada
perut bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa
sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa
BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak
pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya.
Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.

Riwayat kesehatan keluarga           :-

Review of system               :

a. B1 (Breath)       : RR meningkat
b. B2 (Blood)        : denyut jantung meningkat, TD meningkat
c. B3 (Brain)         : nyeri pada abdomen bawah
d. B4 (Bladder)     :-
e. B5 (Bowel)       : nafsu makan turun, BB turun
f. B6 (Bone)         :-

Hasil pemeriksaan fisik umum :

a. keadaan umum                         : lemah


b. TTV                              : tekanan darah 130/95 mmHg, nadi : 90x/mnt, RR
23x/mnt

Pemeriksaan fisik abdomen

a. Inspeksi            : pembesaran abdomen


b. Palpasi              : perut terasa keras, ada impaksi feses
c. Perkusi              : redup
d. Auskultasi         : bising usus tidak terdengar

Analisa Data:

No Data Etiologi Masalah

1. Data subjektif : Pola BAB tidak Konstipasi


Seminggu tidak BAB, teratur
kebiasaan BAB tiga kali
sehari
Eliminasi feses
Data objektif :
tidak lancar
Inspeksi : pembesaran
abdomen.
     konstipasi
Palpasi : perut terasa
keras, ada impaksi feses.

Perkusi : redup.

Auskultasi : bising usus


tidak terdengar

2. Data subjektif: Sulit BAB Nutrisi kurang dari


Klien tidak nafsu makan kebutuhan

Perut terasa begah

Data objektif:         

Bising usus tidak Nafsu


terdengar
makan menurun

Menurunnya intake
makanan

3. Data subjektif: konsistensi tinja Nyeri Akut


yang keras
Keluhan nyeri dari
pasien

sulit keluar

Data objektif:

Perubahan nafsu makan Akumulasi di kolon

Nyeri abdomen

2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi dan Rasional

a. Diagnosa                       : Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi


tidak teratur
1) Tujuan                          : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
2) Kriteria hasil                 :
a) Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
b) Konsistensi feses lembut
c) Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan
 Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.

Intervensi Rasional

1.      Mandiri:

a.       Tentukan pola defekasi bagi klien dan


a.       Untuk mengembalikan keteraturan
latih klien untuk menjalankannya pola defekasi klien

b.      Atur waktu yang tepat untuk defekasi Untuk memfasilitasi refleks defekasi
klien seperti sesudah makan
b.      
c.       Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai
.       Nutrisi serat tinggi untuk
dengan indikasi
melancarkan eliminasi fekal
d.      Berikan cairan jika tidak kontraindikasi
c.      Untuk melunakkan eliminasi feses
2-3 liter per hari

d
2.      Kolaborasi:
Untuk melunakkan feses
Pemberian laksatif atau enema sesuai
indikasi

b. Diagnosa           : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan


berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
1) Tujuan              : menunjukkan status gizi baik
2) Kriteria Hasil    :
a) Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
b) Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
c) Nilai laboratorium dalam batas normal

 Melaporkan keadekuatan tingkat energy


Intervensi Rasional
1.      Mandiri:

a.       Buat perencanaan makan dengan


a.       Menjaga pola makan pasien sehingga
pasien untuk dimasukkan ke dalam pasien makan secara teratur
jadwal makan.
b.      Pasien merasa nyaman dengan
b.      Dukung anggota keluarga untuk makanan yang dibawa dari rumah dan
membawa makanan kesukaan pasien dapat meningkatkan nafsu makan
dari rumah. pasien.

c.       Dengan pemberian porsi yang besar


dapat menjaga keadekuatan nutrisi yang
c.       Tawarkan makanan porsi besar
masuk.
disiang hari ketika nafsu makan tinggi
d.      Tinggi karbohidrat, protein, dan
d.      Pastikan diet memenuhi kebutuhan
kalori diperlukan atau dibutuhkan
tubuh sesuai indikasi.
selama perawatan.

e.       Untuk mendukung peningkatan nafsu


e.       Pastikan pola diet yang pasien yang makan pasien
disukai atau tidak disukai.
f.       Mengetahui keseimbangan intake dan
f.       Pantau masukan dan pengeluaran dan pengeluaran asuapan makanan.
berat badan secara periodik.
g.       Sebagai data penunjang adanya
perubahan nutrisi yang kurang dari
kebutuhan
g.       Kaji turgor kulit pasien
   

   Kolaborasi: Untuk dapat mengetahui tingkat


kekurangan kandungan Hb, albumin,
a.       Observasi:
dan glukosa dalam darah.
1)      Pantau nilai laboratorium, seperti Hb,
2)      Klien terbiasa makan dengan
albumin, dan kadar glukosa darah terencana dan teratur.

2)      Ajarkan metode untuk perencanaan Menjaga keadekuatan asupan nutrisi


makan yang dibutuhkan.

b.      Health Edukasi

Ajarkan pasien dan keluarga tentang


makanan yang bergizi dan tidak mahal

c. Diagnosa                : Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses


keras pada abdomen
1) Tujuan                    : menunjukkan nyeri telah berkurang
2) Kriteria Hasil          :
a) Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai
kenyamanan
b) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
c) Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
d) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah
nyeri
e) Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-
analgesik secara tepat

 Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen


Intervensi Rasional

1.      Mandiri:

a.       Bantu pasien untuk lebih berfokus


a.       Klien dapat mengalihkan perhatian
pada aktivitas dari nyeri dengan dari nyeri
melakukan penggalihan melalui televisi
atau  radio.

b.      Perhatikan bahwa lansia mengalami


b.      Hati-hati dalam pemberian anlgesik
peningkatan sensitifitas terhadap efek
analgesik opiat opiate

c.       Perhatikan kemungkinan interaksi


obat – obat dan obat penyakit pada
c.       Hati-hati dalam pemberian obat-
lansia
obatan pada lansia
2.      Kolaborasi

a.       Observasi

1)      Minta pasien untuk menilai nyeri atau


ketidak nyaman pada skala 0 – 10

2)      Gunakan lembar alur nyeri

3)      Lakukan pengkajian nyeri yang


komperhensif a.       Observasi

b.      Health education 1)      Mengetahui tingkat nyeri yang


dirasakan klien
1)      Instruksikan pasien untuk
meminformasikan pada perawat jika
pengurang nyeri kurang tercapai

2)      Berikan informasi tetang nyeri


2)      Mengetahui karakteristik nyeri

3)      Agar mngetahui nyeri secara spesifik

b.      Health Education

1)      Perawat dapat melakukan tindakan


yang tepat dalam mengatasi nyeri klien
BAB IV

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Konstipasi atau  sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras
dan kering. Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena
jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan
kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat,
faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon
seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum,
anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik. Mencegah konstipasi secara
umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang
paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur.

B.     Saran

Saran dari kami tim penulis adalah sebaiknya bagi penderita kuncinya adalah dengan
mengonsumsi makanan yang berserat.
DAFTAR PUSTAKA

 Ahmadsyah I, et al,.1997.Kelainan abdomen nonakut. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed Sjamsuhidajat


R,  Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Hadi S,.2001.Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta.

Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai