Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam eksplorasi endapan batubara, metode geofisika sangat membantu
terutama dalam eksplorasi yang bersifat regional sampai semi regional dalam
menentukan batas-batas suatu cekungan sedimentasi yang berkaitan dengan
pengendapan batubara, struktur geologi yang mempengaruhi terhadap
kontinuitas penyebaran batubara dan intrusi batuan yang mempengaruhi
terhadap kualitas batubara (Priatna, 2000).
Tahapan eksplorasi dalam menentukan kondisi bawah permukaan daerah
prospek batubara dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode
Geofisika Logging. Berdasarkan data Logging geofisika serta data geologi
maka dilakukan interpretasi kondisi bawah permukaan untuk mengetahui arah
ketebalan batubara serta penyebarannya secara lateral. Disamping itu potensi
kuantitas dan kualitas dari sumberdaya batubara dapat ditentukan dari tahapan
eksplorasi.
Untuk menentukan arah ketebalan batubara dan penyebarannya
secara lateral maka dilakukan korelasi struktur bawah permukaan. Dalam
menentukan korelasi lapisan batuan pada suatu daerah maka harus
memperhatikan kesamaan waktu pengendapan atau dengan cara menentukan
kesamaan lapisan tiap titik bor.

1.1 Batasan Masalah


Laporan ini membahas dan menganalisis data log geofisika untuk
penetuan lingkungan pengendapan dan proses yang mempengaruhi
pengendapan.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa saja jenis litologi berdasarkan data log kualitatif eksplorasi
unkonvensional ?
b. Apa hasil analisis dari data pengeboran inti ?
c. Apa hasil urutan pengendapan dan genetic unit dari bentuk penampang
vertikal data log dan data coring ?
d. Apa lingkungan pengendapan serta proses yang mempengaruhi
pengendapan pada batubara dari hasil analisis data log dan coring ?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui jenis litologi berdasarkan data log kualitatif eksplorasi
unkonvensional.
b. Untuk mengetahui hasil analisis dari data pengeboran inti
c. Untuk mengetahui urutan pengendapan dan genetic unit dari bentuk
penampang vertikal data log dan data coring.
d. Untuk mengetahui lingkungan pengendapan serta proses yang
mempengaruhi pengendapan pada batubara dari hasil analisis data log
dan data coring.
e.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hubungan Setiap Jenis Log Dalam Penentuan Jenis Litologi

Logging merupakan metode pengukuran besaran-besaran fisik batuan


reservoir terhadap kedalaman lubang bor. Sesuai dengan tujuan logging yaitu
menentukan besaran-besaran fisik batuan reservoir (porositas, saturasi air
formasi, ketebalan formasi produktif, lithologi batuan) maka dasar dari
logging itu sendiri adalah sifat-sifat fisik atau petrofisik dari batuan reservoir
itu sendiri, yaitu sifat listrik, sifat radioaktif, dan sifat rambat suara
(gelombang) elastis dari batuan reservoir.
Berdasarkan kemampuan, kegunaan, dan prinsip kerja, logging dibagi
menjadi log listrik, log radioaktif, log sonic, dan log caliper.
A. Log listrik
Pada umumnya log listrik dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1. Spontaneous Potensial Log (SP Log)
Kurva spontaneous potensial (SP) merupakan hasil pencatatan alat
logging karena adanya perbedaan potensial antara elektroda yang
bergerak dalam lubang sumur dengan elektroda tetap di permukaan
terhadap kedalaman lubang sumur.
Kegunaan :

- Identifikasi lapisan permeabel/non permeabel

- Penentuan batas lapisan

- Menghitung harga Rw

- Untuk korelasi
2. Resistivity Log
Resistivity log adalah suatu alat yang dapat mengukur tahanan
batuan formasi beserta isinya, yang mana tahanan ini tergantung pada
porositas efektif, salinitas air formasi, dan banyaknya hidrokarbon
dalam pori-pori batuan.

Kegunaan :

- Menentukan tahanan jenis formasi

- Membedakan lapisan reservoar dan non reservoar

- Membedakan HC bearing zone dan Water bearing zone

B. Log Radioaktif
Log radioaktif dapat digunakan pada sumur yang dicasing (cased
hole) maupun yang tidak dicasing (open hole). Keuntungan dari log
radioaktif ini dibandingkan dengan log listrik adalah tidak banyak
dipengaruhi oleh keadaan lubang bor dan jenis lumpur.
1. Log Gamma Ray (GR Log)
Prinsip pengukurannya adalah mendeteksi arus yang ditimbulkan
oleh ionisasi yang terjadi karena adanya interaksi sinar gamma dari
formasi dengan gas ideal yang terdapat didalam kamar ionisasi yang
ditempatkan pada sonde.
Kegunaan :

- Untuk menentukan zona permeabel atau impermeabel (reservoar/non


reservoar)

- Menentukan batas lapisan

- Untuk korelasi antar sumur

- Estimasi kelempungan
2. Log Neutron
Neutron Log direncanakan untuk menentukan porositas total
batuan tanpa melihat atau memandang apakah pori-pori diisi oleh
hidrokarbon maupun air formasi. Neutron terdapat didalam inti elemen,
kecuali hidrokarbon.
Kegunaan :
- Menghitung nilai porositas batuan

- Jika dikombinasikan dengan Log Densitas dapat menekankan kepada


litologi dan mendeteksi zona gas

3. Log Densitas
Tujuan utama dari density log adalah menentukan porositas dengan
mengukur density bulk batuan, disamping itu dapat juga digunakan
untuk mendeteksi adanya hidrokarbon atau air, digunakan besama-sama
dengan neutron log, juga menentukan densitas hidrokarbon (ρh) dan
membantu didalam evaluasi lapisan shaly.
Kegunaan :

- Mengukur densitas batuan

- Mengukur porositas batuan

- Menentukan kandungan fluida (X-plot dengan Log Neutron)

C. Log Akustik
Log ini merupakan jenis log yang digunakan untuk mengukur
porositas, selain density log dan neutron log dengan cara mengukur
interval transite time (Δt), yaitu waktu yang dibutuhkan oleh gelombang
suara untuk merambat didalam batuan formasi sejauh 1 ft.
Kegunaan :

- Kalibrasi data seismic

- Menghitung porositas primer pada lapisan yang diketahui jenis


litologinya

- Evaluasi porositas sekunder (dikombinasikan dengan Log Neutron dan


Log Densitas)

2.2 Daerah Terbentuknya Batubara


Untuk menjelaskan terbentuknya batubara di kenal dua macam teori:
A. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan
batubara, terbentuknya di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu
berada, dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum
mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan
mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan
cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik
karena kadar abunya relatif kecil, batubara yang tebentuk seperti ini di
Indonesia di dapatkan di lapangan batubara Muara Enim (Sumatera
Selatan).

B. Teori Drift.
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan
batubara terjadinya di tempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan
semula hidup dan berkembang. Dengan demikian dengan tubuhan yang
telah mati di angkut oleh media air dan di berakumulasi di suatu
tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses
coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai
penyebaran tidak luas, tetapi di jumpai di beberapa tempat, kualitas
kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang
terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman
ke tempat sedimentasi, batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia di
dapatkan di lapangan batubara delta Mahakam purba, Kalimantan Timur.

2.3 Lingkungan Pengendapan Batubara

Lingkungan pengendapan batubara menerangkan hubungan antara


genesa batubara dan batuan sekitarnya baik secara vertikal maupun lateral
pada suatu cekungan pengendapan dalam kurun waktu tertentu.
Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan ditunjukkan oleh
semua komponen sistem pengendapan dan letak lapisan batubara pada
lingkungan modern berdasarkan studi lingkungan pengendapan dengan
didukung data dari tambang batubara, pemboran, dan profil singkapan.

Gambar 2.1 Model lingkungan pengendapan batubara di lingkungan delta


(J.CHorne et. Al., 1979; modifikasi dari Ferm, 1976)

A. Lingkungan Pengendapan Barrier


Ke arah laut batupasir butirannya semakin halus dan berselang seling
dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau. Batuan
karbonat dengan fauna laut ke arah darat bergradasi menjadi serpih
berwarna abu-abu gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air
payau. Batupasir pada lingkungan ini lebih bersih dan sortasi lebih baik
karena pengaruh gelombang dan pasang surut.

B. Lingkungan Pengendapan Back-Barrier


Lingkungan ini (Gambar 10) terutama disusun oleh urutan perlapisan
serpih abu- abu gelap kaya bahan organik dan batulanau yang terus
diikuti oleh batubara yang secara lateral tidak menerus dan zona siderit
yang berlubang. Lingkungan back barrier: batubaranya tipis, pola
sebarannya memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus
perlapisan, bentuk lapisan melembar karena dipengaruhi tidal channel
setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan dan
kandungan sulfurnya tinggi.

Gambar 2.2 Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Back Barrier


(Horne, 1978).

C. Lingkungan Pengendapan Lower Delta Plain


Endapan yang mendominasi adalah serpih dan batulanau yang
mengkasar ke atas. Pada bagian bawah dari teluk terisi oleh urutan
lempung-serpih abu-abu gelap sampai hitam, kadang-kadang terdapat
mudstone siderit yang penyebarannya tidak teratur. Pada bagian atas
dari sekuen ini terdapat batupasir dengan struktur ripples dan struktur
lain yang ada hubungannya dengan arus. Hal ini menunjukkan
bertambahnya energi pada perairan dangkal ketika teluk terisi endapan
yang mengakibatkan terbentuk permukaan dimana tanaman
menancapkan akarnya, sehingga batubara dapat terbentuk. Lingkungan
lower delta plain: batubaranya tipis, pola sebarannya umumnya
sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai
oleh hadirnya splitting oleh endapan crevase splay dan kandungan
sulfurnya agak tinggi.

Gambar 2.3 Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Lower Delta Plain
(Horne, 1978).

D. Lingkungan Pengendapan Upper Delta Plain-Fluvial


Endapan didominasi oleh bentuk linier tubuh batupasir lentikuler dan
pada bagian atasnya melidah dengan serpih abu-abu, batulanau, dan
lapisan batubara. Mineral batupasirnya bervariasi mulai dari lithic
greywackearkose, ukuran butir menengah sampai kasar. Di atas bidang
gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran batubara yang melimpah pada
bagian bawah, makin ke atas butiran menghalus pada batupasir. Dari
bentuk batupasir dan pertumbuhan point bar menunjukkan bahwa hal ini
dikontrol oleh meandering. Endapan levee dicirikan oleh sortasi
yang buruk, perlapisan batupasir dan batulanau yang tidak teratur hingga
menembus akar. Ketebalannya bertambah apabila mendekati channel dan
sebaliknya. Lapisan pembentuk endapan alluvial plain cenderung lebih
tipis dibandingkan endapan upper delta plain. Lingkungan upper delta
plain – fluvial: batubaranya tebal dapat mencapai lebih dari 10 m,
sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan,
tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel, bentuk
batubara ditandai hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan
washout oleh channel subsekuen dan kandungan sulfurnya rendah.

Gambar 2.4 Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Upper Delta


Plain-Fluvial (Horne, 1978).

E. Lingkungan Pengendapan Transitional Lower Delta Plain


Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona transisi
yang mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut.
Disini sekuen bay fill tidak sama dengan sekuen upper delta plain
ditinjau dari kandungan fauna air payau sampai marin serta struktur
burrowed yang meluas. Endapan channel menunjukkan kenampakan
migrasi lateral lapisan piont bar accretion menjadi channel pada upper
delta plain. Channel pada transitional delta plain ini berbutir halus
daripada di upper delta plain, dan migrasi lateralnya hanya satu arah.
Levee berasosiasi dengan channel yang menebal dan menembus akar
secara meluas daripada lower delta plain.

Gambar 2.5 Penampang Lingkungan Pengendapan pada bagian Transitional


Lower Delta Plain (Horne,1978).

Batupasir tipis crevasse splay umum terdapat pada endapan ini,


tetapi lebih sedikit banyak daripada di lower delta plain namun tidak
sebanyak di upper delta plain. Lingkungan transitional lower delta plain:
batubaranya tebal dapat lebih dari 10 m, tersebar meluas cenderung
memanjang jurus pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering
terpotong channel, bentuk lapisan batubara ditandai splitting akibat
channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen dan
kandungan sulfurnya agak rendah.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


1. Problem-set data log pengeboran
2. Pensil warna
3. Penggaris
4. Kertas A4
5. Double-tip/ lem kertas
6. Alat tulis
7. Kotak alat, lap kasar dan lap halus

3.2 Prosedur Kerja


A. Problem-Set 1: Data Log
1. Lakukan analisis dan hubungkan setiap jenis log pada problem set
yang diberikan.
2. Tentukan jenis litologi berdasarkan analisis kurva log
3. Buat penampang vertikal berskala dari hasil kurva log.

B. Problem-set 2: Data Coring.


1. Lakukan analisis data pengeboran inti (coring)
2. Buat penampang vertikal berskala dari hasil analisis tersebut.
3. Indetifikasi lapisan batubara pada masing-msing data pengeboran
(coring dan data log).
BAB IV

PENYAJIAN DATA

4.1 Data Log Hasil Interpretasi


Dalam melakukan analisis batubara serta lingkungan pengendapannya
digunakan data logging geofisika berikut data log analisi kualitatif pada
eksplorasi konvensional yang telah saya peaking berdasarkan interpretasi
nilai log, sebagai berikut:

Gambar 4.1 Analisis Data Log Lembar 1

Gambar 4.2 Analisis Data Log Lembar 2

Gambar 4.3 Analisis Data Log Lembar 3

Gambar 4.4 Analisis Data Log Lembar 4

Gambar 4.5 Analisis Data Log Lembar 5

Gambar 4.6 Analisis Data Log Lembar 6

Gambar 4.7 Analisis Data Log Lembar 7


BAB V

ANALISIS KUALITATIF DATA LOG

5.1 Hasil Analisis Litologi


Pada problem set pertama berdasarkan peaking log geofisika dan data
pengeboran yang dianalisis memalui penampang vertikal, ditemukan litologi
batupasir pada kedalaman 444-496,8 meter, kemudian ditemukan litologi
batulempung pada kedalaman 496,8-521 meter, lalu dijumpai litologi
batubara pada kedalaman 521-523 meter, kemudian ditemukan litologi
batulempung pada kedalaman 523-538,8 meter, lalu dijumpai litologi
batubara pada kedalaman 538,8-543 meter, selanjutnya ditemukan litologi
batulempung pada kedalaman 543-570 meter, kemudian ditemukan litologi
batubara pada kedalaman 570-575 meter dengan sisipan batulempung
memiliki tebal 0,6 meter, selanjutnya pada kedalaman dijumpai litologi
batulempung 575- 582 meter, kemudian pada kedalaman 582-583,2 meter
ditemukan litologi batubara, selanjutnya pada kedalaman 583,2-595,4 meter
ditemukan litologi batulempung, kemudian pada kedalaman 595,4-600,4
meter ditemukan litologi batubara, lalu ditemukan litologi batulempung pada
kedalaman 600,4-602,8 meter, lalu dijumpai litologi batubara pada kedalaman
602,8-605,2 meter, lalu dijumpai litologi batulempung pada kedalaman
605,2-665,6 meter dengan ketebalan 60,4 meter, lalu ditemukan litologi
batubara pada kedalaman 665,6-681,4 meter, kemudian dijumpai litologi
batulempung pada kedalaman 681,4-692 meter, selanjutnya ditemukan
litologi batubara pada kedalaman 692-696,2 meter, lalu pada kedalaman
696,2-702,4 meter dijumpai litologi batulempung, kemudian pada kedalaman
702,4-704 meter dijumpai litologi batubara, dan pada kedalaman 704-716,2
meter dijumpai litologi batulempung.

5.2 Hasil Analisis Lingkungan Pengendapan


Batubara dapat dijadikan sebagai batas sekuen sehingga berdasarkan
lingkungan pengendapan yang telah dijelaskan diatas diperoleh LP Lower
deltaplain yang ditandai hadirnya splitting oleh endapan crevasse splay dan
kandungan sulfur agak tinggi. Mempunyai litologi dominan batulanau
dengana batubara yang tipis karena paling atas sekuen ini menunjukkan
adanya penambahan energi pada perairan dangkal ketika teluk terisis
sedimen. Lapisan batubara yang di hasilkan relative tipis dan terbelah
membentuk split oleh sejumlah endapan creavvase splay dan cenderung
menerus sepanjang jurus kemiringan pengendapan, tetapi sering juga tidak
menerus sejajar dengan jurus pengendapan batubara di gantikan oleh material
bay fill.
Lingkungan pengendapan back barrier yang dominan batulempung
lingkungan barrier memiliki hubungan lateral dan vertikal dari struktur
sedimen dan pengenalan teksturnya, ke arah laut, butirannya menjadi halus
dan berselang seling. Batubara yang terbentuk cenderung menunjukkan
bentuk memanjang, berorientasi sejajar dengan arah orientasi dari penghalang
dan sering juga sejajar dengan pengendapan. Bentuk perlapisan batubara yang
dihasilkan berubah sebagian oleh aktivitas tidal channel pada post
depositional atau bersamaan dengan proses sedimentasi. Dengan genetik unit
Finning upward dan Thinning upward.
Lingkungan pengendapan upper delta plain yang didominasi oleh
batupasir yang cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan,
kemenerusan lapisan lateral sering terpotong channel, di tandai splitting
akibat channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen dan
kandungan sulfur rendah. Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh
pasir lentikuler, pada tubuhpasir dapat gerusan pada bagian bawahnya,
permukaan terpotong tajam, tetapi secara lateral pada bagian atas bagian
batupasir ini melidah. Lapisan batubara pada endapan upper delta plain
cukup tebal, tetapi secara lateral tidak menerus, lapisan pembentuk endapan
fluvial plain cenderung lebih tipis dibandingkan dengan endapan lower delta
plain, lapisan batubara cenderung sejajar dengan kemiringan pengendapan,
tetapi sedikit yang menerus dibandingkan dengan fasies lower delta plain,
karena bagian yang teratur sedikit jumlahnya yang mengikuti channel sungai
maka lapisan-lapisannya sangat tebal dengan jarak yang relatif pendek.
BAB VI

KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai