nCOV
COVID-19
Melindungi Diri Sendiri dengan
Lebih Memahami Virus Corona
TIDAK TAKUT
CORONA
#LockDown
#DirumahAja
#SocialDistancing
COVID-19 04
Cara Pencegahan 07
13
Daftar Pustaka
1
Sejarah Kemunculan 2019-nCOV / COVID -19
Dilihat dari sejarahnya, virus corona pertama kali diidentifikasi
sebagai penyebab flu biasa pada tahun 1960. Hingga pada tahun 2002
virus corona masih belum dianggap fatal. Akan tetapi, pasca adanya
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-Cov) di China, para pakar
akhirnya mulai fokus pada penyebab dan menemukan hasil bahwa
wabah ini diakibatkan oleh bentuk baru corona.
Pada tahun 2012, terjadi pula wabah yang mirip yakni Middle East
Respiratory Syndrome (MERS-Cov) di Timur Tengah. Dari kedua kasus
tersebut dapat diketahui bahwa corona bukanlah virus yang stabil
melainkan virus ini mampu beradaptasi menjadi lebih ganas, bahkan
dibeberapa kasus yang fatal dapat mengakibatkan kematian. Sejak
saat itulah, penelitian terhadap corona semakin berkembang.
Dilansir dari Tribun News Manado, Menurut Prof Soewarno yang juga
merupakan Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran Hewan (FKH)
Universitas Airlangga berpendapat, virus corona jenis baru atau yang
biasa disebut Novel Corona Virus (2019-nCov) yang sekarang
berkembang bukan merupakan sebuah virus baru, melainkan hasil
mutasi dari virus sebelumnya. Ia berpendapat bahwa virus itu serupa
dengan corona penyebab SARS-Cov dan MERS-Cov.
2
Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan
kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan,
Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina
mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut
sebagai jenis baru coronavirus (coronavirus disease, COVID-19). Pada
tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan sebagai Public
Health Emergency of International Concern (PHEIC). Penambahan
jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi
penyebaran ke luar wilayah Wuhan dan negara lain. Sampai dengan
16 Februari 2020, secara global dilaporkan 51.857 kasus konfimasi di
25 negara dengan 1.669 kematian (Kemenkes, 2020)
3
2019-nCOV / COVID -19
Kata "Corona " berasal dari bahasa Latin yang artinya crown atau
mahkota. Ini sesuai dengan bentuk Coronavirus itu sendiri yang kalau
dilihat dengan mikroskop nampak seperti mahkota. Bentuk mahkota
ini ditandai oleh adanya "Protein S " yang berupa sepatu, sehingga
dinamakan spike protein, yang tersebar disekeliling permukaan virus.
"Protein S " inilah yang berperan penting dalam proses infeksi virus
terhadap manusia (LIPI, 2003)
4
Proses replikasi Coronavirus secara sederhana dapat dijelaskan
sebagai berikut. Pertama-tama virus mengikat sel melalui interaksi
antara "Protein S " dan reseptor. Setelah itu virus masuk ke dalam sel
dan genom RNA virus keluar dari selaput virus. Kemudian sebagian
genom RNA berfungsi sebagai mRNA dan sebagian sebagai templet
untuk sintesa RNA negatif. Genome yang berfungsi sebagai mRNA
ditranslasikan menjadi berbagai protein-protein. Diantara protein-
protein ini, ada yang berfungsi untuk pembentuk tubuh virus dan ada
yang berfungsi untuk proses replikasi/multiplikasi RNA. Sementara
sebagian genome RNA lainnya digunakan untuk sintesa RNA negatif.
RNA negatif ini, kemudian dijadikan templet lagi untuk sintesa RNA
positif. Demikian seterusnya proses ini berlangsung berulangkali.
Dengan proses ini akhirnya RNA positif yang menjadi genom akan
bertambah banyak. RNA positif yang sudah dimultiplikasi dibungkus
oleh protein-protein pembentuk tubuh virus, sehingga terbentuk
virus baru (progeny). Virus baru ini akhirnya keluar dari sel dan
memiliki fungsi sebagai virus biasa yang bisa menginfeksi sel
berikutnya (LIPI, 2003)
Mutasi corona virus, biasanya terjadi pada saat proses replikasi RNA.
Pada proses ini, RNA negatif disintesa dari RNA positif atau
sebaliknya. Sintesa ini dilakukan oleh enzim RNA polimerase dan
sekuen RNA yang disintesa adalah yang komplemen dengan templet.
Pada saat sintesa RNA ini, RNA polimerase terkadang salah baca
sehingga yang terbentuk bukanlah sekuen yang komplemen dengan
templat.
5
Alhasil, sekuen yang terbentuk adalah yang sudah termutasi. Untuk
virus DNA, dimana yang berperan adalah DNA polimerase, kesalahan
yang sama juga terjadi. Tatapi kesalahan ini bisa diperbaiki, karena
untuk replikasi DNA ada enzim exonuclease yang berfungsi sebagai
"proof-reading " atau "error correction ". Artinya, kalau ada sekuen
yang disintesa tidak komplemen dengan template, enzim exonulease
ini akan membuang sekuen terebut, dan baru kemudian proses
sintesa jalan kembali.Perbedaan inilah sebenarnya yang
menyebabkan virus RNA, yang di dalamnya termasuk Coronavirus,
bermutasi jauh lebih cepat daripada virus DNA.
6
Pencegahan Terhadap COVID-19
7
Ilustrasi Poster Pencegahan Covid-19
8
Ilustrasi Poster Pencegahan Covid-19
9
Ilustrasi Poster Pencegahan Covid-19
10
Obat dan Vaksin Covid-19
1. Avigan
Avigan merupakan obat favipiravir yang dikembangkan oleh Fujifilm
Toyama Chemical. Fujifilm Toyama mengembangkan obat ini pada
tahun 2014. Obat itu awalnya digunakan untuk mengobati gejala
flu. Otoritas medis di China mengatakan mereka menguji obat
antivirus favipiravir itu pada 340 pasien dan menemukan bahwa
avigan mampu mengurangi waktu pemulihan dan meningkatkan
kondisi paru-paru pasien yang terinfeksi COVID-19. Menurut
Direktur Pusat Nasional China untuk Pengembangan Bioteknologi
menyebutkan Avigan sangat aman dan efektif untuk pengobatan
penderita virus corona. (CNBC Indonesia, 2020)
Para peneliti juga menemukan bahwa kondisi paru-paru membaik
pada sekitar 91% dari pasien yang diberi obat, dibandingkan
dengan 62% dari mereka yang tidak meminumnya. Dalam uji coba
di Wuhan China, obat itu juga terlihat memperpendek durasi
demam pasien dari rata-rata 4,2 hari menjadi 2,5 hari, menurut
Pharmaceutical Technology.
Selain itu, Dokter di Jepang menggunakan obat yang sama dalam
studi klinis pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan hingga
sedang dan sudah diberikan pada pasien positif di Jepang sejak
Februari. Tetapi sumber kementerian kesehatan Jepang
menyatakan obat itu tidak efektif pada orang dengan gejala yang
lebih parah.
11
2. Chloroquine
Chloroquine adalah obat yang memiliki nama resmi Chloroquine
Posfat. Obat ini digunakan untuk mengobati malaria. Menurut
Medicine for Malaria Venture, sebuah organisasi kesehatan resmi
dari Swiss, Chloroquine pertama kali dikembangkan seorang
kimiawan Prancis pada 1820 untuk mengobati demam.
Dikembangkan lagi oleh ilmuan Jerman pada 1934 menjadi tablet
Chloroquine seperti yang dikenal hari ini. WHO menjadikan
Chloroquine obat utama untuk menyembuhkan malaria secara
global, termasuk selama Perang Dunia II. Chloroquine berkembang
dalam bentuk hydroxychloroquine yang berfungsi mengobati lupus
dan rheumatoid arthritis. (CNBC,
Obat ini bisa digunakan oleh bayi hingga orang dewasa namun
dengan dosis yang berbeda-beda, dan juga biasanya diberikan atas
saran dokter. Baru-baru ini, CEO SpaceX Elon Musk dan Presiden
Amerika Serikat Donald Trump menyebutkan bahwa chloroquine
mampu membunuh virus corona (COVID-19). Pada akun
Twitternya, Elon Musk memberikan pernyataan bahwa obat
chloroquine layak dipertimbangkan sebagai pengobatan potensial
untuk menangkal virus corona. Sementara itu Trump mengatakan
obat tersebut telah digunakan dan menunjukkan hasil memuaskan.
Ia juga menyebut Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS
sudah menyetujui penggunaan chloroquine. Bahkan, boleh beredar
dengan resep dokter. Meskipun demikian Chloroquine masih harus
diuji secara klinis dengan pasien corona secara mendalam. Paling
tidak untuk pasien dengan gejala ringan-sedang untuk membantu
penyembuhan penyakit.
12
DAFTAR PUSTAKA
Reiha. 2020. Disebut Jadi Obat Corona, Apa Itu Avigan dan
Chloroquine?. Dikutip 26 Maret 2020
dari:http://www.cnbcindonesia.com
13