Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN STATUS FRUSTASI DENGAN PERILAKU MEROKOK DI KALANGAN

REMAJA
Rani Aldiyanti1, Afrida Rahma Fauziah2, Lukky Aisya3, Daniel Huda4, Fera Hayani Harahap5

Universitas Ahmad Dahlan


afrida1800001222@webmail.uad.ac.id
Universitas Ahmad Dahlan
lukky1800001205@webmail.uad.ac.id
Universitas Ahmad Dahlan
daniel1800001208@webmail.uad.ac.id
Universitas Ahmad Dahlan
rani1800001231@webmai.uad.ac.id
Universitas Ahmad Dahlan
fera1800001215@webmail.uad.ac.id

Abstrak
Merokok merupakan perilaku negatif dan berbahaya bagi kesehatan tubuh dan lingkungan.
Merokok merupakan kebiasaan yang berakibat buruk bagi kesehatan dan jumlah perokok di Indonesia
cenderung meningkat. Remaja adalah masa krisis bagi perkembangan seseorang karena dihadapkan
dengan berbagai tugas yang merupakan transisi dalam menuju kedewasaan. Kegagalan remaja dalam
mencapai tugas perkembangan membuat remaja rentan mengalami gangguan pisikologis seperti frustasi.
Sebagian remaja beranggapan bahwa dengan merokok dapat menghilangkan stress ataupun frustasi
pada dirinya. Perilaku merokok pada remaja dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
diantaranya lingkungan, keluarga, masyarakat, pertemanan dan keinginan peribadi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan status frustasi dengan perilaku merokok pada remaja di SMK
Negeri 2 Samarinda.
Jenis Penelitian ini adalah studi analitik korelasi dengan menggunakan desain penelitian cross
sectional. Besar sampel 93 orang dengan teknik probaility sampling dengan metode simple random
sampling di SMK Negeri 2 Samarinda.
Hasil penelitian didapatkan nilai bahwa sebagian besar remaja frustasi sebanyak (64,5%), dan
sebagian besar remaja berperilaku merokok sebanyak (52,7%). Hasil uji hipotesis dengan chi-square
nilai p value = 0,026 dengan nilai OR=3,008. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
status frustasi dengan perilaku merokok pada remaja. Ada hubungan antara status frustasi dengan
perilaku merokok pada remaja di SMK Negeri 2 Samarinda. Saran: Bagi penelitian selanjutnya
diharapkan dapat melakukan penelitian dengan menyertakan variabel lain yang belum diteliti yang
berhubungan dengan perilaku merokok seperti faktor diri dan lingkungan pada remaja.
Kata kunci : Frustasi, Perilaku merokok, Remaja
1. PENDAHULUAN

Merokok sudah dikenal sebagai faktor risiko berbagai penyakit degeneratif karena
berbagai kandungannya yang berbahaya. perilaku merokok juga dapat mempengaruhi kondisi
psikologis seseorang. Efek merokok terhadap mental seseorang dapat bervariasi dan tidak semua
orang mengalaminya. Beberapa perokok juga mungkin sebenarnya menyadari perubahan emosi
sebagai efek dari merokok, namun memilih untuk membiarkannya.

Ketergantungan pada perokok juga melibatkan mekanisme lainnya yang memicu


ketidakseimbangan fungsi otak. Nikotin membuat seseorang ketergantungan dengan cara memicu
peningkatan hormon dopamin pada otak. Peningkatan dopamin berlebih pada perokok juga
disertai dengan penurunan enzim monoamineoxidase yang berperan dalam menurunkan kadar
dopamin. Tanpa enzim tersebut, kadar dopamin akan lebih sulit terkendali sehingga
menyebabkan ketergantungan.

Sebagian besar perokok merasakan efek peningkatan dopamin berlebih sebagai rasa
ketenangan, bahagia, atau kesenangan saat merokok. Hal ini menyebabkan seseorang menjadi
kesulitan menenangkan pikirannya sendiri jika tidak mengisap rokok. Jika hal itu terjadi, maka
perokok akan mencari dan menggunakan rokok tanpa henti. Tanpa disadari, perokok juga
menjadi lebih agresif dan mudah marah saat harus menahan keinginannya untuk merokok. Hal ini
tentu saja akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial perokok yang justru membuat stress, dan
memicu perubahan perilaku yang lebih parah.

Merokok sendiri juga termasuk strategi pereda stress yang buruk karena tidak mendorong
seseorang menghadapi masalah dalam kehidupannya. Banyak perokok yang menyadari bahwa
dirinya memiliki masalah keuangan, namun tetap membeli rokok hanya karena ingin menghindari
masalah yang dihadapinya. Pada akhirnya perokok hanya akan tetap mengalami stress dengan
terus merokok. Sebaliknya, suatu studi menunjukkan bahwa individu yang berhenti merokok
setelah enam minggu berturut-turut, mengalami peningkatan kualitas kehidupan dan lebih merasa
bahagia dibandingkan individu yang tetap merokok.

Frustasi termasuk penyakit mental yang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
genetik, lingkungan sosial, dan kesehatan. Pada orang-orang yang memang sudah menderita
frustasi, merokok hanya akan membuat seseorang mengalami gejala frustasi yang lebih serius.
Meskipun tidak diketahui mana yang mendahului antara frustasi dan perilaku merokok, namun
individu yang merokok kemungkinan mengalami frustasi. Suatu penelitian menunjukkan sekitar
30% perokok dewasa mengalami frustasi, proporsi ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada
populasi pada umumnya yang hanya terdapat 20% indvidu dewasa mengalami frustasi. Kejadian
frustasi juga lebih mungkin dialami oleh perokok perempuan dan pada kelompok usia yang lebih
muda. Sebagian besar perokok yang menyadari bahwa ia mengalami frustasi juga hanya
membiarkan kondisi yang dialaminya.

Merokok merupakan perilaku negatif dan berbahaya bagi kesehatan tubuh dan
lingkungan. Merokok merupakan kebiasaan yang berakibat buruk bagi kesehatan dan jumlah
perokok di Indonesia cenderung meningkat (Notoatmodjo, 2010). Rokok yang dihisap di dunia
mencapai 15 milyar batang setiap harinya. Menurut WHO (World Health Organization), perokok
di Indonesia setiap tahunnya mengkonsumsi 215 milyar batang rokok, nomor lima dunia setelah
Cina (1.643 milyar batang), Amerika Serikat (451 milyar batang), Jepang (328 milyar batang)
dan Rusia (258 milyar batang). Menurut Bank Dunia, konsumsi rokok Indonesia sekitar 6,6%
dari seluruh konsumsi dunia (Poltekes Depkes Jakarta I, 2010). Perilaku merokok penduduk 15
tahun keatas masih belum terjadi penurunan dari 2007 ke 2013, cenderung meningkat dari 34,2%
tahun 2007 menjadi 36,3% tahun 2013. Data menunjukkan 64,9% laki-laki dan 2,1% perempuan
masih menghisap rokok tahun 2013. Ditemukan 1,4% perokok umur 10-14 tahun dan 9,9%
perokok pada kelompok tidak bekerja. Sedangkan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap
sekitar 12,3 batang (Riskesdas, 2013).

Menurut Poltekes Depkes Jakarta I (2010), jumlah perokok setiap tahunnya cenderung
mengalami peningkatan. Sebesar 35% penduduk umur 15 tahun keatas merokok (tiap hari dan
kadang-kadang). Kasus merokok pada pelajar juga semakin memprihatinkan. Prevalensi merokok
pada anak sekolah usia 13-15 tahun menunjukkan 30,4% pernah merokok, dan lebih mengejutkan
lagi 20,3% anak sekolah merupakan perokok aktif (Kusumawardani, 2012). Prevalensi merokok
menurut umur pertama kali merokok di Indonesia pada umur 5-9 tahun terdapat 1,7% penduduk
yang mulai merokok pada usia tersebut. Provinsi Jawa Timur prevalensi umur mulai merokok 5-9
tahun sebesar 2,2%. Secara umum penduduk dengan umur pertama kali merokok 5-9 tahun
terlihat tinggi pada penduduk yang masih sekolah dan pada penduduk yang tidak tamat SD
(Riskesdas, 2010).

Untuk mengurangi rokok pada anak, maka diperlukan pendidikan kesehatan sejak dini.
Pendidikan kesehatan pada umumnya menggunakan metode ceramah, film dan leaflet, selain itu
berkembang juga metode yang lain dan salah satunya adalah permaianan Tradisional. Menurut
Iswinarti (2010), Permainan Tradisional merupakan kekayaan budaya bangsa yang mempunyai
nilai luhur untuk dapat diwariskan kepada anak-anak sebagai generaisi penerus. Permainan
Tradisional Engklek merupakan permainan yang bervariasi, dan paling banyak dikenal oleh anak
dibandingkan dengan permainan lain. Bermain memungkinkan anak untuk mempelajari tentang
proses belajar meliputi keingintahuan, penemuan, dan ketekunan.

2. KAJIAN LITERATUR

Perilaku merokok merupakan suatu fenomena yang umum di masyarakat Indonesia.


Menurut Sukendro (2007:93), merokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan
pola perilaku yang terjadi sehari-hari. Merokok merupakan perilaku yang sering dijumpai di
berbagai tempat dan dianggap sebagai kebiasaan dalam masyarakat Indonesia.
Perilaku merokok merupakan perilaku yang sangat merugikan dilihat dari berbagai aspek. Dari
bidang kesehatan, pengaruh bahan-bahan kimia yang dikandung rokok seperti nikotin, CO
(karbonmonosida) dan tar, dapat menimbulkan berbagai penyakit. Bahan-bahan kimia tersebut
akan memacu kerja dari susunan saraf pusat dan susunan saraf simpatis sehingga mengakibatkan
tekanan darah meningkat dan detak jantung bertambah cepat. Akibatnya dapat menstimulasi
kanker dan berbagai penyakit lain seperti penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi,
jantung, paru-paru dan bronkritis kronis (Kendal dan Hammen dalam Amelia, 2009). Terlepas
dari banyaknya laporan mengenai bahaya mengkonsumsi rokok, kenyataannya prevalensi
merokok di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut penelitan Ervina (2013) kecenderungan perilaku merokok pada remaja


tergolong sedang, besar sumbang efektif 12,2%, yang berarti masih terdapat 87,8% faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi kecenderungan perilaku merokok. Kemenkes (2016)
menyebutkan pemerintah berharap dapat mencapai target indikator rencana pembangunan jangka
menegah nasional terkait prevensi perokok anak usia 18 tahun, yaitu turun dari 7,8 % pada 2009
menjadi 5,4 % pada 2013. Namun, kenyataannya justru angka ini meningkat menjadi 8,8 % pada
2016.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 08 maret 2019 menurut
Kepala Tata Usaha SMK Negeri 2 Samarinda siswa ditemukan merokok saat dilingkungan
sekolah seperti merokok dalam kamar mandi, merokok dilingkungan belakang sekolah maupun
ditemukan membawa rokok kesekolah dan tidak dapat menutupi kemungkinan juga banyak
siswa yang merokok diluar lingkungan sekolah, dari 10 siswa yang ditanya 7 diantaranya
mengaku merokok dan alasan mereka merokok ialah diajak teman, ingin mencoba-coba, karena
enak, merasa rileks, ingin terlihat keren dan dapat menghilangkan masalah. Perilaku merokok
pada remaja dipengaruhi oleh berbagi macam faktorfaktor yang terdapat dalam lingkungan,
keluarga, masyarakat, pertemanan dan keinginan pribadi. Oleh sebab itu identitas sosial yang
terbentuk pun berbeda-beda. Beberapa identitas sosial yang terbentuk yaitu remaja yang merokok
karena pengaruh teman memiliki identitas bahwa merokok sebagai salah satu tolak ukur suatu
kedewasaan seseorang dan juga dapat meningkatkan kepercayaan diri. Remaja yang merokok
dipengaruhi oleh faktor pertemanan cenderung dianggap terbuka dan easy going oleh teman-
teman satu lingkungannya (Rizky Septi, 2017).

Makna yang mengilhami perilaku remaja adalah murni pribadi dan intrinsik (Weiss, dkk.,
2005). Sebagai contoh, remaja mungkin mengabaikan pengetahuan bahwa makan permen buruk
bagi gigi mereka. Bagi mereka, makan permen mungkin mewakili cara menghibur diri mereka
sendiri, menguntungkan dirinya, atau berurusan dengan frustrasi, marah, atau stres. Makna
pribadi perilaku dapat bervariasi di seluruh tahap perkembangan selama remaja dan mungkin
juga berbeda menurut jenis kelamin dan budaya (Weiss, dkk., 2005).

Seperti yang diungkapkan oleh Leventhal & Clearly (dalam Cahyani, 1995) terdapat 4
tahap dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok yaitu:

1. Tahap Preparatory. Seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai


merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbukan minat
untuk merokok.

2. Tahap Initiation. Tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan meneruskan
ataukah tidak terhadap perilaku merokok.

3. Tahap becoming a smoker. Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang
per hari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok.

4. Tahap maintenance of smoking. Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara
pengarturan diri (selfregulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang
menyenangkan.

Selain faktor perkembangan remaja dan kepuasan psikologis, masih banyak faktor dari
luar individu yang berpengaruh pada proses pembentukan perilaku merokok. Pada dasarnya
perilaku merokok adalah perilaku yang dipelajari. Hal itu berarti ada fihak-fihak yang
berpengaruh besar dalam proses sosialisasi.

Beberapa orang menggunakan frustasi sebagai alasan merokok. Frustrasi berasal dari
bahasa Latin frustratio, adalah sebuah rasa kecewa atau jengkel karena tidak tercapai dalam
pencapaian tujuan. Frustasi dapat diartikan juga sebagai sebuah kondisi terhambat dalam
mencapai suatu tujuan (Markam,2003). Frustasi merupakan suatu sebuah kondisi ketegangan
yang tak menyenangkan, dipenuhi sebuah rasa dan kegiatan syaraf yang semakin meninggi yang
disebabkan oleh rintangan dan masalah.

Frustrasi dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar pribadi (eksternal) yang
mengalaminya. Sumber yang berasal dari dalam termasuk kekurangan pribadi masing masing
seperti kurangnya rasa percaya pribadi atau ketakutan pada keadaan sosial yang menghalangi
pencapaian tujuan. Hambatan juga dapat menjadi sumber internal dari frustrasi saat sebuah
kondisi mempunyai beberapa tujuan yang saling berinterferensi satu sama lain.

Teori frustasi dalam psikologi secara umum diatas dengan mengerti sebuah kondisi yang
timbul apabila terdapat halangan dalam usaha sebagai memenuhi keinginan, kebutuhan tujuan,
harapan atau perbuatan tertentu. Keinginan, kebutuhan, tujuan, harapan dan perbuatan tiap
sebuah kondisi berbeda beda. Hal hal tertentu mungkin membuat sebuah kondisi lai tak
demikian.

Salah satu sebab yang membuat sebuah kondisi frustasi adalah rintangn fisik, pribadi dan
sosial. Frustasi ini juga bisa menimbulkan dua kelompok diantaranya bisa menimbulkan keadaan
yang menguntungkan (baik) dan sebaliknya juga menghasilkan timbulnya keadaan yang
destruktif merusak (buruk). Frustasi dengan demikian bisa memunculkan dampak frustasi
tertentu yang bentuknya bisa buruk dan baik.

3. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini adalah studi analitik korelasi dengan menggunakan desain penelitian
cross sectional. Besar sampel 93 orang dengan teknik probaility sampling dengan metode simple
random sampling di SMK Negeri 2 Samarinda.
Dan hasilnya di dapatkan bahwa sebagian besar remaja frustasi sebanyak (64,5%), dan
sebagian besar remaja berperilaku merokok sebanyak (52,7%). Hasil uji hipotesis dengan chi-
square nilai p value = 0,026 dengan nilai OR=3,008. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara status frustasi dengan perilaku merokok pada remaja.
Metode Pengambilan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner BDI II dan
kuesioner perilaku merokok milik peneliti sebelumnya.
Analisis data yang di temukan yaitu :
Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara univariat, dan bivariat menggunakan uji
chi square untuk mengetahui adanya hubungan status frustasi dengan perilaku merokok pada
remaja.

Devinisi variable

Variable Definisi Oprasional


Perilaku Merokok Perilaku merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang
berupa membakar dan menghisapnya serta dapat
menimbulkan asap yang dapat terisap oleh orang-orang
disekitarnya.
Perilaku merokok dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas
subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya,
yang diukur melalui intensitas merokok, waktu merokok,
dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari.
Frustasi Frustasi dapat diartikan sebagai kekecewaan dalam diri
individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya keinginan.
Pengertian lain dari frustasi adalah “rasa kecewa yang
mendalam karena tujuan yang dikehendaki tidak kujung
terlaksana”.Contohnya seperti ini, apabila seorang siswa
atau mahasiswa melakukan suatu kegiatan, umpamanya
mengikuti ujian akhir semester, dan ternyata lulus
(tercapainya tujuan yang diinginkan atau diharampakan),
maka dia akan merasan puas dan bahagia. Tetapi apabila
ternyata kegiatannya itu tidak mencapai tujuan yang
diharapkan (ujian kahirnya tidak lulus), maka ia akan
kecewa.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Analisa Univariat
Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin, Umur, dan Pendidikan
Tabel 1.
Karakteristik Responden berdasarkan jenis kelamin dan usia di SMKN 2 Samarinda tahun 2019

Klasifikasi Karakteristik Frekuensi Persentase


Responden (n) (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 90 77
Perempuan 3 2
Total 93 100
Usia
15 tahun 24 20
16 tahun 39 33
17 tahun 15 12
18 tahun 11 9
19 tahun 3 2
20 tahun 1 9

Berdasarkan table 1 di atas, menunjukan bahwa karakteristik responden sebagian besar


berjenis kelamin laki-laki berjumlah 90 orang (77%), berusia 16 th berjumlah 39 orang (33%),
dan sebagian kecil berusia 20 th 1 orang (9%).

Distribusi Variabel
a. Distribusi Responden Berdasarkan Status Frustasi pada Remaja
Table 2.
Distribusi Responden berdasarkan Status Frustasi pada Remaja SMKN 2 Samarinda Tahun
2019

Distribusi Status Frustasi Frekuensi Presentase


pada Remaja (n) (%)
Frustasi 60 64,5
Tidak Frustasi 33 35,5
Total 93 100

Berdasarkan table 2 di atas, menunjukan distribusi responden berdasarkan status frustasi


pada remaja adalah sebagian besar frustasi sebanyak 60 orang (64,5%) dan sebagian kecil
tidak frustasi sebanyak 33 orang (33,5%)
b. Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok pada Remaja

Perilaku Merokok Frekuensi (n) Presentase (%)


Merokok 49 52,7%
Tidak merokok 44 47,3%
Total 93 100%

Table 3
Distribusi Responden berdasarkan Perilaku Merokok pada Remaja di Samarinda Tahun 2019

Berdasarkan table 3 diatas, menunjukan distribusi responden berdasarkan perilaku


merokok pada remaja sebanyak 49 orang (52,7%) dan sebagian kecil perilaku tidak merokok
pada remaja sebanyak 44 orang (47,3%).

Analisa Bivariat

a. Hubungan status frustasi dengan perilaku merokok pada remaja

Status Perilaku Merokok Total P Value OR


Frustasi
Ya Tidak (95%CT)
n % n % n %
Frustasi 34 36,6 26 28,0 60 100,0 0,026 3,008
Tidak Frustasi 10 10,8 23 24,7 33 100,0
(1,222-7,406)

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 4.4 didapatkan, responden yang
frustasi dengan perilaku merokok sebanyak 34 orang (36,6%), sedangkan reponden yang
frustasi dengan perilaku tidak merokok sebanyak 26 orang (28,0%). Sementara itu
responden yang tidak frustasi dengan perilaku merokok sebanyak 10 orang (10,8%),
sedangkan responden yang tidak frustasi dengan perilaku tidak merokok sebanyak 23
orang (24,7%) dengan total jumlah responden sebanyak 93 orang. Hasil analisis
menggunakan uji chi square diperoleh nilai p value = 0,026 ≤ nilai α = 0,05 yang artinya
Ho ditolak dan Ha diterima atau secara statistik ada hubungan antara variabel tingkat
frustasi dengan perilaku merokok pada remaja di SMK Negeri 2 Samarinda. Dari hasil
analisis didapatkan juga nilai OR sebesar 3,008 yang artinya menunjukan bahwa remaja
mengalami frustasi beresiko 3 kali lebih besar untuk merokok.
Pembahasan
a. Status frustasi pada remaja
Berdasarkan hasil penelitian pada 93 remaja yang berada di SMK Negeri 2
Samarinda, menunjukan bahwa sebagian besar remaja (64,5%) mengalami frustasi
dan sebagian kecil (35,5%) tidak mengalami frustasi.Berdasarkan perhitungan
jumlah skor untuk setiap aspek dari kuesioner (BDI) di ketahui bahwa urutan teratas
atau aspek frustasi paling banyak dikeluhkan oleh siswi laki-laki adalah kegagalan
masa lalu, rasa bersalah, kelelahan, kekritisan diri, dan tidak berharga.Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Byeon (2015) bahwa ada hubunganyang
signifikan antara kecemasan dan frustasi pada remaja. Bahkan setelah pembaur
disesuaikan, perokok 1,3 kali lebih mungkin untuk mengalami frustasi dan 1,5 kali
lebih mungkin untuk memliki kecemasan dari non perokok. Remaja yang sudah
dalam kategori frustasi menunjukan adanya perasaan sedih, ingin menangis,
khawatir tentang sesuatu yang buruk, menjadi terganggu dan kecewa terhadap
kejadian tertentu, dan menjadi tidak mampu untuk mengubah pemikirannya
(negative mood). Ditemukan juga adanya beberapa permasalahan yang dialami yaitu
sebagaian besar dari remaja yang mengalami frustasi maupun yang masih berpotensi
mengalami frustasi, memiliki ketidakpuasaan terhadap penampilan, masalah prestasi
belajar, mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari orang lain, dalam
hal ini teman dan orang tua.
Pada remaja yang tidak merokok tetapi frustasi, hal ini selaras dengan pendapat
yang diungkapkan oleh Ball, dkk (2002, dalam van Berkel, 2009) bahwa individu
yang lebih pesimis atau penakut lebih cenderung mengalami frustasi, dan
menyebabkan individu berfikir bahwa situasi ini sebagai hal negative dan
menyepelekan kemampuan mereka dalam menghadapi stressor. Hal ini
menyebabkan mereka memilih tipe koping yang lebih pasif. Tipe koping seperti ini
yang membuat para pesimis cenderung lebih gampang menyerah dan makin
cenderung mengarah pada perilaku maladaptive Carver dkk, (2010). Tipe koping
yang berfokus pada emosi dan pikiran negative seperti diatas semakin meningkatkan
tekanan psikologi sehingga memungkinkan terjadinya frustasi pada remaja yang
tidak merokok. Menurut asumsi peneliti secara umum, baik remaja yang mengalami
frustasi maupun yang masih berpotesnsi mengalami frustasi sama-sama merasakan
bahwa diri mereka buruk, tidak dapat berkonsentrasi sebaik biasanya, adanya
perasaan tidak tertarik untuk yang cukup drastis. Remaja tersebut merasa kesulitan
untuk merasakan kegembiraan dalam hidupnya.
b. Perilaku merokok pada remaja
Hasil penelitian pada 93 remaja yang berada di SMK Negeri 2 Samarinda,
peneliti menemukan bahwa hampir sebagian perilaku remaja yang merokok
sebanyak 49 responden (52,7%). Sedangkan sebagian besar perilaku remaja yang
tidak merokok sebanyak 44 responden (47,3%). Penelitian ini sejalan dengan
penelitian (Yulianto, 2015) banyak factor yang menyebabkan siswa berperilaku
merokok. Factor teman dan latar belakang keluarga ikut andili memberikan
kontribusi pada perilaku tersebut. Remaja cenderung memiliki rasaingin tahu yang
besar. Karena masa remaja adalah masa dimana seseorang masih mencari jati dirinya
dan labil terutama terhadap pengaruh lingkungan. Remaja merupakan masa dimana
individu mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku dan juga
penuh dengan masalah-masalah. (Nurmiyanto & Rahmani, 2013)Gejala merokok
dikalangan remaja disebabkan oleh rasa ingin tahu dan mencoba pengalaman baru,
mencoba menghilangkan kejenuhan ingin dianggap lebih jantan, ingin diterima di
kelompoknya atau pengaruhpanutannya, misal orang tua atau kakaknya yang
merokok, dimana hal tersut ditunjang oleh mudahnya rokok didapakan baik
penjualan maupun hargannya. (Cahyo, 2012). Hasil penelitian (Rudi, 2017)
mengatakan bahwa terpengaruh orang tua yang merokok lebih banyak dibandingkan
dangan orang tua yang tidak merokok.
Hal ini didasari karena melihat orang tua merokok maka ingin mencoba untuk
merokok dengan alasan ingin tahu atau hanyya ingin mencoba-coba merokok.
Namun, rasa ingin tahu atau mencoba-coba justu mengarahkan kebiasaan ingin terus
menerus untuk merokok. Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti di SMK Negeri
2 Samarinda telah menerapkan aturan tentang larangan untuk tidak merokok di
lingkungan sekolah, akan tetapi kurangnya penerapan atau pemasang poster tentang
larangan merokok belum ada di lingkungan sekolah. Segala upaya baik pendekatan
secara penyuluhan atau sanksi-sanksi melalui tata tertib sekolah belum sepenuhnya
dilakukan oleh pihak sekolah untuk menekan bentuk-bentuk perilaku merokok di
kalangan siswa. Menurut asumsi peneliti remaja pada umumnya memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi, karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi remaja cenderung
ingin berpetualang atau ingin mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya
dan juga didorong oleh keinginan seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin
mencoba melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa.
c. Hubungan status frustasi dengan perilaku merokok pada remaja
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan adanya hubungan status frustasi
dengan perilaku merokok pada remaja di SMK Negeri 2 Samarinda dengan nilai
signifikan sebesar 0,026 (p<0,05). Hal ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh (Asmika, dkk, 2008) dengan menggunakan 3 sekolah menengah atas yang
berbeda, menunjukan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat frustasi
dan tingkat stressor psikososial (x=22,633;p<0,001). Selain itu juga ditemukan OR=
5,87 yang berarti responden dengan tingkat tinggi memiliki resiko menderita frustasi
berat 5,87 kali dibandingkan dengan tingkat stressor rendah. Namun demikian,
pengaruh lingkungan sekolah dan lingkungan rumah yang baik juga dapat
mendukung proses adaptasi bagi siswa untuk mengatasi frustasinya. Buku
psikiologis perkembangan anak dan remaja Syamsu juga mengungkapkan bahwa
untuk mencapai kematangan emosional, remaja dipengaruhi oleh kondisi sosio-
emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan teman sebaya. Bila
lingkungan tempat ia tinggal adalah lingkungan yang kondusif, maka anak
cenderung dapat mencapai kematanganemosionalnya dan bila lingkungan tersebut
tidak kondusif maka akan terjadi kecemasan, perasaan tertekan atau ketidak
nyamanan emosional. (Syamsu, 2001).Penelitian ini sejalan dengan penelitian
(Ervina, 2013) perhitungan teknik analisis product moment pearson diperoleh nilai
koefisien korelasi sebesar 0,356, signifikansi p = 0,031 (p,0,05).
Hasil ini menunjukan ada korelasi positif yang signifikan antara frustasi dengan
kecenderungan perilaku merokok remaja, dengan demikian dapat di interpretasi
bahwa variable frustasi dengan aspek-aspek di dalamnya dapat dijadikan sebagai
predictor (varibel bebes) untuk memprediksikan atau mengukur perilaku merokok.
Semakin tinggi perilaku merokok pada subjek penelitian. Sebaliknya semakin rendah
frustasi maka semakin rendah perilaku merokok pada subjek penelitian. Pada
penelitian yang berbeda juga ditemukan bahwa pencapaian akademis dapat
memprediksi adanya episode frustasi saat dewasa (Koster et al., 2006). Pada
penelitian yang dilakukan di Jamaika dengan menggunakan 3 sekolah yang berbeda,
menunjukan hasil bahwa adanya hubungan antara prestasi akademis dan gejala
frustasi. (Lipps et al., 2010). Menurut asumsi peneliti, remaja yang sudah masuk ke
dalam kategori frustasi menunjukkan adanya perasaan sedih, ingin menangis,
khawatir tentang sesuatu yang buruk hingga menjadi tidak mampu untuk mengubah
pemikirannya (negative mood). Usia remaja juga pada umumnya memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi dan cenderung ingin berpetualang mencoba segala sesuatu yang
belum pernah dialami sehingga remaja yang mengalami frustasi berpotensi lebih
besar untuk berperilaku merokok karena dengan merokokremaja memperoleh efek
fisiologis yang menyenangkan juga dapat menghindari kecemasan sebagai upaya
untuk relaksasi menghilangkan kelelahan.
5. KESIMPULAN
Frustasi termasuk penyakit mental yang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
genetik, lingkungan sosial, dan kesehatan. Pada orang-orang yang memang sudah menderita
frustasi, merokok hanya akan membuat seseorang mengalami gejala frustasi yang lebih serius.
Meskipun tidak diketahui mana yang mendahului antara frustasi dan perilaku merokok, namun
individu yang merokok kemungkinan mengalami frustasi.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara status frustasi dengan
perilaku merokok pada remaja di SMK Negeri 2 Samarinda dengan nilai signifikan sebesar p
value 0,026 (p<0,05). Hasil OR=3,008 hal ini menunjukkan bahwa remaja yang mengalami
frustasi beresiko 3 kali lebih besar untuk merokok.
6. REFERENSI

Pandayu, A., & Murti, B. (2017). Effect of Personal Factors, Family Support, Pocket Money, and
Peer Group, on Smoking Behavior in Adolescents in Surakarta, Central Java. Journal of
Health Promotion and Behavior, 2(2), 98-111.
Hargiana, G., Keliat, B. A., & Mustikasari, M. (2018). The Effects of Cognitive Behavioral
Therapy on Smoking Behavior and Anxiety in Heads of Family Who Smoke. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 21(2), 117-126.
Sriwahyuni, A., Merianti, L., & Amelia, D. (2018). THE INFLUENCE OF SELF EMOTION
FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) THERAPY TOWARD SMOKING BEHAVIOR
AMONG ADOLESCENT. The Malaysian Journal of Nursing, 9(3), 28-33.
Fauzan, F., Firman, F., & Daharnis, D. (2018, April). Relationship between self-control and peer
conformity with smoking behavior. In International Conferences on Educational,
Social Sciences and Technology (p. 233).
Daniel, M., Cargo, M. D., Lifshay, J., & Green, L. W. (2004). Cigarette smoking, mental health
and social support. Canadian Journal of Public Health, 95(1), 45-49.
Bell, K., & Keane, H. (2012). Nicotine control: E-cigarettes, smoking and addiction.
International Journal of Drug Policy, 23(3), 242-247.
Goniewicz, M. L., Kuma, T., Gawron, M., Knysak, J., & Kosmider, L. (2013). Nicotine levels in
electronic cigarettes. Nicotine & Tobacco Research, 15(1), 158-166.
Gold, D. R., Wang, X., Wypij, D., Speizer, F. E., Ware, J. H., & Dockery, D. W. (1996). Effects
of cigarette smoking on lung function in adolescent boys and girls. New England
Journal of Medicine, 335(13), 931-937.
Slattery, M. L., Schumacher, M. C., West, D. W., & Robison, L. M. (1988). Smoking and bladder
cancer. The modifying effect of cigarettes on other factors. Cancer, 61(2), 402-408.
Sumanasekera, W., Nethery, W., & Nguyen, S. (2016). Nicotine in Cigarette Smoke: Addiction,
Health Effects, Detection Methods, and Smoking Cessation. J Addict Behav Ther
Rehabil 5: 2. of, 6, 2.
Lê Cook, B., Wayne, G. F., Kafali, E. N., Liu, Z., Shu, C., & Flores, M. (2014). Trends in
smoking among adults with mental illness and association between mental health
treatment and smoking cessation. Jama, 311(2), 172-182.
Valdes, A. M., Andrew, T., Gardner, J. P., Kimura, M., Oelsner, E., Cherkas, L. F., ... & Spector,
T. D. (2005). Obesity, cigarette smoking, and telomere length in women. The lancet,
366(9486), 662-664.
Borderías, L., Duarte, R., Escario, J. J., & Molina, J. A. (2015). Addiction and other reasons
adolescent smokers give to justify smoking. Substance use & misuse, 50(12), 1552-
1559.
Sodik, M. A., & Setyani, A. T. (2018). Effect of Smoking For Teens Against Behavior and Social
Interaction.
Tristanti, I. (2016). Remaja dan perilaku Merokok.

Luji, L., & Lubis, D. P. U. (2019). HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK DENGAN


PERSEPSI REMAJA PEROKOK TENTANG HARGA DIRI.
Rahmadi, A., Lestari, Y., & Yenita, Y. (2013). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Terhadap
Rokok Dengan Kebiasaan Merokok Siswa SMP di Kota Padang. Jurnal kesehatan
andalas, 2(1), 25-28.
Komasari, D., & Helmi, A. F. (2000). Faktor-faktor penyebab perilaku merokok pada remaja.
Jurnal Psikologi, 27(1), 37-47.
Aisyah, S. (2019). HUBUNGAN STATUS FRUSTASI DENGAN PERILAKU MEROKOK
PADA REMAJA DI SMK NEGERI 2 SAMARINDA.

Anda mungkin juga menyukai