Anda di halaman 1dari 4

Memahami Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Kewajiban Suami dan Hak Istri

Lebih lanjut Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menyampaikan dalam kitabnya, Dhau al
Mishbah fi Bayani Ahkam an Nikah bahwa kewajiban suami kepada istrinya, yaitu harus
mempergaulinya dengan baik, mu’asyarah bi al ma’ruf. Suami harus memenuhi hak strinya
dengan baik seperti maharnya, nafkahnya, mu’nahnya, kiswahnya. Semua itu harus dilakukan
oleh suami dengan penuh kerelaan, hati baik, ucapan yang lemah lembut, dan penuh Kesabaran
atas prilaku buruk misalnya si istri berakhlaq kurang baik”.

Suami juga harus bisa membimbing istrinya dengan baik dan sabar menuju kebaikan-kebaikan
dan ibadah. Mengajari istrinya bagaimana bersuci yang benar sesuai perintah agama, juga
membimbing istrinya dengan benar tatkala ia haid, ketika ia shalat serta ketika istri
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang lain.

Firman Allah SWT dalam Surat an Nisaa: 19:

ِ‫َو َعاشِ رُوهُنَّ ِب ْال َمعْ رُوف‬


“Dan pergaulilah istri-istri mu sekalian dengan baik”.

Lalu dalam Surat al Baqarah: 228 yang berbunyi:

ِ ‫َو َلهُنَّ م ِْث ُل الَّذِي َع َلي ِْهنَّ ِب ْال َمعْ رُوفِ ۚ َولِلرِّ َج‬
‫ال َع َلي ِْهنَّ دَ َر َج ٌة ۗ َوهَّللا ُ َع ِزي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Begitu pula bagi istri-istri mereka, wajib mempergauli suami mereka dengan baik. Bagi Laki-
laki wajib kepada istri-istri mereka mempergauli dengan baik.

Jadi, menurut saya, inilah pernikahan yang agung, pernikahan yang baik, pernikahan yang sesuai
perintah Allah. Kedua belah pihak dituntut harus sama-sama berlaku dan berbuat baik kepada
pasangannya. Baik suami maupun istri. Bukan malah sepihak dan bukan satu saja, tapi keduadua
nya harus sama-sama berlaku baik kepada pasangannya masing-masing.

Kewajiban-kewajiban suami kepada istri dan hak yang harus diterima bagi istri itu setidaknya
harus:

Suami itu harus memberikan Nafkah; nafkah lahir seperti makan dan minum, belanja
perabotan rumah tangga, biaya sekolah, biaya mondok, dan belajar anak-anaknya. Di samping
itu juga, suami harus memberikan nafkah batin, baik hubungan seksual yang baik dan layak,
maupun hubungan psikologis dalam rumah tangga itu yang juga baik dan layak.

Suami harus juga memberikan mu’nah. Yang dimaksud dengan mu’nah itu adalah segala
sesuatu di luar kewajiban-kewajiban nafkah tersebut, atau bahasa lain adalah segala biaya tak
terduga, seperti biaya-biaya pengobatan jika sakit, biaya yang dengan perhiasan istri, biaya
untuk istri bersolek dan lain-lain.

Suami juga wajib memberikan biaya kiswah, dalam hal ini suami harus memenuhi biaya
pakaian Istri (secukupnya dan seperlunya).
Semua kewajiban-kewajiban suami di atas itu tentu disesuaikan sesuai kemampuannya sebagai
suami. Kalau penghasilan si suami satu bulan misalnya hanya berkisar 1 juta rupiah saja, maka
bagaimana uang 1 juta rupiah itu harus di atur sedemikian rupa, sehingga segala kebutuhan
rumah tangga itu bisa berjalan normal; baik itu kebutuhannya sendiri selaku suami, maupun
kebutuhan istri dan anak-anaknya.

Coba kita lihat dan baca, ada satu hadis Baginda Nabi SAW yang cukup panjang, ketika beliau
melaksanakan Haji Wada’ (haji perpisahan, karena tidak lama setelah melaksanakan haji ini,
Baginda Nabi wafat). Beliau berwasiat begini:

“Ingatlah! Berwasiatlah (ajaklah) istri-istri kalian dengan baik, sungguh mereka itu adalah
penolong bagi kalian (para suami), kalian tidak memiliki mereka kecuali sebagai penolong,
kecuali mereka para istri itu melakukan fahisyah (perbuatan keji) yang nyata, maka apabila
mereka itu menjauh darimu, dari tempat tidurmu, maka pukullah dengan cara yang mendidik,
tidak menyakiti. Maka apabila mereka itu taat kepadamu, maka ajaklah ke jalan yang benar.
Ingatlah! Bagi mereka itu ada hak yang harus diterima, begitu juga sebaliknya bagimu juga ada
hak yang harus diterima. Hak yang kalian (suami) terima, dari kewajiban-kewajiban istri adalah
seorang Istri tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah (atau kamar tempat tidurnya)
seseorang yang tidak kalian senangi, dan tidak memberikan izin seseorang masuk ke dalam
rumah tanpa sepengetahuan kalian (para suami). Ingatlah! Hak yang kalian harus berikan kepada
mereka (para istri). Wajib bagi kalian (para suami) memberikan pakaian yang baik (layak dan
proporsional) dan memberikan makanan yang (juga) baik (layak, sesuai kemampuan kalian
sebagai suami)”.

Masing-masing mempunyai kewajiban-masing, masing-masing juga menerima Hak. Tidak


saling menyalahkan, tidak saling memberatkan, juga tidak saling menuntut satu sama lain.
Apabila seorang istri “melanggar” dan tidak sesuai koridor aturan-aturan yang dibangun
bersama, maka suami boleh mendidik istrinya dengan cara yang sekiranya membuatnya jera.
Bahasa hadis di atas tadi : “Fadlribuuhunna (maka pukullah) dengan tujuan mendidik dan tidak
menyakitkan.

Maksudnya menurut penulis, seorang suami boleh memberikan hukuman takzir kepada Istri nya
bilamana seorang Istri “melanggar” dari rambu-rambu yang diatur dan ditentukan oleh suami.
Karena suami itu adalah pemimpin keluarga.

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari lebih lanjut menyampaikan bahw hak yang harus
diterima oleh istri adalah:

Suami harus memberikan nafkah berupa makan, maksudnya uang belanja sehari-hari urusan
dapur.

Suami harus memberikan pekerjaan yang layak dan pantas kepada istrinya.

Suami tidak boleh memukul wajah istrinya.

Suami tidak boleh memaki-maki istri, termasuk membentah atau memarahi istri nya kecuali di
dalam rumah sendiri.

Mahar atau Mas Kawin itu adalah Hak yang wajib diterima oleh istri. Bukan masalah besar atau
kecilnya mahar. Besar atau kecilnya mahar itu sama-sama tetap wajib diberikan kepada istri,
karena, itu adalah hak istri.

Sebaik-baiknya perempuan yang dinikahi, adalah perempuan yang lebih ringan maharnya, tidak
memberatkan calon suaminya.
Suami memberikan hak kepada istrinya, karena suami merupakan pemimpin keluarga yang akan
dimintai pertanggungjawaban kelak dihadapan Allah atas kepemimpinannya di dalam rumah
tangganya.

Sebagaimana Hadist Nabi SAW:

‫ت زو ِجها و مسئو ٌل‬ ِ ‫راع فِي أهلِ ِه و مسئو ٌل عنْ َرعِ َّي ِت ِه والمرأةُ َراعِ ي ٌَّة فِي بي‬
ٍ ‫والرّ ُج ُل‬
‫راع وكلّكم مسئو ٌل عنْ َرعِ َّي ِت ِه‬
ٍ ‫عنْ َرعِ َّي ِت َها فكلّكم‬
“Laki-laki itu adalah pemimpin di dalam keluarganya, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya, Perempuan itu adalah pemimpin di dalam rumah suaminya, maka akan juga dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinan di dalam menjaga rumah tangganya, maka setiap kalian adalah
pemimpin, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”

Kewajiban Istri dan Hak Suami

Kewajiban-kewajiban Istri yang harus dilakukan, dan hak yang harus diterima oleh suami adalah:

Isteri wajib taat kepada suaminya terhadap segala apa saja perintah suami, selagi dalam hal yang
dihalalkan menurut perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.

Istri tidak boleh berpuasa kecuali atas izin suaminya.

Istri tidak boleh keluar rumah, kecuali atas izin dan ridla suaminya.

Seorang istri harus bersungguh-sungguh mencari ridla suaminya, karena ridla Allah berada didalam
ridla suaminya dan marahnya Allah berada di dalam marah suaminya.

Sekuat mungkin istri wajib berusaha menjauhi yang sekiranya menyebabkan suaminya marah.

Perbedaan pendapat dan pandangan bahkan keinginan-keinginan yang ada di dalam rumah tangga, antara
suami-istri sesuatu hal yang lumrah dan sering terjadi. Justru dengan adanya perbedaan-perbedaan itu,
maka akan melahirkan solusi-solusi yang sekiranya justru menjadikan rumah tangga menjadi lebih baik.

Tidak sedikit keluarga yang dibangun oleh suami-istri justru berakibat fatal dan gagal, disebabkan
kadang-kadang diakibatkan oleh hal yang sepele, atau tidak bisa mengatasi perbedaan-perbedaan yang
selalu saja muncul dan ada di dalam rumah tangga.

Menurut Hadratussyaikh, lebih lanjut beliau menyampaikan, “sebaiknya, seorang istri itu tidak bertindak
atas harta suaminya tanpa seizin suaminya. Ia mendahulukan hak suaminya di atas hak-hak kerabatnya,
termasuk dari hak dirinya sendiri. Inilah istri yang benar-benar salehah.

Seorang istri juga berusaha bagaimana tampil bersih di hadapan suaminya, tidak kelihatan kumuh, kotor,
dan bau. Sebaliknya ia tampil terawat, harus benar-benar dijaga, setidaknya selalu berusaha rapi, bersih
dan harum, sehingga suaminya selalu terlihat senang dan bahagia melihat istrinya.

Di sisi lain, seorang suami tidak boleh sombong dan merasa berlebih-lebihan perlakuannya kepada istri
atas kecantikannya. Atau sebaliknya, suami tidak boleh mencaci maki istrinya, misalnya si istri ada
kekurangannya.

Suami yang baik itu tidak mempermalukan istrinya di depan umum. Begitu juga sebaliknya, seorang istri
itu tidak boleh memaki-maki dan bahkan mempermalukan suaminya di depan umum. Segala kekurangan
dari keduanya hendaknya harus ditutup rapat-rapat, sehingga tidak menjadi konsumsi publik. Karena
wilayah keluarga atau rumah tangga itu adalah wilayah privat. Artinya, jika ada masalah-masalah maka
cukup hanya diketahui berdua saja.
Apalagi di zaman now, zaman milenial ini, zaman teknologi, zaman media sosial, di mana seringkali hal-
hal yan sifatnya privat sedikit-sedikit tanpa terasa dipublikasikan melalui medsos. Masalah-masalah yang
muncul dalam rumah tangga kalau tidak diketahui publik melalui medsos rasa-rasanya kurang marem dan
kurang puas. Tentu hal-hal seperti demikian sangat tidak dibenarkan, tidak pada tempatnya.

Menurut Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari lebih lanjut, bahwa seorang istri hendaknya
menempatkan rasa malu sesuai tempatnya, menundukkan pandangannya di depan suaminya, taat atas
perintah suaminya, diam ketika suami berbicara, berdiri di depan pintu ketika suami datang dari
bepergian (menyambutnya dengan penuh suka cita dan tawadlu).

Tidak malah sebaliknya, tidak sedikit para istri yang justru berprilaku kontraproduktif, dan tidak sesuai
dengan apa yang disampaikan Hadratussyaikh di atas ini. Begitu juga tidak sedikit, para suami berprilaku
yang juga kontraproduktif, tidak menempatkan diri, tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya,
sehingga selalu saja muncul tindakan dan prilaku yang arogan dan tidak mencerminkan layaknya seorang
suami yang mengedepankan kasih sayang dan cinta.

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menyampaikan lebih lanjut bahwa seorang istri itu
sebaiknyanya:

Menawarkan diri kepada Suami nya, mau tidur atau dalam hal apakah si Suami “kerso” pingin
berhubungan badan, atau sekedar bercumbu, atau yang sejenisnya (karena hal ini adalah salah satu dari
hak yang harus diterima oleh suami).

Istri tidak berkhianat, atau menyimpang ketika suaminya tidak ada di rumah. Baik terkait urusan
ranjang atau tempat tidur, maupun urusan harta suaminya. Apalagi zaman seperti saat ini, godaan-
godaan, baik melalui medsos maupun melalui hal lain, begitu gencar dan luar biasa masif, sehingga
seorang istri harus bisa menjaga diri.

Seorang Istri sebaiknya selalu berpenampilan menarik di depan suaminya, baunya selalu harum dan
wangi, menjaga bau mulutnya.

Istri juga sebaiknya selalu menjaga performanya, berpenampilan menarik di depan suaminya. (Bukan
malah sebaliknyanya, kalau di depan suaminya berantakan, lusuh, bau, dan lain-lain, giliran ke luar
rumah tanpa bersama suami malah berpenampilan semenarik mungkin. Ini kurang tepat; setidaknya yang
baik, sama-sama berpenampilan menarik. Apalagi ketika bersama suaminya, tentu harus lebih baik lagi).

Dalam kaitannya dengan hal di atas ini, Baginda Nabi SAW bersabda:

‫ﺖ َﺯ ْﻭ َﺟﻬَﺎ ﻗِﻴ َﻞ ﻟَﻬَﺎ‬ ْ ‫ﺖ ﻓَﺮْ َﺟﻬَﺎ َﻭﺃَﻃَﺎ َﻋ‬ ْ َ‫ﺖ َﺷﻬ َْﺮﻫَﺎ َﻭ َﺣﻔِﻈ‬ َ ‫ﺖ ْﺍﻟ َﻤﺮْ ﺃَﺓُ َﺧ ْﻤ َﺴﻬَﺎ َﻭ‬
ْ ‫ﺻﺎ َﻣ‬ ِ َّ‫ﺻﻠ‬
َ ‫إ َﺫﺍ‬
ِ ‫ﺏ ْﺍﻟ َﺠﻨَّ ِﺔ ِﺷ ْﺌ‬
‫ﺖ‬ ِ ‫ﺍ ْﺩ ُﺧﻠِﻰ ْﺍﻟ َﺠﻨَّﺔَ ِﻣ ْﻦ ﺃَﻯِّ ﺃَﺑ َْﻮﺍ‬
“Ketika seorang istri sudah shalat lima waktu, dan ia puasa Ramadan, lalu ia telah menjaga kemaluannya,
ia telah taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, “Masuklah wahai istri yang seperti itu, ke
dalam surga dari pintu mana saja engkau inginkan“.

Ini menunjukkan betapa penting dan wajib seorang istri itu memenuhi kewajiban-kewajibannya, dan
menerima haknya, serta taat kepada suaminya, menjaga dari segala bentuk fitnah yang dapat menjurus
pada kerusakan sebuah tatanan mahligai rumah tangga itu.

Kalau kita mengaca dan membaca sirah Nabi SAW, betapa istr-istri Rasulullah itu tidak pernah sembrono
di dalam berkhidmat dan dalam melayani Baginda Nabi. Suatu waktu Sayyidatina Siti Aisyah bertanya
kepada Rasulullah, “Siapa manusia yang harus lebih diutamakan menerima haknya?’ Rasulullah lalu
menjawab, ‘Suaminya!’. Lalu setelah itu siapa ya Rasulullah? Lalu Baginda Nabi SAW menjawab:
“Ibunya!”.

Anda mungkin juga menyukai