Anda di halaman 1dari 10

AGAMA ISLAM

KELOMPOK 3

Nama kelompok : - Anisa Eka Fitriyani

-Ahmad Zulfikar

Kelas : 1TB04

Universitas Gunadarma

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah
kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Sumber Agama
dan Ajaran Agama Islam”.
Dalam penyusunan makalah ini kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penyusun sendiri maupun kepada pembaca umumnya. Kami mohon maaf apabila ada kekurangan
maupun kesalahan pada penulisan makalah ini.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya
kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber
ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis
dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap
seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian
sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan,
anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif
lainnya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber ajaran agama Islam?
2. Bagaimana penjelasan isi dan sistematika Al-Qur’an?
3. Bagaimana penjelesan fungsi hadits?
4. Bagaimana fungsi Ra’yu?

1.3. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah :


1.Memenuhi salah satu tugas mata kuliah pendidikan Agama Islam
2.Menjelaskan secara jelas agama dan ajaran Agama Islam
3.Memahami dan mengetahui tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadist)
4.Memahami tentang Ra’yu dan metodenya yang dilaksanakan dengan Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN AJARAN ISLAM


2.1. Sumber Agama dan Ajaran Agama Islam

Agama Islam bersumber dari Al-Qur’an yang memuat Wahyu Allah dan al-hadist
yang memuat sunnah Rasulullah. komponen agama Islam dan unsur utama ajaran Islam
( akidah, syariah , dan akhlak ) di kembangkan dengan Ra’yu atau akal pikiran manusia yang
memenuhi syarat untuk mengembangkannya. Yang dikembangkan adalah ajaran agama dan
yang terdapat dalam Al-Qur;an dan Al-hadist. Dengan kata lain,yang dikembangkan lebih
lanjut supaya dapat dipahami manusia adalah wahyu Allah dan sunnah Rasul yang
merupakan agama Islam.
Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Hukum Islam disebut
juga syariat atau hukum Allah SWT, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah
SWT sebagaimana terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadis (sunah). Syariat Islam
juga merupakan hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
manusia, baik muslim maupun bukan muslim.

2.2 AL-QUR’AN DAN SISTEMATIKANYA

Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang utama. Al-Qur’an adalah wahyu Allah
yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an dijaga dan dipelihara
oleh Allah SWT, sesuai dengan firmannya sebagai berikut :
َ‫اِنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َواِنَّا لَهٗ لَ ٰحفِظُوْ ن‬
innā naḥnu nazzalnaż-żikra wa innā lahụ laḥāfiẓụn
Artinya : “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang
memeliharanya”. (QS. Al-Hijr:9).

ْ ‫اَفَاَل يَتَ َدبَّرُوْ نَ ْالقُرْ ٰانَ ۗ َولَوْ َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر هّٰللا ِ لَ َو َج ُدوْ ا فِ ْي ِه‬
‫اختِاَل فًا َكثِ ْيرًا‬
Afalaa yatadabbaruunal quraana
wa lau kaana min 'indi ghairillahi lawajaduu fiihiikhtilaafan katsiiraa(n)
Artinya : "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.“(QS. An-Nisa:82).
Al-Qur’an merupakan sumber agama juga ajaran Islam pertama dan utama. Pengertian secara harafiah
berarti sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari. Sedangkan secara istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah
yang diturunkan melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW dan sebagai salah satu mukzijat
Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari,
mula-mula di Mekah kemudian di Medinah. Tujuannya untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat
manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat
kelak.
Al-Qur’an yang menjadi sumber nilai dan norma umat Islam itu terbagi ke dalam 30 juz, 114 surah,
6666 ayat, 74.499 kata atau 325.345 huruf (lebih tepat dikatakan 325.345 suku kata jika dilihat dari sudut
pandang bahasa Indonesia). Al-Qur’an tidak disusun secara kronologis. Lima ayat pertama diturunkan di
gua hira’ pada malam 17 Ramadhan tahun pertama sebelum hijriah atau pada malam Nuzulul Qur’an
ketika Nabi Muhammad berusia 40-41 tahun, sekarang terletak di surat al-Alaq (96) : 1-5. Ayat terakhir
yang diturunkan di padang Arafah, ketika Nabi Muhammad berusia 63 tahun pada tanggal 9 zulhijah
tahun ke-10 Hijrah, kini terletak di surat Al-Madinah (50) : 3.

2.3 As-Sunnah (Al-Hadits): fungsi dan artinya

Al-Hadits menurut pengertian bahasa ialah berita atau sesuatu yang baru. Dalam ilmu hadis istilah
tersebut berarti segala perkataan, perbuatan dan sikap diam Nabi tanda setuju (taqrir). Para ahli hadis,
umumnya menyamakan istilah hadis dengan istilah sunnah. Namun, ada sementara ahli hadits
mengatakan bahwa istilah dipergunakan khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedangkan
sunnah fi’liyah (perbuatan Nabi) dan sunnah taqririyah tidak disebutkan dalam hadits. Al-Hadist adalah
sumber kedua agama dan ajaran Islam setelah Al-Qur’an.
Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, Al-Hadits mempunyai peranan yang penting setelah Al-
Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam
kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.

Fungsi Hadist dalam Ajaran Islam


Dalam al-quran dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. diutus oleh Allah ke muka bumi
untuk menjelaskan isi kandungan yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran. Hal itu senada
dengan firman Allah dalam qur’an surat An Nahl : 44 yang artinya :

“dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.

1. Bayan Al-taqrir
Bayan Al-taqrir disebut juga dengan bayan Al-ta’kid dan bayan Al-itsbat. Yang
dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan
didalam Al Quran. Dalam hal ini hadits hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan
Al Quran, Seperti dalam QS.Al-Maidah :
‫ُس| ُك ْم َو أَرْ ُجلَ ُك ْم إِلَى‬ ِ |ِ‫يا أَيُّهَا الَّذينَ آ َمنُوا إِذا قُ ْمتُ ْم إِلَى الصَّال ِة فَا ْغ ِس|لُوا ُو ُج||وهَ ُك ْم َو أَ ْي| ِديَ ُك ْم ِإلَى ْال َمراف‬
ِ ‫|ق َو ا ْم َس|حُوا بِ ُرؤ‬
‫ْال َك ْعبَ ْي‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu samapai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.
Ayat diatas di-taqrir oleh hadits Nabi SAW., yaitu

)‫َث َحتَّى يَتَ َوضَّأ َ (روه البخري‬


َ ‫صالَةُ َم ْن أَحْ د‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الَتُ ْقبَ ُل‬
َ ِ‫قَا َل َر ُساُل هلل‬
“Rasulullah SAW. Telah bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang berhadats
sebelum ia berwudhu” (HR.Bukhari)

2. Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk
memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat global
(mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat Al-Quran yang bersifat mutlak,
dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan
shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qisas, hudud, dan sebagainya. Ayat-ayat
Al-Quran tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan,
sebab-sebabnya, syarat-syarat, atau halangan-halangannya. Oleh karena itulah Rasulullah
SAW., melalui haditsnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut.
a. Merinci ayat-ayat yang mujmal
Yang dimaksud dengan mujmal adalah ayat yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan
yang singkat terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal tersebut karena belum
jelas makna yang dimaksudkannya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dalam
Al-Quran banyak ayat-ayat yang mujmal, yang memerlukan perincian. Contohnya ayat
tentang perintah shalat dan zakat (Q.S.Al-Baqarah : 43)

َّ ‫َوأَقِي ُموا ال‬


َ‫صاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوارْ َكعُوا َم َع الرَّا ِك ِعين‬
Artinya: “Dan dirikan shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang
yang rukuk”.

Untuk memperjelas ayat tersebut, maka Nabi memberikan perincian dengan


sabdanya:
َ ُ‫صلُّوا َك َما َرأَ ْيتُ ُمونِي أ‬
)‫صلِّي (روه البخري‬ َ

Artinya: “…Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat…” (H.R.Bukhari)

b. Mentaqyid ayat-ayat yang mutlaq


Kata mutlaq artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri, apa adanya,
dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Mentaqyid yang mutlaq, artinya
mmbatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu. Penjelasan
nabi SAW; berupa taqyid adalah seperti beliau mentaqyid ayat Al Quran (QS. Al Maidah :
38).

ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا أَ ْي ِديَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

Artinya : “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Ayat tersebut di-taqyid oleh hadits riwayat Muslim :

)‫(روه مسلم‬ ‫اتي رسول هللا صلي هللا عليه وسلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف‬

Artinya: “Rasulullah Saw. Didatangi seorang yang membawa pencuri, maka beliau
memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan.

c. Mentakshis ayat yang ‘am


Kata takhsis atah khas ialah kata yang menunjukan arti khusus tertentu atau tunggal.
Sedangkan kata ‘am ialah kata yang menunjukan atau memiliki makna dalam jumlah yang
banyak (umum).
Yang dimaksud mentakhsis yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat Al Quran
sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya, maka para ulama
berbeda pendapat apabila mukhashis-nya dengan hadits ahad. Menurut As-syafi’I dan Ahmad
bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsiskan oleh hadits ahad yang menunjuk kepada
sesuatu yang khas, sdangkan menurut ulama Hanafiah, sebaliknya. Contoh hadits yang
berfungsi untuk mentakhsis keumuman ayat-ayat Al Quran ialah sabda Nabi SAW.:
ً ‫ث القَاتِ ُل من المقتول َشيْئا‬
ُ ‫الَيَ ِر‬
Artnya : “Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.”
(HR. Abu Daud dan An-Nasa'i)

Hadits tersebut mentakhsis keumuman firman Allah (QS. An Nisa : 11)

‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَوْ اَل ِد ُك ْم ۖ لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اأْل ُ ْنثَيَي ِْن‬
ِ ‫ۚ يُو‬
Artinya : Allah mensyaria’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan.

3. Bayan At-tasyri’
Kata At-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau hukum
maka yang dimaksud dengan bayan At-tasyri’ disini ialah penjelasan hadits yang berupa
mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-atauran syara’ yang
tidak didapati nash-nya dalam Al-Quran. Rasulullah SAW., dalam hal ini berusaha
menunjukan suatu kepastian hukum terhadap persoalan yang muncul pada saat itu, dengan
sabdanya sendiri.
Banyak hadits Nabi SAW., yang termasuk kedalam kelompok ini, diantaranya hadits
tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dan bibinya),
hukum syuf’ah, hukum membasuh bagian atas sepatu dalam berwudhu, hukum tentang
ukuran, zakat fitrah dan hukum tentang hak waris bagi seseorang anak. Misalnya hadits
tentang zakat fitrah yaitu:

‫ص|اعًا ِم ْن َش| ِعي ٍْر‬ َ ْ‫|ر أَو‬ ٍ |‫ص|اعًا ِم ْن تَ ْم‬ َ ‫اس‬ ِ َّ‫ضانَ َعلَى الن‬ ْ ِ‫ض زَ َكاةَ ْالف‬
َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ِ‫أَ ْن َرسُو ُل هللا‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َر‬
)‫َعلَى ُك َّل ُح ٍّر أَوْ َع ْب ٍد َذ َك ٍر أَوْ أُ ْنثَى ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ (روه مسلم‬

Artinya: “bahwasannya Rasulullah SAW., telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan
ramadhan satu sukat (shaa’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atupun
hamba, laki-laki atau perempuan”. (H.R.Muslim)

Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan bayan za’id al-kitab al-karim
(tambahan terhadap nash Al-Quran). Disebut atambahan disini, karena sebenarnya didalam
Al-Quran sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya hadits tersebut merupakan tambahan
terhadap ketentuan pokok itu.

4. Bayan An-Nasakh
Kata An-nasakh secara bahasa mempunyai arti diantaranya berarti al-ibhral
(membatalkan), atau al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir
(mengubah) Dalam mendefinisikan nasakh ini, para ulama berbeda pendapat. perbedaan ini
terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Para
ulama mutaqaddimin, yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara’ yang
mendatangkan kemudian.
Dari pengertian diatas, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus
ketentuan yang datang terdahulu. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian dari Al-
Quran dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi Al-Quran.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasulullah SAW.,
dari Abu Umamah Al-bahali:
)‫فال و صية لوا ر ث (روه احمد واآل ربعة اال النسا ء‬.....
Artinya: “Maka Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (H.R.Ahmad dan al-Arba’ah kecuali
nasa’i).

Hadits diatas menurut sebagian ulama dapat men-askah-kan kandungan Al-Quran


(Q.S.Al-baqarah : 180)

َ‫ُوف ۖ َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين‬


ِ ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َدي ِْن َواأْل َ ْق َربِينَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ت إِ ْن تَ َركَ َخ ْيرًا ْال َو‬
ُ ْ‫ض َر أَ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬

Artinya: “diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karir
kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang bertakwa”.

2.3 RA’YU YANG DILAKSANAKAN DENGAN IJTIHAD


Sumber ajaran Islam yang ketiga adalah ar-ra’yu atau sering disebut dengan kata
ijtihad. Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman tertentu yang memenuhi
syarat untuk mencari, menemukan, dan menetapkan nilai dan norma yang tidak jelas atau
tidak terdapat patokannya di dalam al-Quran dan al-Hadits. Orang yang menetapkan hukum
dengan jalan ini disebut mujtahid

Walaupun Islam adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah SWT, Islam sangat
menghargai akal. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat Al Quran yang memerintahkan
manusia untuk menggunakan akal pikirannya, seperti pada surat An Nahl ayat 67
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi
orang yang memikirkannya”. Oleh karena itu, apabila ada suatu masalah yang hukumnya
tidak terdapat di Al Quran maupun Hadist, maka diperintahkan untuk berijtihad dengan
menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada Al Quran dan Hadist.

Ijtihad hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang memenuhi syarat sebagai


mujtahid. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami al-Qur’an dan kitab-kitab hadits .
2.      Mengetahui isi dan sistem hukum al-Qur’an serta ilmu-ilmu untuk memahami
al-Qur’an.
3.      Mengetahui hadits-hadits hukum dan ilmu-ilmu hadits yang berkenaan dengan
pembentukan hukum.
4.      Menguasai sumber-sumber hukum islam.
5.      Menguasai dan mengetahui kaidah-kaidah fiqih.
6.      Mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan hukum islam.
7.      Jujur dan ikhlas.
8.      Menguasai ilmu-ilmu sosial (Antropologi, Sosiologi).
9.      Dilakukan secara kolektif (jama’i) bersama para ahli disiplin ilmu lain.
Metode Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Baasyir ada beberapa cara yang dapat ditempuh
oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
a. Qiyas, yaitu dengan cara menyamakan atau membandingkan hukum sesuatu dengan
hukum lain yang sudah ada hukumnya dalam nash dikarenakan adanya persamaan sebab.
Contoh : setiap minuman yang memabukan hukumnya haram. Hal ini diqiyaskan dengan
hukum khamr (arak) atau yang sejenisnya yaitu haram. Para ulama fiqih dan para pengikut
ulama empat madzhab mendasarkan pendapatnya antara lain dalam al-Qur’an :

ُ ‫ار ِه ْم أِل َو َِّل ْال َح ْش ِر َما ظَنَنتُ ْم أَن يَ ْخ ُرجُوا َوظَنُّوا أَنَّهُم َّمانِ َعتُهُ ْم ح‬
َ‫ُص |ونُهُم ِّمن‬ ِ َ‫ب ِمن ِدي‬ ِ ‫ه َُو الَّ ِذي أَ ْخ َر َج الَّ ِذينَ َكفَرُوا ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِكتَا‬
ُ
‫|ؤ ِمنِينَ فَ|ا ْعتَبِرُوا يَ|ا أولِي‬ ْ ‫ب ي ُْخ ِربُ|ونَ بُيُ|وتَهُم بِأَيْ| ِدي ِه ْم َوأَيْ| ِدي ْال ُم‬ ُ ‫هَّللا ِ فَأَتَاهُ ُم هَّللا ُ ِم ْن َحي‬
َ ‫ْث لَ ْم يَحْ ت َِس|بُوا َوقَ| َذفَ فِي قُلُ|وبِ ِه ُم ال|رُّ ْع‬
‫ار‬
ِ ‫ْص‬ َ
َ ‫ا ب‬ ‫أْل‬

Artinya:
Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka
dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang
mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai wawasan. (Q.S Al-Hasyr : 2)
b. Maslahah Mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nashnya dengan
pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia dengan menarik segala yang memberikan
manfaat dan menghindari segala yang mendatangkan mudharat.
contoh : membuat buku pernikahan, dicetaknya mata uang, ditetapkannya pajak penghasilan.
Yang menjadikan dasar maslahah mursalah itu sendiri telah disebutkan dalam al-Qur’an.

َ َ‫َو َمٓا أَرْ َس ْل ٰن‬


َ‫ك إِاَّل َرحْ َمةً لِّ ْل ٰ َعلَ ِمين‬
wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil'aalamiin
artinya:
“Tidaklah Kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” (Al Anbiyaa’ : 107).

c. Istihsan, yaitu memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan
meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum.
Contoh : boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat,
yaitu membuat sesuatu itu tidak mubazir.

d. Istishab, yaitu mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap
dipakai hingga sekarang, sampai ada ketentuan dalil yang dapat mengubahnya.
Contoh : ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil, entah itu
melalui jual beli maupun harta warisan, maka selama tidak menemukan bukti yang dapat
mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan bahwa si A adalah pemilik rumah
atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dalil yang digunakan ulama empat madzhab
sebagai alasan istishab adalah:
ِّ ‫ظنًّا إِ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِي ِمنَ ْال َح‬
َ‫ق َش ْيئًا ِإ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم بِ َما يَ ْف َعلُون‬ َ ‫َو َما يَتَّبِ ُع أَ ْكثَ ُرهُ ْم ِإاَّل‬

Artinya:
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (Q.S Yunus :36).
e. ‘Urf, yaitu kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok
masyarakat. Ada dua macam ‘urf. Pertama ‘urf shahih, yaitu ‘urf yang dapat diterima oleh
masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal yang sehat, membawa kebaikan dan sejalan
dengan prinsip nash. Contohnya, acara tahlilan, bagian harta gono gini untuk istri yang
ditinggal suaminya. Kedua, ‘urf fasid, yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan ‘urf
shahih. Contohnya, kebiasaan meninggalkan shalat bagi seseorang yang sedang menjadi
pengantin, mabuk-mabukan dalam acara resepsi pernikahan dan sebagainya.
َ‫ض ع َِن ۡٱل ٰ َج ِهلِين‬ ِ ‫ ُخ ِذ ۡٱل َع ۡف َو َو ۡأ ُم ۡر بِ ۡٱلع ُۡر‬ 
ۡ ‫ف َوأَ ۡع ِر‬

Artinya:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199).

BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai