Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah AWT yang telah melimpahkan
rahnat dan karunia-nya kepada kita semua berupa ilmu dan amal. Berkat rahmat
dan karunia-nya pula, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
tepat waktu, adapun judul makalahnya adalah “PEMBAGIAN HADIST”. Hal
yang paling mendasar yang mendorong penulis menyusun makalah ini adalah
tugas dari mata kuliah Studi Hadist, untuk mencapai nilai yang memenuhi syarat
perkuliahan. Rasa terimakasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada :
1. Bapak Syukri,M.Pd selaku dosen mata kuliah studi hadist.
2. Orang tua yang telah memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan
tugas makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah untuk kedepanya. Mudah-mudahan makalah ini
dapat bermanfat bagi peneliti dan pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih.

Pekanbaru, 10 November 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1
A. Latar belakang.............................................................................1
B. Identifikasi Masalah....................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................2
1. Pembagian hadist dari segi kuantitatif........................................2
2. Pembagian hadist dari segi kualitatif..........................................7
3. Pembagian hadist dari segi penyandaran....................................12
4. Pembagian hadist dari persambungan sanad...............................14
BAB III PENUTUP...............................................................................17
A. Kesimpulan..................................................................................17
B. Saran............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian
tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali
bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk
dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak
dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah
melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan
berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits
ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas
sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan
ini akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas,segi kualitas,segi
penyandaran,dan segi persambungan sanad.
B. Identifikasi Masalah
1. Pembagian hadist dari segi kuantitatif.
2. Pembagian hadist dari segi kualitatif.
3. Pembagian hadist dari segi penyandaran.
4. Pembagian hadist dari persambungan sanad.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pembagian Hadits dari segi Kuantitatif


Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari
aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara
mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits
mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni
hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan
hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad,
ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-
Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh
sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun).
Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri
sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi
hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.1
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir

Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan


tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang
diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau
kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan
seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama
sampai thabaqat yang terakhir.
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang
mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.2
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama
muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama
mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk

1
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008.
Hlm.86.
2
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.

2
dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan
tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau
tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut
tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir,
maka wajib diyakini dan diamalkan.3
b. Syarat Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah
besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat
untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi
yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari
menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan
banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah
perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat
pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada
setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan
pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil
renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau
hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir.4
c. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan
dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang
sama.

3
M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.
4
Ibid, hlm. 88

3
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh
200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang
berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang
berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama
tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu
Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah)
yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh
para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya,
diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi
tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan
sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan
ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits
mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah.
Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada,
hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits
mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara
menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga
dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta
terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah
sebagai berikut :
a. nAl-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
b. Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh
Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)5

5
Ibid. Hlm. 91

4
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti
“satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai
sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan
oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup
syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya,
hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir.6
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur
dan ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz
dan ghairu aziz.
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar
dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi,
antara lain :
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak
sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah
sahabat dan orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits
masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat
hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu
Umar.
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat
hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits
yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai
sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang
setimpal.”

6
Ibid. Hlm. 90

5
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad
maupun pada matannya, seperti hadits :
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”

Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat


digolongkan kedalam :
1. Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan
penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim,
dll).
2. Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang
keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam.
3. Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
“Rasulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu
daya.”
4. Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia
berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua
pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu
salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5. Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin
dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku”

6. Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang


Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan
Quraisy”.7

B. Hadits Ghairu Masyhur


7
Ibid. hlm. 93

6
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua
yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu,
artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits
yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan
sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian
Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal
dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya
dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits
‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat
dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada
setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua
rawi, contoh hadits ‘aziz yang artinya :
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya
dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R.
Bukhari dan Muslim)

Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid”


(menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah
“hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan
dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain
perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri.
Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas
perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir
sanad.

7
2. Pembagian hadits dari segi Kualitatif
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits mutawatir memberikan
penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar
bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para
sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka
sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah
meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi,
baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang
hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),
mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan
maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah
diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat
dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan,
dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara
istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
a) Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang
sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang
adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir
sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
b) Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits
shahih adalah :
1) sanadnya bersambung.
2) perawinya bersifat adil.
3) perawinya bersifat dhabith.
4) matannya tidak syaz.
5) matannya tidak mengandung ‘illat.

8
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫ ) الحسن‬bermakna al-
jamal (‫ )الجمال‬yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama
memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih
kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam
An-Nukbah, yaitu :
“khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada
syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya
disebut hasan Lidztih”.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
“Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada
keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat”.
Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih.
Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke
dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan
dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding
dengan hadits shahih.8
b. Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu
Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr
dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda yang
artinya :
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang
melebihi demikian itu.
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam,
hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan
hasan lighairih.

8
Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.

9
1. Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya,
karena telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang
ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan
diatas.
2. hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain
yang sama atau lebih kuat”.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif
bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang
seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan
fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad
atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
3. Hadits Dhaif
a. Pengertian

Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (
‫عيف‬RR‫ )الض‬berarti lemah lawan dari Al-Qawi (‫وي‬RR‫ )الق‬yang berarti kuat.
Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi
2
kriteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits
dhaif adalah :
“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu
dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi”.

Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau
semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak
bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi
keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang
tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.9
a. contoh hadits dhaif

9
Ibid. hlm. 164

10
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-
Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
bersabda yang artinya :
”barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau
pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia
telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW”.
b. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu).
Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu
parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur.
Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan
haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa
tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan
lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad
sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang
meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup
menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh)
misalnya : ‫ي‬
َ ‫رُو‬
ِ diriwayatkan, ‫ نُقِ َل‬dipindahkan, َ ‫ فِ ْي ِما يُرْ ِو‬pada sesuatu
‫ي‬
yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-
hati (ikhtiyath).
c. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu
dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam
keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hukum sebagaimana
yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in.

11
pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-
Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-
a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan
Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari
pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah,
targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang
menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
 Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta
(hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya
iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik
dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
 Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul
bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi
pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan
hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya).
 Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari
Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
d. Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas
adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits
yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam
fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk
adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian
mudhatahrib.10
3. Pembagian Hadist dari Segi Penyandaran
Apabila dilihat dari segi yang menyampaikan berita, hadist dibagi kepada:

1. Hadits Marfu’
10
Ibid. hlm. 167.

12
Hadits Marfu’ ialah hadits yang dihubungkan kepada Nabi Muhammad
SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir.Hadit Hadits itu
disebut Marfu’ karena mempunyai derajat yang luhur sebagai akibat
dihubungkannya dengan Nabi SAW., baik dengan menggunakan sanad
yang muttasil (bersambung) atau tidak.Apabila sahabat berkata, “bahwa
Rasulullah SAW. bersabda,” … begini … begitu … dst.” Maka Hadits itu
disebut Hadits Marfu’. Demikina pula apabila seorang tabi’in, atau tabi’ut
tabi’in,atau orang yang sesudahnya, menyebutkan seperti yang dikatakan
oleh sahabat tersebut, maka itu disebut Hadits Marfu’.11

Berdasarkan definisi diatas Hadits Marfu’ ada yang yang sanadnya


bersambung, adapula yang terputus. Dalam Hadits Marfu’ ini tidak
dipersoalkan apakah ia memiliki sanad dan matan yang baik atau
sebaliknya. Bila sanadnya bersambung maka dapat disifati Hadits shahih
atau Hadits hasan, berdasarkan derajat kedhabitan dan keadilan
perawi.Bila sanadnya terputus hadits tersebut disifati dengan Hadits dhaif
mengikuti macam-macam putusnya rawi.

Hadits yang bisa dikategorikan kedalam Hadits Marfu’ ialah Hadits


Mauquf, yaitu Hadits yang dihubungkan kepada sahabat, dan Hadits
Maqthu’, yaitu Hadits yang dhubungkan kepada tabi’in atau orang-orag
yang dating sesudahnya. Sedangkan Hadits yang sanadnya tidak
memenuhi syarat harus muttasil, seperti Hadits mursal, Hadits munqathi’,
Hadits mu’dhal, dan Hadits muallaq, kadang bisa dikategorikan kedalam
Hadits Marfu’, dan memang Hadits-Hadits tersebut adakalanya Marfu’.

Ibnu al-Shaleh berkata, “Ada ahli Hadits yang menjadikan Hadits


marfuk sebagai kebalikan Hadits mursal.’Yang ia maksudkan dengan
Hadits itu adalah Hadits Marfu’ muttasil.12

11
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006),
hlm.67 (online) :
(https://mulkiaziz.wordpress.com/2016/05/24/pembagian-hadis-dari-segi-
penyandarannya/ ) diakses pada tanggal 8 November 2018.
12
Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘ulumul Hadits(Bandung : Remaja Roada karya, 2012),hlm.339
(online) :

13
A. Macam- macam Hadits Marfu’
1. Marfu’ Tashrihi, yaitu hadits yang diketahui secara jelas
dihubungkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun taqrir.
2. Marfu’ Hukmi, yaitu hadits yang secara jelas oleh sahabat tidak
dihubungkan kepada Nabi SAW. melalui kata-kata, misalnya
sebagai berikut:
Perkataan seorang sahabat tentang suatu masalah yang tidak
dicapai dengan ijtihad, seperti perkataan yang berkaitan dengan
berita ghaib, atau menerangkan pahala sesuatu amal.

 3. Hadits Mauquf

Mauquf menurut bahasa waqaf, yang artinya berhenti atau stop. Di


dalam Alquran terdapat tanda-tanda waqof yang harus dipatuhi oleh
sipembacanya.barang waqof terhenti tidak boleh diperjualbelikan kepada
orang lain karena amal lillah ta’ala sampai hari kiamat tiba. Wauquf
adalah barang yang dihentikan atau barang yang di-waqof-kan.

4. Hadist Maqthu’

Menurut bahasa, kata Maqthu’ berasal dari akar kata‫قطع يقطع قطعا‬
‫ قاطع و مقطوع‬yang artinya terpotong atau terputus,lawan kata dari mausul
yang berarti bersambung. Kata terputus ini dimaksudkan tidak sampai
kepada Nabi SAW..Ia hanya sampai kepada tabi’in saja.

4. Pembagian Hadist dari Segi Persambungan Sanad

1. Hadits ditinjau dari persambungan sanad terbagi menjadi dua macam ,yaitu:

a. Hadist muttashil/mawhsil dari segi Bahasa muttashil Sesuatu yang


bersambung sanadnya sampai akhir, baik marfu yang disandarkan kepada
nabi SAW maupun mawquf (disandarkan kepada seorang sahabat).

(https://mulkiaziz.wordpress.com/2016/05/24/pembagian-hadis-dari-segi-
penyandarannya/) Diakses pada tanggal 8 November 2018.

14
Hadits muttashil/mawshil adalah hadis yang bersambung sanadnya , baik
periwanyatan itu datang dari nabi ataupun dari seorang sahabat bukan
dari.

b. Hadits Musnad Dari segi bahasa kata musnad artinya menyandarkan,


menggabungkan, atau menisabkan ‫ مسند‬artinya disandarkan, digabungkan
atau dinisabkan. Menurut istilah Hadis Musnad adalah:
Sesuatu yang bersambung sanadnya dan marfu’ disandarkan kepada Nabi
Saw.
Dari definisi di atas jelas, bahwa hadits musnad adalah hadits yang
bersambung sanadnya dari awal sampai akhir, tetapi snadaranya hanya
kepada nabi tidak pada sahabat dan tidak pula pada tabi’in .
Perbedaannya terletak pada sandarannya , jika muttashil/mawshul
sandarannya bisa kepada nabi dan bisa kepada seorang sahabat , sedang
musnad sandaranya hanya kepada nabi ( marfu).

2. Hadist yang tidak bersambung sanadnya :

adalah yang tidak bersambung sanadnya, dan telah disebutkan


bahwa di antara syarat hadits shohih yang berjumlah lima, salah satunya
adalah bersambung sanadnya. Sanad yang terputus terbagi menjadi empat: 
mursal, mu’alaq, mu’dhol dan munqothi’.

1. Mursal (‫)المرسل‬Mursal adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi


shollallahu ‘alaihi wa sallam oleh sahabat atau tabi’in yang tidak
mendengar langsung dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam

2. Mu’alaq (‫)المعلق‬

Mu’allaq adalah hadits yang dihilangkan awal atau terkadang


yang dimaksudkan adalah yang dibuang semua sanadnya, seperti
perkataan Imam Bukhori, “Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
mengingat Allah di setiap keadaannya”. Adapun hadits yang dinukil
penulis kitab, misal Umdatul Ahkam yang dinisbatkan pada aslinya,

15
maka tidak dinilai sebagai hadits mu’allaq karena orang yang menukil
tidak menyandarkan hadits tersebut pada dirinya.Akan tetapi
dinisbatkan, misal “Diriwayatkan oleh Abu Daud”.

3. Mu’dhol (‫)المعضل‬

Mu’dhol adalah hadits yang dibuang di tengah-tengah


sanadnya, dua rowi secara berturut-turut.

4. Munqothi’ (‫)المنقطع‬

Munqothi’ adalah hadits yang dibuang dari tengah sanadnya


satu, dua atau lebih dan tidak berturut-turut. Terkadang maksudnya
adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, maka termasuk di
dalamnya hadits yang empat tadi, mursal, mu’allaq, mu’dhol dan
munqothi’ itu sendiri

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

16
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir
juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir
‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian
yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul
terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang
shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif.
Hadist dari segi penyandaran terbagi menjadi 3 bagian yaitu : hadist
marfu”, hadist mauquf, dan hadist Maqthu”. Dan hadist dari segi
persambungan sanadnya terbagi menjadi 2 bagian yaitu: hadist yang
bersambung sanadnya dan hadist tidak bersambung sanadnya. Hadist
bersambung sanadnya terbagi menjadi 2 bagian yaitu: hadist musnad dan
hadist muttashil(maushul). Dan hadist yang tidak bersambung sanadnya
terbagi menjadi 4 bagian yaitu : hadist mu”allaq, hadist munqathi, hadist
mu’dhlal, dan hadist Mursal.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar
mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits
itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan
untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui
pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-
orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press,
2008

17
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2006),hlm.67.(online):
(https://mulkiaziz.wordpress.com/2016/05/24/pembagian-hadis-dari-
segi-penyandarannya/ ) diakses pada tanggal 8 November 2018.
Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘ulumul Hadits(Bandung : Remaja Roada karya, 2012),hlm.339
(online) :(https://mulkiaziz.wordpress.com/2016/05/24/pembagian-hadis-
dari-segi-penyandarannya/) Diakses pada tanggal 8 November 2018.

TUTIALAFIAH, hadits ditinjau dari persambungan sanad.2016 (online):


(https://tutialafiah.wordpress.com/2016/04/10/hadits-ditinjau-dari-
persambungan-sanad-3/) diakses pada tanggal 8 November 2018.

(online) : (https://muslimah.or.id/350-taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-
sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html) diakses pada tanggal 8
November 2018.

18

Anda mungkin juga menyukai