TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 3
a. Virus
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dan Famili Flaviviridae. Virus kecil ini
terdapat single-strand RNA sebagai genom. Virion terdiri dari nukleokapsid
dengan kubik simetris yang terbungkus oleh lipoprotein envelope.
Ada empat tipe serotif pada dengue virus, yakni DENV-1, DENV-2, DENV-3,
dan DENV-4. Keempat tipe serotif ini menyebabkan demam dengue namun
memiliki karakteristik keparahan yang berbeda.
b. Vektor Dengue
Aedes (Stegomyia) aegepti (Ae. Aegepti) dan Aedes ( Stegomyia) albopictus (Ae.
Albopictus) perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di
lingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat lainnya merupaka
factor yang berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue.
c. Host
2.3 Epidemiologi 2
Di Indonesia pada tahun 2014, terdapat 100.347 kasus DBD yang dilaporkan
dengan jumlah kematian sebanyak 907 orang. Kasus DBD tersebut mengalami
penurunan dari tahun 2013 dengan kasus sebanyak 112.511.Selama tahun 2014
terdapat 7 kabupaten/kota di 5 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB DBD,
yaitu Kabupaten Dumai (Provinsi Riau), Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten
Belitung (Provinsi Bangka Belitung), Kabupaten Karimun (Provinsi Kepulauan
Riau), Kabupaten Sintang dan Ketapang (Provinsi Kalimantan Barat) serta
Kabupaten Morowali (Provinsi Sulawesi Tengah).
Pada tahun 2017, di Indonesia kasus DHF berjumlah 68.407 kasus mengalami
penurunan signifikan dari tahun 2016 sebanyak 205.171 kasus. Provinsi dengan
jumlah kaus tertinggi terjadi di 3 provinsi di Pulau Jawa, masing-masing Jawa
Barat dengan total kasus sebanyak 10.016 kasus, Jawa Timur sebesar 7.838 kasus
dan Jawa Tengah 7.400 kasus. Sedangkan untuk jumlah kasus terendah terjadi di
Provinsi Maluku Utara dengan jumlah kasus 37 kasus3.
Kasus kematian DHF yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017 berjumlah
493 kematian jika dibandingkan tahun 2016 berjumlah 1.598 kematian,
kasus ini mengalami penurunan hampir tiga kali lipat. Untuk kematian
tertinggi tahun 2017 terjadi di Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 105
kematian dan tertinggi kedua terjadi di Provinsi Jawa Tengah dengan
jumlah kematian 923.
Gambar 3. Kematian DHF per Provinsi di Indonesia tahun 2017
2.4 Etiologi 2
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan
terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk
Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering
ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan
berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau
tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik,
berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi
dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes
albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini
berada di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang
bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada
siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter.
2.5 Patofisiologi 3
a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit
dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma
pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human
albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai
puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut,
nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit
pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat
kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga
serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini
ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium
yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,
dan terdapatnya edema.
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti
secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada
masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi
secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis.
Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh
darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya
disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.
Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut
memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka
akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang
yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.
b. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada
masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah
trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal
biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum
tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi
fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan
bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa
dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui,
namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi
sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih
lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan
proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.
e. Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan.
Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi
memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada
hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat
sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB
pada DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan
bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T.
(Soedarmo, 2012)
2.6 Patogenenis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES
meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya
virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme
pertama ini disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear
yang telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar
ke usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut
mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa
syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan
sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam
bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.
Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada,
tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat
makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam
sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar
limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai
Castelani’s sign yang patognomonik.
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra
demam dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia
relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens.
Eusinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit,
hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma
meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.
Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000
cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan
angka prediksi 70 – 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan:
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi
trombositopeni
Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin
meningkat.
Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan
dengan demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat
mengintervensi peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan
pembekuan darah.
2.7.2 Demam Berdarah Dengue 1,3,4
Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD
terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat
pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila
sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi
jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi
dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi.
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba
2-4 cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan
dengan keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan
perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada
sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak
jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan.
2.8 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah Dengue: 1,3,4
a. Kriteria Klinis
1. Demam
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe
demam bifasik (saddleback).
a. Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
b. Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah,
kulit lembab dan penderita gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diperiksa.
c. Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat
beberapa kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah
paru, efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan
dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica felea.
d. Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi
virus dengue yaitu:
c. Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial
disease, Scarlet Fever
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa
syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi
cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah
cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar
dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema
otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna
sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah
diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi
asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen
yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin
dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder,
makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi
ampisilin 100 mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan
tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti
muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
b. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal
ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian
volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila
diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan
sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat
diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,
dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya
syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP
(central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan
selanjutnya.
c. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga
sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan
menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi.
Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila
cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran
edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.
2.12 Penatalaksanaan
Gambar 1.7. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.
Gambar 1.8. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.
Gambar 1.9. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.
Kriteria memulangkan pasien antara lain : 3
2.13 Prognosis5,6
1. Syok lama
2. Overhidrasi
3. Perdarahan masif
4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang
tidak syok
2.14 Pencegahan3,7
3. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.