Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi 3

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue


haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.3

2.2 Virus Dengue 1,3

a. Virus

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dan Famili Flaviviridae. Virus kecil ini
terdapat single-strand RNA sebagai genom. Virion terdiri dari nukleokapsid
dengan kubik simetris yang terbungkus oleh lipoprotein envelope.

Ada empat tipe serotif pada dengue virus, yakni DENV-1, DENV-2, DENV-3,
dan DENV-4. Keempat tipe serotif ini menyebabkan demam dengue namun
memiliki karakteristik keparahan yang berbeda.

b. Vektor Dengue

Aedes (Stegomyia) aegepti (Ae. Aegepti) dan Aedes ( Stegomyia) albopictus (Ae.
Albopictus) perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di
lingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat lainnya merupaka
factor yang berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue.
c. Host

Virus dengue, telah berevolusi dari nyamuk, lalu beradaptasi di nonhuman


primate dan kemudian manusia. Viraemia (virus yang sudah memasuki aliran
darah) pada manusia dibentuk dengan titer yang tinggi 2 hari sebelum mulainya
panas (non-febris) dan hari ke 5-7 terakhir setelah onset panas (febrile). Hanya
pada 2 periode ini spesies vektor ini dapat terinfeksi. Kemudian, manusia menjadi
tempat pemberhentian transmisi. Penyebaran infeksi dimulai melalui perpindahan
host dan vektor.

2.3 Epidemiologi 2

Di Indonesia pada tahun 2014, terdapat 100.347 kasus DBD yang dilaporkan
dengan jumlah kematian sebanyak 907 orang. Kasus DBD tersebut mengalami
penurunan dari tahun 2013 dengan kasus sebanyak 112.511.Selama tahun 2014
terdapat 7 kabupaten/kota di 5 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB DBD,
yaitu Kabupaten Dumai (Provinsi Riau), Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten
Belitung (Provinsi Bangka Belitung), Kabupaten Karimun (Provinsi Kepulauan
Riau), Kabupaten Sintang dan Ketapang (Provinsi Kalimantan Barat) serta
Kabupaten Morowali (Provinsi Sulawesi Tengah).

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi


disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,
tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin,
tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada
anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur
memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur
<15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia
dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak
begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September
sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.

Pada tahun 2017, di Indonesia kasus DHF berjumlah 68.407 kasus mengalami
penurunan signifikan dari tahun 2016 sebanyak 205.171 kasus. Provinsi dengan
jumlah kaus tertinggi terjadi di 3 provinsi di Pulau Jawa, masing-masing Jawa
Barat dengan total kasus sebanyak 10.016 kasus, Jawa Timur sebesar 7.838 kasus
dan Jawa Tengah 7.400 kasus. Sedangkan untuk jumlah kasus terendah terjadi di
Provinsi Maluku Utara dengan jumlah kasus 37 kasus3.

Gambar 2. Kasus DHF per Provinsi di Indonesia tahun 2017

Kasus kematian DHF yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017 berjumlah
493 kematian jika dibandingkan tahun 2016 berjumlah 1.598 kematian,
kasus ini mengalami penurunan hampir tiga kali lipat. Untuk kematian
tertinggi tahun 2017 terjadi di Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 105
kematian dan tertinggi kedua terjadi di Provinsi Jawa Tengah dengan
jumlah kematian 923.
Gambar 3. Kematian DHF per Provinsi di Indonesia tahun 2017

2.4 Etiologi 2

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus


dengue, yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106.

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan
terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.

Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk
Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering
ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan
berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau
tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik,
berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi
dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes
albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini
berada di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang
bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada
siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter.

2.5 Patofisiologi 3

a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit
dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma
pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human
albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai
puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut,
nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit
pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat
kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga
serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini
ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium
yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,
dan terdapatnya edema.
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti
secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada
masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi
secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis.
Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh
darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya
disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.
Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut
memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka
akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang
yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.

b. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada
masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah
trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal
biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum
tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi
fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan
bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa
dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui,
namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi
sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih
lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan
proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.

c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis


Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.
Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa
tromboplastin parsial yang teraktivasi memajang. Beberapa faktor
pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen.
Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation
Products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan
adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan
bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak
sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan
bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya
diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi
sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan
penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen.
Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa:

1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan


fibrinolisis
2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat
terjadi juga DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC
tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi
apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis
maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan
mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit
akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat,
terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan
kematian.
3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan
perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih
komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan
kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan
syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis
metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus
dengan kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan
berkurang.
d. Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan
penurunan kadar C3, C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang
disertai syok maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum
komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan
perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui
jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop
mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen
disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena
produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini
menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan
stimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator
kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan
plasma dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop
virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang
menimbulkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok,
dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit
untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF), interferon
gama, interleukin (IL-2 dan IL-1).

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada


penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat
dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi
(circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun
berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit.

e. Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan.
Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi
memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada
hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat
sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB
pada DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan
bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T.
(Soedarmo, 2012)

2.6 Patogenenis

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan


biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena
kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan
untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini
sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis
atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat
terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan
infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5
tahun.

Gambar 1.2 The immunological enhancement hypothesis

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES
meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.

Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam


sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya
masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural
virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.

Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang


berfungsi menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody
dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang
dibedakan berdasarkan adanya virion determinant spesificity, yaitu:

1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi


tetapi memacu replikasi virus
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya
memacu replikasi virus.
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan
menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi
virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menimbulkan
manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis
(the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut:

a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya
virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme
pertama ini disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear
yang telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar
ke usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut
mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa
syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan
sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD.


Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat
mengeluarkan interferon α dan γ. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue,
Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon α. Interferon α
selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan
monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus
dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang


menimbulkan “cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini
menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini
dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus
DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak
ada “cross protectif” terhadap serotip virus yang lain.

2.7 Manifestasi Klinis 3,4

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu:

1. Silent dengue atau Undifferentiated fever


Pada bayi, anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk
pertama kali mungkin akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan
dari infeksi virus lainnya. Bercak maculopapular biasanya mengiringi
demam. Biasanya juga muncul gejala saluran pernafasan atas dan gejala
gastrointestinal.

2. Demam dengue klasik


Demam dengue atau disebut juga dengan demam dengue klasik
lebih sering pada anak yang lebih tua, remaja, dan dewasa. Secara umum,
manifestasi berupa demam akut, terkadang demam bifasik disertai dengan
gejala nyeri kepala, mialgia, atralgia, rash, leukopenia, dan
trombositopenia. Adakalanya, secara tidak biasa muncul perdarahan
gastrointestinal, hipermenorea, dan epistaksis masif. Pada daerah yang
endemis, insidensi jarang muncul pada penduduk lokal

3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)


Demam berdarah dengue lebih sering muncul pada anak usia
kurang dari 15 tahun pada daerah yang hiperendemis. Hal ini dikaitkan
dengan infeksi virus dengue berulang. Demam berdarah dengue memiliki
karakteristik onset akut demam yang sangat tinggi, disertai dengan tanda
dan gejala yang sama dengan demam dengue. Gejala perdarahan yang
muncul dapat berupa tes torniquet yang positif, ptekie, perdarahan
gastrointestinal yang masif. Saat akhir dari fase demam, ada tendensi
untuk berkembang menjadi keadaan syok hipovolemik oleh karena adanya
plasma leakage.

Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri


abdomen, letargi, oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok.
Kelainan hemostasis dan adanya plasma leakage merupakan tanda utama
dari demam berdarah dengue. Trombositopenia dan peningkatan
hematokrit harus segera ditemukan sebelum muncul adanya tanda syok.

Demam berdarah dengue biasa terjadi pada anak dengan infeksi


sekunder virus dengue yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus
dengue DEN-1 dan DEN-3.

4. Dengue Shock Syndrome (DSS)


Manifestasi yang tidak lazim melibatkan berbagai organ misalnya
hepar, ginjal, otak, dan jantung yang dikaitkan dengan infeksi dengue telah
dilaporkan meningkat pada berbagai kasus yang tidak memiliki bukti
terjadinya plasma leakage. Manifestasi tersebut dikaitkan dengan syok
yang berkepanjangan.

2.7.1 Demam Dengue1,3,4

Masa inkubasi antara 4 – 6 hari (berkisar 3 – 14 hari) disertai gejala


konstitusional dan nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise.

Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam


tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam/rash.

 Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam
bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.
 Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada,
tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat
makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam
sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar
limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai
Castelani’s sign yang patognomonik.

Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra
demam dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia
relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens.
Eusinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit,
hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma
meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.
Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000
cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan
angka prediksi 70 – 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan:

 Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
 Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi
trombositopeni
 Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin
meningkat.
 Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan
dengan demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
 Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat
mengintervensi peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan
pembekuan darah.
2.7.2 Demam Berdarah Dengue 1,3,4

Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD
terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat
pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila
sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi
jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi
dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi.

Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba
2-4 cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan
dengan keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan
perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada
sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak
jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan.

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia


sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama
yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Soedarmo, 2012)

2.7.3 Dengue Shock Syndrome

Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi


lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan
lembab dan pasien tampak gelisah.

2.8 Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah Dengue: 1,3,4

a. Kriteria Klinis
1. Demam
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe
demam bifasik (saddleback).

Gambar 1.3 Demam Bifasik pada Demam Berdarah Dengue

2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung:


a. Uji torniket (+)
b. Petechie, ekhimosis ataupun purpura
c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis,
perdarahan gusi
d. hematemesis dan melena
3. Hepatomegali
4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat
dan lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun
sampai tidak terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20
mmHg), capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak
gelisah.
b. Kriteria Laboratoris
1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul)
2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20%
setelah mendapat terapi cairan).

Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas 2 kriteria


klinis ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan
hematokrit.

Pembagian derajat Demam Berdarah Dengue menurut WHO ialah :

a. Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.

b. Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. 
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah,
kulit lembab dan penderita gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diperiksa.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang
selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl
biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum
atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang
disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai
hematokrit.

Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan


peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu
diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan
atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau
leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan
pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran
plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi
tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII,
dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai
setengah kasus DBD.

b. Morfologi Darah Tepi


Limfosit plasma biru adalah limfosit dengan sitoplasma berwarna
biru tua pada pewarnaan May Grunwald, Giemsa atau Wright. Terdapat
vakuolisasi dari kasar sampai halus, ada daerah jernih didekat inti, inti
bulat, oval atau berbentuk ginjal, letaknya ditepi, kromatin renggang,
kadang tampak gambaran nukleoli.

c. Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat
beberapa kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah
paru, efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan
dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica felea.

c. Pemeriksaan Rumple Leed Test


Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan
cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah
menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab
kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler
itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya
sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit
(petechiae). Pemeriksaan ini didefinisikan oleh WHO (2011) sebagai salah
satu syarat yang diperlukan untuk diagnosis demam berdarah. Suatu
manset tekanan darah diterapkan dan meningkat ke titik antara sistolik dan
diastolik tekanan darah selama lima menit. Tes positif jika ada 10 atau
lebih ptekia per inci persegi. Pada penderita demam berdarah tes dengue
biasanya memberikan hasil positif yang pasti dengan 20 ptekia atau lebih.
Dewasa ini rumple leed test dianggap tes yang sudah usang atau tidak
dapat diandakan. Akan tetapi tes ini tetap menjadi bagian penting dari
penilaian seoang pasien yang mungkin memiliki demam berdarah dengue.

d. Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi
virus dengue yaitu:

 Isolasi Virus: Karakteristik serotypic/genotypic


 Deteksi Asam Nukleat Virus: Dengan RT-PCR (Reverse
Transcripterase Polymerase Chain Reaction)
 Deteksi Antigen Virus: Deteksi antigen NS1 Spesifisitas 100% dan
Sensitivitas 80,5%
 Pemeriksaan IgM dan IgG: Spesifisitas 92,9% dan Sensitifitas
87,5%
 Pemeriksaan serologis yang meliputi: Haemagglutination-
inhibition (HI).
 Complement Fixation (CF), Neutralization Test (NT), Ig M capture
enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA),
danpemeriksaan Ig G ELISA indirect

Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu


muncul pada 2 – 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 – 7 hari saat
sakit. Selama periode ini, asam nukleat virus dan antigen virus dapat terdeteksi.

Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi IgM


dapat terdeteksi pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2 minggu,
dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 – 3 bulan. Antibodi IgG terdeteksi
rendah pada akhir minggu pertama, meningkat kemudian, dan menetap hingga
bertahun – tahun. Pada infeksi sekunder virus dengue, titer antibodi meningkat
cepat. Antibodi IgG terdeteksi pada level tinggi, pada saat fase inisial, dan
menetap hingga beberapa bulan. Antibodi IgM biasanya lebih rendah pada infeksi
dengue sekunder. Oleh karena itu, perbandingan IgM/ IgG digunakan untuk
membedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut
infeksi primer jika perbandingan IgM/IgG lebih dari 1,2, dan disebut infeksi
sekunder jika perbandingan IgM/IgG kurang dari 1,2.
Gambar 1.4 Deteksi jumlah IgM dan Ig G pada Demam Berdarah Dengue

2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas :

a. Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya


b. Penyakit virus lainnya
Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus lainnya, seperti : Epstein
barr virus, Enterovirus, Influenza, Hepatitis A, Hantavirus

c. Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial
disease, Scarlet Fever

d. Penyakit parasit : Malaria


Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding
meliputi infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama
halnya dengan diagnosis banding dari demam dengue. Adanya
trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi membedakan demam
berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya. Hasil yang normal dari ESR
(Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat membedakan dengue dengan infeksi
bakteri dan syok septik.
Gambar 1.5 Manifestasi DBD dibandingkan dengan Demam Chikungunya

2.11 Komplikasi dan Penatalaksanaan Komplikasi 4

a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa
syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi
cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah
cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar
dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema
otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna
sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah
diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi
asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen
yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin
dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder,
makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi
ampisilin 100 mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan
tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti
muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

b. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal
ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian
volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila
diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan
sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat
diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,
dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya
syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP
(central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan
selanjutnya.

c. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga
sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan
menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi.
Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila
cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran
edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.

2.12 Penatalaksanaan

Pengobatan DBD menurut WHO (2011) bersifat suportif simptomatik


dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan
timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).1

Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah


Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan
hemostasis.1 Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan
Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang
tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah,
dan lain – lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol.
Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan
demam. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39
0
C dengan dosis 10 – 15 mg/KgBB/kali (WHO, 2011).1

Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok.8


 Anak dirawat di rumah sakit
 Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air tajin, air
sirup, susu, untuk mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma,
demam, muntah/diare.
 Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen
karena obat-obatan ini dapat merangsang terjadinya perdarahan.
 Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
o Berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer laktat/asetat
o Kebutuhan cairan parenteral
 Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
 Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
 Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
o Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa
laboratorium (hematokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap
6 jam
o Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik,
turunkan jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan stabil.
Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24–48 jam
sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah pemberian
cairan.
 Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana sesuai dengan tata
laksana syok terkompensasi (compensated shock).

Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok.8


 Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit
secarra nasal.
 Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat secepatnya.
 Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20
ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian
koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
 Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan transfusi
darah/komponen.
 Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai
membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10
ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam
sesuai kondisi klinis dan laboratorium.
 Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu
banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit.
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:1
Gambar 1.6. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

Gambar 1.7. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.
Gambar 1.8. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.
Gambar 1.9. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.
Kriteria memulangkan pasien antara lain : 3

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik


2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).

2.13 Prognosis5,6

Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan


menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan
sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk. Penyebab kematian Demam
Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. Secara keseluruhan tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi
kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki – laki.
Penyebab kematian tersebut antara lain:

1. Syok lama
2. Overhidrasi
3. Perdarahan masif
4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang
tidak syok

2.14 Pencegahan3,7

Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vektor virus


dengue. Pengendalian vektor bertujuan:

1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti


lagi sebagai penular penyakit.
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan
lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pemantauan aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu
pandangan untuk mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektor-
patogen. Pengendalian vektor dapat berupa

1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)


a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan,
dan monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu
bagi tiap keluarga,
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3
bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan
selang waktu 1 minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB
dalam jangka waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam
setelah menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan
tingkat II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan
terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi
sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan
tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidikan
epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan resiko
penularan.

Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko


penularan DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah – langkah upaya
penanggulangan berupa : foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi
adalah membunuh larva dengan butir – butir abate sand granule (SG) 1 % pada
tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter
100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk
melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of


Dengue and Dengue Haemorraghic Fever. India : WHO

2. Kementrian Kesehatan. 2014. Profil Kesehatan Indonesia. Indonesia :


Kementrian RI

3. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

4. IDAI. 2011. Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta: Ikatan Dokter Anak


Indonesia.

5. Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Surabaya :


Airlangga University Press

6. Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi 2.


Jakarta : EGC

7. Purnama, S. Gede. 2010. Pengendalian Vektor DBD. Denpasar : Program


Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana.

8. WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Indonesia :


WHO

Anda mungkin juga menyukai