PENDAHULUAN
Hukum perdata Indonesia adalah salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan
kewajiban yang dimiliki subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata
disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Dimana hukum
publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya
politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum
administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana). Hukum perdata mengatur
hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan
seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Terjadinya hubungan hukum antara pihak-
pihak menunjukkan adanya subyek sebagai pelaku dan benda yang dipermasalahkan oleh
para pihak sebagai obyek hukum. Pembagian hukum perdata menurut bidang ilmu membagi
hukum perdata ke dalam 4 bidang, diantaranya : Hukum dagang, hukum keluarga, hukum
mengenai masing-masing bidang tersebut. Salah satu yang penting adalah mengenai hukum
waris. Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang
telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang
lebih berhak. Bidang hukum waris tidak hanya dikaji melalui pendekatan hukum perdata,
namun juga melalui bidang hukum adat (hukum waris adat) dan hukum islam (hukum waris
islam).
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
Menurut Hukum Waris Perdata, harta warisan adalah keseluruhan harta benda beserta
hak dan kewajiban pewaris, baik piutang-piutang maupun utang-utang. Hukum waris perdata
tidak mengenal asal harta untuk menentukan harta warisan. Dimana, harta warisan ini
merupakan satu kesatuan yang dialihkan dari pewaris kepada ahli waris.1
Kata penghalang kewarisan, berasal dari dua kata yaitu kata penghalang dan
kewarisan. Kata penghalang memiliki arti yang sama dengan kata halangan, yaitu hal yang
menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana (maksud, keinginan) atau terhentinya
pekerjaan.2 Sementara kata kewarisan berasal dari kata waris yang artinya adalah perpindahan
hak pemilikan dari si mayit (orang yang telah meninggal dunia) kepada ahli warisnya yang
masih hidup baik pemilikan berupa harta, tanah maupun hak-hak lain yang sah. Selanjutnya,
kata waris ini diberi himbuhan ke-an sehingga menjadi kewarisan yang mempunyai arti hal
Selanjutnya, menurut Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy penghalang dalam kewarisan
adalah suatu sifat yang menyebabkan orang yang bersifat dengan sifat itu tidak dapat
1
Pasal 833 ayat 1 KUHPerdata
2
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pustaka, 1989), 293)
3
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pustaka, 1989), 1008
4
(T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, cet. 1, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1973), 51).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terdapat hal-hal yang
menghalangi ahli waris untuk mendapat warisan, sebagaimana yang tertera dalam pasal 838
KUHPerdata yaitu :5
“Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak
1. Dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang
2. Dia yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah
mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
3. Dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau
meninggal itu.”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Eman Suparman dalam bukunya yang berjudul
“Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW” menjelaskan bahwa
terdapat empat hal yang menyebabkan seorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena
kematian, yaitu :6
a. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan
b. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan
5
(KUHPerdata, (Bandung: Citra Umbara, 2008), 227)
6
(Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia” dalam Perspektif Islam, Adat dan BW (Bandung: Refika Aditama,
2005), 42)
c. Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah
d. Seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat
wasiat.
Kejahatan terhadap nyawa orang lain, dengan cara membunuh atau percobaan
pembunuhan telah diatur dalam pasal 338 sampai dengan pasal 340 KUHPidana, termasuk di
dalamnya adalah kejahatan terhadap pewaris yang dilakukan oleh ahli waris, dengan
ketentuan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap oleh Pengadilan. Demikian juga
halnya, kejahatan dengan pencemaran fitnah diancam dengan pasal 311 KUHPidana, serta
kejahatan pengancaman seperti yang termaktub dalam pasal 368 KUHPidana dan kejahatan
penggelapan diancam dengan pasal 372 KUHPidana. Semua kejahatan yang dilakukan
terhadap pewaris oleh ahli waris secara tegas diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Sementara dalam Hukum waris Islam disebutkan bahwa ada tiga penyebab seseorang
2. Seorang ahli waris telah meninggalkan agama Islam, begitu pula sebaliknya ia tidak
3. Seorang ahli wairs yang tidak beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari
Di dalam hukum waris adat yang dipengaruhi oleh agama Islam, disebutkan bahwa
seseorang dapat kehilangan hak mewaris atau dengan kata lain seseorang tidak berhak
menerima warisan apabila ahli waris membunuh pewaris. Di dalam Pasal 840 KUHPerdata
sendiri telah diatur bahwa apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tidak patut
menjadi waris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah
karena kesalahan orang tua tadi dikecualikan dari pewarisan. Pasal berikutnya lebih
memperjelas tentang penggantian tempat waris yaitu pasal 841 KUHPerdata yang berbunyi
"Pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti
dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti ".
Dalam KUHPerdata sendiri telah diatur bahwa beberapa macam penggantian tempat
1. Pasal 842 : " Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus
dengan tiada akhirnya. Dalam segala hal, baik dalam hal bilamana beberapa anak si
yang meninggal mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah
meninggal lebih dulu, maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersamasama, satu
2. Pasal 843 : " Tiada pergantian terhadap keluarga sedarah dalam garis menyimpang ke
atas. Keluarga yang terdekat dalam kedua garis, mengenyampingkan segala keluarga
3. Pasal 844 : " Dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan
sekalian anak dan keturunan saudara laki dan perempuan yang telah meninggal
terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka,
maupun warisan itu setelah meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu
harus dibagi antara sekalian keturunan mereka, yang mana satu sama lain bertalian
4. Pasal 845 : " Pergantian dalam garis menyimpang diperbolehkan juga bagi pewarisan
bagi para keponakan, ialah dalam hal bilamana disamping keponakan yang bertalian
keluarga sedarah terdekat dengan si meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan
saudara laki atau perempuan darinya saudara-saudara mana telah meninggal lebih
dahulu".
5. Pasal 846 : "Dalam segala hal, bilamana pergantian diperbolehkan, pembagian
berlangsung pancang demi pancang apabila pancang yang sama mempunyai pula
pancang demi pancang pula, sedangkan antara orangorang dalam cabang yang sama
6. Pasal 847 : "Tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup
7. Pasal 848 : "Seorang anak yang mengganti orang tuanya, memperoleh haknya itu
tidaklah dari orang tua tadi, bahkan bolehlah terjadi seorang pengganti orang lain,
8. Pasal 851 : "Setelah pembelahan pertama dalam garis bapak dan ibu dilakukan, maka
dalam cabang-cabang tidak usah dilakukan pembelahan lebih lanjut, dengan tak
dalam tiap-tiap garis adalah untuk seorang waris atau lebih yang terdekat derajatnya".