Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum perdata Indonesia adalah salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan

kewajiban yang dimiliki subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata

disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Dimana hukum

publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya

politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum

administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana). Hukum perdata mengatur

hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan

seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan

tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Terjadinya hubungan hukum antara pihak-

pihak menunjukkan adanya subyek sebagai pelaku dan benda yang dipermasalahkan oleh

para pihak sebagai obyek hukum. Pembagian hukum perdata menurut bidang ilmu membagi

hukum perdata ke dalam 4 bidang, diantaranya : Hukum dagang, hukum keluarga, hukum

benda dan hukum waris.

Dalam mempelajari ilmu hukum perdata dibutuhkan pemahaman yang komprehensif

mengenai masing-masing bidang tersebut. Salah satu yang penting adalah mengenai hukum

waris. Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang

telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang

lebih berhak. Bidang hukum waris tidak hanya dikaji melalui pendekatan hukum perdata,

namun juga melalui bidang hukum adat (hukum waris adat) dan hukum islam (hukum waris

islam).

1.2 Rumusan Masalah


1. Siapa saja yang termasuk ahli waris?

2. Kapan seseorang kehilangan hak atas warisan?

3. Apakah pewaris dapat menghibahkan harta warisan?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :

1. Untuk mengetahui siapa saja yang termasui ahli warisan.

2. Untuk mengetahui kapan seseorang kehilangan hak atas warisan.

3. Untuk mengetahui apakah pewaris dapat menghibahkan harta warisan.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ahli Waris

2.2 Hilangnya Hak atas Warisan

 Sebab Seseorang Kehilangan Hak Untuk Warisan (Penghalang Kewarisan)

Menurut Hukum Waris Perdata, harta warisan adalah keseluruhan harta benda beserta

hak dan kewajiban pewaris, baik piutang-piutang maupun utang-utang. Hukum waris perdata

tidak mengenal asal harta untuk menentukan harta warisan. Dimana, harta warisan ini

merupakan satu kesatuan yang dialihkan dari pewaris kepada ahli waris.1

Kata penghalang kewarisan, berasal dari dua kata yaitu kata penghalang dan

kewarisan. Kata penghalang memiliki arti yang sama dengan kata halangan, yaitu hal yang

menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana (maksud, keinginan) atau terhentinya

pekerjaan.2 Sementara kata kewarisan berasal dari kata waris yang artinya adalah perpindahan

hak pemilikan dari si mayit (orang yang telah meninggal dunia) kepada ahli warisnya yang

masih hidup baik pemilikan berupa harta, tanah maupun hak-hak lain yang sah. Selanjutnya,

kata waris ini diberi himbuhan ke-an sehingga menjadi kewarisan yang mempunyai arti hal

yang berhubungan dengan waris atau warisan.3

Selanjutnya, menurut Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy penghalang dalam kewarisan

adalah suatu sifat yang menyebabkan orang yang bersifat dengan sifat itu tidak dapat

menerima warisan/pusaka, padahal cukup sebab dan cukup pula syarat-syaratnya.4

1
Pasal 833 ayat 1 KUHPerdata
2
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pustaka, 1989), 293)
3
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pustaka, 1989), 1008
4
(T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, cet. 1, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1973), 51).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terdapat hal-hal yang

menghalangi ahli waris untuk mendapat warisan, sebagaimana yang tertera dalam pasal 838

KUHPerdata yaitu :5

“Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak

mungkin mendapat warisan ialah :

1. Dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang

yang meninggal itu;

2. Dia yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah

mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan

yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;

3. Dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau

perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya;

4. Dia yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat yang

meninggal itu.”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Eman Suparman dalam bukunya yang berjudul

“Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW” menjelaskan bahwa

terdapat empat hal yang menyebabkan seorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena

kematian, yaitu :6

a. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan

membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris;

b. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan

memfitnah dan mengadukan pewaris bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan

yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih;

5
(KUHPerdata, (Bandung: Citra Umbara, 2008), 227)
6
(Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia” dalam Perspektif Islam, Adat dan BW (Bandung: Refika Aditama,
2005), 42)
c. Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah

pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat;

d. Seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat

wasiat.

Kejahatan terhadap nyawa orang lain, dengan cara membunuh atau percobaan

pembunuhan telah diatur dalam pasal 338 sampai dengan pasal 340 KUHPidana, termasuk di

dalamnya adalah kejahatan terhadap pewaris yang dilakukan oleh ahli waris, dengan

ketentuan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap oleh Pengadilan. Demikian juga

halnya, kejahatan dengan pencemaran fitnah diancam dengan pasal 311 KUHPidana, serta

kejahatan pengancaman seperti yang termaktub dalam pasal 368 KUHPidana dan kejahatan

penggelapan diancam dengan pasal 372 KUHPidana. Semua kejahatan yang dilakukan

terhadap pewaris oleh ahli waris secara tegas diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana yang berlaku.

Sementara dalam Hukum waris Islam disebutkan bahwa ada tiga penyebab seseorang

kehilangan hak mewaris, yaitu sebagai berikut :

1. Seorang ahli waris telah membunuh pewaris

2. Seorang ahli waris telah meninggalkan agama Islam, begitu pula sebaliknya ia tidak

mewariskan kepada ahli waris yang beragama Islam

3. Seorang ahli wairs yang tidak beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari

pewaris yang beragama Islam

Di dalam hukum waris adat yang dipengaruhi oleh agama Islam, disebutkan bahwa

seseorang dapat kehilangan hak mewaris atau dengan kata lain seseorang tidak berhak

menerima warisan apabila ahli waris membunuh pewaris. Di dalam Pasal 840 KUHPerdata

sendiri telah diatur bahwa apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tidak patut

menjadi waris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah
karena kesalahan orang tua tadi dikecualikan dari pewarisan. Pasal berikutnya lebih

memperjelas tentang penggantian tempat waris yaitu pasal 841 KUHPerdata yang berbunyi

"Pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti

dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti ".

Dalam KUHPerdata sendiri telah diatur bahwa beberapa macam penggantian tempat

dalam hukum waris perdata yaitu :

1. Pasal 842 : " Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus

dengan tiada akhirnya. Dalam segala hal, baik dalam hal bilamana beberapa anak si

yang meninggal mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah

meninggal lebih dulu, maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersamasama, satu

sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya".

2. Pasal 843 : " Tiada pergantian terhadap keluarga sedarah dalam garis menyimpang ke

atas. Keluarga yang terdekat dalam kedua garis, mengenyampingkan segala keluarga

dalam perderajatan yang lebih jauh".

3. Pasal 844 : " Dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan

sekalian anak dan keturunan saudara laki dan perempuan yang telah meninggal

terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka,

maupun warisan itu setelah meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu

harus dibagi antara sekalian keturunan mereka, yang mana satu sama lain bertalian

keluarga dalam perderajatan yang tak sama ".

4. Pasal 845 : " Pergantian dalam garis menyimpang diperbolehkan juga bagi pewarisan

bagi para keponakan, ialah dalam hal bilamana disamping keponakan yang bertalian

keluarga sedarah terdekat dengan si meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan

saudara laki atau perempuan darinya saudara-saudara mana telah meninggal lebih

dahulu".
5. Pasal 846 : "Dalam segala hal, bilamana pergantian diperbolehkan, pembagian

berlangsung pancang demi pancang apabila pancang yang sama mempunyai pula

cabang-cabangnya, maka pembagian lebih lanjut, dalam tiap-tiap cabang berlangsung

pancang demi pancang pula, sedangkan antara orangorang dalam cabang yang sama

pembagian dilakukan kepala demi kepala".

6. Pasal 847 : "Tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup

selaku penggantinya ".

7. Pasal 848 : "Seorang anak yang mengganti orang tuanya, memperoleh haknya itu

tidaklah dari orang tua tadi, bahkan bolehlah terjadi seorang pengganti orang lain,

yang mana ia telah menolak menerima warisan ".

8. Pasal 851 : "Setelah pembelahan pertama dalam garis bapak dan ibu dilakukan, maka

dalam cabang-cabang tidak usah dilakukan pembelahan lebih lanjut, dengan tak

mengurangi hal-hal, bilamana harus berlangsung sesuatu pergantian. setengah bagian

dalam tiap-tiap garis adalah untuk seorang waris atau lebih yang terdekat derajatnya".

2.3 Hibah Harta Warisan

Anda mungkin juga menyukai