Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Keterkaitan antara pariwisata dan kebudayaan


Berbicara mengenai pariwisata dan kebudayaan, masing-masing memiliki arti dan
unsur-unsur yang sesungguhnya memiliki keterkaitan antara satu sama lainnya. Pariwisata
seringkali dikaitkan dengan obyek wisata dan wisatawan, sementara budaya/kebudayaan
sangat erat dikaitkan dengan manusia sebagai pelaku kebudayaan dan karya manusia itu
sendiri.
Ada bermacam-macam definisi mengenai apa itu pariwisata sesungguhnya. Menurut
James J. Spillane (1982), pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan
mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan,
menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, berziarah dan lain-lain. Senada dengan
yang diungkapkan oleh Spillane, Koen Meyers (2009) mendefinisikan bahwa pariwisata
adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh sementara waktu dari tempat tinggal semula
ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya
untuk memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau libur serta tujuan-
tujuan lainnya.
Menurut Prof.K. Krapt dan Prof. Hunziker dalam Oka A.Yoeti (1996:112), pariwisata
adalah keseluruhan dari gejala-gejala yang ditimbulkan dari perjalanan dan pendiaman
orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan orang asing itu tidak
tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara.
Jadi pada intinya, pariwisata adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk
mencari kebahagiaan di dunia melalui suatu perjalanan sementara waktu ke suatu tempat
yang diharapkan dapat memenuhi keinginannya dalam hal liburan.
Selanjutnya adalah kebudayaan atau sering pula disebut budaya. Banyak sekali
definisi-definisi yang lahir dari buah pikiran para ilmuwan yang memiliki pandangannya
masing-masing mengenai arti kebudayaan tersebut. Namun dari segala definisi tersebut, ada
satu kesepahaman bahwa kebudayaan diakui sebagai khas insani yang hanya melekat pada
manusia dan tidak dilakukan oleh hewan maupun olah alam transenden.[1]
J.W.M. Bekker (1984 :37) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah penciptaan,
penertiban, dan pengelolaan nilai-nilai insani. Jadi kebudayaan adalah benar-benar dimensi
manusia, yang menurut Bakker “Manusia sebagai Pencipta di Dunia”. Supartono (1999 : 33)
memberikan definisi kebudayaan adalah hasil pemikiran dan akal manusia. Berkaitan dengan
itu lahir pula definisi berbunyi, kebudayaan adalah hasil dari akal dan ikhtiar manusia.
Dasar dari definisi ini adalah argumentasi gramatikal, yaitu : kebudayaan berasal dari
kata “budhi” yakni bahasa sanskerta yang berarti akal, kemudian menjadi budhi (tunggal)
atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil pemikiran atau
akal manusia.[2] Mengkaji keterkaitan antara pariwisata dan kebudayaan akan sangat mudah
apabila melihat Bali sebagai obyek pengamatan. Bagaimana perkembangan pariwisata di Bali
yang cukup pesat akibat dari kebudayaan Bali yang menjadi warisan dari nenek moyang di
zaman dahulu yang senantiasa harus dilestarikan oleh generasi-generasi dibawahnya.
Mengenai perkembangan pariwisata di Bali, dapat kita ketahui pertumbuhan
pariwisata Bali dalam kurun waktu 11 tahun yakni pada tahun 2003 sampai dengan tahun
2013, dengan mengutip data yang disampaikan Prof. Wiendhu Nuryanti Vice Minerters saat
international seminar on The Future of Bali Tourism menunjukan tren yang meningkat dari
995.272 pada tahun 2003 mencapai 3.341.889 di tahun 2013, dengan Gross Regional
Domestic Product ( GRDP) yang meningkat pula untuk sector trade, hotel restourant.
( Curve : Rapid Growth of Tourism In Bali ).[2]
Dari data kunjungan wisatawan data ke Bali menunjukan peningkatan setelah terjadi
Bom Bali 1 tahun 2002, dan bom Bali 2 pada tahun 2005 yang membawa konsekuensi
buruk bagi kunjungan wisatawan ke Bali, bahkan menunjukan minus, walaupun sifatnya
sementara. Dalam 5 tahun terakhir, dari tahun 2008-2013, sampai awal tahun 2014
menunjukan bahwa kunjungan wisatawan ke Bali cukup baik mengalami peningkatan.
Selama kwartal I 2014, sektor pariwisata Bali tumbuh diatas rata rata nasional, dengan
tingkat pertumbuhan 6,86 persen lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional 5,21
persen. Hal ini disebabkan oleh makin menguatnya sektor pariwisata Bali, dengan kunjungan
bulan Januari-april mencapai 2.947.684 atau tumbuh 10,64 persen pada periode yang sama
tahun 2013 sebesar 2.664.176 wisatawan. Diprediksi target 9,3 hingga 9,5 juta bisa
tercapai dengan target pertumbuhan 6-8 persen dapat tercapai, dengan pasar utama
Singapura (463.924), Malaysia (413.504) dan RRC (324.344) Australia (316.122), demikian
dikatakan Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, Mari Pangestu. (Balipost 6 Juni 2014:21)
Merujuk pada data kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali, meskipun terdapat
penurunan namun Bali tetap menjadi daerah penyumbang kunjungan pariwisata terbesar di
Indonesia. Hal tersebut dapat digambarkan melalui diagram berikut.

Gambar 1
Data jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali
(sumber : databoks.co.id)
Gambar 2
Data perbandingan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali dan Indonesia
(sumber : lokadata.co.id)

Globalisasi dan perkembangan zaman membuat kebudayaan Bali menjadi semakin


mudah untuk dilihat oleh dunia luar yang membuat semakin banyak wisatawan yang
melancong ke Bali. Bukan hanya wisatawan mancanegara, namun juga wisatawan domestic.
Kemajuan pariwisata di Bali tentu tidak hanya dapat memberikan dampak positif, namun
juga dampak negative. Namun memang tentunya diusahakan agar lebih banyak memperolah
dampak positif daripada negatifnya.
Alasan dari ramainya wisatawan yang berkunjung ke Bali tentu karena Bali yang
memiliki keragaman dan keunikan budayanya. Hasil-hasil kebudayaan yang ada dan dapat
dilihat di Bali lahir dari perbuatan manusia yang berkaitan erat dengan rasa spiritualitasnya,
misalnya seni tari (sakral, non sakral), seni pahat, dan karya-karya berupa norma-norma
untuk melayani kebutuhan batin menghormati rasa spiritualitas, Kebudayaan inilah yang
dapat diistilahkan sebagai kebudayaan spiritualitas. Disebut spiritualitas karena pertama,
terdapat roh-roh yang mendorong inspirasi. Spiritualitas bukan agama, tetapi nuansa alam
transenden yang meliputi rasa manusia sehingga karya yang lahir padanya diwarnai oleh
getaran-getaran batin, dan tidak semata-mata fisik.
Maka pariwisata dan kebudayaan sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi satu sama
lain, khususnya di Bali.

2.2 Pariwisata Bali sebagai ancaman sekaligus pelestari kebudayaan


Tidak dapat dipungkiri perkembangan pariwisata menjadi tantangan besar bagi
masyarakat Bali untuk bagaimana seharusnya menanggapinya. Banyak pandangan-
pandangan yang berbeda terkait permasalahan ini. Tapi tidak dapat dihindari bahwa dengan
pengaruh globalisasi, pariwisata dapat mengancam kebudayaan itu sendiri. Hasil-hasil
kebudayaan di Bali yang menjadi daya Tarik wisata yang kemudian tergerus dan bergeser
dari nilai yang seharusnya akibat dari kepentingan-kepentingan para pelaku pariwisata,
diantaranya :
1. Seni Tari
Tari menurut Soedarsono (1933) adalah ungkapan ekspresif jiwa manusia dalam
gerak-gerak yang indah dan ritmis. Di Bali banyak sekali jenis tari-tarian yang seringkali
dipertunjukan kepada para wisatawan yang berkunjung. Tari ada yang sifatnya sacral dan ada
yang tidak sacral. Tari sacral di Bali seperti yang diketahui merupakan tarian yang memiliki
nilai magis dan kekuatan (power) serta suci sehingga hanya ditarikan di pura dan dipentaskan
oleh orang-orang tertentu dan memiliki aturan-aturan tertentu yang sarat akan makna dan
filosofi. Sedangkan tari non sacral adalah tari yang dapat dipertunjukan tidak hanya di pura,
namun dapat ditarikan di lokasi-lokasi lain sesuai dengan tujuan yang disesuaikan. Koreksi
terhadap kebudayaan spiritualitas potensial untuk menggerus identitas suatu bangsa, dan jika
hal itu harus dilakukan maka haruslah dilakukan dengan sangat berhati-hati.[4]
Dengan semakin banyak permintaan pertunjukan seni tari di Bali, maka ada
disorientasi yang terjadi. Dimana terdapat tari-tari sacral yang kehilangan kesakralannya
dikarenakan ditarikan tidak sesuai dengan aturannya. Tari-tari spiritual tersebut juga mulai
bergeser dari tujuan religious ke tujuan-tujuan komersil. Sehingga dapat dikatakan ada yang
salah dari penerapan kebudayaan di masyarakat Bali itu sendiri.
Maraknya pergeseran yang terjadi ini sangat nyata ditemui di tempat-tempat wisata
yang sebenarnya bukan menjadi lokasi yang tepat untuk dipentaskan. Seperti contohnya
adalah tari rejang yang seringkali dipentaskan di hotel-hotel. Padahal tari rejang merupakan
tari yang sacral dan penuh dengan filosofi nya.
Tari Rejang adalah tarian tradisional yang diprcaya masyarakat Bali dalam
menyambut kedatangan serta menghibur para dewa yang datang dari Khayangan dan turun ke
Bumi. Tarian rejang ini secara khusus ditampilkan pada waktu berlangsungnya suatu upacara
adat atau keagamaan masyarakat Hindu di Bali. Selain sebagai salah satu warisan budaya,
tarian ini juga dipercaya memiliki nilai-nilai penting di dalamnya khususnya makna spiritual,
sehingga juga dipercaya sebagai tarian yang suci dan dilakukan dengan penuh rasa
pengabdian. Menurut beberapa sumber sejarah yang ada, Tari Rejang diperkirakan sudah ada
sejak zaman pra-Hindu. Tarian ini dipercaya dilakukan sebagai persembahan suci untuk
menyambut kedatangan para dewa yang turun ke Bumi.
Selain tari rejang, adapula tari kecak yang mudah disaksikan di Bali, terlihat nilai
sakralnya sudah terpotong – potong karena harus disesuaikan dengan waktu wisatawan yang
ingin menyaksikannya. Selain itu ada Sendra tari Ramayana yang tidak lagi disajikan secara
utuh, peranan skenario tidak berfungsi lagi. Tari-tarian inilah yang sebenarnya merupakan
kebudayaan spiritualitas dan memiliki nilai-nilai spiritual yang sacral dan tidak cocok untuk
dipertunjukan sembarangan.
2. Pura/tempat suci agama Hindu
DEFINISI PURA
Komersialisasi Pura Tirta Empul di Desa Manukaya, Kabupaten Gianyar – Bali. Pura
Tirta Empul di Desa Manukaya pada awalnya bukan produk budaya yang sengaja diciptakan
untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangan masa kini Pura Tirta Empul
mengalami modifikasi yang mengarah komersialisasi karena ditata untuk memenuhi selera
pasar. Kepentingan kapitalisme menjadikan Pura Tirta Empul sebagai alat komoditas yang
bernilai jual. Dalam hal ini, pasar turut menentukan arah komodifikasi Pura Tirta Empul
dalam penampilannya, yakni objek, kualitas bahan, ornamen atau ragam hias, pewarnaan
akhir, dan penataan yang semua dikemas untuk dijadikan komoditas dengan tujuan utamanya
adalah memenuhi selera pasar.
Selain hal-hal tersebut, pergeseran kebudayaan juga terjadi pada pola tingkah laku
masyarakatnya.
Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pergeseran budaya, menurut Soerjono
Soekanto terbagi menjadi 2 (Dua), yaitu faktor intern dan faktor ekstern terletak dalam
masyarakat itu sendiri (intern) dan ada yang terletak di luar (ekstern).
Sebab-sebab yang bersumber dari masyarakat itu sendiri diantaranya :
1. Bertambah atau berkurangnya penduduk.
2. Adanya penemuan-penemuan baru.
3. Pertentangan masyarakat
4. Terjadinya pemberontakan atau revolusi.
Sedangkan Sumber-sumber yang berasal dari luar masyarakat, yaitu :
1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia.
2. Peperangan
3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
Lalu ancaman dari perkembangan pariwisata tentu dapat kita kaitkan dengan faktor
ekstern atau faktor yang berasal dari luar. Yakni pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Dari
antusiasme wisatawan ke Bali, masyarakat Bali menjadi terbawa arus dan melupakan seperti
apa sebenarnya kebudayaan-kebudayaan yang diwarisi tersebut harus senantiasa dilestarikan
dan dijaga kesuciannya, bukannya malah menjadikannya sebagai obyek jual beli atau
dikomersilkan.
Apabila merujuk pada teori konflik dari Dahrendorf dan Antony Gidden, mereka
menjelaskan mengenai penyelesaian masalah melalui pendekatan kajian budaya. Kata kunci
dari teori konflik adalah kepentingan. Kepentingan tampak berwujud dalam kerugian, baik
kerugian material maupun immaterial. Inti dari teori konflik adalah berbunyi “kepentingan
adalah unsur utama dari kehidupan sosial masyarakat”.
Kepentingan adalah unsur utama dari kehidupan sosial masyarakat dan kepentingan
itu tidak jarang bertentangan sehingga menimbulkan konflik.[3] Dalam hal kebudayaan
spiritualitas Bali tentu kepentingan yang satu adalah bagaimana tari sacral harus dijaga
kesakralannya, dan kepentingan lainnya adalah bagaimana tari sacral menjadi nilai komersil
yang sangatmenjual dan dapat menarik semakin banyak wisatawan ke Bali.
Teori konflik akhirnya akan mencari bentuk-bentuk kepentingan yang mungkin
terlibat dalam setiap konflik. Mengatasi konflik tersebut salah satu jalannya adalah mengatur
kepentingan tersebut dengan hukum (norma). Di Bali, untuk mengatasi ancaman kepentingan
komersil yang semakin hari semakin menggerus kebudayaan spiritualitas tersebut maka
dibuatlah kebijakan yang dinilai mampu mengatasi keresahan-keresahan yang timbul di
masyarakat berkaitan dengan pementasan tari sacral.
Menanggapi maraknya pementasan tari sacral di tempat-tempat yang tidak seharusnya
dan tidak sesuai dengan tujuan religi dan spiritualnya, maka gubernur Bali menerbitkan surat
keputusan bersama (SKB) mengenai larangan pementasan tari sacral dengan maksud
komersil. SKB ini diteken oleh Gubernur Bali I Wayan Koster, PHDI, Bendesa Agung MDA,
Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya), Kepala Dinas
Kebudayaan Provinsi Bali, dan Rektor ISI Denpasar.
Dalam surat keputusan bersama tersebut juga disebutkan tari-tarian apa saja yang dilarang
untuk ditampilkan tidak sesuai aturannya.
1. Kelompok Tari Baris Upacara, antara lain:
1) Baris Katekok Jago 20) Baris Derma
2) Baris Presi 21) Baris Lutung
3) Baris Gede 22) Baris Kelempe
4) Baris Omang 23) Baris Cendekan
5) Baris Bajra 24) Baris Panah
6) Baris Jojor 25) Baris Jangkang
7) Baris Tamiang 26) Baris Gayung
8) Baris Tumbak 27) Baris Taruna
9) Baris Panah 28) Baris Juntal
10) Baris Goak 29) Baris Cekuntil
11) Baris Poleng 30) Baris Bedil
12) Baris Dadap 31) Baris Kupu-kupu
13) Baris Pendet 32) Baris Cerekuak
14) Baris Cina 33) Baris Topeng
15) Baris Gede 34) Baris Demang
16) Baris Bajra 35) Baris Kelemat
17) Baris Jojor 36) Baris Memedi
18) Baris Nuri 37) Baris Ketujeng
19) Baris Irengan 38) Baris Tanglungleng
39) Baris Tengklong 46) Baris Wong
40) Baris Midergita 47) Baris Gebug
41) Baris Wayang 48) Baris Jago
42) Baris Kuning 49) Baris Pati
43) Baris Rejang 50) Baris Krebek
44) Baris Sangkur 51) Baris Kakuung
45) Baris Nawa Sanga 52) Baris Keris

2. Kelompok Tari Sanghyang, antara lain:


1) Sanghyang Dedari 14) Sanghyang Kekerek
2) Sanghyang Deling 15) Sanghyang Jaran Gading
3) Sanghyang Bojog 16) Sanghyang Jaran Putih
4) Sanghyang Jaran 17) Sanghyang Teter
5) Sanghyang Lelipi 18) Sanghyang Dongkang
6) Sanghyang Celeng 19) Sanghyang Penyu
7) Sanghyang Kuluk 20) Sanghyang Lilit Linting
8) Sanghyang Sriputut 21) Sanghyang Sembe
9) Sanghyang Memedi 22) Sanghyang Tutup
10) Sanghyang Capah 23) Sanghyang Penyalin
11) Sanghyang Sela Perahu 24) Sanghyang Sengkrong
12) Sanghyang Sampat 25) Sanghyang Kerek
13) Sanghyang Lesung 26) Sanghyang Topeng Legong

3. Kelompok Tari Rejang, antara lain:


1) Rejang Renteng 6) Rejang Deha Malon
2) Rejang Bengkol 7) Rejang Dewa
3) Rejang Oyodpadi 8) Rejang Abuang
4) Rejang Nyannying 9) Rejang Gabor
5) Rejang Gecekan 10) Rejang Sutri
11) Rejang Kuning 19) Rejang Luk Penyalin
12) Rejang Bungaya 20) Rejang Grenggong
13) Rejang Deha Tenganan 21) Rejang Glibag Ganjil
14) Rejang Onying 22) Rejang Sari
15) Rejang Kompol 23) Rejang Sutri
16) Rejang Deha Asak 24) Rejang Pusung
17) Rejang Lilit 25) Rejang Gelung
18) Rejang Alus 26) Rejang Serati

4. Kelompok Tari Barong Upacara, antara lain:


1) Barong Brutuk 7) Barong Singa
2) Barong Ket 8) Barong Gajah
3) Barong Bangkal 9) Barong Landung
4) Barong Macan 10) Barong Dawang-Dawang
5) Barong Kidang 11) Barong Kedingkling
6) Barong Asu

5. Tari Pendet Upacara


6. Tari Kincang-kincung
7. Tari Sraman
8. Tari Abuang/Mabuang
9. Tari Gayung
10. Tari Janger Maborbor
11. Tari Telek/ Sandaran
12. Tari Topeng Sidakarya
13. Tari Sutri
14. Tari Gandrung/ Gandrangan Upacara
15. Tari Gambuh Upacara
16. Tari Wayang Wong Upacara
17. Wayang Kulit Sapuh Leger
18. Wayang Kulit Sudamala/ Wayang Lemah
Melalui SKB tersebut diharapkan kesakralan kebudayaan spiritualitas tetap terjaga
dan tidak menjadi luntur lalu lama kelamaan hilang.
Selain menjadi ancaman, tentu pariwisata memiliki dampak positif yaitu dapat
melestarikan kebudayaan. Pariwisata dapat dikatakan sebagai pelestari kebudayaan, namun
lebih tepatnya adalah sebagai penguat atau memperkuat kebudayaan yang telah ada di
masyarakat. Perkembangan pariwisata berpengaruh positif dan signifikan terhadap budaya
lokal, dimana terlihat pada pariwisata dapat memacu motivasi kreativitas seni para pematung
untuk berkarya lebih inovatif dan lebih variatif sesuai dengan kebutuhan pariwisata dan
meningkatnya persaingan bisnis, Dapat mengetahui budaya dari berbagai negara terutama
melalui berbagai pesanan karya seni selain yang di hasilkan oleh masyarakat lokal.Meskipun
tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata namun banyak Sosiolog dan
Antropolog yang justru melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak
kebudayaan, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi
kebudayaan (cultural involution).
Orang – orang yang pro akan Pariwisata terhadap Kebudayaan menyatakan bahwa
internasionalisasi justru memperkuat karena terjadi proses involusi budaya sehingga tidak
menyebabkan transformasi secara structural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan
tradisional masyarakat. Penelitian lapangan menunjukkan bahwa organisasi sosial tradisional
bahkan bertambah kuat dan dinamis karena terjadi peningkatan ekonomi serta semakin
bertumbuh kembangnya kesadaran akan identitas diri. Dengan adanya internasionalisasi dan
tradisionalisasi membuat masyarakat bermetamorfosis dengan melakukan konversi namun
esensi budaya masyarakat masih tetap kuat.
Berikut dampak positif Pariwisata terhadap Kebudayaan yang mengakibatkan
Pariwisata dikatakan sebagai Pelestari Kebudayaan :
1. Penguatan dan Pertukaran Budaya : Interaksi dengan masyarakat lokal serta tradisi
dan budayanya merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi wisatawan, inilah salah satu
alasan mereka berwisata. Begitupun sebaliknya bagi masyarakat lokal, dapat membangun
rasa percaya diri serta bangga terhadap kebudayaan mereka karena tradisi dan budayanya
disukai oleh wisatawan. Peran dan interkasi masyarakat lokal terhadap wisata dan wisatawan
merupakan nilai tambah bagi Pariwisata. Namun, kesuksesan dari proses interaktif ini
tergantung kepada masyarakat lokal juga, bagaimana mereka mengolah proses serta situasi
yang ada.
2. Pariwisata merupakan perangsang dalam usaha pemeliharaan monument – monument
budaya yang dapat dinikmati oleh penduduk setempat dan wisatawan.
3. Pariwisata mendorong dalam usaha melestarikan dan menghidupkan kembali
beberapa pola budaya tradisional seperti kesenian, kerajinan tangan, tarian, musik, upacara –
upacara adat dan pakaian.
4. Pariwisata memberikan dorongan untuk memperbaiki lingkungan hidup yang bersih
dan menarik.
5. Pariwisata menyebabkan terjadinya tukar – menukar kebudayaan antara wisatawan
dan masyarakat lokal misalnya, wisatawan dapat banyak mengenal kebudayaan serta
lingkungan yang lain dan masyarakat atau penduduk lokal dapat mengetahui tempat – tempat
lain dari cerita wisatawan yang berkunjung atau berwisata.
6. Pariwisata menyebabkan terpeliharanya kebudayaan setempat dan menjadikan
kebudayaan tersebut dikenal oleh masyarakat luas.
Budaya sangat erat kaitannya dengan pariwisata. Dapat dilihat dari definisi Budaya
yang merupakan simbol masyarakat sekitar yang di dalamnya terdapat makna yang
mencakup segala hal yang merupakan hasil cipta, karya manusia. Sedangkan Pariwisata
merupakan rangkaian perjalanan yang di lakukan oleh seseoarang atau kelompok orang diluar
tempat tinggalnya yang bersifat sementara untuk berbagai tujuan (seperti berlibur, menikmati
keindahan alam dan budaya, bisnis, dll).
Adanya kebudayaan pada obyek wisata tersebut memberikan nilai lebih tinggi di mata
para wisatawan local maupun mancanegara. Dengan adanya budaya jugalah mereka
mengetahui seluk beluk serta kebiasaan daerah yang mereka kunjungi dan apabila ada budaya
yang menurut mereka unik akan memberi rasa puas tersendiri untuknya . sehingga mereka
akan didorong rasa ingin tahu untuk mengunjungi negara-negara yang memiliki budaya yang
khas contohnya seperti di Indonesia.
Bali sebagai bagian dari Indonesia, pulau yang kecil tapi amat terkenal di dunia,
berkat kebudayaanya melalui komunikasi pariwisata, tak dapat menjauhkan diri dari arus
globalisasi ini. Bali menjadi daerah Pariwisata yang dicari-cari. Bali memiliki budaya yang
sangat kaya, yang dimana dapat menarik minat wisatawan untuk mengunjungi pulau seribu
pura ini. Daya tarik Bali adalah dengan kebudayaannya yang unik dan merakyat. Kehidupan
kebudayaannya adalah menyatunya agama, kebudayaan, adat yang harmonis, cipta, rasa dan
karsa sebagai unsur budi daya manusia menonjol mengambil bentuk keagamaan, estetika dan
etika (seni budaya, solidaritas, gotong royong rasa kebersamaan). Pelaksanaan upacara-
upacara keagamaan mewariskan potensi ketrampilan dalam seni budaya dan disiplin rohani
tekun bekerja dan taat pada norma-norma kehidupan masyarakat. Bahkan, Bali sebagai
daerah tujuan pariwisata dunia yang telah menghasilkan sumbangan devisa terhadap negara
dalam jumlah besar. Dalam hal pariwisata, selain menawarkan keindahan alamnya, Bali juga
menawarkan keindahan kebudayaannya. Seperti pada beberapa tempat wisata
mempertontonkan tarian kecak, tarian barong, dan sebagainya. Bahkan kini, pura Tanah Lot
sebagai tempat ibadah umat Hindu dijadikan sebagai obyek wisata. Dimana hamper setiap
hari, Tanah Lot tidak pernah sepi pengunjung baik wisatawan lokal maupun mancanegara.
Parwisata dan budaya membentuk hubungan saling menguntungkan. Pariwisata tanpa
adanya budaya dari masyarakat hanya akan menjadi suatu kegiatan wisata biasa, sehingga
dalam perkembangannya bisa saja pariwisata di daerah tersebut tidak dapat berkembang
karena terlalu monoton. Begitu juga dengan budaya, budaya tidak akan bisa diketahui oleh
masyarakat luas tanpa adanya kegiatan pariwisata. Budaya di suatu daerah bisa menjadi suatu
ikon pariwisata yang akan menjadi daya tarik wisata. Jadi hubungan diantara pariwisata dan
budaya bisa menimbulkan berbagai keuntungan, yaitu meningkatkan pendapatan,
menciptakan lapangan kerja , budaya di daerah tersebut semakin terkenal di mata nasional
maupun internasional, dan secara tidak langsung budaya di daerah tersebut bisa semakin
lestari.

Anda mungkin juga menyukai