Anda di halaman 1dari 7

KONFLIK ASIA TENGGARA

“SIPADAN-LIGITAN”

Oleh :
XII IPS 2

Faida Laila Rahmawati (07)

SMA NEGERI 2 BANGUNTAPAN


BANTUL
2017/2018
A. Kronologi
1969 Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada perundingan
mengenai batas landas kontinen antara RI dan Malaysia di Kuala Lumpur (9-12
September 1969). Hasil Kesepakatan: kedua pihak agar menahan diri untuk tidak
melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau itu sampai
penyelesaian sengketa.
1970 Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya, dan beberapa
tahun kemudian melakukan pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas
wisata di kedua pulau itu.
1989 Pembahasan sengketa oleh Presiden RI Soeharto dan PM Malaysia Mahathir
Muhammad di Yogyakarta, tahun 1989. Hasil kesimpulan: sengketa mengenai
kedua pulau tersebut sulit untuk diselesaikan dalam kerangka perundingan
bilateral.
1997 Kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke
Mahkamah Internasional dengan menandatangani dokumen “Special Agreement
for the Submission to the International Court of Justice on the Dispute between
Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Ligitan and
Pulau Sipadan” di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997.
1998 Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus yang telah ditandatangani itu
kemudian secara resmi disampaikan kepada Mahkamah Internasional, melalui
suatu “joint letter” atau notifikasi bersama.
2000 Proses argumentasi tertulis (“written pleadings“) dari kedua belah pihak dianggap
rampung pada akhir Maret 2000 di Mahkamah Internasional. Argumentasi tertulis
itu terdiri atas penyampaian “memorial”, “counter memorial“, dan “reply” ke
Mahkamah Internasional.
2002 Proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah
Internasional memasuki tahap akhir, yaitu proses argumentasi lisan (“oral
hearing“), yang berlangsung dari tanggal 3-12 Juni 2002. Pada kesempatan itu,
Menlu Hassan Wirajuda selaku pemegang kuasa hukum RI, menyampaikan
argumentasi lisannya (“agent’s speech“), yang kemudian diikuti oleh presentasi
argumentasi yuridis yang disampaikan Tim Pengacara RI. Mahkamah
Internasional kemudian menyatakan bahwa keputusan akhir atas sengketa
tersebut akan ditetapkan pada Desember 2002.
Pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag menetapkan Pulau
Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Kerajaan Malaysia atas dasar
“efektivitas” karena Malaysia telah melakukan upaya administrasi dan pengelolaan
konservasi alam di kedua pulau tersebut.

B. Keputusan Mahkamah Internasional

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada
hadi Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia.

Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim,


sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15
merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan
satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan
batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan
tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi
mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia
tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan
laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

C. Landasan Keputusan Mahkamah Internasional Sehingga Memenangkan Malaysia

Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa


memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu
pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara
nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.Hal ini
membuktikan adanya kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara, yang memenuhi
fungsi effectivities.
D. Kekalahan dan Letak Kesalahan Indonesia Mengenai Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara Ambalat) adalah karena
Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah
memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris
(penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional
dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau
batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan,
Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-
wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan
Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di
kedua pulau itu; tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan
penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur
penyu, operasi mercu suar, dan aturan perlindngan satwa.

Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah berusaha untuk


mendapatkan hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari
Diplomasi dan perundingan setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak
dapat mencari titik temu dan kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan
Piagam ASEAN,di mana negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu
permasalahan harus di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian ASEAN 24 februari
1976 di BALI). Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN wajib
membawa kasus mereka ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan
tidak dapat di ganggu gugat.

Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda


adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan
yang nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan
pembangunan dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak
pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini
hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu
Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan
penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor Occupation (pendudukan). Intinya masyarakat
yang tinggal di pulau tersebut banyak bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi
dari Malaysia bertahun-tahun. Sarana hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi
juga berasal dari Malaysia selama bertahu-tahun).

Dari pernyataan diatas yang menjadi penyebab utama kekalahan Indonesia adalah
Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda
juga memiliki kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara yang malahan lebih kuat
dari Inggris pada masanya. Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah
mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak
pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah
yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian,
Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada
konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak
di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau
sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.

Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi
strategis/ekonomis Belanda adalah sulit dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan
kegiatan pengawasan dan pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu itu. Disamping
itu, nampaknya Indonesia memang agak mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sebelum 1969
barangkali karena Indonesia tidak menyadari keberadaan posisi kedua pulau itu, atau
mungkin juga karena terlalu banyak persoalan yang dihadapi. Tetapi sesudah tahun 1969
pada saat mulai muncul sengketa klaim, meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan
Ligitan, justru Malaysia tetap melanjutkan kegiatannya berupa penangkapan ikan,
pariwisata, dan kehadiran penduduk yang terus meningkat.
KONFLIK ASIA TENGGARA
“LAUT CHINA SELATAN”

Oleh :
XII IPS 2

Galang Ramadhan (08)

SMA NEGERI 2 BANGUNTAPAN


BANTUL
2017/2018
A. Latar belakang
Sengketa laut China Selatan telah dimulai sejak tahun 1947, pada tahun tersebut Negara
China membuat garis putus-putus untuk mengklaim semua kepulauan yang ada di Laut
China Selatan. Permasalahan ini dilatarbelakangi oleh dua factor penting.
1. Letak yang strategis yakni laut China Selatan merupakan jalur Pelayaran perdagangan
dan jalur komunikasi Internasional yang menghubungkan samudra Hindia dan
samudra Fasifik, beruntung dari segi Geografi karena dikelilingi oleh sepuluh Negara
pantai sumber daya alam yakni kekayaan alam yang terkandung di wilayah2.
2. Kepulauan Spartly memiliki kandungan minyak dan gas alam yang besar. Sumber
daya alam ini merupakan salah satu produk yang sangat penting bagi pembangunan
ekonomi Negara.

B. Upaya Penyelesaian
ASEAN dan China dalam upaya menyelesaikan konflik LCS dengan menciptakan
Declaration on The Conduct of The Parties in the South China Sea pada tahun 2002,
dalam menyelesaikan konflik secara damai DOC akan mengimplementasikan melalui
suatu code of conduct in the South China Sea. Dalam kaitan ini, ASEAN-China Working
Group on the Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea menyepakati 6 proyek kerjasama dalam rangka confidence building measure.

Anda mungkin juga menyukai