04011281520112
Beta 2015
LEARNING ISSUE:
IKTERUS OBSTRUKTIF
I. Pendahuluan
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk pir yang terletak tepat di bawah lobus
kanan hati. Empedu merupakan sekresi eksokrin dari hati dan diproduksi secara terus-
menerus oleh hepatosit. Cairan empedu berisi kolesterol, bilirubin dan garam empedu. Cairan
empedu ini membantu dalam penyerapan lemak. Sebagian dari cairan empedu dialirkan
secara langsung dari hati ke dalam duodenum melalui kanalikuli (saluran-saluran kecil) yang
kemudian kanalikuli ini bersatu dan akhirnya membentuk suatu sistem saluran empedu
(Common Bile Duct) yang lebih besar, dan 50% sisanya disimpan di dalam kandung empedu.
Cairan empedu ini dialirkan dari kandung empedu melalui duktus sistikus yang bergabung
dengan duktus hepatikus dari hati yang membentuk sistem saluran empedu (Common Bile
Duct). Common Bile Duct berakhir pada sfingter di usus halus dan disini menerima enzim
dari pankreas melalui duktus pankreatikus.1,2
Angka kejadian obstruksi bilier atau disebut juga kolestasis diperkirakan 5 kasus per 1000
orang per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier bergantung pada
penyebab terjadinya obstruksi. Penyebab obstruksi bilier secara klinis terbagi dua yaitu
intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan pembentukan empedu dan ekstrahepatik
(obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran empedu, dan yang terbanyak akibat batu empedu
(kolelitiasis). Berdasarkan jenis kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada
pria.1
Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada
beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu
intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer
lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat.3
II Obstruksi Bilier
1 Definisi
2. Epidemiologi
Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000 orang per
tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier bergantung pada penyebab
terjadinya obstruksi. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah kolelitiasis (batu empedu). Di
Amerika Serikat, 20% orang tua berusia ≥65 tahun menderita kolelitiasis (batu empedu) dan
1 juta kasus baru batu empedu didiagnosa setiap tahunnya. Resiko terjadinya kolelitiasis
terkenal dengan kriteria 4F yaitu female, fourty, fat, dan fertile. Resiko terjadinya batu
empedu meningkat pada usia >40 tahun. Insiden teringgi terjadi pada usia 50-60 tahun.
Berdasarkan jenis kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria. Hampir
25% wanita AS menderita batu empedu dengan 50% diantaranya berusia 75 tahun, dan 20%
pria dengan usia yang sama menderita batu empedu. Rasio penderita wanita terhadap pria
yakni 3:1 pada kelompok usia dewasa masa reproduktif dan berkurang menjadi >2:1 pada
usia di atas 70 tahun. Faktor predisposisi terjadinya batu empedu antara lain obesitas terutama
pada wanita, kehamilan, penurunan berat badan yang cepat, kontrasepsi oral, dan diabetes
mellitus.1,4,5,6
Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu yang dibuktikan oleh
prevalensi batu empedu yang tersebar luas di antara berbagai berbagai bangsa dan kelompok
etnik tertentu. Prevalensi paling menyolok pada suku Indian Pima di Amerika Utara (>75%),
Chili dan kaukasia di Amerika Serikat. Prevalensi terendah pada orang Asia.4
Jenis batu empedu yang banyak ditemukan adalah batu kolesterol (75%), berhubungan
dengan obesitas terutama pada wanita. Pada penderita diabetes mellitus paling banyak
ditemukan mixed stones (80%), sedangkan batu kolesterol murni hanya 10%. 25% dari batu
empedu merupakan batu pigmen (bilirubin, kalsium, and berbagai material organik lainnya)
berhubungan dengan hemolisis dan sirosis. Sedangkan batu pigmen hitam ditemukan pada
kolelitiasis yang tidak sembuh dengan medikamentosa.6
Batu kolesterol banyak ditemukan di negara barat (80-90%), sedangkan batu pigmen
sekitar 10%. Batu pigmen lebih banyak ditemukan di negara Asia dan Afrika. Walaupun
demikian akhir-akhir ini batu kolesterol meningkat di Asia dan Afrika, terutama di Jepang
ketika westernisasi pola diet dan gaya hidup.1
Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada
beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu
intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer
lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat.3
Obstruksi bilier (kolestasis) secara etiologi dibedakan menjadi 2 bagian yaitu intrahepatik
dan ekstrahepatik, yaitu :1,7
Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun. Dua penyakit autoimun yang
berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis
bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati
bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok
adalah rasa lelah dan gatal yang sering merupakan penemuan awal, sedangkan kuning
merupakan gejala yang timbul kemudian. Kolangitis sklerosis primer (Primary
Sclerosing Cholangitis/PSC) merupakan penyakit kolestatik lain, lebih sering pada laki-
laki, dan sekitar 70% menderita penyakit peradangan usus. PSC dapat mengarah pada
kolangio karsinoma. Obat seperti anabolik steroid dan klorpromazid sekarang diketahui
merupakan penyebab langsung dari kolestasis dengan mekanisme yang tidak diketahui.
Golongan diuretik tiazid dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu empedu.
Amoksisillin dengan asam klavulanat (Augmentin) sering menyebabkan kolestasis akut
yang menyerupai keadaan obstruksi bilier. Drug induced jaundice memberikan gejala
pruritus, namun hanya terdapat pada sebagian pasien, dan gejala ini segera hilang apabila
penggunaan obat tersebut dihentikan.
Efek patofisiologi mencerminkan efek balik empedu (bilirubin, garam empedu, dan
kolesterol) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk untuk eksresi.
Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin
konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang
dapat mencapai usus halus. Penigkatan garam empedu dalam sirkulasi diperkirakan
sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum
jelas sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K. Gangguan eksresi
garam empedu dapat mengakibatkan steatorrhea dan hipoprotombinemia. Pada keadaan
kolestasis yang berlangsung lama, dapat menyebabkan gangguan penyerapan Ca dan
vitamin D dan vitamin lain yang larut dalam lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan
osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan
hiperlipidemia.
Efek primer kolestasis terutama menyerang fungsi hati dan usus, sedangkan efek
sekundernya mempengaruhi tiap sistem organ. Efek primer meliputi retensi empedu,
regurgitasi empedu ke dalam serum, dan penurunan sekresi bilier ke dalam usus. Efek
sekundernya menyebabkan pemburukan penyakit hati serta penyakit sistemik. Kolestasis
menyebabkan beberapa kondisi berikut, yaitu :4
Peningkatan kadar serum bilirubin terkonjugasi merupakan tanda primer kolestasis. Hal ini
menyebabkan jaundice yang dapat dideteksi dengan ikterus sklera dan urine berwarna gelap.
Laju konjugasi bilirubin mengalami penurunan akibat jejas hepatosit. Laju produksi
bilirubin dapat pula mengalami peningkatan akibat hemolisis yang dapat menyertai
kolestasis.
4. Pruritus
5. Hiperlipidemia
Pada kolestasis, kolesterol serum mengalami peningkatan karena terjadi gangguan
degradasi dan ekskresi metabolik. Dengan penurunan pembentukan empedu, kolesterol
mengalami retensi sehingga kandungan kolesterol pada membran meningkat, menyebabkan
penurunan fluiditas dan fungsi membran.
6. Xanthoma
7. Gangguan perkembangan
Gangguan perkembangan adalah efek klinis terpenting dari kolestasis. Terjadi malabsorpsi,
anoreksia, penggunaan nutrien yang rendah (penurunan kadar serum protein), gangguan
hormon dan jejas jaringan sekunder.
4. Gejala Klinis
Tidak jarang gejala kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik sukar untuk dibedakan.
Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus (jaundice), perubahan warna urin menjadi lebih
kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat, tinja pucat akibat
terhambatnya aliran bilirubin ke usus halus dan berbau busuk serta mengandung banyak
lemak (steatorrhea) karena aliran empedu terhambat ke usus halus sehingga absorpsi lemak
terganggu, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh akibat retensi empedu di kulit. Kolestasis
kronik dapat menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, sakit
tulang karena absorpsi kalsium dan vitamin D berkurang sehingga lama kelamaan jaringan
tulang berkurang, perdarahan intestinal karena absorpsi vitamin K terganggu dan endapan
lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran keluhan seperti yang disebutkan tidak
tergantung penyebabnya. Selain itu dapat disertai keluhan sakit perut, dan gejala sistemik
(seperti anoreksia, muntah, demam), atau tambahan gejala lain yang tergantung pada
penyebab terjadinya obstruksi bilier.7,9
Pasien dengan obstruksi bilier karena batu empedu dapat dibagi menjadi tiga keompok
yaitu pasien dengan batu asimtomatik, simtomatik, dan dengan komplikasi batu empedu
(kolesistitis akut, kolangitis, dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu
empedu tanpa gejala. Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier yaitu nyeri
diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di
perut kanan atas atau epigastrium yang dapat menjalar ke punggung bagian kanan atau bahu
kanan. Nyeri ini bersifat episodik dan dapat dicetuskan oleh makan makanan berlemak atau
dapat juga tanpa suatu pencetus dan sering timbul malam hari. Terkadang nyeri dapat
dirasakan di daerah substernal atau prekordial atau di kuadran kiri atas abdomen. Batu
kandung pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak
anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Batu saluran empedu tidak
menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik.3,4,10
5. Pemeriksaan Penunjang
Nilai bilirubin juga mencerminkan beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya. Pada
obstruksi ekstrahepatik kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Peningkatan bilirubin
direk disebabkan karena adanya obstruksi saluran empedu sehingga menghambat ekskresinya
ke duodenum, sedangkan bilirubin indirek meningkat di dalam darah karena mekanisme liver
uptake terganggu disebabkan oleh kadar bilirubin direk meningkat di dalam hati. Pada
obtruksi intrahepatik, bilirubin direk dan indirek kemungkinan juga meningkat. Bilirubin
indirek meningkat karena ketidakmampuan sel hati yang rusak untuk mengubah bilirubin
indirek menjadi direk, sedangkan peningkatan bilirubin direk terjadi karena gangguan
ekskresi akibat proses peradangan.1,7
Dewasa ini USG merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis batu
kandung empedu dengan sensivisitas tinggi melebihi 95% sedangkan untuk mendeteksi batu
saluran empedu sensivisitasnya relatif rendah berkisar antara 18-74%, namun nilai diagnosis
USG rendah pada pasien dengan obesitas. Endoscopic Ultrasonography (EUS) mempunyai
sensitivitas yang tinggi (97%) dalam mendeteksi batu saluran empedu dibandingkan dengan
USG transabdominal. EUS merupakan suatu metode pemeriksaan dengan memakai
instrumen gastroskop dengan echoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar.
Dibandingkan dengan USG transabdominal, EUS memberikan gambaran pencitraan yang
jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya diletakkan di dekat organ yang diperiksa. Teknik
pencitraan ini belum banyak diikuti oleh praktisi kedokteran di Indonesia sebab hal ini
berhubungan dengan masalah latihan, pengalaman, dan ketersediaan instrumen EUS.3,7
Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik. Walaupun demikian
dapat timbul juga kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh orang yang kurang
berpengalaman. Umumnya biopsi aman pada kasus kolestasis, namun berbahaya pada
keadaan obtruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya harus disingkirkan dahulu
dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsi dilakukan.7
6. Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena kesalahan
diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian gangguan
laboratorium yang berlebihan. Diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui penilaian klinis,
dengan bantuan alat penunjang khusus jika memungkinkan. Jika diagnosis tidak pasti, USG
dan CT Scan akan sangat membantu. Obstruksi mekanis dapat ditegakkan jika ditemukan
tanda pelebaran saluran bilier, terutama pada pasien dengan kolestasis yang progresif.
Pemeriksaan lebih lanjut dengan kolangiografi langsung (ERCP, PTC, dan MRCP) dapat
dipertimbangkan. Jika pada pemeriksaan USG tidak ditemukan pelebaran saluran empedu,
maka sangat mungkin ke masalah intrahepatik, dan biopsi sangat dianjurkan.7
Apabila alat penunjang tersebut di atas tidak terdapat, maka laparoskopi diagnosis harus
dipertimbangkan, jika pertimbangan klinis lebih menjurus ke sumbatan ekstrahepatik dan
kolestasis yang memburuk progresif. Pemeriksaan peritoneoskopi (laparoskopi)
memungkinkan untuk memeriksa langsung hati dan kandung empedu. Laparatomi diagnostik
jarang diperlukan pada pasien dengan kolestasis atau hepatosplenomegali yang belum bisa
diterangkan penyebabnya.7
7. Pengobatan
Pengobatan obstrusksi bilier atau ikterus sangat bergantung pada penyebabnya. Beberapa
gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis
intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan
ireversibel seperti sirosis bilier primer biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 mg/hari
per oral dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat garam empedu di usus atau dapat juga
diberikan antihistamin. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat. Hipoprotrombinemia
biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K) 5-10 mg/hari sub kutan untuk 2-
3 hari.1,7,9
Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang ireversibel.
Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan
steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet.
Sumbatan bilier ekstrahepatik (kolelitiasis) biasanya membutuhkan tindakan bedah yaitu
kolesistektomi laparoskopik. ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik
untuk mengeluarkan batu empedu tanpa operasi pertama kali dilakukan tahun 1974.Untuk
mengeluarkan batu empedu yang sulit diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan
sesudah sfingterotomi seperti seperti pemecehan batu dengan litotripsi mekanik, litotripsi
laser, dan ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy). Selain itu, perlu modifikasi diet
berupa diet rendah lemak dan gula serta tinggi serat.1,7,9
Kanker pankreas merupakan tumor yang relatif sering terjadi. Lokasi timbulnya tersering
pada daerah kaput pankreas, yaitu 60 % kemudian disusul kanker kaudal 30 % dan kanker
seluruh pankreas yaitu 10% . Ada banyak faktor resiko yang dapat menyebabkan kanker
pankreas, diantaranya merokok, obesitas, kronik pancreatitis, dan mutasi gen.(1,2)
Kanker pankreas ini merupakan penyebab kematian keempat akibat kanker (selain
kanker paru, colon dan payudara), baik pada pria maupun wanita di Amerika Serikat.
Menifestasi klinik dari karsinoma kaput pankreas yang paling sering di jumpai adalah sakit
perut, berat badan turun dan ikterus. Diagnosis sulit ditegakkan, sehingga tumor biasanya
tidak ditemukan kecuali bila telah menyebar terlalu luas sehingga tidak dapat dilakukan
reseksi lokal. (3,4,5,13)
Saat ini pencitraan yang digunakan untuk mendiagnosa kanker pankreas diantaranya
Ultrasonografi (USG), Computed Tomography (CT) Scan Abdomen, Magnetic Resonance
Imaging (MRI), endoscopic Retrograde Cholangio-pancreaticography (ERCP), dan
ultrasonografi endoskopik. (4)
II. ETIOLOGI
Etiologi kanker pankreas masih belum jelas. Penelitian epidemiologik menunjukkan
adanya hubungan kanker pankreas dengan beberapa faktor eksogen (lingkungan) dan faktor
endogen pasien. Faktor eksogen antara lain kebiasaan merokok, diet tinggi lemak, alkohol,
kopi, dan zat karsinogen industri, sedangkan faktor endogen yaitu usia, penyakit pankreas
( pankreatitis kronik dan diabetes mellitus) dan mutasi gen. (4)
III. ANATOMI
Kelenjar pankreas terletak di antara duodenum dan limpa, melintang di retroperitoneum,
setara dengan level vertebra torakal ke-12 hingga lumbal ke-1. Pankreas dapat dibagi menjadi
4 bagian, kaput, kolum, korpus, dan kaudal. Kaput terletak dimedial duodenum, berdekatan
erat dengan pars desendens duodenum. Bagian kaput pankreas yang ke arah medio-posterior
disebut prosesus unsinatus, di antara prosesus unsinatus dan kaput pankreas melintas aeteri
dan vena mesenterium superior. Di antara kaput dan korpus pankreas terdapat bagian
menyempit yaitu kolum, di posteriornya terdapat vena porta. Dari kolum hingga hilum lienis
adalah korpus dan kaudal pankreas, antara keduanya tidak memiliki batas yang jelas. (1)
Pasokan darah pankreas terutama berasal dari arteri pankreatikoduodenalis superior dan
inferior, serta arteri lienalis, sebagian dari arteri mesenterika superior. Percabangan tiap arteri
di dalam pankreas membentuk arkus vaskular, maka pasca reseksi parsial pankreas tidak
mudah muncul defisit pasokan darah ke pankreas yang tersisa, vena semuanya masuk ke vena
lienalis dan vena mesenterika superior, kemudian bermuara ke vena porta. (1)
Pankreas kaya akan saluran limfatik yang saling berhubungan. Limfatik kaput pankreas
terutama mengalir ke kelenjar limfe pankreatikoduodenale anterior dan posterior serta
kelenjar limfe dekat arteri mesenterika superior, limfe bagian korpus mengalir ke kelenjar
limfe margo superior, margo inferior pankreas dan para arteri lienalis, para arteri hepatikus
komunis, para arteri seliaka dan para aorta abdominalis, limfe bagian kaudal pankreas
terutama mengalir ke kelenjar limfe hilum lienis.(1)
Gambar 1
Dikutip dari kepustakaan 6
Pada sistem saluran pankreas, Duktus pancreatikus (duktus wirsungi) bergabung
dengan duktus biliaris sebelum meninggalkan pankreas dan masuk ke duodenum pada papilla
mayor, sedangkan duktus santorini mengalir secara terpisah kedalam duodenum pada papilla
minor.
Gambar 2
Dikutip dari kepustakaan 6
IV. PATOFISIOLOGI
Kanker pankreas hampir 90 % berasal dari duktus, dimana 75 % bentuk klasik
adenokarsinoma sel duktal yang memproduksi musin. Sebagian besar kasus (±70%) lokasi
kanker pada kaput pankreas, 15- 20% pada badan dan 10% pada ekor. Pada karsinoma daerah
kaput pankreas dapat menyebabkan obstruksi pada saluran empedu dan ductus pankreatikus
daerah distal, hal ini dapat menyebabkan manifestasi klinik berupa ikterus. (3,4)
Umumnya tumor meluas ke retroperitonel ke belakang pankreas, melapisi dan melekat
pada pembuluh darah. Secara mikroskopik terdapat infiltrasi di jaringan lemak peripankreas,
saluran limfe , dan perineural. Pada stadium lanjut, kanker kaput pankreas sering
bermetastasis ke duodenum, lambung, peritonium, hati dan kandung empedu.(3)
Karsinoma pankreas diyakini berasal dari sel-sel duktal dimana serangkaian mutasi
genetik telah terjadi di protooncogene dan gen supresor tumor. Mutasi pada onkogen K-ras
diyakini menjadi peristiwa awal dalam perkembangan tumor dan terdapat lebih dari 90 %
tumor. Hilangnya fungsi dari beberapa gen supressor tumor (p16, p53, DCC, APC, dan
DPC4) ditemukan pada 40-60% dari tumor. Deteksi mutasi K-ras dari cairan pankreas yang
diperoleh pada endoskopik retrograde cholangiopancreatography telah digunakan dalam
penelitian klinis untuk mendiagnosa kanker pankreas. (7)
Pada sebagian besar kasus, tumor sudah besar (5-6 cm) dan atau telah terjadi infiltrasi dan
melekat pada jaringan sekitar, sehingga tidak dapat di reseksi, sedangkan tumor yang dapat
direseksi berukuran 2,5-3,5 cm. (4)
V. DIAGNOSIS
A. Manifestasi Klinis
Pankreas tidak memiliki mesenterium dan berdekatan dengan saluran empedu, usus dua
belas jari, perut, dan usus besar, karenanya manifestasi klinis yang paling umum dari kanker
pankreas adalah yang berkaitan dengan invasi atau kompresi dari struktur yang berdekatan.(7)
1. Rasa penuh, kembung di ulu hati, anoreksia, mual, muntah, diare (steatore), dan
badan lesu. Keluhan tersebut tidak khas karena dijumpai pada pancreatitis dan tumor
intraabdominal. Keluhan awal biasanya berlangsung >2 bulan sebelum diagnosis
kanker. Keluhan utama yang sering adalah sakit perut, berat badan turun (>75 %
kasus) dan ikterus (terutama pada kanker kaput pankreas).
2. Lokasi sakit perut biasanya di ulu hati, awalnya difus, selanjutnya terlokalisir. Sakit
perut biasanya disebabkan invasi tumor pada pleksus coeliac dan pleksus
mesenterikus superior. Dapat menjalar ke punggung, disebabkan invasi tumor ke
daerah retroperitoneal dan terjadi infiltrasi pada pleksus saraf splanknikus.
3. Penurunan berat badan awalnya melambat, kemudian menjadi progresif, disebabkan
berbagai faktor: asupan makanan kurang, malabsorbsi lemak dan protein, dan
peningkatan kadar sitokin pkolro-inflamasi (tumor necrosis factor-a dan interleukin-
6).
4. Ikterus obstruktivus, dijumpai pada 80-90 % kanker kaput pankreas berupa tinja
berwarna pucat (feses akolik).
Selain itu tanda klinis lain yang dapat kita temukan antara lain, pembesaran kandung
empedu (Courvoisier’s sign), hepatomegali, splenomegali (karena kompresi atau trombosis
pada v. porta atau v. lienalis, atau akibat metastasis hati yang difus), asites (karena infiltrasi
kanker ke peritoneum), nodul periumbilikus (Sister Mary Joseph’s nodule), trombosis vena
dan migratory thrombophlebitis (Trousseau’s syndrome), perdarahan gastrointestinal, dan
edema tungkai (karena obstruksi VCI) serta limfadenopati supraklavikula sinistra (Virchow’s
node).(4)
B. Laboratorium
Kelainan laboratorium kanker pankreas antara lain, Anemia oleh karena penyakit
kankernya dan nutrisi yang kurang, peningkatan laju endap darah (LED), peningkatan dari
serum alkali fosfat, bilirubin, dan transaminase. Karena sebagian besar kanker pankreas
terjadi di kaput, maka obstruksi dari saluran empedu sering ditemui. Obstruksi dari saluran
empedu distal menyebabkan tingginya serum alkali fosfat empat sampai lima kali di atas
batas yang normal, begitu pun dengan billirubin.(7)
Penanda tumor CA 19-9 (antigen karbohidrat 19,9) sering meningkat pada kanker
pankreas. CA 19-9 dianggap paling baik untuk diagnosis kanker pankreas, karena memiliki
sensitivitas dan spesifivitas tinggi (80% dan 60-70%), akan tetapi konsentrasi yang tinggi
biasanya terdapat pada pasien dengan besar tumor > 3 cm, dan merupakan batas reseksi
tumor. (4)
C. Gambaran Radiologi
1. Gastroduodenografi
Gambar 3 : Barium meal. “Double contour” (panah) pada lengkung duodenum
Dikutip dari kepustakaan 8
2. Ultrasonografi
3. CT-Scan
Pada masa kini pemeriksaan yang paling baik dan terpilih untuk diagnostik dan
menentukan diagnosis dan menentukan stadium kanker pankreas adalah dengan dual
phase multidetector CT , dengan contras dan teknik irisan tipis (3-5mm). Kriteria tumor
yang tidak mungkin direseksi secara CT antara lain: metastase hati dan peritoneum,
invasi pada organ sekitar ( lambung, kolon), melekat atau oklusi pembuluh darah peri-
pankreatik. Dengan kriteria tersebut mempunyai akurasi hampir 100% untuk predileksi
tumortidak dapat direseksi. Akan tetapi positif predictive value rendah, yakni 25-50 %
tumor yang akan diprediksi dapat direseksi, ternyata tidak dapat direseksi pada bedah
laparotomi.(4)
Gambar 7 : CT scan. Massa pada kaput pankreas
Dikutip dari kepustakaan 14
Gambar 8: CT-scan gambaran hipodense pada tumor kaput pankreas( panah putih), distended
kantung empedu (*)
Dikutip dari kepustakaan 15
Gambaran karsinoma kaput pankreas pada CT scan yang dapat dinilai antara lain;
pembesaran duktus pankreatikus dan duktus biliaris, pembesaran kantung empedu.
Selain itu kita juga dapat melihat metastasis yang terjadi di sekitar pankreas.(15)
Gambar 11: Pencitraan Ultrasonografi endoskopik pada kanker pankreas. Gambaran diatas
memperlihatkan jarum dalam proses biopsi tumor.
Dikutip dari kepustakaan 3
Gambar 12: Pencitraan EUS pada pasien dengan massa pada kaput pankreas , yang
mengenai vena porta.
Dikutip dari kepustakaan 17
Gambar 13: (A) Hepatitis akut, ekoparenkim hati dengan hipoekoik, serta sedikit
pembesaran dan prominent portal tracts.
(B) Hepatitis kronis dan cirrhosis, memberi gambaran “ coarse-textured”.
Dikutip dari kepustakaan 9.
2. Kolelitiasis
Kolelitiasis adalah penyebab tersering nyeri pada daerah epigastric atau kuadran
kanan atas, terutama pada pasien usia pertengahan dengan obesitas. Infeksi bakteri dalam
saluran empedu dapat berperan dalam terbentuknya batu. Mukus meningkatkan viskositas
empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi,
infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu empedu,
dibanding sebagai penyebab terbentuknya batu empedu. USG sangat akurat dalam
menentukan diagnosa batu empedu. Pada batu empedu akan terlihat sebagai gambaran
hiperekoik yang bebas pada kandung empedu serta khas membentuk bayangan akustik
(5),(15),(19)
dibawahnya.
Gambar 14: USG. Gambaran kandung empedu (panah), batu empedu (ujung
panah) dengan gambaran bayangan akustik()
Dikutip dari kepustakaan 15
3. Pankreatitis kronik
VII. PENATALAKSANAAN
1. Bedah reseksi ‘kuratif’.
Mengangkat/mereseksi komplit tumor massanya. Yang paling sering dilakukan adalah
prosedur Whipple. Operasi whipple merupakan prosedur dengan pengangkatan kepala
(kaput) pankreas dan biasanya sekitar 20% pankreas dihilangkan.
2. Bedah paliatif.
Untuk membebaskan obstruksi bilier, pemasangan stent perkutan dan stent per-
endoskopik.
3. Kemoterapi.
Bisa kemoterapi tunggal maupun kombinasi. Kemoterapi tunggal seperti 5-FU,
mitomisin-C, Gemsitabin. Kemoterapi kombinasi yang masih dalam tahap
eksperimental adalah obat kemoterapi dengan kombinasi epidermal growth factor
receptor atau vascular endothelial growth factor receptor. Pada karsinoma pankreas
yang telah bermetastasis memiliki respon buruk terhadap kemoterapi. Secara umum
kelangsungan hidup setelah diagnosis metastasis kanker pankreas, kurang dari satu
tahun.
4. Radioterapi.
Biasanya dikombinasi dengan kemoterapi tunggal 5-FU (5-Fluorouracil).
5. Terapi simtomatik.
Lebih ditujukan untuk meredakan rasa nyeri (obat analgetika) dari: golongan aspirin,
penghambat COX-1 maupun COX-2, obat golongan opioid. (4)
VIII. PROGNOSIS
Kanker pankreas adalah penyakit yang sulit, bahkan setelah dioperasi pun resiko
munculnya kanker masih sangat tinggi. Hanya sekitar 20% dari pasien yang menjalani
operasi Whipple untuk kanker pankreas dapat disembuhkan dan hidup selama lima tahun.
Pada pasien yang kankernya telah bermetastasis ,kelangsungan hidupnya (survival rate) rata-
rata tidak lebih dari 6 bulan. (18)
KOLESISTITIS
2.1. Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan kanalikuli yang
kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang lebih besar yang mengalir
bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam traktus porta yang terletak
antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris
septum yang lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri
yang berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari
kandung empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang
kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki duodenum melalui
ampulla Vater (Price SA, et al, 2006). Anatomi duktus biliaris secara lengkap dapat dilihat
pada Gambar 1.
Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi elektrolit yang
menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiri dari 82% air, 12% asam
empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7% kolesterol yang tidak diesterifikasi.
Unsur lain termasuk bilirubin terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat
atau hasil metabolisme lainnya.. Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu yang
memiliki kapasitas ± 50 ml. Selama empedu berada di dalam kandung empedu, maka akan
terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadinya proses reabsorpsi sebagian
besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga terjadi
penurunan pH intrasistik (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk dari kolesterol
di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan bersifat larut dalam air
akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan diekskresi ke dalam empedu. Sekresi empedu
membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak
sepanjang duktulus empedu. Produksi empedu perhari berkisar 500 – 600 mL (Sudoyo W.
Aru, et al, 2009).
Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan direabsorpsi kembali
di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah portal dan diambil cepat oleh hepatosit,
dikonjugasi ulang dan disekresi ulang ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar ±
20% empedu intestinal tidak direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri
kolon menjadi asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan ± 50% akan
direabsorpsi kembali (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis
akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu
dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah
dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu
(Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat
menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor
yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009).
(Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat
nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu,
sehingga terjadi statis dari cairan empedu. (Sitzmann JV, et al, 2008).
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan
tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak
atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya
keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya
riwayat serangan yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri
secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi
abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan
peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada
perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra
hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala
yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al,
2009).
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan
seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks
yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan
infark miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan
kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat
mengancam nyawa ibu dan bayi (Yates MR, et al, 2009).
2.6. Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai
dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum
sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 %
pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu
tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandung empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya
pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh
karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3). Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini
tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung
empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu
(Towfigh S, et al, 2010)
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu
dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%.
Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya
batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).
Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu – batu empedu
berukuran kecil
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih
besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites,
gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat
memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat
pada pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).
Gambar 4 : CT – scan abdomen, tampak batu – batu empedu dan penebalan dinding
kandung empedu.
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak
mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan
duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran
duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit.
Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada jaringan.
Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana
terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat
gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada
kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).
2.7. Tatalaksana
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan
komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum
kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,
pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti
petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk
mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin,
sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih
dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan berkepanjangan
duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung
empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau
cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada
pemeriksaan fisis sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol
dari kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering
tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi.
Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi atau
gangren (Gruber PJ, et al, 2009).
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan
oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu
yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi
dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi
dan drainase abses (Chiu HH, et al, 2009).
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar 30%,
Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran kanan atas
karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda
peritonitis generalisata (Chiu HH, et al, 2009).
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu
mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum
sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau duodenum,
dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis
terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang
menjalani kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh
lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki
duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu
empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal
berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus
biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi kecenderungan
pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung empedu. Pemastian
diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-
kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau
menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus
kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi
usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu
lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.10. Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat dalam 1
– 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan didapatkan pada 85%
kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan
tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang – kadang
kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung
empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi,
angka kematian dapat mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki angka
mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai
prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.
(McPhee SJ, et al, 2009).
ANALISIS MASALAH
3A,B,C,D,E
Adanya carcinoma pankreas menyebabkan terdesaknya organ disekitar pankreas. Hal ini
menyebabkan obstruksi dari duktus billiaris(saluran empedu) dan menyebabkan kolestasis
yaitu cairan empedu tidak bisa sampai ke usus halus karena adanya penyempitan. Hal ini
berdampak ke sekresi empedu yang terganggu. Empedu menghasilkan hal penting garam
empedu. Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K. Gangguan
eksresi garam empedu dapat mengakibatkan steatorrhea dan hipoprotombinemia. Pada
keadaan kolestasis yang berlangsung lama, dapat menyebabkan gangguan penyerapan Ca
dan vitamin D dan vitamin lain yang larut dalam lemak dapat terjadi dan dapat
menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. Oleh karena itulah nafsu makannya
berkurang karena hasil dari malnutrisi dan kehilangan cairan akibat penyerapan yang
buruk. Selain itu juga disebabkan karena mual-mual yang menyebabkan seseorang tidak
nafsu makan.
Abdomen : nyeri tekan perut kanan atas, Murphy sign (+), teraba massa pada
epigastrium berukuran 7x4 cm, konsistensi keras berdungkul-dungkul, shifting
dullness (-)
2. Cari kemungkinan ikterik yang juga dapat tampak pada palatum mole dan
frenulum linguale?
3. Cari tanda-tanda anemia? Bisa dilakukan dengan melihat warna
konjungtiva palpebra. Anemia disertai ikterik perlu dipikirkan anemia
hemolitik.
4. Adakah Sianosis perioral(daerah sekitar mulut)? Sianosis perioral
menunjukkan adanya kelainan pada cor atau pulmo. Sering pada cardiac
sirrosis.
5. Adakah Fetor hepatikum? Menandakan banyak amoniak dalam tubuh yang
merupakan tanda kegagalan fungsi hati. Paling sering pada koma
hepatikum. Fetor hepatikum adalah bau apek manis yang ditemukan pada
bau mulut penderita, terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam
metabolisme metionin, gangguan neurologik yang paling serius adalah
enselofati hepatic yang terjadi akibat kelainan metabolisme amonia dan
peningkatan kepakan otak terhadap toksin.
Leher: Untuk pasien ikterus, pada pemeriksaan bagian leher perlu
diperhatikan hal-hal berikut:
1. Tentukan JVP apakah meningkat? Menunjukkan bendungan sistemik/
portal. Misal pada cardiac sirrosis.
2. Pada palpasi, apakah KGB teraba membesar ? Menunjukkan adanya
infeksi. Hepatitis dapat dengan pembesaran KGB.
Thorax
1. Tentukan batas paru-hepar dengan perkusi, apakah ada peranjakan hati ?
2. Cari kemungkinan adanya ginekomastia dan spider nevy ? Merupakan
salah satu stigmata (tanda khas) Sirosis Hepatis.
Abdomen
1. Inspeksi, cari adanya : Massa, ascites, venektasi. Kelainan-kelainan ini
sering terdapat pada SH dan hepatoma.
2. Auskultasi : Cari kemungkinan terdapat bruit pada massa yang tampak.
Bruit (+) pada massa hepar menunjukkan Hepatoma. Selain itu dengarkan
juga bising usus di 1 atau 2 tempat di abdomen selama 1 menit.
3. Perkusi :
Nilai adanya acites dengan shifting dullness. Prinsipnya cairan bebas
akan berpindah ke bagian abdomen terendah. Pasien tidur terlentang,
lakukan perkusi dan tandai peralihansuara timpani ke redup pada kedua
sisi. Lalu pasien diminta tidur miring pada satu sisi, lakukan perkusi
lagi, tandai tempat peralihan suara timpani ke redup maka akan tampak
adanya peralihan suara redup.
4. Palpasi :
Tentukan konsistensi abdomen
Adakah Hepatomegali? Tentukan besar dan konsistensi? tepi tajam /
tumpul ? permukaan licin-rata / berbenjol-benjol? nyeri tekan (NT) ada
atau tidak?
Adakah Splenomegali ? Tentukan dalam batas schuffner
Nilai Murphy sign. Murphy’s sign atau Tanda Murphy merupakan alat
pemeriksaan yang sangat bermanfaat untuk menunjang diagnosa
kolesistitis. Pasien di periksa dalam posisi supine (berbaring). Ketika
pemeriksa menekan/palpasi regio subcostal kanan (hipokondriaka
dextra) pasien, kemudian pasien diminta untukmenarik nafas panjang
yang dapat menyebabkan kandung empedu turun menujutangan
pemeriksa. Ketika manuver ini menimbulkan respon sangat nyeri
kepada pasien,kemudian tampak pasien menahan penarikan nafas
(inspirasi terhenti), maka hal ini disebut “murphy’s sign positif ”.
Nilai empedu ballotement.
Jika teraba massa hati dgn tepi tajam, permukaan licin dan rata,
konsistensi keras, NT (+) : Hepatitis
Jika teraba massa hati dgn tepi tajam, permukaan berbenjol-benjol dan
rata, konsistensi keras, NT (+) : Hepatoma
Jia teraba massa hati dengan tepi tumpul, permukaan licin dan
berbenjol, fluktuasi (+), konsistensi lunak, NT (+) : Abses Hepar
Ekstremitas
1. Adakah Oedem ? Pitting / non-pitting ? Pitting oedem dapat
menunjukkan hipoalbuminemia sebagai kegagalan sintesis hati serta
retensi Na dan air sebagai akibat dari hipertensi porta. Sering
pada Sirosis hepatis. Dapat dilakukan dengan menekan di daerah
pretibial.
2. Eritema palmaris. Lakukan dengan melihat telapak tangan
8E,G
e. Faktor resiko?
Genetik
5 – 10 % penderita memiliki anggota keluarga dekat yang juga menderita kanker pankreas.
Beberapa gen yang berbeda telah dihubungkan dengan peningkatan resiko, meskipun belum
ada gen kanker pankreas yang teridentifikasi.
Diabetes
Penderita diabetes belum tentu memiliki kecenderungan untuk menderita kanker pankreas,
namun kedua penyakit ini memiliki kaitan.
Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok dikenal dapat meningkatkan resiko kanker pankreas. Semakin banyak
seseorang merokok, semakin tinggi pula resikonya. 10 tahun setelah berhenti merokok, resiko
kanker pankreas akan kembali seperti mereka yang tidak pernah merokok.
Hasil penelitian menunjukkan, mereka yang obesitas (indeks massa tubuh > 30) memiliki
kecenderungan mengidap kanker pankreas. Mereka yang sering berolahraga memiliki
setengah dari resiko kanker pankreas pada mereka yang jarang berolahraga.
Diet
Diet tinggi lemak dan daging (khususnya produk daging olahan) telah dikaitkan dengan
kanker pankreas. Sedangkan diet sehat yang kaya akan buah-buahan dan sayur-sayuran
menurunkan resiko kanker pankreas. Namun penelitian lainnya menunjukkan tidak ada
hubungan yang dapat diidentifikasi antara diet dan kanker pankreas
f. Patofisiologi?
DAFTAR PUSTAKA
1. Japaries, Willie. Karsinoma Pankreas. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi
Kedua. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2008: hal 442-9
2. Mayer, J Robert. Pancreatic Cancer. In: Kasper L, Denis et all. Harrison’s Principles
of Internal Medicine .16th Edition. United States of America: McGraww Hill Companies,
Inc. 2005; Chapter 79
3. Castillo, Carlos Fernandez-del., Jimenez, Ramon E. Pancreatic cancer. In: Feldman,
M., Friedman, L S., Brandt, L J. Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver
Disease. 8th edition. Philadelphia. Elsevier, Inc. 2006. Chapter 58
4. Padmomarono, F Soemanto. Kanker Pankreas. In: Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jakarta: Interna Publishing. 2006; hal 492-6
5. Lindseth, N Glenda . Gangguan hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. In: Price,
Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume 1. Jakarta. Penerbit EGC.
2003; hal 507-8
6. Debas, Haile T. Pancreas. In Gastrointestinal surgery pathophysiology and
management. USA. Springer. 2003:p. 90,92
7. Brand, Randall E. Tumors Of The Pancreas. In: Friedman, Scott L.; McQuaid,
Kenneth R.; Grendell, James H. Current Medical Diagnosis and Treatment in
Gastroenterology. Edisi Kedua. California. McGraw Hill. 2003; p. 511-8
8. Murfitt, Janet. The pancreas. In: Sutton, David. Textbook of Radiology and Imaging
volume 1. 7th edition. China. Churchill Livingstone. 1998: 789
9. Bates, Jane. Abdominal Ultrasound How, Why, When. second edition. China.
Churchill Livingstone. 2004. p.107,130
10. Boer, Aswar. Ultrasonografi Pankreas. In: Ekayuda, Iwan. Radiologi Diagnostik.
Edisi Kedua. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2009: hal 483-8
11. Bowles, Matthew J., Benjamin, Irving S. Cancer of the stomach and pancreas. In:
Logan, Robert P. H. ABC of the upper Gastrointestinal Tract. Spain. BMJ books. 2002: p.
43
12. Benson, Al B., Myerson, Robert J., Sasson, Aaron R. Pancreatic, neuroendocrine GI,
and Adrenal cancer. Available from www.CancerNetwork.com updated March 25, 2011
13. Hariharan, D; Saied, A.; Kocher, H. Analysis of mortality rates for pancreatic cancer
across the world. The Official Journal of the International Hepato Pancreato Biliary
Association. Blackwell Publishing. Available from www.ncbi.nlm.nih.gov, updated
december 20, 2007
14. Freelove, R.; Walling, Anne D. Pancreatic Cancer: Diagnosis and Management.
American Family Physician. Available from www.aafp.org Updated Februari 1, 2006
15. Ahuja, A.T., Antonio, G.F., Yuen H.Y. Case Studies in Medical Imaging. NewYork.
Cambridge University Press. 2006: p.371, 391, 393
16. Nishiharu, Taiji, et al. Local Extension of pancreatic carcinoma: Assessment with
thin-section helical CT versus with breath-hold fast MR imaging-ROC Analysis. August
1999:p. 449
17. Varadarajulu, Shyam; Wallace ,Michael B. Application of endoscopic
Ultrasonography in Pancreatic Cancer. Cancer control: Journal of the Moffitt Cancer
center. Available from www.medscape.com updated September, 2004
18. Hua, Yun-Peng, et al. Pancreatic head carcinoma: clinical analysis of 189 cases.
Guangzhou, china. Hepatobiliary Pancreat Dis Int , Vol 8 , No 1 • February 15 , 2009.
Available from www.hbpdint.com
19. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi Traktus Biliaris dan Hati. Dalam: Ekayuda, Iwan.
Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2009: hal 458-72
20. Sanityoso, Andri. Hepatitis virus akut. In: Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jakarta: Interna Publishing. 2006; hal 427
21. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep
2009;188(3):325-6.
22. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for acute
inflammation of the gallbladder. Ann Surg. Nov 2008;218(5):630-4.
23. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum gallbladder
motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug 2009;232(2):202-7.
24. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis. Gastroenterol
Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.
25. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and leukocytosis in
acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7.
29. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings of mild
forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-Aug
2009;33(4):274-80.
30. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis & Treatment.
McGraw Hill: Lange. 2009.
31. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for acute
cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. Jun 2009;41(6):539-46.
32. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar – Dasar Penyakit. EGC.
Jakarta. 2006.
34. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic
cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative
cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc. Mar 2009;49(3 Pt 1):334-43.
35. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of randomized clinical trials.
Am J Surg. Jan 2008;195(1):40-7.
36. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents parenteral
nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet. Jan 2008;170(1):25-
31.
37. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
EGC. Jakarta. 2009.
38. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is not associated
with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-10.
39. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of information
analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis.
Br J Surg. Feb 2010;97(2):210-9
40. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis. 2009;3:131-
147.