Anda di halaman 1dari 56

Nur Ghaliyah Sandra Putri

04011281520112

Beta 2015

LEARNING ISSUE:

IKTERUS OBSTRUKTIF

I. Pendahuluan

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk pir yang terletak tepat di bawah lobus
kanan hati. Empedu merupakan sekresi eksokrin dari hati dan diproduksi secara terus-
menerus oleh hepatosit. Cairan empedu berisi kolesterol, bilirubin dan garam empedu. Cairan
empedu ini membantu dalam penyerapan lemak. Sebagian dari cairan empedu dialirkan
secara langsung dari hati ke dalam duodenum melalui kanalikuli (saluran-saluran kecil) yang
kemudian kanalikuli ini bersatu dan akhirnya membentuk suatu sistem saluran empedu
(Common Bile Duct) yang lebih besar, dan 50% sisanya disimpan di dalam kandung empedu.
Cairan empedu ini dialirkan dari kandung empedu melalui duktus sistikus yang bergabung
dengan duktus hepatikus dari hati yang membentuk sistem saluran empedu (Common Bile
Duct). Common Bile Duct berakhir pada sfingter di usus halus dan disini menerima enzim
dari pankreas melalui duktus pankreatikus.1,2

Angka kejadian obstruksi bilier atau disebut juga kolestasis diperkirakan 5 kasus per 1000
orang per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier bergantung pada
penyebab terjadinya obstruksi. Penyebab obstruksi bilier secara klinis terbagi dua yaitu
intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan pembentukan empedu dan ekstrahepatik
(obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran empedu, dan yang terbanyak akibat batu empedu
(kolelitiasis). Berdasarkan jenis kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada
pria.1

Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada
beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu
intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer
lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat.3
II Obstruksi Bilier

1 Definisi

Obstruksi bilier (kolestasis) merupakan suatu keadaan dimana terganggunya aliran


empedu dari hati ke kandung empedu atau dari kandung empedu ke usus halus. Obstruksi ini
dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam biliari sistem mulai dari saluran empedu yang
kecil (kanalikuli) sampai ampula Vateri. Penyebab obstruksi bilier secara klinis terbagi dua
yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan pembentukan empedu dan
ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran empedu. 1

2. Epidemiologi

Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000 orang per
tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier bergantung pada penyebab
terjadinya obstruksi. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah kolelitiasis (batu empedu). Di
Amerika Serikat, 20% orang tua berusia ≥65 tahun menderita kolelitiasis (batu empedu) dan
1 juta kasus baru batu empedu didiagnosa setiap tahunnya. Resiko terjadinya kolelitiasis
terkenal dengan kriteria 4F yaitu female, fourty, fat, dan fertile. Resiko terjadinya batu
empedu meningkat pada usia >40 tahun. Insiden teringgi terjadi pada usia 50-60 tahun.
Berdasarkan jenis kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria. Hampir
25% wanita AS menderita batu empedu dengan 50% diantaranya berusia 75 tahun, dan 20%
pria dengan usia yang sama menderita batu empedu. Rasio penderita wanita terhadap pria
yakni 3:1 pada kelompok usia dewasa masa reproduktif dan berkurang menjadi >2:1 pada
usia di atas 70 tahun. Faktor predisposisi terjadinya batu empedu antara lain obesitas terutama
pada wanita, kehamilan, penurunan berat badan yang cepat, kontrasepsi oral, dan diabetes
mellitus.1,4,5,6

Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu yang dibuktikan oleh
prevalensi batu empedu yang tersebar luas di antara berbagai berbagai bangsa dan kelompok
etnik tertentu. Prevalensi paling menyolok pada suku Indian Pima di Amerika Utara (>75%),
Chili dan kaukasia di Amerika Serikat. Prevalensi terendah pada orang Asia.4

Jenis batu empedu yang banyak ditemukan adalah batu kolesterol (75%), berhubungan
dengan obesitas terutama pada wanita. Pada penderita diabetes mellitus paling banyak
ditemukan mixed stones (80%), sedangkan batu kolesterol murni hanya 10%. 25% dari batu
empedu merupakan batu pigmen (bilirubin, kalsium, and berbagai material organik lainnya)
berhubungan dengan hemolisis dan sirosis. Sedangkan batu pigmen hitam ditemukan pada
kolelitiasis yang tidak sembuh dengan medikamentosa.6

Batu kolesterol banyak ditemukan di negara barat (80-90%), sedangkan batu pigmen
sekitar 10%. Batu pigmen lebih banyak ditemukan di negara Asia dan Afrika. Walaupun
demikian akhir-akhir ini batu kolesterol meningkat di Asia dan Afrika, terutama di Jepang
ketika westernisasi pola diet dan gaya hidup.1

Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada
beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu
intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer
lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat.3

3 Etiologi dan Patogénesis

Secara umum, obstruksi bilier menyebabkan terjadinya ikterus obtruktif. Ikterus


(jaundice) yaitu perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa)
yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam darah.
Bilirubin sebagai akibat pemecahan cincin heme dari metabolisme sel darah merah. Ikterus
yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan ini menunjukkan kadar bilirubin
sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl, sedangkan jika ikterus jelas dapat dilihat dengan nyata
maka bilirubin diperkirakan sudah mencapai 7 mg/dl. Tahapan metabolisme bilirubin
berlangsung melalui 3 fase yaitu fase prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik, atau dikenal
juga melalui tahapan 5 fase yaitu (1) fase pembentukan bilirubin dan (2) transpor plasma,
terjadi pada fase prahepatik, (3) liver uptake dan (4) konyugasi, pada fase intrahepatik, serta
(5) ekskresi bilirubin pada fase ekstrahepatik.7
Gambar 3. Metabolisme Normal Bilirubin8
Gambar 4. Klasifikasi Ikterus4

Obstruksi bilier (kolestasis) secara etiologi dibedakan menjadi 2 bagian yaitu intrahepatik
dan ekstrahepatik, yaitu :1,7

1. Obstruksi bilier (kolestasis) intrahepatik


Kolestasis intrahepatik umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran
kanalikuli. Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat,
penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang
sering adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik,
dan penyakit-penyakit lain yang jarang.

Peradangan intrahepatik mengganggu ekskresi bilirubin terkonjugasi dan


menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan
dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak
menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi dapat berjalan kronik dan menahun,
dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati.
Alkohol dapat mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, sehingga
mengakibatkan kolestasis.

Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun. Dua penyakit autoimun yang
berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis
bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati
bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok
adalah rasa lelah dan gatal yang sering merupakan penemuan awal, sedangkan kuning
merupakan gejala yang timbul kemudian. Kolangitis sklerosis primer (Primary
Sclerosing Cholangitis/PSC) merupakan penyakit kolestatik lain, lebih sering pada laki-
laki, dan sekitar 70% menderita penyakit peradangan usus. PSC dapat mengarah pada
kolangio karsinoma. Obat seperti anabolik steroid dan klorpromazid sekarang diketahui
merupakan penyebab langsung dari kolestasis dengan mekanisme yang tidak diketahui.
Golongan diuretik tiazid dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu empedu.
Amoksisillin dengan asam klavulanat (Augmentin) sering menyebabkan kolestasis akut
yang menyerupai keadaan obstruksi bilier. Drug induced jaundice memberikan gejala
pruritus, namun hanya terdapat pada sebagian pasien, dan gejala ini segera hilang apabila
penggunaan obat tersebut dihentikan.

2. Obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik


Penyebab paling sering obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik adalah batu duktus
koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif jarang adalah striktur jinak
(operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis, dan
kolangitis sklerosing, AIDS-related cholangiopathy, TB bilier, dan infeksi parasit
(Ascaris lumbricoides). Kolestasis mencermin kegagalan seksresi empedu.

Efek patofisiologi mencerminkan efek balik empedu (bilirubin, garam empedu, dan
kolesterol) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk untuk eksresi.
Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin
konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang
dapat mencapai usus halus. Penigkatan garam empedu dalam sirkulasi diperkirakan
sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum
jelas sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.

Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K. Gangguan eksresi
garam empedu dapat mengakibatkan steatorrhea dan hipoprotombinemia. Pada keadaan
kolestasis yang berlangsung lama, dapat menyebabkan gangguan penyerapan Ca dan
vitamin D dan vitamin lain yang larut dalam lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan
osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan
hiperlipidemia.

Kolestasis menyebabkan peningkatan sintesis dan sekresi alkali fosfatase, sehingga


terjadi kerusakan sel hepatosit. Hal ini akan menghambat sintesis protein dan faktor-
faktor pembekuan. Fungsi detoksifikasi pun akan menurun. Akibatnya akan terjadi
peningkatan asam empedu dan alkali fosfatase di dalam darah.4
Gambar 5. Kolestasis7

Efek primer kolestasis terutama menyerang fungsi hati dan usus, sedangkan efek
sekundernya mempengaruhi tiap sistem organ. Efek primer meliputi retensi empedu,
regurgitasi empedu ke dalam serum, dan penurunan sekresi bilier ke dalam usus. Efek
sekundernya menyebabkan pemburukan penyakit hati serta penyakit sistemik. Kolestasis
menyebabkan beberapa kondisi berikut, yaitu :4

1. Retensi konjugasi dan regurgitasi bilirubin ke dalam serum

Peningkatan kadar serum bilirubin terkonjugasi merupakan tanda primer kolestasis. Hal ini
menyebabkan jaundice yang dapat dideteksi dengan ikterus sklera dan urine berwarna gelap.

2. Peningkatan kadar serum bilirubin non konjugasi

Laju konjugasi bilirubin mengalami penurunan akibat jejas hepatosit. Laju produksi
bilirubin dapat pula mengalami peningkatan akibat hemolisis yang dapat menyertai
kolestasis.

3. Hiperkolemia (peningkatan kadar garam empedu serum)

4. Pruritus

5. Hiperlipidemia
Pada kolestasis, kolesterol serum mengalami peningkatan karena terjadi gangguan
degradasi dan ekskresi metabolik. Dengan penurunan pembentukan empedu, kolesterol
mengalami retensi sehingga kandungan kolesterol pada membran meningkat, menyebabkan
penurunan fluiditas dan fungsi membran.

6. Xanthoma

Xanthoma terutama terjadi pada kolestasis obstruktif disebabkan deposisi kolesterol ke


dalam dermis.

7. Gangguan perkembangan

Gangguan perkembangan adalah efek klinis terpenting dari kolestasis. Terjadi malabsorpsi,
anoreksia, penggunaan nutrien yang rendah (penurunan kadar serum protein), gangguan
hormon dan jejas jaringan sekunder.

4. Gejala Klinis

Tidak jarang gejala kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik sukar untuk dibedakan.
Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus (jaundice), perubahan warna urin menjadi lebih
kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat, tinja pucat akibat
terhambatnya aliran bilirubin ke usus halus dan berbau busuk serta mengandung banyak
lemak (steatorrhea) karena aliran empedu terhambat ke usus halus sehingga absorpsi lemak
terganggu, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh akibat retensi empedu di kulit. Kolestasis
kronik dapat menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, sakit
tulang karena absorpsi kalsium dan vitamin D berkurang sehingga lama kelamaan jaringan
tulang berkurang, perdarahan intestinal karena absorpsi vitamin K terganggu dan endapan
lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran keluhan seperti yang disebutkan tidak
tergantung penyebabnya. Selain itu dapat disertai keluhan sakit perut, dan gejala sistemik
(seperti anoreksia, muntah, demam), atau tambahan gejala lain yang tergantung pada
penyebab terjadinya obstruksi bilier.7,9

Pasien dengan obstruksi bilier karena batu empedu dapat dibagi menjadi tiga keompok
yaitu pasien dengan batu asimtomatik, simtomatik, dan dengan komplikasi batu empedu
(kolesistitis akut, kolangitis, dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu
empedu tanpa gejala. Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier yaitu nyeri
diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di
perut kanan atas atau epigastrium yang dapat menjalar ke punggung bagian kanan atau bahu
kanan. Nyeri ini bersifat episodik dan dapat dicetuskan oleh makan makanan berlemak atau
dapat juga tanpa suatu pencetus dan sering timbul malam hari. Terkadang nyeri dapat
dirasakan di daerah substernal atau prekordial atau di kuadran kiri atas abdomen. Batu
kandung pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak
anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Batu saluran empedu tidak
menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik.3,4,10

Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya kandung empedu teraba


(Courvoisier sign). Jika sumbatan karena keganasan kaput pankreas sering timbul kuning
yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-kadang apabila
kadar bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi sering warna kuning sklera mata
memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice)
pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis
intrahepatik.1,3,7

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium mempunyai keterbatasan diagnosis. Kelainan laboratorium


yang khas adalah peningkatan nilai alkali fosfatase yang diakibatkan terutama peningkatan
sintesis karena gangguan eksresi akibat obstruksi bilier, namun tetap belum dapat
menjelaskan penyebabnya (intrahepatik atau ekstrahepatik). Alkali fosfatase merupakan
enzim yang terdapat pada membrane kanalikuli hepatosit.1,7

Nilai bilirubin juga mencerminkan beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya. Pada
obstruksi ekstrahepatik kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Peningkatan bilirubin
direk disebabkan karena adanya obstruksi saluran empedu sehingga menghambat ekskresinya
ke duodenum, sedangkan bilirubin indirek meningkat di dalam darah karena mekanisme liver
uptake terganggu disebabkan oleh kadar bilirubin direk meningkat di dalam hati. Pada
obtruksi intrahepatik, bilirubin direk dan indirek kemungkinan juga meningkat. Bilirubin
indirek meningkat karena ketidakmampuan sel hati yang rusak untuk mengubah bilirubin
indirek menjadi direk, sedangkan peningkatan bilirubin direk terjadi karena gangguan
ekskresi akibat proses peradangan.1,7

Nilai aminotrasnferase bergantung terutama pada penyakit dasarnya, namun seringkali


meningkat tidak tinggi. Apabila peningkatan tinggi sangat mungkin karena proses
hepatoselular, namun kadang-kadang terjadi juga pada kolestasis ekstrahepatik, terutama
pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh adanya batu di duktus koledokus. Pada obstruksi
ekstrahepatik umumnya kadar aspartat aminotransferase (AST) tidak terlalu meningkat
kecuali sekunder terdapat kerusakan akut dari parenkim hati, biasanya peningkatan AST <10
kali kadar normal. Apabila obstruksi ekstrahepatik terjadi secara akut maka AST akan sangat
meningkat ≥10 kali kadar normal dan menurun setelah 72 jam. Sedangkan alanin
aminotransferase (ALT) meningkat pada obstruksi intrahepatik, namun terkadang AST juga
ikut meningkat. Peningkatan ALT dan AST secara bersamaan terjadi pada pasien dengan
hepatitis dan drug-induced liver damage. Pasien dengan penyakit hati alkohol, sirosis, dan
metastase ke hati, kadar AST lebih meningkat dibandingkan dengan ALT.1,7

Enzim GGT (γ-Glutamiltransferase) terutama terdapat di hati, ginjal, dan pankreas.


Enzim ini diperiksa untuk menentukan disfungsi sel hati dan mendeteksi penyakit hati yang
diinduksi alkohol. Aktivitas GGT meningkat pada semua bentuk penyakit hati. 4

Perbaikan waktu protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah kepada adanya


bendungan ekstrahepatik, namun hepatoselular juga dapat berespon. Ditemukannya antibodi
terhadap antimitokondria mendukung kemungkinan sirosis bilier primer. Pada pemeriksaan
urin, normalnya tidak ditemukan bilirubin, apabila ditemukan bilirubin urin dan pasien
melihat urin berwarna gelap atau seperti teh pekat, menunjukaan adanya ikterus obstruktif
atau kelainan hepatoselular.1,7

Pemeriksaan pencitraan (imaging) sangat penting dalam mendiagnosis penyakit akibat


kolestasis. Pemeriksaan rontgen abdomen dapat menunjukkan adanya batu empedu. Pada
sonografi abdomen, CT Scan, dan MRI (MRCP) memperlihatkan adanya pelebaran saluran
bilier, yang menunjukkan adanya sumbatan mekanik, walaupun jika tidak ada tidak selalu
berarti sumbatan intrahepatik, terutama dalam keadaan masih akut. Umumnya batu kandung
empedu dapat dipastikan dengan ultrasonografi (USG). 7
Gambar 6. Rontgen abdomen tampak batu empedu opaque11

Dewasa ini USG merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis batu
kandung empedu dengan sensivisitas tinggi melebihi 95% sedangkan untuk mendeteksi batu
saluran empedu sensivisitasnya relatif rendah berkisar antara 18-74%, namun nilai diagnosis
USG rendah pada pasien dengan obesitas. Endoscopic Ultrasonography (EUS) mempunyai
sensitivitas yang tinggi (97%) dalam mendeteksi batu saluran empedu dibandingkan dengan
USG transabdominal. EUS merupakan suatu metode pemeriksaan dengan memakai
instrumen gastroskop dengan echoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar.
Dibandingkan dengan USG transabdominal, EUS memberikan gambaran pencitraan yang
jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya diletakkan di dekat organ yang diperiksa. Teknik
pencitraan ini belum banyak diikuti oleh praktisi kedokteran di Indonesia sebab hal ini
berhubungan dengan masalah latihan, pengalaman, dan ketersediaan instrumen EUS.3,7

Lesi di pankreas dapat dilihat dengan CT Scan. Endoscopic Retrograde Cholangio-


Pancreatography (ERCP) dapat melihat secara langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat
untuk menetapkan sumbatan ekstrahepatik. Percutaneous Transhepatic Cholangigraphy
(PTC) dapat pula digunakan untuk tujuan yang sama. Kedua cara tersebut mempunyai
potensi terapeutik. ERCP bersifat invasif dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan
kolangitis yang dapat berakibat fatal.7

Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) merupakan teknik pencitraan


dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen, dan radiasi ion. MRCP
cocok untuk mendignosis batu saluran empedu. Studi terkini MRCP menunjukkan nilai
sensivisitas antara 91-100%, nilai spesivisitas antara 92-100% dan nilai prediktif positif
antara 93-100% pada keadaan dengan dugaan batu saluran empedu. Nilai diagnostik MRCP
yang tinggi membuat teknik ini makin sering dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu
saluran empedu khususnya pada pasien dengan kemungkinan kecil mengandung batu. Selain
itu cara ini bersifat non invasif, namun bukan merupakan modalitas terapi dan juga
aplikasinya bergantung pada operator.3

Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik. Walaupun demikian
dapat timbul juga kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh orang yang kurang
berpengalaman. Umumnya biopsi aman pada kasus kolestasis, namun berbahaya pada
keadaan obtruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya harus disingkirkan dahulu
dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsi dilakukan.7

6. Diagnosis

Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena kesalahan
diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian gangguan
laboratorium yang berlebihan. Diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui penilaian klinis,
dengan bantuan alat penunjang khusus jika memungkinkan. Jika diagnosis tidak pasti, USG
dan CT Scan akan sangat membantu. Obstruksi mekanis dapat ditegakkan jika ditemukan
tanda pelebaran saluran bilier, terutama pada pasien dengan kolestasis yang progresif.
Pemeriksaan lebih lanjut dengan kolangiografi langsung (ERCP, PTC, dan MRCP) dapat
dipertimbangkan. Jika pada pemeriksaan USG tidak ditemukan pelebaran saluran empedu,
maka sangat mungkin ke masalah intrahepatik, dan biopsi sangat dianjurkan.7

Apabila alat penunjang tersebut di atas tidak terdapat, maka laparoskopi diagnosis harus
dipertimbangkan, jika pertimbangan klinis lebih menjurus ke sumbatan ekstrahepatik dan
kolestasis yang memburuk progresif. Pemeriksaan peritoneoskopi (laparoskopi)
memungkinkan untuk memeriksa langsung hati dan kandung empedu. Laparatomi diagnostik
jarang diperlukan pada pasien dengan kolestasis atau hepatosplenomegali yang belum bisa
diterangkan penyebabnya.7

7. Pengobatan

Pengobatan obstrusksi bilier atau ikterus sangat bergantung pada penyebabnya. Beberapa
gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis
intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan
ireversibel seperti sirosis bilier primer biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 mg/hari
per oral dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat garam empedu di usus atau dapat juga
diberikan antihistamin. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat. Hipoprotrombinemia
biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K) 5-10 mg/hari sub kutan untuk 2-
3 hari.1,7,9

Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang ireversibel.
Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan
steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet.
Sumbatan bilier ekstrahepatik (kolelitiasis) biasanya membutuhkan tindakan bedah yaitu
kolesistektomi laparoskopik. ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik
untuk mengeluarkan batu empedu tanpa operasi pertama kali dilakukan tahun 1974.Untuk
mengeluarkan batu empedu yang sulit diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan
sesudah sfingterotomi seperti seperti pemecehan batu dengan litotripsi mekanik, litotripsi
laser, dan ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy). Selain itu, perlu modifikasi diet
berupa diet rendah lemak dan gula serta tinggi serat.1,7,9

Gambar 9. Algoritma pasien dengan Batu Empedu


CARCINOMA PANKREAS

Kanker pankreas merupakan tumor yang relatif sering terjadi. Lokasi timbulnya tersering
pada daerah kaput pankreas, yaitu 60 % kemudian disusul kanker kaudal 30 % dan kanker
seluruh pankreas yaitu 10% . Ada banyak faktor resiko yang dapat menyebabkan kanker
pankreas, diantaranya merokok, obesitas, kronik pancreatitis, dan mutasi gen.(1,2)
Kanker pankreas ini merupakan penyebab kematian keempat akibat kanker (selain
kanker paru, colon dan payudara), baik pada pria maupun wanita di Amerika Serikat.
Menifestasi klinik dari karsinoma kaput pankreas yang paling sering di jumpai adalah sakit
perut, berat badan turun dan ikterus. Diagnosis sulit ditegakkan, sehingga tumor biasanya
tidak ditemukan kecuali bila telah menyebar terlalu luas sehingga tidak dapat dilakukan
reseksi lokal. (3,4,5,13)
Saat ini pencitraan yang digunakan untuk mendiagnosa kanker pankreas diantaranya
Ultrasonografi (USG), Computed Tomography (CT) Scan Abdomen, Magnetic Resonance
Imaging (MRI), endoscopic Retrograde Cholangio-pancreaticography (ERCP), dan
ultrasonografi endoskopik. (4)

I. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI


American Cancer Society memperkirakan bahwa di Amerika Serikat pada tahun 2010
ada sekitar 43.140 kasus baru kanker pankreas, (21.370 pria dan 21.770 wanita) yang
terdiagnosis dan 36.800 kasus (18.770 pria dan 18.030 wanita) meninggal karena kanker
tersebut. Data kepustakaan kanker pankreas di Indonesia masih sangat sedikit. Data terbaru di
RSUP Dr. Kariadi semarang pada tahun 1997-2004 (8 tahun) terdapat 53 kasus kanker
pankreas. (4,13)
Insidensi kanker pankreas sedikit lebih tinggi laki-laki daripada perempuan, dan 2/3 dari
kasus baru terjadi pada orang > 65 tahun, dan pada perokok dua kali lebih tinggi dibanding
dengan bukan perokok. Sebagian besar, pasien meninggal dalam waktu 1 tahun setelah
diagnosis penyakit. Secara keseluruhan, angka kelangsungan hidup 1 tahun sekitar 12 % dan
5 tahun sekitar 0,4%-4% . (2,4,5,12)

II. ETIOLOGI
Etiologi kanker pankreas masih belum jelas. Penelitian epidemiologik menunjukkan
adanya hubungan kanker pankreas dengan beberapa faktor eksogen (lingkungan) dan faktor
endogen pasien. Faktor eksogen antara lain kebiasaan merokok, diet tinggi lemak, alkohol,
kopi, dan zat karsinogen industri, sedangkan faktor endogen yaitu usia, penyakit pankreas
( pankreatitis kronik dan diabetes mellitus) dan mutasi gen. (4)

III. ANATOMI
Kelenjar pankreas terletak di antara duodenum dan limpa, melintang di retroperitoneum,
setara dengan level vertebra torakal ke-12 hingga lumbal ke-1. Pankreas dapat dibagi menjadi
4 bagian, kaput, kolum, korpus, dan kaudal. Kaput terletak dimedial duodenum, berdekatan
erat dengan pars desendens duodenum. Bagian kaput pankreas yang ke arah medio-posterior
disebut prosesus unsinatus, di antara prosesus unsinatus dan kaput pankreas melintas aeteri
dan vena mesenterium superior. Di antara kaput dan korpus pankreas terdapat bagian
menyempit yaitu kolum, di posteriornya terdapat vena porta. Dari kolum hingga hilum lienis
adalah korpus dan kaudal pankreas, antara keduanya tidak memiliki batas yang jelas. (1)
Pasokan darah pankreas terutama berasal dari arteri pankreatikoduodenalis superior dan
inferior, serta arteri lienalis, sebagian dari arteri mesenterika superior. Percabangan tiap arteri
di dalam pankreas membentuk arkus vaskular, maka pasca reseksi parsial pankreas tidak
mudah muncul defisit pasokan darah ke pankreas yang tersisa, vena semuanya masuk ke vena
lienalis dan vena mesenterika superior, kemudian bermuara ke vena porta. (1)
Pankreas kaya akan saluran limfatik yang saling berhubungan. Limfatik kaput pankreas
terutama mengalir ke kelenjar limfe pankreatikoduodenale anterior dan posterior serta
kelenjar limfe dekat arteri mesenterika superior, limfe bagian korpus mengalir ke kelenjar
limfe margo superior, margo inferior pankreas dan para arteri lienalis, para arteri hepatikus
komunis, para arteri seliaka dan para aorta abdominalis, limfe bagian kaudal pankreas
terutama mengalir ke kelenjar limfe hilum lienis.(1)
Gambar 1
Dikutip dari kepustakaan 6
Pada sistem saluran pankreas, Duktus pancreatikus (duktus wirsungi) bergabung
dengan duktus biliaris sebelum meninggalkan pankreas dan masuk ke duodenum pada papilla
mayor, sedangkan duktus santorini mengalir secara terpisah kedalam duodenum pada papilla
minor.

Gambar 2
Dikutip dari kepustakaan 6
IV. PATOFISIOLOGI
Kanker pankreas hampir 90 % berasal dari duktus, dimana 75 % bentuk klasik
adenokarsinoma sel duktal yang memproduksi musin. Sebagian besar kasus (±70%) lokasi
kanker pada kaput pankreas, 15- 20% pada badan dan 10% pada ekor. Pada karsinoma daerah
kaput pankreas dapat menyebabkan obstruksi pada saluran empedu dan ductus pankreatikus
daerah distal, hal ini dapat menyebabkan manifestasi klinik berupa ikterus. (3,4)
Umumnya tumor meluas ke retroperitonel ke belakang pankreas, melapisi dan melekat
pada pembuluh darah. Secara mikroskopik terdapat infiltrasi di jaringan lemak peripankreas,
saluran limfe , dan perineural. Pada stadium lanjut, kanker kaput pankreas sering
bermetastasis ke duodenum, lambung, peritonium, hati dan kandung empedu.(3)
Karsinoma pankreas diyakini berasal dari sel-sel duktal dimana serangkaian mutasi
genetik telah terjadi di protooncogene dan gen supresor tumor. Mutasi pada onkogen K-ras
diyakini menjadi peristiwa awal dalam perkembangan tumor dan terdapat lebih dari 90 %
tumor. Hilangnya fungsi dari beberapa gen supressor tumor (p16, p53, DCC, APC, dan
DPC4) ditemukan pada 40-60% dari tumor. Deteksi mutasi K-ras dari cairan pankreas yang
diperoleh pada endoskopik retrograde cholangiopancreatography telah digunakan dalam
penelitian klinis untuk mendiagnosa kanker pankreas. (7)
Pada sebagian besar kasus, tumor sudah besar (5-6 cm) dan atau telah terjadi infiltrasi dan
melekat pada jaringan sekitar, sehingga tidak dapat di reseksi, sedangkan tumor yang dapat
direseksi berukuran 2,5-3,5 cm. (4)

V. DIAGNOSIS
A. Manifestasi Klinis
Pankreas tidak memiliki mesenterium dan berdekatan dengan saluran empedu, usus dua
belas jari, perut, dan usus besar, karenanya manifestasi klinis yang paling umum dari kanker
pankreas adalah yang berkaitan dengan invasi atau kompresi dari struktur yang berdekatan.(7)

1. Rasa penuh, kembung di ulu hati, anoreksia, mual, muntah, diare (steatore), dan
badan lesu. Keluhan tersebut tidak khas karena dijumpai pada pancreatitis dan tumor
intraabdominal. Keluhan awal biasanya berlangsung >2 bulan sebelum diagnosis
kanker. Keluhan utama yang sering adalah sakit perut, berat badan turun (>75 %
kasus) dan ikterus (terutama pada kanker kaput pankreas).
2. Lokasi sakit perut biasanya di ulu hati, awalnya difus, selanjutnya terlokalisir. Sakit
perut biasanya disebabkan invasi tumor pada pleksus coeliac dan pleksus
mesenterikus superior. Dapat menjalar ke punggung, disebabkan invasi tumor ke
daerah retroperitoneal dan terjadi infiltrasi pada pleksus saraf splanknikus.
3. Penurunan berat badan awalnya melambat, kemudian menjadi progresif, disebabkan
berbagai faktor: asupan makanan kurang, malabsorbsi lemak dan protein, dan
peningkatan kadar sitokin pkolro-inflamasi (tumor necrosis factor-a dan interleukin-
6).
4. Ikterus obstruktivus, dijumpai pada 80-90 % kanker kaput pankreas berupa tinja
berwarna pucat (feses akolik).
Selain itu tanda klinis lain yang dapat kita temukan antara lain, pembesaran kandung
empedu (Courvoisier’s sign), hepatomegali, splenomegali (karena kompresi atau trombosis
pada v. porta atau v. lienalis, atau akibat metastasis hati yang difus), asites (karena infiltrasi
kanker ke peritoneum), nodul periumbilikus (Sister Mary Joseph’s nodule), trombosis vena
dan migratory thrombophlebitis (Trousseau’s syndrome), perdarahan gastrointestinal, dan
edema tungkai (karena obstruksi VCI) serta limfadenopati supraklavikula sinistra (Virchow’s
node).(4)

B. Laboratorium
Kelainan laboratorium kanker pankreas antara lain, Anemia oleh karena penyakit
kankernya dan nutrisi yang kurang, peningkatan laju endap darah (LED), peningkatan dari
serum alkali fosfat, bilirubin, dan transaminase. Karena sebagian besar kanker pankreas
terjadi di kaput, maka obstruksi dari saluran empedu sering ditemui. Obstruksi dari saluran
empedu distal menyebabkan tingginya serum alkali fosfat empat sampai lima kali di atas
batas yang normal, begitu pun dengan billirubin.(7)
Penanda tumor CA 19-9 (antigen karbohidrat 19,9) sering meningkat pada kanker
pankreas. CA 19-9 dianggap paling baik untuk diagnosis kanker pankreas, karena memiliki
sensitivitas dan spesifivitas tinggi (80% dan 60-70%), akan tetapi konsentrasi yang tinggi
biasanya terdapat pada pasien dengan besar tumor > 3 cm, dan merupakan batas reseksi
tumor. (4)

C. Gambaran Radiologi
1. Gastroduodenografi
Gambar 3 : Barium meal. “Double contour” (panah) pada lengkung duodenum
Dikutip dari kepustakaan 8

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan lengkung duodenum akibat


kanker pankreas. Kelainan yang dapat dijumpai pada kelainan kanker pankreas dapat
berupa pelebaran lengkung duodenum, double contour, dan gambaran ‘angka 3 terbalik’
karena pendorongan kanker pankreas yang besar pada duodenum, di atas dan di bawah
papila vateri. (4)

Gambar 4: Pembesaran loop duodenum, dengan gambaran ‘’angka 3 terbalik’’.


Dikutip dari kepustakaan 8

2. Ultrasonografi

Gambar 5 : ultrasonografi: karsinoma pankreas yang berada pada kaput pankreas


Dikutip dari kepustakaan 9
Karsinoma pankreas tampak sebagai suatu massa yang terlokalisir, relatif
homogen dengan sedikit internal ekho. Batas minimal besarnya suatu karsinoma
pankreas yang dapat dideteksi secara ultrasonografi kira-kira 2 cm. Bila tumor lebih
dari 3 cm ketetapan diagnosis secara ultrasonografi adalah 80-95%. Suatu karsinoma
kaput pankreas sering menyebabkan obstruksi bilier. Adanya pelebaran saluran bilier
baik intra atau ekstrahepatik dapat dilihat dengan pemeriksaan USG.
Tanda-tanda suatu karsinoma pankreas secara Ultrasonografi adalah:
- Pembesaran parsial pankreas
- Konturnya ireguler, bisa lobulated
- Struktur ekho yang rendah atau semisolid
- Bisa disertai pendesakan vena kava ataupun vena mesenterika superior. Mungkin
disertai pelebaran saluran-saluran bilier atau metastasis di hati. (10)
Gambar 6: Dilatasi dari duktus pankreaticus pada pasien dengan karsinoma kaput pankreas.

Dikutip dari kepustakaan 8.

3. CT-Scan
Pada masa kini pemeriksaan yang paling baik dan terpilih untuk diagnostik dan
menentukan diagnosis dan menentukan stadium kanker pankreas adalah dengan dual
phase multidetector CT , dengan contras dan teknik irisan tipis (3-5mm). Kriteria tumor
yang tidak mungkin direseksi secara CT antara lain: metastase hati dan peritoneum,
invasi pada organ sekitar ( lambung, kolon), melekat atau oklusi pembuluh darah peri-
pankreatik. Dengan kriteria tersebut mempunyai akurasi hampir 100% untuk predileksi
tumortidak dapat direseksi. Akan tetapi positif predictive value rendah, yakni 25-50 %
tumor yang akan diprediksi dapat direseksi, ternyata tidak dapat direseksi pada bedah
laparotomi.(4)
Gambar 7 : CT scan. Massa pada kaput pankreas
Dikutip dari kepustakaan 14

Gambar 8: CT-scan gambaran hipodense pada tumor kaput pankreas( panah putih), distended
kantung empedu (*)
Dikutip dari kepustakaan 15

Gambaran karsinoma kaput pankreas pada CT scan yang dapat dinilai antara lain;
pembesaran duktus pankreatikus dan duktus biliaris, pembesaran kantung empedu.
Selain itu kita juga dapat melihat metastasis yang terjadi di sekitar pankreas.(15)

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI secara jelas mencitrakan parenkim pankreas, pembuluh darah sekitar pankreas
dan struktur anatomis organ padat sekitar di regio abdomen atas. Sangat berguna untuk
diagnosis karsinoma pankreas stadium dini dan penentuan stadium preoperasi.
Kolangiopankreatigrafi MRI (MRCP) menghasilkan gambar serupa dengan ERCP
(endoscopic retrograde cholangio- pancreaticography), secara jelas mencitrakan saluran
empedu intra dan extrahepatik, serta saluran pankreas.(1)
Gambar 9: MRI: Massa pada daerah kaput pankreas
Dikutip dari kepustakaan 16

5. ERCP (endoscopic retrograde cholangio- pancreaticography)


Manfaat dari ERCP dalam diagnosis kanker pankreas adalah dapat mengetahui atau
menyingkirkan adanya kelainan gastroduodenum dan ampula vateri, pencitraan saluran
empedu dan pankreas, dapat dilakukan biopsi dan sikatan untuk pemeriksaan
histopatologi dan sitologi. Disamping itu dapat dilakukan pemasangan stent untuk
membebaskan sumbatan saluran empedu pada kanker pankreas yang tidak dapat
dioperasi atau direseksi.(4)

Gambar 10: Gambaran striktur pada duktus biliaris


Dikutip dari kepustakaan 11
6. EUS (Endoskopik Ultrasonografi)
EUS mungkin tes yang paling akurat dalam mendiagnosis kanker pankreas. Beberapa
studi membandingkan dengan CT telah menunjukkan bahwa EUS memiliki sensitivitas
yang lebih tinggi dan spesifisitas untuk mendiagnosis, terutama mengevalasi tumor kecil.
Selain itu EUS sangat akurat untuk melihat invasi lokal dan metastasis nodal dari kanker
pankreas. Selain itu EUS juga dapat membantu dalam proses biopsi tumor. (3)

Gambar 11: Pencitraan Ultrasonografi endoskopik pada kanker pankreas. Gambaran diatas
memperlihatkan jarum dalam proses biopsi tumor.
Dikutip dari kepustakaan 3

Gambar 12: Pencitraan EUS pada pasien dengan massa pada kaput pankreas , yang
mengenai vena porta.
Dikutip dari kepustakaan 17

VI. DIAGNOSIS BANDING


Keluhan utama berupa rasa tidak enak abdomen atas, dan ikterus kanker pankreas
perlu dibedakan dari kelainan seperi, kolelitiasis dan pancreatitis kronik. (1)
1. Hepatitis
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari infeksi
asimtomatik tanpa kuning sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang
dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi
dalam 4 tahap yaitu: Fase inkubasi, merupakan waktu antara masuknya virus dan
timbulnya gejala atau ikterus. Fase prodromal, fase diantara timbulnya keluhan-
keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Ditandai dengan malaise, mialgia,
atralgia, mudah lelah, mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi dapat terjadi,
nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium.
Fase ikterus, ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Fase konvalesen
(penyembuhan), diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih
sehat dan kembalinya nafsu makan.(20)
Pada kebanyakan pasien-pasien hepatitis, gambaran parenkim hati umumnya
terlihat normal baik pada USG maupun CT scan. Hanya kadang-kadang dengan USG
adanya peningkatan eko dari dinding cabang-cabang portae perifer pada hepatitis
lebih menonjol.(10)

Gambar 13: (A) Hepatitis akut, ekoparenkim hati dengan hipoekoik, serta sedikit
pembesaran dan prominent portal tracts.
(B) Hepatitis kronis dan cirrhosis, memberi gambaran “ coarse-textured”.
Dikutip dari kepustakaan 9.
2. Kolelitiasis
Kolelitiasis adalah penyebab tersering nyeri pada daerah epigastric atau kuadran
kanan atas, terutama pada pasien usia pertengahan dengan obesitas. Infeksi bakteri dalam
saluran empedu dapat berperan dalam terbentuknya batu. Mukus meningkatkan viskositas
empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi,
infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu empedu,
dibanding sebagai penyebab terbentuknya batu empedu. USG sangat akurat dalam
menentukan diagnosa batu empedu. Pada batu empedu akan terlihat sebagai gambaran
hiperekoik yang bebas pada kandung empedu serta khas membentuk bayangan akustik
(5),(15),(19)
dibawahnya.

Gambar 14: USG. Gambaran kandung empedu (panah), batu empedu (ujung
panah) dengan gambaran bayangan akustik()
Dikutip dari kepustakaan 15

3. Pankreatitis kronik

Pankreatitis kronik ditandai oleh destruksi progresif kelenjar disertai penggantian


jaringan fibrosis yang menyebabkan terbentuknya striktur dan kalsifikasi. Gambaran klisnis
yang banyak dikeluhkan oleh pasien yaitu: nyeri/sakit perut epigastrium, diare, steatore,
distensi dan kembung, serta ikterus. Ikterus ini dapat timbul sebagai akibat dari stenosis
saluran bilier ada fase eksaserbasi akut pankreatitis kronik. Pada USG, pankreatitis kronik
didapatkan peninggian intensitas eko jaringan yang menyeluruh atau dapat juga hanya
sebagian kecil pankreas. Sering ditemukan pelebaran saluran pankreas yang ireguler, bila
terdapat kalsifikasi pada pankreas dan ini dapat dilihat dengan USG. Ketepatan diagnosis
pankreatitis kronik secara USG adalah sebesar 85%. (5),(10)
Gambar 15: USG. Gambaran pankreatitis kronik dengan kalsifikasi (ujung panah) disertai
dilatasi duktus pankreatikus (panah)
Dikutip dari kepustaaan 15

VII. PENATALAKSANAAN
1. Bedah reseksi ‘kuratif’.
Mengangkat/mereseksi komplit tumor massanya. Yang paling sering dilakukan adalah
prosedur Whipple. Operasi whipple merupakan prosedur dengan pengangkatan kepala
(kaput) pankreas dan biasanya sekitar 20% pankreas dihilangkan.
2. Bedah paliatif.
Untuk membebaskan obstruksi bilier, pemasangan stent perkutan dan stent per-
endoskopik.
3. Kemoterapi. 
Bisa kemoterapi tunggal maupun kombinasi. Kemoterapi tunggal seperti 5-FU,
mitomisin-C, Gemsitabin. Kemoterapi kombinasi yang masih dalam tahap
eksperimental adalah obat kemoterapi dengan kombinasi epidermal growth factor
receptor atau vascular endothelial growth factor receptor. Pada karsinoma pankreas
yang telah bermetastasis memiliki respon buruk terhadap kemoterapi. Secara umum
kelangsungan hidup setelah diagnosis metastasis kanker pankreas, kurang dari satu
tahun.
4. Radioterapi.
Biasanya dikombinasi dengan kemoterapi tunggal 5-FU (5-Fluorouracil).
5. Terapi simtomatik.
Lebih ditujukan untuk meredakan rasa nyeri (obat analgetika) dari: golongan aspirin,
penghambat COX-1 maupun COX-2, obat golongan opioid. (4)

VIII. PROGNOSIS
Kanker pankreas adalah penyakit yang sulit, bahkan setelah dioperasi pun resiko
munculnya kanker masih sangat tinggi. Hanya sekitar 20% dari pasien yang menjalani
operasi Whipple untuk kanker pankreas dapat disembuhkan dan hidup selama lima tahun.
Pada pasien yang kankernya telah bermetastasis ,kelangsungan hidupnya (survival rate) rata-
rata tidak lebih dari 6 bulan. (18)

KOLESISTITIS

2.1. Definisi

Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.2. Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu

Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan kanalikuli yang
kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang lebih besar yang mengalir
bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam traktus porta yang terletak
antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris
septum yang lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri
yang berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari
kandung empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang
kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki duodenum melalui
ampulla Vater (Price SA, et al, 2006). Anatomi duktus biliaris secara lengkap dapat dilihat
pada Gambar 1.

Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi elektrolit yang
menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiri dari 82% air, 12% asam
empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7% kolesterol yang tidak diesterifikasi.
Unsur lain termasuk bilirubin terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat
atau hasil metabolisme lainnya.. Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu yang
memiliki kapasitas ± 50 ml. Selama empedu berada di dalam kandung empedu, maka akan
terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadinya proses reabsorpsi sebagian
besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga terjadi
penurunan pH intrasistik (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Gambar 1 : Anatomi duktus biliaris.

(Sumber: Netter Atlas of Human Anatomy)

Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk dari kolesterol
di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan bersifat larut dalam air
akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan diekskresi ke dalam empedu. Sekresi empedu
membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak
sepanjang duktulus empedu. Produksi empedu perhari berkisar 500 – 600 mL (Sudoyo W.
Aru, et al, 2009).

Asam empedu mempunyai kegunaan seperti kankerdeterjen dalam mengemulsi


lemak, membantu kerja enzim pankreas dan penyerapan lemak intraluminal. Asam empedu
primer dapat dialirkan ke duodenum akibat stimulus fisiologis oleh hormon kolesistokinin
(CCK) (meskipun terdapat juga peranan persarafan parasimpatis), dimana kadar hormon ini
dapat meningkat sebagai tanggapan terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat.
Adapun efek kolesistokinin diantaranya (1) kontraksi kandung empedu (2) penurunan
resistensi sfingster Oddi (3) peningkatan sekresi empedu hati (4) meningkatkan aliran cairan
empedu ke duodenum (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan direabsorpsi kembali
di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah portal dan diambil cepat oleh hepatosit,
dikonjugasi ulang dan disekresi ulang ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar ±
20% empedu intestinal tidak direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri
kolon menjadi asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan ± 50% akan
direabsorpsi kembali (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.3. Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis
akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu
dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah
dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu
(Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat
menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor
yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009).

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85


persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu
para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies
Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme –
organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan
fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu (Cullen JJ, et al, 2009)
Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut

(Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko terhadap


perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar
yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan
dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor
lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang
mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit
kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai
penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis,
aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat
nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu,
sehingga terjadi statis dari cairan empedu. (Sitzmann JV, et al, 2008).

2.4. Tanda dan Gejala Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan
tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak
atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya
keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya
riwayat serangan yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau


pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual.
Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume
vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir
selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung
empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta
kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri
secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi
abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan
peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada
perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra
hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala
yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al,
2009).

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan


kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda
– tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa
terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.5. Diagnosis Banding

Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan


peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien – pasien yang dirawat di
ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus dipertimbangkan bila
telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien.
(Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan
seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks
yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan
infark miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan
kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat
mengancam nyawa ibu dan bayi (Yates MR, et al, 2009).

2.6. Diagnosis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai
dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum
sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 %
pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu
tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandung empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan


konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu tanpa
visualisasi kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya
pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh
karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3). Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini
tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung
empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu
(Towfigh S, et al, 2010)

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu
dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%.
Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya
batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).
Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu – batu empedu

berukuran kecil

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih
besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites,
gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat
memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat
pada pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).

Gambar 4 : CT – scan abdomen, tampak batu – batu empedu dan penebalan dinding
kandung empedu.

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak
mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan
duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran
duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit.
Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit

(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan untuk


melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu empedu di duktus biliaris
komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV,
et al, 2009).

Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada jaringan.
Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana
terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat
gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada
kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).

2.7. Tatalaksana

2.7.1. Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan
komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum
kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,
pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti
petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk
mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin,
sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih
dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis


3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1
gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat
diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti
– emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu
merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut.
Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda
obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti
diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai
seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.7.2. Terapi bedah

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah


sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi
konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik
tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan
komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah
sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan,
operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi
lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi
(Wilson E, et al, 2010).

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada


pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya
empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut
nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan
perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini
dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada
pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda.
Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi
medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien
yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan (Wilson E, et al, 2010).
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien
kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi
darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini
mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi
meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya
komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien
kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi
dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat
dilakukan pada lain waktu (Mutignani M, et al, 2009)

Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia ada


awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah digestif. Di luar
negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke
tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus,
terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan
luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai
pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu.
Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif
mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka
kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan
mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et al, 2008). Pada wanita hamil, laparaskopi
kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua trimester (Cox MR, et al, 2008)

Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya adalah:

 Resiko tinggi terhadap anastesi umum


 Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan peritonitis
 Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
 Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem pembekuan
darah (Wilson E, et al, 2010).

2.8. Komplikasi kolesistitis


2.8.1.Empiema dan hidrops

Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut


dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat
tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada pasien laki - laki
dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis
mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis
berat dan sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi
menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai
perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ, et al,
2009).

Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan berkepanjangan
duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung
empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau
cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada
pemeriksaan fisis sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol
dari kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering
tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi.
Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi atau
gangren (Gruber PJ, et al, 2009).

2.8.2. Gangren dan perforasi

Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan


bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan kandung
empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan oklusi arteri.
Gangren biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga
dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu
HH, et al, 2009).

Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan
oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu
yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi
dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi
dan drainase abses (Chiu HH, et al, 2009).

Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar 30%,
Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran kanan atas
karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda
peritonitis generalisata (Chiu HH, et al, 2009).

2.8.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu

Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu
mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum
sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau duodenum,
dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis
terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang
menjalani kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan temuan gas


dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan kontras barium atau
endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin memperlihatkan fistula, tetapi
kolesistografi oral akan hampir tidak pernah menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu
atau saluran fistula. Terapi pada pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi,
eksplorasi duktus koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh
lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki
duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu
empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal
berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus
biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi kecenderungan
pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung empedu. Pemastian
diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-
kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau
menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus
kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi
usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu
lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.8.4. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.

Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu dalam


konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan opasifikasi empedu
yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen. Apa yang
disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak berbahaya, tetapi
kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau sering timbul pada kandung empedu yang
hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam
dinding kandung empedu yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto
polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu
porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan perkembangan
karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.10. Prognosis

Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat dalam 1
– 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan didapatkan pada 85%
kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan
tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang – kadang
kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung
empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi,
angka kematian dapat mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki angka
mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai
prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.
(McPhee SJ, et al, 2009).
ANALISIS MASALAH

3A,B,C,D,E

a. Apa DD dari teraba massa di daerah ulu hati?


 Kanker pankreas
 Kanker Lambung

b. Bagaimana patofisiologi terbentuknya massa di daerah ulu hati terkait kasus?


Eksogenik(makanan tinggi lemak, rendah serat, merokok, alkohol,usia tua)paparan
karsinogenikpembentukan senyawa nitrosaminmasuk ke dalam selkerusakan satu
rantai alelkerusakan DNAkegagalan perbaikan DNAmutasi genom sel inaktivasi
onkogen pemicu pertumbuhan, inaktivasi gen supressor tumor p53,perubahan gen
perbaikan ketidakcocokan(BACR2) Proliferasi tidak terkontrolneoplasma
ganas(kanker pankreas)terbentuk massa pada ulu hati

c. Bagaimana patofisiologi nafsu makan menurun terkait kasus?

Adanya carcinoma pankreas menyebabkan terdesaknya organ disekitar pankreas. Hal ini
menyebabkan obstruksi dari duktus billiaris(saluran empedu) dan menyebabkan kolestasis
yaitu cairan empedu tidak bisa sampai ke usus halus karena adanya penyempitan. Hal ini
berdampak ke sekresi empedu yang terganggu. Empedu menghasilkan hal penting garam
empedu. Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K. Gangguan
eksresi garam empedu dapat mengakibatkan steatorrhea dan hipoprotombinemia. Pada
keadaan kolestasis yang berlangsung lama, dapat menyebabkan gangguan penyerapan Ca
dan vitamin D dan vitamin lain yang larut dalam lemak dapat terjadi dan dapat
menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. Oleh karena itulah nafsu makannya
berkurang karena hasil dari malnutrisi dan kehilangan cairan akibat penyerapan yang
buruk. Selain itu juga disebabkan karena mual-mual yang menyebabkan seseorang tidak
nafsu makan.

d. Bagaimana patofisiologi mual-mual terkait kasus?


Ekskresi empedu terganggudistensi kandung empeduperadangan pada saluan
empedu perubahan kenyamanan(nyeri)mual-mual
e. Bagaimana hubungan keluhan 4 bulan yang lalu dengan keluhan yang sekarang?
Carcinoma pankreasorgan disekitar terdesaksaluran empedu mengalami obstruksi
cairan dari empedu tidak masuk ke duodenum(kolestasis) terdapat bendungan pada
organ disekitarkerusakan sel parenkimbilirubin direk(terkonjugasi) di
plasmakemudian pada periferikterus.
Efek balik empedu (bilirubin, garam empedu, dan kolesterol) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk untuk eksresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia
dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih
sedikit yang dapat mencapai usus halus
6A,B,C

a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan spesifiknya?

Mata : Sklera ikterik (+/+), konjungtiva palpebra pucat

Thorax : Paru : suara nafas vesikuler normal, ronchi (-/-), wheezing


(-/-)

Jantung : HR: 84x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : nyeri tekan perut kanan atas, Murphy sign (+), teraba massa pada
epigastrium berukuran 7x4 cm, konsistensi keras berdungkul-dungkul, shifting
dullness (-)

Ekstremitas : edema (-)

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi


Mata Sklera ikterik(+/+) Mata berwarna kuning
Paru  Suara nafas  Suara nafas normal
vesikular normal  Tidak ada
 Ronchi(-/-) ronchi(normal)
 Wheezing(-/-)  Tidak terdapat
wheezing(normal)

Jantung  HR: 84x/menit  Normal(60-


 Murmur(-) 100x/menit)
 Gallop(-)  Tidak terdapat
murmur(normal)
 Tidak terdapat
gallop(normal)
Abdomen  Nyeri tekan perut  Abnormal
kanan atas  Ada massa
 Massa pada /tumor(Abnormal)
epigastrium ukuran  Tidak ada shifting
7x4cm, konsistensi dullness/tidak ada
keras berdungkul- asites(Normal)
dungkul
 Shifting dullness(-)
Ekstremitas Edema(-)  Tidak terdapat
edema(normal)

b. Bagaimana mekanisme abnormalitas pemeriksaan spesifiknya?


 Sklera ikterik
Kadar bilirubin yang terlalu tinggi di sirkulasi akan menyebabkan terjadinya gejala
kuning, terutama pada sclera. Karena sclera normal berwarna putih, sehingga dapat
jelas terlihat warna kuningnya.
 Nyeri tekan di kuadran kanan atas
Penyebab pasien merasakan nyeri perut kanan atas terjadi setelah bilirubin
terkonjugasi keluar dari hepar. Gangguan ini paling sering terjadi karena obstruksi
saluran pengeluaran. Hal ini terjadi karena terdapat pembesaran kandung empedu
 Massa pada epigastrium ukuran 7x4cm, konsistensi keras berdungkul-dungkul
Eksogenik(makanan tinggi lemak, rendah serat, merokok, alkohol,usia tua)paparan
karsinogenikpembentukan senyawa nitrosaminmasuk ke dalam selkerusakan
satu rantai alelkerusakan DNAkegagalan perbaikan DNAmutasi genom sel
inaktivasi onkogen pemicu pertumbuhan, inaktivasi gen supressor tumor
p53,perubahan gen perbaikan ketidakcocokan(BACR2) Proliferasi tidak
terkontrolneoplasma ganas(kanker pankreas)terbentuk massa pada ulu hati
 Murphy sign (+)
Murphy’s sign atau Tanda Murphy merupakan alat pemeriksaan yang sangat
bermanfaat untuk menunjang diagnosa kolesistitis. Konfirmasi diagnosis tergantung
penemuan padapemeriksaan fisik, laboratorium, dan hasil pencitraan sehingga
sonografi Murphy’s Sign  juga bermanfaat. Kolesistitis merupakan kondisi yang
sering terjadi akibat peristiwa inflamasi, infeksi, metabolik, neoplasma, dan kelainan
kongenital. Angka terbesar kejadian kolesistitis akut paling banyak pada dewasa usia
30 sampai 80 tahun. Wanita beresiko 2 kali lebih besardibandingkan pria.
Kolesistitis memiliki ciri khas nyeri ringan hingga sedang pada regio kuadran kanan
atas (hipocondriaca dextra) dan epigastrium abdomen. Rasa nyeri biasanya menjalar
hingga belakang skapula kanan dan punggung. Mual, muntah, demam derajat ringan,
dan leukositosis sering terjadi. Gejala muncul biasanya sering berhubungan
dengan konsumsi makanan dengan kandungan tinggi lemak pada 1 atau beberapa
jam sebelum onset nyeri muncul.
c. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan fisik spesifik?
 Kepala: Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi.
Untuk pasien ikterus perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1. Lihat/inspeksi, adakah Sklera ikterik? serta tentukan warnanya apakah
memberi kesan kekuningan (yellownish jaundice) atau kehijauan (greenish
jaundice) atau hanya sub ikterik? Kesan yellownish jaundice menandakan
ikterus berasal dari kelainan intrahepatik, Greenish jaundice menandakan
ikterus berasal dari kelainan ekstrahepatik.

2. Cari kemungkinan ikterik yang juga dapat tampak pada palatum mole dan
frenulum linguale?
3. Cari tanda-tanda anemia? Bisa dilakukan dengan melihat warna
konjungtiva palpebra. Anemia disertai ikterik perlu dipikirkan anemia
hemolitik.
4. Adakah Sianosis perioral(daerah sekitar mulut)? Sianosis perioral
menunjukkan adanya kelainan pada cor atau pulmo. Sering pada cardiac
sirrosis.
5. Adakah Fetor hepatikum? Menandakan banyak amoniak dalam tubuh yang
merupakan tanda kegagalan fungsi hati. Paling sering pada koma
hepatikum. Fetor hepatikum adalah bau apek manis yang ditemukan pada
bau mulut penderita, terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam
metabolisme metionin, gangguan neurologik yang paling serius adalah
enselofati hepatic yang terjadi akibat kelainan metabolisme amonia dan
peningkatan kepakan otak terhadap toksin.
 Leher: Untuk pasien ikterus, pada pemeriksaan bagian leher perlu
diperhatikan hal-hal berikut:
1. Tentukan JVP apakah meningkat? Menunjukkan bendungan sistemik/
portal. Misal pada cardiac sirrosis.
2. Pada palpasi, apakah KGB teraba membesar ? Menunjukkan adanya
infeksi. Hepatitis dapat dengan pembesaran KGB.
 Thorax
1. Tentukan batas paru-hepar dengan perkusi, apakah ada peranjakan hati ?
2. Cari kemungkinan adanya ginekomastia dan spider nevy ? Merupakan
salah satu stigmata (tanda khas) Sirosis Hepatis.

 Abdomen
1. Inspeksi, cari adanya : Massa, ascites, venektasi. Kelainan-kelainan ini
sering terdapat pada SH dan hepatoma.
2. Auskultasi : Cari kemungkinan terdapat bruit pada massa yang tampak.
Bruit (+) pada massa hepar menunjukkan Hepatoma. Selain itu dengarkan
juga bising usus di 1 atau 2 tempat di abdomen selama 1 menit.
3. Perkusi :
 Nilai adanya acites dengan shifting dullness. Prinsipnya cairan bebas
akan berpindah ke bagian abdomen terendah. Pasien tidur terlentang,
lakukan perkusi dan tandai peralihansuara timpani ke redup pada kedua
sisi. Lalu pasien diminta tidur miring pada satu sisi, lakukan perkusi
lagi, tandai tempat peralihan suara timpani ke redup maka akan tampak
adanya peralihan suara redup.

 Cari kemungkinan adanya nyeri ketok pada regio hepar, kendung


empedu, epigastrium
 Cari splenomegali dengan menilai ruang troube.

4. Palpasi :
 Tentukan konsistensi abdomen
 Adakah Hepatomegali? Tentukan besar dan konsistensi? tepi tajam /
tumpul ? permukaan licin-rata / berbenjol-benjol? nyeri tekan (NT) ada
atau tidak?
 Adakah Splenomegali ? Tentukan dalam batas schuffner
 Nilai Murphy sign. Murphy’s sign atau Tanda Murphy merupakan alat
pemeriksaan yang sangat bermanfaat untuk menunjang diagnosa
kolesistitis. Pasien di periksa dalam posisi supine (berbaring). Ketika
pemeriksa menekan/palpasi regio subcostal kanan (hipokondriaka
dextra) pasien, kemudian pasien diminta untukmenarik nafas panjang
yang dapat menyebabkan kandung empedu turun menujutangan
pemeriksa. Ketika manuver ini menimbulkan respon sangat nyeri
kepada pasien,kemudian tampak pasien menahan penarikan nafas
(inspirasi terhenti), maka hal ini disebut “murphy’s sign positif ”.
 Nilai empedu ballotement.
 Jika teraba massa hati dgn tepi tajam, permukaan licin dan rata,
konsistensi keras, NT (+) : Hepatitis
 Jika teraba massa hati dgn tepi tajam, permukaan berbenjol-benjol dan
rata, konsistensi keras, NT (+) : Hepatoma
 Jia teraba massa hati dengan tepi tumpul, permukaan licin dan
berbenjol, fluktuasi (+), konsistensi lunak, NT (+) : Abses Hepar
 Ekstremitas
1. Adakah Oedem ? Pitting / non-pitting ? Pitting oedem dapat
menunjukkan hipoalbuminemia sebagai kegagalan sintesis hati serta
retensi Na dan air sebagai akibat dari hipertensi porta. Sering
pada Sirosis hepatis. Dapat dilakukan dengan menekan di daerah
pretibial.
2. Eritema palmaris. Lakukan dengan melihat telapak tangan

8E,G

e. Faktor resiko?

 Genetik
5 – 10 % penderita memiliki anggota keluarga dekat yang juga menderita kanker pankreas.
Beberapa gen yang berbeda telah dihubungkan dengan peningkatan resiko, meskipun belum
ada gen kanker pankreas yang teridentifikasi.

 Diabetes

Penderita diabetes belum tentu memiliki kecenderungan untuk menderita kanker pankreas,
namun kedua penyakit ini memiliki kaitan.

 Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok dikenal dapat meningkatkan resiko kanker pankreas. Semakin banyak
seseorang merokok, semakin tinggi pula resikonya. 10 tahun setelah berhenti merokok, resiko
kanker pankreas akan kembali seperti mereka yang tidak pernah merokok.

 Obesitas dan kurangnya aktifitas

Hasil penelitian menunjukkan, mereka yang obesitas (indeks massa tubuh > 30) memiliki
kecenderungan mengidap kanker pankreas. Mereka yang sering berolahraga memiliki
setengah dari resiko kanker pankreas pada mereka yang jarang berolahraga.

 Diet

Diet tinggi lemak dan daging (khususnya produk daging olahan) telah dikaitkan dengan
kanker pankreas. Sedangkan diet sehat yang kaya akan buah-buahan dan sayur-sayuran
menurunkan resiko kanker pankreas. Namun penelitian lainnya menunjukkan tidak ada
hubungan yang dapat diidentifikasi antara diet dan kanker pankreas

f. Patofisiologi?
DAFTAR PUSTAKA

1. Japaries, Willie. Karsinoma Pankreas. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi
Kedua. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2008: hal 442-9
2. Mayer, J Robert. Pancreatic Cancer. In: Kasper L, Denis et all. Harrison’s Principles
of Internal Medicine .16th Edition. United States of America: McGraww Hill Companies,
Inc. 2005; Chapter 79
3. Castillo, Carlos Fernandez-del., Jimenez, Ramon E. Pancreatic cancer. In: Feldman,
M., Friedman, L S., Brandt, L J. Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver
Disease. 8th edition. Philadelphia. Elsevier, Inc. 2006. Chapter 58
4. Padmomarono, F Soemanto. Kanker Pankreas. In: Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jakarta: Interna Publishing. 2006; hal 492-6
5. Lindseth, N Glenda . Gangguan hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. In: Price,
Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume 1. Jakarta. Penerbit EGC.
2003; hal 507-8
6. Debas, Haile T. Pancreas. In Gastrointestinal surgery pathophysiology and
management. USA. Springer. 2003:p. 90,92
7. Brand, Randall E. Tumors Of The Pancreas. In: Friedman, Scott L.; McQuaid,
Kenneth R.; Grendell, James H. Current Medical Diagnosis and Treatment in
Gastroenterology. Edisi Kedua. California. McGraw Hill. 2003; p. 511-8
8. Murfitt, Janet. The pancreas. In: Sutton, David. Textbook of Radiology and Imaging
volume 1. 7th edition. China. Churchill Livingstone. 1998: 789
9. Bates, Jane. Abdominal Ultrasound How, Why, When. second edition. China.
Churchill Livingstone. 2004. p.107,130
10. Boer, Aswar. Ultrasonografi Pankreas. In: Ekayuda, Iwan. Radiologi Diagnostik.
Edisi Kedua. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2009: hal 483-8
11. Bowles, Matthew J., Benjamin, Irving S. Cancer of the stomach and pancreas. In:
Logan, Robert P. H. ABC of the upper Gastrointestinal Tract. Spain. BMJ books. 2002: p.
43
12. Benson, Al B., Myerson, Robert J., Sasson, Aaron R. Pancreatic, neuroendocrine GI,
and Adrenal cancer. Available from www.CancerNetwork.com updated March 25, 2011
13. Hariharan, D; Saied, A.; Kocher, H. Analysis of mortality rates for pancreatic cancer
across the world. The Official Journal of the International Hepato Pancreato Biliary
Association. Blackwell Publishing. Available from www.ncbi.nlm.nih.gov, updated
december 20, 2007
14. Freelove, R.; Walling, Anne D. Pancreatic Cancer: Diagnosis and Management.
American Family Physician. Available from www.aafp.org Updated Februari 1, 2006
15. Ahuja, A.T., Antonio, G.F., Yuen H.Y. Case Studies in Medical Imaging. NewYork.
Cambridge University Press. 2006: p.371, 391, 393
16. Nishiharu, Taiji, et al. Local Extension of pancreatic carcinoma: Assessment with
thin-section helical CT versus with breath-hold fast MR imaging-ROC Analysis. August
1999:p. 449
17. Varadarajulu, Shyam; Wallace ,Michael B. Application of endoscopic
Ultrasonography in Pancreatic Cancer. Cancer control: Journal of the Moffitt Cancer
center. Available from www.medscape.com updated September, 2004
18. Hua, Yun-Peng, et al. Pancreatic head carcinoma: clinical analysis of 189 cases.
Guangzhou, china. Hepatobiliary Pancreat Dis Int , Vol 8 , No 1 • February 15 , 2009.
Available from www.hbpdint.com
19. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi Traktus Biliaris dan Hati. Dalam: Ekayuda, Iwan.
Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2009: hal 458-72
20. Sanityoso, Andri. Hepatitis virus akut. In: Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jakarta: Interna Publishing. 2006; hal 427

21. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep
2009;188(3):325-6.
22. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for acute
inflammation of the gallbladder. Ann Surg. Nov 2008;218(5):630-4.

23. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum gallbladder
motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug 2009;232(2):202-7.

24. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis. Gastroenterol
Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.

25. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and leukocytosis in
acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7.

26. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin


Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.
27. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison: Prinsip –
Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa Indonesia: Prof. Dr.
H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009.
28. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC. 2009.

29. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings of mild
forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-Aug
2009;33(4):274-80.
30. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis & Treatment.
McGraw Hill: Lange. 2009.

31. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for acute
cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. Jun 2009;41(6):539-46.
32. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar – Dasar Penyakit. EGC.
Jakarta. 2006.

33. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute


cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3.

34. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic
cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative
cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc. Mar 2009;49(3 Pt 1):334-43.

35. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of randomized clinical trials.
Am J Surg. Jan 2008;195(1):40-7.
36. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents parenteral
nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet. Jan 2008;170(1):25-
31.
37. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
EGC. Jakarta. 2009.

38. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is not associated
with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-10.

39. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of information
analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis.
Br J Surg. Feb 2010;97(2):210-9

40. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis. 2009;3:131-
147.

Anda mungkin juga menyukai