Anda di halaman 1dari 25

Shagnez Dwi Putri

04011181520015
Beta 2015
I. Learning Issue
IKTERUS OBSTRUKTIF
Definisi
Ikterus adalah perubahan warna kuning pada sklera mata, kulit, dan membran mukosa yang
disebabkan oleh deposisi bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Kata lain
ikterus yaitu Jaundice yang berasal dari kata Perancis “jaune” yang berarti kuning. Jaundice
merupakan tanda bahwa hati atau system empedu tidak berjalan normal (Stump, 1993).
Ikterus obstruktif adalah ikterus dengan bilirubin conjugated tinggi yang dapat bersifat akut
atau kronik dengan dilatasi atau tanpa dilatasi saluran empedu yang disebabkan karena
adanya hambatan dalam pengaliran empedu dari sel hati yang menuju duodenum, sehingga
bilirubin menumpuk di dalam aliran darah( Stump, 1993).
Ikterus sebaliknya diperiksa dibawah cahaya terang dengan melihat sclera mata, dan jika ini
terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2- 2,5 mg/dL( 34 sampai 43 umol/L). jika ikterus
sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin sudah mencapai 7 mg% (Sulaiman,
2006)
Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi
- Kolelitiasis
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya
batu empedu di dalam kandung empedu (vesika felea) yang memiliki ukuran, bentuk dan
komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis jarang pada anak-anak, lebih sering dijumpai pada
individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor
resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
- Kolesistitis
Kolesistitis adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya merupakan akibat
dari adanya batu empedu didalam duktus sistikus, yang secara tiba-tiba menyebabkan
serangan nyeri yang luar biasa.
Faktor Resiko
Faktor risiko batu empedu dikenal dengan singkatan 4F, yaitu Forty, Female, Fat, Family.
Artinya, batu empedu lebih umum pada mereka yang berusia di atas 40 tahun, wanita,
kegemukan dan punya riwayat keluarga terkena batu empedu.
Epidemiologi
Banyaknya kasus batu empedu di Indonesia adalah batu pigmen, sedangkan di luar negeri
kebanyakan batu kolesterol. Kasus wanita lebih banyak pada pria. Pada wanita, ada pengaruh
hormon estrogen dan progesteron karena mempengaruhi pengosongan dan peristaltik kantung
empedu, biasanya pada usia 40 tahun ke atas. Berdasarkan penelitian di RSCM Jakarta dari
51 pasien di bagian Hepatologi ditemukan 73% pasien yang menderita penyakit batu empedu
pigmen dan batu kolesterol pada 27% pasien.
Patogenesis dan/atau Patofisiologi
Patofisiologi
Obstruksi yang terjadi menghalangi aliran bilirubin di hati atau dari kandung empedu ke
jejunum. Hal ini mengakibatkan terjadinya regurgitasi bilirubin ke dalam aliran darah,
sehingga kadar bilirubin dalam darah meningkat, dan menyebabkan tanda dan gejala klinis.
Pada kasus ini, obstruksi disebabkan oleh batu empedu yang akhirnya menyumbat saluran
empedu karena batu yang kecil melewati ke dalam duktus koledokus, dan dapat diikuti oleh
kolesistitis. Peradangan akut dinding kandung empedu biasanya mengikuti obstruksi duktus
sistikus oleh batu. respon inflamasi dapat ditimbulkan oleh tiga faktor: (1) peradangan
mekanik diproduksi oleh peningkatan tekanan intraluminal dan distensi yang dihasilkan
dengan iskemia mukosa kandung empedu dan dinding, (2) peradangan kimia disebabkan oleh
pelepasan lisolesitin (karena aksi fosfolipase pada lesitin dalam empedu) dan faktor jaringan
lokal lainnya, dan (3) peradangan bakteri, yang mungkin memainkan peran dalam 50-85%
pasien dengan kolesistitis akut. Organisme yang paling sering pada pasien ini termasuk
Escherichia coli, Klebsiella spp., Streptococcus spp. dan Clostridium spp.
Patogenesis
Obstruksi yang terjadi menghalangi aliran bilirubin di hati atau dari kandung empedu ke
jejunum. Hal ini mengakibatkan terjadinya regurgitasi bilirubin ke dalam aliran darah,
sehingga kadar bilirubin dalam darah meningkat, dan menyebabkan tanda dan gejala klinis.
Pada kasus ini , obstruksi disebabkan oleh batu empedu yang akhirnya menyumbat saluran
empedu karena batu yang kecil melewati ke dalam duktus koledokus, dan dapat diikuti oleh
kolesistitis. Peradangan akut dinding kandung empedu biasanya mengikuti obstruksi duktus
sistikus oleh batu. respon inflamasi dapat ditimbulkan oleh tiga faktor: (1) peradangan
mekanik diproduksi oleh peningkatan tekanan intraluminal dan distensi yang dihasilkan
dengan iskemia mukosa kandung empedu dan dinding, (2) peradangan kimia disebabkan oleh
pelepasan lisolesitin (karena aksi fosfolipase pada lesitin dalam empedu) dan faktor jaringan
lokal lainnya, dan (3) peradangan bakteri, yang mungkin memainkan peran dalam 50-85%
pasien dengan kolesistitis akut. Organisme yang paling sering pada pasien ini termasuk
Escherichia coli, Klebsiella spp., Streptococcus spp. dan Clostridium spp.
Gambar. Metabolisme Bilirubin

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari ikterus obstruksi adalah perubahan warna urin menjadi lebih kuning
dan gelap, tinja pucat, dan timbul pruritus di seluruh tubuh. Ikterus obstruksi kronik
(kolestasis) dapat menimbulkan pigmen kulit yang hitam, ekskoriasi akibat pruritus,
perdarahan diathesis, sakit tulang, dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma).
Gejala sistemik seperti muntah, demam, anoreksia, dan sakit perut dapat menunjukkan
etiologi dari kolestasis tersebut.

Tes Laboratorium
Kelainan laboratorium yang khas adalah peninggian nilai fosfatase alkali, yang diakibatkan
terutama peningkatan sintesis daripada karena gangguan ekskresi, namun tetap belum bisa
menjelaskan penyebabnya. Nilai bilirubin juga mencerminkan beratnya tetapi bukan
penyebab kolestasisnya, juga fraksionasi tidak menolong membedakan keadaan intrahepatik
dari ekstrahepatik.
Nilai aminotransferase bergantung terutama pada penyakit dasarnya, namun seringkali
meningkat tidak tinggi. Jika peningkatan tinggi sangat mungkin karena proses hepatoselular,
namun kadang-kadang terjadi juga pada kolestasis ekstrahepatik, terutama pada sumbatan
akut yang diakibatkan oleh adanya batu di duktus koledokus.
Peningkatan amilase serum menunjukkan sumbatan ekstrahepatik. Perbaikan waktu
protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah kepada adanya bendungan ekstrahepatik,
namun hepatoselular juga berespon. Ditemukannya antibody terhadap antimitokondria
mendukung keras kemungkinan sirosis bilier primer.
Pencitraan
Pemeriksaan saluran bilier sangat penting. Pemeriksaan sonografi, CT scan dan MRI
memperlihatkan adanya pelebaran saluran bilier, yang menunjukkan adanya sumbatan
mekanik, walaupun jika tidak ada tidak selalu berarti sumbatan intrahepatik, terutama dalam
keadaan masih akut. Penyebab adanya sumbatan mungkin bisa diperlihatkan, umumnya batu
kandung empedu dapat dipastikan dengan ultrasonogafi, lesi pancreas dengan CT.
kebanyakan pusat menggunakan USG untuk mendiagnosa kolestasis karena biayanya yang
rendah.
Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography (ERCP) memberikan kemungkinan
untuk melihat secara langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat untuk menetapkan sebab
sumbatan ekstrahepatik. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC) dapat pula
dipergunakan untuk maksud ini. Kedua cara tersebut diatas mempunyai potensi terapeutik.
Pemeriksaan MRCP dapat pula untuk melihat saluran empedu dan mendeteksi batu dan
kelainan duktus lainnya dan merupakan cara non invasif alternative terhadap ERCP.
Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik. Namun demikian, bisa
timbul juga kesalahan, terutama juka penilaian dilakukan oleh orang yang kurang
berpengalaman, umumnya, biopsi aman pada kasus dengan kolestasis, namun berbahaya pada
keadaan obstruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya harus disingkirkan dahulu
dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsi dilakukan.

Penatalaksanaan
Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika penyebabnya
adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus) biasanya jaundice akan menghilang sejalan
dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal
(pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah
mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) biasanya
responsive terhadap kolestiramin 4-16 g/hari yang akan mengikat garam empedu di usus,
kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah
pemberian fitonadion (vitamin K1) mh/hari SK untuk 2-3 hari.
Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang ireversibel. Jika
penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan
pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase bilier paliatip
dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara
endoskopi. Papilotomi endoskopi dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparatomi
pada pasien dengan batu di duktus koledokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin
diperlukan untuk membantu pengeluaran batu di saluran empedu (Sulaiman, 2006).

KOLESITITIS
Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang berada
di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.
Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik.
Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih
nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik
merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat
erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak
menonjol.
Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu,
infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut
adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu
empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase
limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak
faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi
inflamasi dan supurasi.
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu, stasis
empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol.
Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum
dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung
empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor
hormonal terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu
yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan
tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi
penyebab terbentuknya batu empedu.4
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori telah
diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini
dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam
kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu
akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka
waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin
untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin
merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada
pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu,
sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang
terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga
berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin dalam
menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya mukosa
secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan
respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung
empedu.5
Diagnosis
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas yang bertahan
dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat darurat
lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta pasien
melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada
beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula
dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun
nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua
kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat
terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik)
dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.

Gambar 2.1 Algoritma diagnosis kolesistitis8

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas abdomen, dan
seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat inspirasi seringkali
menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan pasien berhenti menghirup
napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan
demam.6,7
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan leukositosis
dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan peningkatan
ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali
fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.2,6,7
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi (USG),
computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat
ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, adanya cairan di perikolesistik,
dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas.
Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.1,7
Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis9
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu memperlihatkan
adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat dengan
pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau
99m Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada
USG dan juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa
adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi
sangat menyokong kolesistitis akut.
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah:
 Gejala dan tanda lokal
o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
 Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
 Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi
Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau
skintigrafi yang mendukung.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:
 Aneurisma aorta abdominal
 Iskemia messenterium akut
 Apendisitis
 Kolik bilier
 Kolangiokarsinoma
 Kolangitis
 Koledokolitiasis
 Kolelitiasis
 Mukokel kandung empedu
 Ulkus gaster
 Gastritis akut
 Pielonefritis akut3
Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat.
Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan
lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah
metode pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran
besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum terminal atau di
duodenum dan atau di pilorus.
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara
di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti
Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih
sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada
kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan
perforasi, diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari
15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. 3
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan ada tidaknya
komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan, sedangkan
pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana pembedahan. Antibiotik dapat
diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan
meliputi mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena,
koreksi abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk
kolesistitis akut yang ringan, cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan
terapi yang dapat diberikan:3
 Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada kasus
berat yang mengancam nyawa direkomendasikan imipenem/cilastatin.
 Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan
metronidazol.
 Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
 Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin intravena.3
Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat jalan dengan syarat:
1. Tidak demam dan tanda vital stabil
2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.

Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut

Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:


 Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.
 Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk mengkontrol mual
dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
 Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.3
Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi. Kolesistektomi
laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis. Penelitian menunjukkan
semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu perawatan di rumah sakit
semakin berkurang.
Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:
 Resiko tinggi untuk anestesi umum
 Obesitas
 Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis, atau
fistula
 Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
 Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang
berat.3
Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase perkutaneus dengan
menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi transhepatik dengan bantuan
ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut dapat
menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis
akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini.3
Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode endoskopi dapat
berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic retrograde
cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung empedu secara jelas dan
sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus biliaris. Endoscopic ultrasound-
guided transmural cholecystostomy adalah metode yang aman dan cukup baik dalam terapi
pasien kolesistitis akut yang memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang
endoscopic gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien
kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien dan secara
klinis setelah 3 hari pada 24 pasien.3
Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu menjadi
tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis
rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang menjadi gangren, empiema dan
perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat
dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut
pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan
banyak timbul komplikasi pasca bedah.

KOLANGITIS
Definisi
Kolangitis akut merupakan superimpose infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi saluran
bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu namun dapat pula ditimbulkan oleh
neoplasma ataupun striktur.
Epidemiologi
Kolangitis merupakan infeksi pada duktus koledokus yang berpotensi menyebabkan
kesakitan dan kematian. Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%. Kolangitis ini dapat
ditemukan pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan perbandingan antara laki-
laki dan perempuan  tidak ada yang dominan diantara keduanya. Berdasarkan usia dilaporkan
terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun.
Etiologi
Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah : koledokolitiasis, obstruksi struktur saluran
empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bagaimanapun berat penyebab obstruksi,
kolangitis tidak akan terjadi tanpa cairan empedu yang terinfeksi. Kasus obstruksi akibat
keganasan hanya 25-40% yang hasil kultur empedunya positif.  Koledokolitiasis menjadi
penyebab tersering kolangitis.
Dalam beberapa tahun terakhir dengan semakin banyaknya pemakaian manipulasi saluran
biliaris invasif seperti kolangiografi, stent biliaris, untuk terapi penyakit saluran biliaris telah
menyebabkan pergeseran penyebab kolangitis. Selain itu pemakaian jangka panjang stent
biliaris seringkali disertai obstruksi stent oleh cairan biliaris yang kental dan debris biliaris
yang menyebabkan kolangitis.
Manifestasi Klinis
Walaupun gambaran klasik kolangitis terdiri dari trias, demam, ikterus, dan nyeri abdomen
kuadran kanan atas yang dikenal dengan trias Charcot, namun semua elemen tersebut hanya
ditemukan pada sekitar 50 persen kasus. Pasien dengan kolangitis supuratif tampak bukan
saja dengan adanya trias charcot tapi juga menunjukkan penurunan kesadaran dan hipotensi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cameron, demam di temukan pada lebih dari 90 persen
kasus, ikterus pada 67 persen kasus  dan nyeri abdomen hanya pada 42 persen kasus. 
Dua hal  yang diperlukan untuk terjadinya kolangitis yaitu adanya obstruksi aliran empedu
dan adanya bakteri pada duktus koledokus. Pada sebagian besar kasus, demam dan mengigil
disertai dengan kolangitis menandakan adanya bakteriemia. Biakan darah yang diambil saat
masuk ke rumah sakit untuk kolangitis akut adalah positif pada 40 sampai 50 persen pasien.
Pada hampir semua serial Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae adalah organisme
tersering yang didapatkan pada biakan darah. Organisme  lain  yang dibiakan dari darah
adalah spesies Enterobacter, Bacteroides, dan Pseudomonas.
Dalam serial terakhir species Enterobacter dan Pseudomonas lebih sering ditemukan,
demikian juga isolat gram negatif dan spesies jamur dapat dibiak dari empedu yang
terinfeksi. Adapun organisme anaerobik yang paling sering diisolasi adalah Bacteroides
fragilis. Tetapi, anaerobik lebih jarang ditemukan pada serial terakhir dibandingkan saat
koledokolitiasis merupakan etiologi kolangitis yang tersering.
Tabel 3. Gambaran Khas Ikterus Hemolitik, Hepatoseluler dan Obstruktif
Gambaran Hemolitik Heaptoseluler Obstruktif
(intrahepatic)
Warna kulit Kuning pucat Oranye-kuning Kuning-hijau muda
muda atau tua atau tua
Warna urine Normal (atau gelap Gelap (bilirubin Gelap (bilirubin
dengan urobilin) terkonjugasi) terkonjugasi)
Warna feses Normal atau gelap Pucat (lebih sedikit Warna dempul
(lebih banyak sterkobilin) (tidak ada
sterkobilin) sterkobilin)
Pruritus Tidak ada Tidak menetap Biasanya menetap
Bilirubin serum Meningkat Meningkat Meningkat
indirek atau tak
terkonjugasi
Bilirubin direk Normal Meningkat Meningkat
atau terkonjugasi
Bilirubin urine Tidak ada Meningkat Meningkat
Urobilinogen Meningkat Sedikit meningkat Menurun
urine

Diagnosis
Diagnosis kolangitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Pada anamnesis penderita kolangitis dapat ditemukan adanya keluhan demam, ikterus, dan
sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya mengalami dingin dan demam dengan
gejala perut yang minimal. Ikterus atau perubahan warna kuning pada kulit dan mata
didapatkan pada sekitar 80% penderita.
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali, ikterus, gangguan
kesadaran, sepsis, hipotensi dan takikardi.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian besar pasien.
Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Leukopeni atau trombositopenia kadang-
kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar penderita
mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin yang tertinggi terjadi pada
obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase dan transaminase serum juga
meningkat yang menggambarkan proses kolestatik.
Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah:
Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos abdomen jarang
memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu saluran empedu yang terdiri
dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang dapat dilihat. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar hidrops, kandung empedu kadang juga dapat
terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara
dalam usus besar, di fleksura hepatika.
Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau
edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus. Dengan
ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan gaya
gravitasi.
1. CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu kandung
empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung empedu yang
mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90 persen.

Gambar 3.  CT scan yang menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan
dilatasi duktus pankreatikus (panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin

2. ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang menggunakan
lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal. Endoscope
Retrograde  Cholangiopancreotography (ERCP) dapat lebih akurat menentukan penyebab dan
letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan
mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.

Gambar. 4 Menunjukkan
endoscope
Cholangiopancreotography
(ERCP) dimana menunjukkan
duktus biliaris yang berdilatasi
pada bagian  tengah dan distal
(dengan gambaran feeling
defect).
 

3. Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati dan
kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan spesifitas sekita
90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk melihat duktus empedu dan duktus
sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat mengidentifikasi batu saluran empedu atau
hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak anatominya. Agent yang digunakan
untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat asam iminodiasetik dengan label  99mTc.
4. Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier melalui prinsip
kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi yang lebih jelas. Pasien
diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi
diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar  dan di ekskresi ke dalam empedu dan
dikirim ke kandung empedu.
5. Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien dengan
kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk menentukan patologi
biliaris dan penyebab  obstruksi saluran empedu sebelum terapi definitif. Jadi, kolangiografi
jarang diperlukan pada awal perjalanan kolangitis dan dengan demikian harus ditunda sampai
menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien yang datang dengan kolangitis
supuratif, yang tidak berespon terhadap antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi
segera mungkin diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi retrograd
endoskopik ataupun kolangiografi transhepatik perkutan dapat digunakan untuk menentukan
anatomi atau patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis
pada sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik yang tepat harus
diberikan sebelum instrumentasi pada semua kasus.
Diagnosis Banding
1. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang
terjebak di dalam kantong Hartmann. Pada keluhan utama dari kolesistikus akut adalah nyeri
perut di kuadran kanan atas, yang kadang-kadang menjalar ke belakang di daerah skapula.
Biasanya ditemukan riwayat kolik dimasa lalu, yang pada mulanya sulit dibedakan dengan
nyeri kolik yang sekarang. Pada kolesistitis, nyeri menetap dan disertai tanda rangsang
peritoneal berupa nyeri tekan dan defans muskuler otot dinding perut. Kadang-kadang
empedu yang membesar dapat diraba. Pada sebagian penderita, nyeri disertai mual dan
muntah.
2. Pankreatitis
Pankreatitis adalah radang pankreas yang kebanyakan bukan disebabkan oleh infeksi bakteri
atau virus, akan tetapi akibat autodigesti oleh enzim pankreas yang keluar dari saluran
pankreas. Biasanya serangan pankreatitis timbul setelah makan kenyang atau setelah minum
alkohol. Rasa nyeri perut timbul tiba-tiba atau mulai secara perlahan. Nyeri dirasakan di
daerah pertengahan epigastrium dan biasanya menjalar menembus ke belakang. Rasa nyeri
berkurang bila pasien duduk membungkuk dan bertambah bila terlentang. Muntah tanpa mual
dulu sering dikeluhkan dan muntah tersebut sering terjadi sewaktu lambung sudah kosong.
Gambaran klinik tergantung pada berat dan tingkat radang. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan perut tegang dan sakit terutama bila ditekan. Kira-kira 90% disertai demam,
takikardia, dan leukositosis.
3. Hepatitis
                
Hepatitis merupakan salah satu infeksi virus pada hepar yang terdiri dari hepatitis A,
hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D dan hepatitis E. Hepatitis B merupakan hepatitis yang
paling sering terjadi. Keluhan utamanya yaitu nyeri perut pada kuadran kanan atas sampai di
ulu hati. Kadang disertai mual, muntah dan demam. Sekitar 90% kasus hepatitis merupakan
infeksi akut. Sebagian menjadi sembuh dan sebagian lagi menjadi hepatitis fulminan yang
fatal.
Penatalaksanaan
Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah konservatif.
Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan antiobiok dimulai.
Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral. Dengan
kolangitis supuratif dan syok septik mungkin memerlukan terapi di unit perawatan insentif
dengan monitoring invasif  dan dukungan vasopresor.
Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan bakteriologi yang
diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan. Kombinasi
ini adalah pilihan  yang sangat baik untuk melawan basil gram negatif yang sering ditemukan
dan memberikan antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan metronidazole atau
clindamycin memberikan perlindungan antibakterial terhadap
anaerob bakteroides  fragilis, jadi  melengkapi perlindungan antibiotik. Perlindungan
antibiotik jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia.
Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik untuk terapi
kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam empedu. Secara teoritis antibiotik
saluran biliaris yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja mencakup organisme
yang ditemukan dengan infeksi  saluran biliaris, tetapi juga yang dieksresikan dalam
konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu.
Dekompresi Biliaris
Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akut akan berespon terhadap
terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati kembali ke
normal seringkali  dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan atau
malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris darurat harus
dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris segera paling baik
dilakukan secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu:
a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin buruk,
dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah serta
membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier. Apabila batu
duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik
mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi
terlebih dahulu.
b. Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu
kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua
tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan  kedalam kandung empedu dengan metil eter
berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun  kerap disertai
dengan penyulit(7)
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu saluran empedu
dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan pencitraan
flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan pemasangan kateter
nasobiliaris untuk memasukkan material kontras. Terapi dilanjutkan sampai terjadi
penghancuran  yang adekuat atau telah diberikan pelepasan jumlah gelombang kejut yang
maksimum.
c. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu
alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada
obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa T pada saluran
empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil batu
intrahepatik.
Adapun Pembedahan-Pembedahan Yang Dilakukan :
A. Kolesistektomi Terbuka
Karl Legenbach dari Jerman telah melakukan kolesistektomi elektif yang pertama
pada tahun 1882. Lebih dari satu abad kolesistektomi terbuka dijadikan standar untuk metode
terapi pembedahan  pada sistem empedu. Kolesistektomi membutuhkan anestesi umum
kemudian dilakukan irisan  pada bagian anterior dinding abdomen dengan panjang irisan 12 –
20 cm.
*  Kolangiografi operatif
             Kolangiografi operatif dilakukan secara rutin karena dua alasan. Pertama, untuk
mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering mengalami anomali. Kedua yang sama
pentingnya adalah untuk menyingkirkan batu saluran empedu yang tidak dicurigai, dengan
insidensi setinggi 5 sampai 10 persen.
            Kolangiografi dilakukan dengan menggunakan salah satu dari sekian banyak kanula
kolangiografik yang dapat digunakan (Berci, Lehman, Colangiocath, dll). Pilihannya adalah
kolesistektomi terbuka adalah kanula Berci bersudut untuk mempermudah insersi dan fiksasi.
Insisi dibuat disaluran sistikus pada titik yang aman setelah persambungan sistikus dan
saluran empedu (biasanya sekurangnya 2,0 cm). Insisi harus cukup besar untuk memasukkan
kanula atau kateter, yang dapat diinsersikan jika empedu terlihat mengalir dari lumen. Kanula
lalu dipertahankan di tempatnya dengan hemoklip medium atau klem khusus. Material
kontras untuk kolangiografi adalah hypaque 25 persen. Sistem operasi yang paling disukai
untuk kolangiografi, menggunakan fluorokolangiografi dengan penguatan citra (image
intensifier) serta monitor televisi . Ini memungkinkan pengisian saluran empedu secara
lambat dan pemaparan multiple sistem saluran saat sedang diisi.
*  Laparoskopi Kolesistektomi
Kolesistektomi laparoskopi adalah cara yang invasif untuk mengangkat batu empedu
dengan menggunakan teknik laparoskopi. Prosedur menjadi populer pada tahun 1988 dan
telah berkembang dengan cepat. Indikasi  untuk  operasi adalah batu empedu, polip
simtomatik dan penyulit akibat batu. Kontraindikasinya adalah sepsis abdomen, gangguan
pendarahan, kehamilan dan tidak mampu melihat  saluran empedu. Teknik ini adalah
perawatan yang  singkat dan dapat kembali beraktifitas dengan normal. Penyulitnya adalah
adanya cidera  saluran empedu, perdarahan, kebocoran empedu dan cidera akibat trokar.

Gambar 5  Lokasi kanula untuk kolesistektomi


laparoskopi.

 Gambar 6. Lokasi  kanula dan susunan awal untuk kolesistektomi laparoskopi


Komplikasi
       Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis  terutama yang derajat tinggi
(kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut:
A. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan dewasa
muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit
saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik menyebabkan
kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple.
B. Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi
bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya
kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15%.
C. Peritonitis sistem bilier
 Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika empedu
terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko
tinggi yang sangat fatal.
D. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau pada eksplorasi
duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal adalah
tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.
E. Perdarahan
  Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami trauma
dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk
dikontrol.
F. Kolangitis asendens dan infeksi lain
         Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan sistem
bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu dan usus besar
bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif
sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang menyebabkan drainase tidak
adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah abses
subprenikus. Hal ini harus dijaga  pada pasien yang mengalami demam beberapa hari setelah
operasi.     
Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien yang diterapi dengan
perkutaneus atau drainase endoskopik adalah:
i.Perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus)
ii.Sepsis
Prognosis
Tergantung berbagai faktor antara lain :
A. Pengenalan dan pengobatan diri
Pada kasus kolangitis dibutuhkan pengobatan antibiotik secara dini dan diikuti dengan
drainase yang tepat serta dekompresi traktus biliaris.
B. Respon terhadap terapi
Semakin baik respon penderita kolangitis terhadap terapi yang diberikan (misalnya
antibiotik) maka prognosisnya akan semakin baik. Namun sebaliknya, respon yang
jelek akan memperberat penyakit tersebut.
C. Kondisi Kesehatan Penderita
Sistem pertahanan tubuh penderita merupakan salah satu faktor yang menentukan
prognosis penyakit ini. Biasanya penderita yang baru pertama kali mengalaminya
dan berespon baik terhadap terapi yang diberikan, prognosisnya akan baik.

II. Analisis Masalah


1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan gejala yang dialami Tn. Udin?
Usia dan jenis kelamin merupakan faktor resiko pada ikterik.Semakin tua usia, maka
risiko mengalami ikterik meningkat. Wanita cenderung berisiko lebih tinggi mengalami
ikterik.

2. Bagaimana anatomi dari regio abdomen?


Pembagian 4 kuadran abdomen :
Tabel. Pembagian Kuadran pada Abdomen
Kuadran Kanan Atas Kuadran Kiri Atas
Hati, Vesica velea, Paru, Esofagus Hepar, Jantung, Esofagus, Pankreas,
Limfa, Gaster
Kuadaran Kanan Bawah Kiri Bawah
Duodenum, Colon, Vesica Urinarius, Anus, Rektum, Ginjal, Colon, Intestin
Rectum, anus
Hipokondriak kanan Epigastrik Hipokondriak kiri

Ø  Lobus kanan hati Ø  Aorta Ø  Lambung


Ø  Kandung empedu Ø  Ujung pilorik Ø  Limpa
Ø  Sebagian lambung Ø  Ekor pankreas
duodenum Ø  Pankreas Ø  Fleksura splenik
Ø  Fleksura hepalik Ø  Sebagian hati pada kolon
pada kolon Ø  Seperdua atas
Ø  Seperdua atas ginjal kiri
ginjal kanan Ø  Kelenjar
Ø  Kelenjar suprarenal
suprarenal

Lumbal kanan Umbilikal Lumbal kiri

Ø  Kolonasenden Ø  Omentum Ø  Kolon desenden


Ø  Seperdua bawah Ø  Masenter Ø  Seperdua bawah
ginjal kanan Ø  Bagian bawah ginjal kiri
Ø  Sebagian duodenum Ø  Sebagian yeyenum
duodenum dan Ø  Sebagian dan ileum
yeyenum. yeyenum dan
ileum
Ilium kanan Hipogastrum Ilium kiri

Ø  Sekum Ø  Ileum Ø  Kolon sigmoid


Ø  Apendiks Ø  Kandung kemih Ø  Ureter kiri
Ø  Ujung bawah ilium Ø  Uterus Ø  Saluran sperma
Ø  Ureter kanan kiri
Ø  Saluran sperma Ø  Ovarium kiri
kanan
Ø  Ovarium kanan

3. bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan spesifik?


Sklera ikterik
Ikterik dapat disebabkan karena pembentukan bilirubin yang berlebihan, adanya gangguan
dalam pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hepar, gangguan konjugasi bilirubin, dan
juga penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu bisa karena faktor intrahepatic
dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional maupun obstruksi. Pada kasus terdapat
hiperbilirubinemia terkonjugasi, dan mekanisme yang paling sering adalah penurunan
ekskresi bilirubin terkonjugasi. Ketika bilirubin terkonjugasi ini tidak dapat mengalir ke
duodenum, ia akan kembali ke hepar dan masuk ke sirkulasi sistemik sehingga menyebabkan
sclera dan badan ikterik.
Demam
Demam dapat disebabkan karena adanya inflamasi pada kantung maupun saluran empedu.
Ketika adanya obstruksi dari batu empedu, bilirubin terkonjugasi tidak dapat keluar dan
menyebakan aliran menjadi statis, keadaan statis inilah yang dapat mempermudah inflamasi
terjadi, jika sudah terjadi inflamasi akan terdapat pengeluaran mediator-mediator seperti
prostaglandin yang akan mengeset thermostat point di hipotalamus dan menyebabkan
demam.
Palpasi:
Nyeri tekan (+). Nyeri tekan dapat menandakan adanya kolelitiasis atau batu pada saluran
empedu. Dapat juga menandakan adanya kolangitis jika bersamaan dengan ikterik dan
demam (Trias Charchot). Nyeri terjadi bila batu empedu atau endapan berada pada duktus
sistikus selama kontraksi, meningkatkan tegangan pada dinding kandung empedu. Pada
kolesistitis, nyeri menetap dan disertai tanda rangsang peritoneal berupa nyeri tekan dan
defans muskuler otot dinding perut. Kadang-kadang empedu yang membesar dapat diraba.
Murphy sign (+). Murphy sign merupakan tanda adanya kolesistisis. Pada umumnya batu
empedu tidak memperlihatkan gejala kecuali sudah menyumbat pada saluran empedu,
murphy sign dikatakan positif apabila pada saat pemeriksaan terdapat sudden stop inspiration
pada pasien yang menandakan adanya kolesistitis.

4. Bagaimana indikasi dan prosedur pemeriksaan shifting dullness?


Pemeriksaan pekak alih (shifting dullness).
Prinsipnya cairan bebas akan berpindah ke bagian abdomen terendah. Pasien tidur
terlentang, lakukan perkusi dan tandai peralihan suara timpani ke redup pada kedua
sisi. Lalu pasien diminta tidur miring pada satu sisi, lakukan perkusi lagi, tandai
tempat peralihan suara timpani ke redup maka akan tampak adanya peralihan suara
redup.
5. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan laboratorium?
LED meningkat:
LED merupakan indikator penyakit infeksi dan tingkat inflamasi (peradangan) yang tidak
spesifik. Kolesistitis & kolangitis à peningkatan LED
Bilirubin total dan bilirubin direk meningkat:
Adanya obstruksi pada duktus koledokus à bilirubin terkonjugasi tidak dapat masuk ke
duodenum à menumpuk di hati à regurgitasi cairan-cairan empedu ke sistemik, dalam
hal ini termasuk bilirubin terkonjugasi à peningkatan bilirubin konjugasi dan bilirubin total
di dalam plasma
Fosfatase alkali meningkat:
Fosfatase alkali dibuat oleh membran kanalikular hepar dan disekresikan bersama cairan
empedu. Jika terjadi obstruksi total pada duktus koledokus à cairan empedu beserta
fosfatase alkali tidak dapat disekresikan kedalam duodenum à regurgitasi ke sistemik à
peningkatan fosfatase alkali

III. Daftar Pustaka


Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1. Edisi
keempat. Jakarta: EGC, 1994.
Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in Emergency
Medicine. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.

Anda mungkin juga menyukai