Konsep Negara dalam Islam Menemukan konsep negara yang genuine berupa doktrin
penamaan ataupun perintah mendirikan sebuah negara, tidak akan dijumpai dalam literatur
kitab suci al-Qur’an dan Hadits Nabi. Akan tetapi untuk menemukan organ-organ negara
dalam kitab suci dan al-hadits akan banyak dijumpai. Organ-organ yang dimaksud
diantaranya, al-ummah, ulil amri, al-qaum, al-hukmu, jama’ah, baiat, khilafah dan lain-lain.
Baiknya semua konsep yang memungkinkan dianggap sebagai embrio ataupun organ dari
sebuah negara yang tertera dalam al-Qur’an dalam al-Hadits tersebut dibahas dengan
seksama. Sehingga tidak akan muncul lagi keraguan bahwa secara konseptual dan praktikal,
negara dan pemerintahannya dalam Islam sungguh nyata adanya. Eksistensi konsep dan
praktik negara dalam Islam itu mengesampingkan perdebatan pada bentuk dan sistem
pemerintahan Islam
1. Al-Ummah Secara sosiologis, negara merupakan bentuk atau nama lain dari masyarakat
atau kumpulan individu yang terorganisir. Istilah yang paling urgen dan pertama yang mesti
dirujuk untuk istilah masyarakat yang terogranisir dalam Islam adalah kata ummah. Minimal
ada dua alasan menjadikan kata ummah menjadi kata kunci dalam persoalan ini;
a. Dalam al-Qur’an, istilah ummah disebut sebanyak 64 kali dalam 24 surat.
b. Istilah ummah termaktub dalam Piagam Madinah, yang dianggap sebagai konstitusi
modern pertama di dunia. Namun, persoalannya muncul dua tafsir dari kata ummah itu dari
para peneliti, sebagian menyebutnya sebagai politcal society dan sebagian menamakannya
sebagai religiuos society. Selanjutnya adalah apakah dua penamaan atau tafsiran yang
berbeda itu dapat diambil sebagia akar terbentuknya sebuah negara? Kata ummah secara
bahasa dalam bahasa Arab terambil dari kata amma-yaummu yang berarti menuju, menumpu,
dan meneladani. Dari akar yang sama, lahir antara lain kata “um” yang berarti “ibu” dan
“imam” yang maknanya “pemimpin”; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan
pandangan, dan harapan anggota masyarakat. Kata ummah ini diserap dalam bahasa
Indonesia menjadi umat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan para penganut atau
pengikut suatu agama dan makhluk manusia. Ada pula yang mengartikannya bangsa dan ada
pula yang memaknainya sebagai negara.
Ar-Raghib al-Isfihany dalam karyanya Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, menjelaskan arti
ummah sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau
tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.
Bila merujuk pada dalil-dalil naqli, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, kata ummah
tidak hanya ditujukan pada sekumpulan manusia, berkumpulnya sekelompok binatang
ataupun berkumpulnya sifat-sifat terpuji dalam diri seseorang juga bisa disebut dengan kata
ummah itu (M. Quraish Shihab, 1999: 325-328). Dalil-dalil berikut ini dapat dipelajari lagi
secara lebih seksama;
ٌ ََّ ل رCََِ ْ ُْ ي َشر ِبِّم َ ِإ. طـائ ٍ ـر ي َ ْ ِض و َر ـن َ دابَّ ٍ ــة ِ ف ْاأل َ ِ ـا م ْ َم و ُ َون
ِ َ ـم َ أُم ِ ـه إِال ْ ـاحـي َ َ َـن ُ ِ ب َ ِ ـطـر َل
ْ ٍء ُ ث َ ِ اب ِ م ْن َ شي ْ ِكت َ ِ ا ف ال رْ طن َ َ ا فـ َّ ْ م ْثَا ُل ُكم أَم
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS al-
َُّ
An’âm: 38). Rasulullah Saw. bersabda: ََّ ٌمة ِ َمن ْاأل ْل النَّمC“ م ُم َُة ُأSemut (juqa) merupakan umat
dan umat-umat (Tuhan)” (HR. Muslim).
َُّ
ْم ن ال َل أََّ ْ لَوCَُّ ٌمة ِ م ْن ا ُْْلCقت َر َ ِم لَم ْ ِ َكل َب ُأCََِ“ ل ْ ُت ِبSeandainya anjing-anjing bukan umat dan umat-
umat (Tuhan) niscaya saya perintahkan untuk dibunuh” (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i). ِ ك
َُّ
Cَََِّّّ ًمة ق َ ِ اهيم ْر ن إِبـ ِإCحن ًيفا و َ ِ ا ل َِّ ً َانِت َ َ ك َ ان ُأ
ِ ُ ْ ِشر ْم َ ُك ِ َمن ال َ َْل ي. “ َنيSesungguhnya Ibrahim adalah
seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekalikali
bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),” (QS. al-Naml: 120).
Ali Syariati dalam bukunya Al-Ummah wa al-Imâmah (1990: 36) menyebutkan
keistimewaan kata ini dibandingkan kata semacam nation atau qabilah (suku). Pakar ini
mendefinisikan kata umat – dalam konteks sosiologis -- sebagai “himpunan manusiawi yang
seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara
dinamis di bawah kepemimpinan bersama.” Dalam ilmu politik dan ilmu negara, eksistensi
Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad menjadi urgensi untuk diperhatikan
dengan seksama, terutama ketika berbicara tentang situasi politik Madinah saat itu dan
keberadaan Nabi Muhammad sebagai pemimpin komunitas. Montgomery Watt secara tegas
mengatakan bahwa Piagam Madinah adalah sebuah konstitusi yang menggambarkan bahwa
warga Madinah saat itu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu
persekutuan yang diikat oleh perjanjian luhur diantara para warganya (dalam Juwairiyah
Dahlan, 1999). Senada dengan Watt, H.R. Gibb juga menyatakan bahwa isi Piagam Madinah
pada prinsipnya telah me-letakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang
juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran dan inisiatif
Muhammad sendiri (Muhammad Latif Fauzi, 2005: 6). Dalam Piagam Madinah itu, kata
ummah tertera secara jelas dan tegas dalam pasal 1 dan 25 . Kiranya inilah yang menjadi
kajian utama para sarjana, baik politik, sosiologi, dan ilmu lainnya. Diantara para sarjana
yang mengulas Piagam Madinah ini adalah Muhammad Khalid dan Hasan Ibrahim Hasan.
Muhammad Khalid menyatakan bahwa isi yang paling prinsip dari Piagam Madinah adalah
membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur suatu ummah serta menegakkan
pemerintahan atas dasar persamaan hak. Adapun Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa
Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya bisa
disimpulkan dalam empat pokok;
a. Mempersatukan kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan.
b. Menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin diantara
sesama warga.
c. Menetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata,
mempertahankan keamanan dan mempertahankan Madinah dari serbuan luar. d. Menjamin
persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk agama-agama lain dalam
mengurus kepentingan mereka (dalam Juwairiyah Dahlan, 1999).
Pada saat mengomentari surat Ali Imron ayat 4, Inu Kencana Syafiie (1996: 133) mengatakan
bahwa segolongan ummat tersebut adalah pemerintah yang sah. Sebelumnya ia menjawab
pertanyaan adakah negara Islam menurut al-Qur’an dan al-Hadits dengan menganalogikan
pada satu pertanyaan yang sederajat, apakah masuk SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi di
perintahkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits? Sekolah-sekolah tersebut dalam dua sumber
utama umat Islam, keduanya hanya memerintahkan kewajiban untuk menuntut ilmu, masalah
bentuk sekolah itu seperti apa terserah kepada kita, begitu pula dengan negara. Begitu pula
dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak dibicarakan perintah mendirikan negara dan bentuk
negaranya, tetapi prinsip-prinsip kehidupan bernegara dan instrumen negar banyak
dibicarakan dalam puluhan ayatnya. Berdasarkan pada beberapa pendapat dari para sarjana
Muslim dan Non-Muslim tersebut, nyata bahwa Madinah dengan segala ciri dan keunikannya
adalah sebuah negara. Karena 4 (empat) syarat pokok berdirinya sebuah negara ada dalam
negara Madinah;
a. Adanya pemerintah, Madinah memiliki pemerintahan dengan pimpinan tertingginya Nabi
Muhammad. Nabi Muhammad juga mengangkat pemimpin-pemimpin dibawahnya dan
mengirimkan utusan-utusan ke negaranegara lain.
b. Adanya wilayah, wilayah negara Madinah adalah Madinah dan sekitarnya.
c. Adanya warga negara, warga negaranya adalah kaum Muslimin, kaum Yahudi dan
pemeluk agama lain yang hidup di wilayah Madinah
d. Adanya pengakuan dari negara lain, Madinah mengirim utusan dan menerima utusan dan
beberapa kali Nabi Muhammad (Pemimpin Madinah) menerima utusan dan mendapatkan
hadiah dari negara lain. 2. Qaum dan Jamaah Sama halnya dengan kata ummah, kata qaum
dan jamaah juga banyak terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Ketiga kata ini dapat
dikatakan sebagai sinonim, memiliki makna yang secara umum sama, walaupun bila
diperinci lebih detail ada kekhasan dari masing-masing kata itu memiliki makna yang lebih
spesifik. Kekhasan itu pun tidak begitu signifikan untuk menyamakan artinya pada
sekelompok orang yang berkelompok, masyarakat ataupun warga negara. Jadi dua istilah itu
tidak menjadi masalah untuk dijadikan satu indikasi bahwa itu adalah bagian dari unsur wajib
yang harus ada dalam sebuah negara. 3. Khilafah Kata khilafah berasal dari kata “kha-la-fa”
yang dapat bermakna pengganti, belakang, yang datang kemudian. Kata ini dapat berubah
menjadi khilafah (bentuk masdar) dan khalifah (bentuk fail). Istilah ini mulai menjadi populer
pada saat Rasulullah Saw. wafat. Disamping itu, memang telah tertera pula dalam beberapa
ayat dalam al-Qur’an, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan surat al-Nur ayat 55. Saat
Rasulullah wafat, berarti masyarakat muslim (negara) Madinah tidak memiliki seorang
pemimpin. Karena kepimpinan ini dipandang satu urasan yang urgen bagi seluruh kaum
muslimin saat itu, sampai-sampai pemakaman Rasulullah tertunda sampai didapatkannya
pemimpin baru pengganti Rasul. Melalui rapat yang cukup singkat di Tsaqifah Bani Sa’diyah
terpilihlah Abu Bakar al-Shiddiq sebagai “khalifah al-rasulillah” yang dapat diartikan
“pengganti (kepemimpinan) Rasulullah. Selanjutnya penyebutan dan praktik kepemimpinan
masa setelah Rasulullah itu menjadi menjadi konsep dan sistem ketatanegaraan (siyasah)
dalam Islam. Pada rentang waktu selanjutnya, kemudian dieksplorasilah seluruh dalil naqli
baik berupa ayat Qur’an maupun Hadits guna menopang konsep kekhilafahan dalam Islam
secara teoritik-filosofis. Kemudian para ulama melengkapinya dengan teori-teori
(pemahamannya) tentang siyasah syar’iyah, seperti Ibnu Taimiyah, al-Mawardi dan lain-lain.
Kata khilafah dan khalifah secara praktis diejawantahkan oleh umat Islam dalam praktik
ketatanegaraan yang nyata sampai terakhir tumbangnya kilafah Utsmaniyah di Turki. Setelah
itu khalifah dan khilafah menjadi cita-cita kaum muslimin yang terus diperjuangkan untuk
tegak kembali. Ibnu Taimiyah pernah menulis, “wilayah” (organisasi politik) bagi persoalan
(kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting. Tanpa
topangannya, agama tidak akan tegak secara kokoh dan karena Allah Swt mewajibkan kerja
amar ma’ruf nahi munkar, dan menolong pihak yang teraniaya. Semua yang Dia wajibkan
tentang jihad, keadilan dan menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna kecuali dengan
kekuatan dan kekuasaan.” Abdul Karim Zaidan lebih tegas menyatakan, “maka menegakkan
Daulah (khilafah) Islamiyah merupakan perkara yang wajib untuk melaksanakan hukum-
hukum syariat” (dalam Oksep Adhayanto, 2011: 20). Oleh karena itu “kerinduan” sebagian
kaum muslimin akan tegaknya khilafah yang baru terus akan digelorakan. Di Indonesia,
organisasi massa keislaman yang nyata dan tegas bercita-cita tegaknya khilafah Islamiyah
adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hizbut Tahrir yang mengusung cita-cita khilafah
Islamiyah didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani di Syiria.