Anda di halaman 1dari 37

Nama :LILIN NURITA

NIM : 18041344050
Kelas : 2018 IPS-B
SOAL LATIHAN PEMBELAJARAN INOVATIF
1. Mengapa dalam teori behavioristic pengetahuan dianggap sebagai objek yang
bersifat pasti dan tetap?
Jawaban :
Karena dalam pandangan behavioristik pengetahuan dapat dipindahkan dari apa
yang dimiliki guru kepada siswa atau mahasiswanya. Sebagai objek, maka pengetahuan
bisa ditransfer atau dipindahkan. Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih
menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus dan respon. Koneksionisme (connectionism), merupakan rumpun yang paling
awal dari teori beavioristik. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu
hubungan stimulus‐respons. Siapa yang menguasai stimulus‐respons sebanyak‐
banyaknya ialah orang yang pandai dan berhasil dalam belajar. Dalam Pembentukan
hubungan stimulus‐ respons Pengajar meminta siswanya mengingat berulang-ulang apa
yang dipelajari sehingga pengetahuan yang dimiliki guru akan sama dengan yang dimiliki
siswa. Pandangan behavioristik ini juga menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu tetap
tidak berubah atau terpengaruh oleh kemajuan jaman. Lingkungan tidak dapat
mempengaruhi pengetahuan yang ada. Bila guru berpandangan behavioristic seperti ini
maka materi yang dipelajari siswa tidak mengalami perubahan sepanjang tahun. Ilmu
yang dipelajari tidak mengalami perkembangan.
Tokoh yang terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike (1874‐1949),
dengan eksperimentnya belajar pada binatang yang juga berlaku bagi manusia yang
disebut Thorndike dengan trial and error. Thorndike menghasilkan belajar Connectionism
karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi‐koneksi atara stimulus dan
respons Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan atau hal‐hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga
dapat berupa pikiran, perasaan atua gerakan/tindakan. Thorndike mengemukakan tiga
prinsip atau hukum dalam belajar, yaitu:
1. Law of readines, belajar akan berhasil apabila peserta didik memiliki
kesiapan untuk melakukan kegiatan tersebut karena individu yang siap untuk
merespon serta merespon akan menghasilkan respon yang memuaskan
2. Law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan serta selalu
mengulang apa yang telah didapat.
3. Law of effect, belajar akan menjadi bersemangat apabila mengetahui dan
mendapatkan hasil yang baik.
Tokoh behavioristik yang paling banyak diperbincangkan lainnya yaitu Skinner.
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli
konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu
menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya
tentang belajar secara lebih komprehensif. Pada dasarnya stimulus-stimulus yang

1
diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-
stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga
dengan respon yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi
pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku
seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu
dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap
alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan
orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon.Menurut teori ini
dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada peserta didik, sedangkan
respon berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikanoleh
guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting
untukdiperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamatiadalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru
(stimulus) danapa yang diterima oleh peserta didik (respon) harus dapat diamati dan
diukur. Teori inimengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal
penting untukmelihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh Teori Behavioristik adalah
faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuattimb
ulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respontersebut
akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negativereinforcement) respon
pun akan tetap tetap dikuatkan. Misalnya ketika Guru memberitugas kepada siswa-
siswanya, ketika tugas itu ditambahkan maka Ia akan semakin
giat belajar. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positivereinf
orcement) dalam belajar.Bila tugas-tugasnya dikurangi ini justru meningkatkanaktivitas
belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan pengutan negatif
(negativereinforcement) dalam belajar.Jadi penguatan merupakan salah satu bentuk
stimulusyang penting untuk diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi)
untukmemungkinkan terjadinya respon. (Mulyana, 2009).
Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah laku, ada dua
metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku baru yakni shaping
dan modelling. Frazier dalam (Sri Esti,2006: 139) menyampaikan penggunaan shaping
untuk memperbaiki tingkah laku belajar. Ia mengemukakan lima langkah perbaikan
tingkah laku belajar murid antara lain: a) Datang di kelas pada waktunya. b)
Berpartisipasi dalam belajar dan merespon dosen. c) Menunjukkan hasil-hasil tes dengan
baik. d) Mengerjakan pokerjaan rumah. e) Penyempurnaan. Clarizio (1981) memberi

2
contoh bagus tentang bagaimana dosen menggunakan modelling untuk mengembangkan
minat murid-murid terhadap literatur bahasa Inggris. la memberi contoh membaca buku
bahasa Inggris kadang-kadang tertawa terbahak-bahak, tersenyum,mengerutkan dahi dan
sebagainya, untuk membangkitkan minat anak terhadap buku itu. Modelling bisa
diterapkan di sekolah dengan mengambil dosen maupun orang lain atau anak lain yang
sebaya sebagai model dari suatu tingkah laku, mungkin pelajaran Bahasa dan lain-lain.
Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan akademis, misal mahasiswa
diajak ke suatu tempat di mana terdapat sesuatu yang bisa ditiru oleh anak atau
menghadirkan model tersebut ke dalam kelas/sekolah
Pembelajaran yang berorientasi behaviorisme lebih mementingkan hasil belajar
yang dilakukan dengan berbagai cara dibandingkan dengan proses belajar. Siswa yang di
drill dengan latihan soal-soal atau siswa mempelajari soal dan jawabannya secara proses
tidak bagus karena siswa tidak akan mempunyai pemahaman yang mendalam tetapi bagi
behaviorisme dibenarkan karena ketika ikut tes hasilnya akan baik. Keadaan seperti itu
membuat pembelajaran dengan pendekatan ini menyebabkan siswa siswa hafal dengan
materi yang dipelajari tetapi tidak bertahan cukup lama. Hal tersebut dikarenakan siswa
hanya menghafal bukan memahami isi materi. Belajar model ini belum dapat
mengembangkan kemampuan berpikir pebelajar untuk membangun konsep atau
pemahamannya tetapi mendorong pebelajar mengingat (memorizing) materi yang
dipelajari. Keadaan ini akan menyebabkan pemahaman yang dangkal dan akan cepat
hilang. Praktik behaviorisme di sekolah dijumpai pada pembelajaran dengan
menggunakan metode pembelajaran ceramah atau sering disebutkan dengan metode
pembelajaran langsung dan drill. Pembelajaran dengan ceramah murni akan menjadikan
guru sebagai satu-satunya sumber belajar sedangkan siswa hanya menerima materi yang
diberikan oleh guru.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer
of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah
untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Demikian
halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar‐standar
tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga
dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal‐hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal‐hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses
evaluasi. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi
dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan‐aturan

3
yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi
sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan
penegakan disiplin.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar
untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang
terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi
menekankan pada hasil belajar.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
tersusun secara rapi, sehingga belajar merupakan perolehan pengetahuan. Sementara
mengajar adalah memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Jadi pembelajar
diharapkan mendapat pengetahuan yang sama dari orang yang mengajar. Pola berpikir
utama siswa adalah copy-paste terhadap yang diajarkan guru.
Metode ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan, spontanitas,
kelenturan, reflek, daya tahan, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah pembelajaran
percakapan bahasa asing, keterampilan menggunakan komputer, pelajaran olah raga,
kursus keterampilan, dan sebagainya. Teori ini juga cocok untuk diterapkan di kelas
kanak-kanak yang masih membutuhkan dominasi orang dewasa. Dimana mereka harus
banyak mengulang dan dibiasakan, suka menirukan, dan bersemangat dengan bentuk-
bentuk penghargaan seperti pujian, maupun dengan benda-benda seperti permen, coklat,
alat-alat tulis, dan sebagainya.
Para ahli psikologi pendidikan sepakat bahwa pembelajaran menurut konsep
behaviorisme berlangsung dengan tiga langkah pokok, yaitu:
1. Tahap akuisisi atau tahap perolehan pengetahuan. Dalam fase ini siswa belajar
tentang informasi baru.
2. Tahap retensi, yaitu fase dimana informasi atau keterampilan baru
dipraktikkan sehingga siswa dapat mengingatnya selama periode tertentu.
Tahap ini juga disebut tahap penyimpanan (storage stage), artinya hasil belajar
disimpan untuk digunakan di masa yang akan datang.
3. Tahap transfer. Ada kalanya gagasan yang disimpan dalam memori sulit
diingat kembali saat akan digunakan di masa depan. Untuk itu, kemampuan
mengingat kembali informasi dan mentransferkannya dalam pembelajaran
yang baru memang memerlukan strategi yang bermacam-macam. Namun
yang paling utama adalah ingatan terhadap informasi yang valid.
Terlepas dari kelemahan dan kekuatan teori belajar behavioristik ini, harus diakui bahwa
teori ini relatif sederhana dan mudah dipahami karena hanya berkisar sekitar perilaku
yang dapat diamati dan dapat menggambarkan beberapa macam hukum perilaku. Teori
ini sering diterapkan oleh guru ataupun lembaga pendidikan yang menyukai pemberian
hadiah (reward) dan hukuman (punishment) terhadap perilaku siswa. Pondok-pondok

4
modern seperti Al-Amien Gontor, dan semacamnya sedikit banyak menerapkan teori ini
dalam pelaksanaan beberapa program pendidikannya.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah dan
biasanya menggunakan paper dan pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban
yang benar. Maksudnya yaitu apabila peserta didik menjawa secara “benar” sesuai
dengan keinginan guru. Hal ini menunjukan bahwa peserta didik telah menyelesaikan
tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini
menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Pandangan behavioristic yang seperti ini, tentu sangat bertentangan dengan
perkembangan ilmu dan teknologi saat ini dimana pengetahuan sangat pesat berkembang.
Misalnya saja dalam bidang teknologi informasi, telepon yang memakai kabel telah
berubah menjadi telepon nirkabel pada saat ini sehingga ilmu pada bidang itu juga
berubah. Ilmu pengetahuan berubah sangat cepat karena adanya hasil-hasil penelitian
yang diterapkan pada teknologi dan industri. Siswa sekolah saat ini dapat membaca
materi yang dipelajari dari browsing di internet. Materi yang dibaca oleh guru sama
dengan materi yang dibaca oleh siswa. Oleh sebab itu, Teori belajar behavioristik menuai
beberapa kritikan. Diantaranya dianggap tidak mengadaptasi berbagai macam
pembelajaran karena mengabaikan aktivitas pikiran. Pandangan behavioristik cenderung
mengarahkan siswa untuk berpikir linear, tidak kreatif, dan kurang produktif. Terlepas
dari berbagai kritikan terhadap teori ini, namun penerapannya masih banyak
dipraktikkan. Terutama untuk pembelajaran yang membutuhkan latihan, kecepatan,
spontanitas, dan sebagainya. Namun, pandangan bahwa pengetahuan itu sebagai objek
yang pasti dan tetap dalam behavioristic sudah selayaknya ditinggalkan.

Budinungsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.


Lailiy. (2017). Problem Dalam Asumsi Psikologis Behavioristik(Sebuah Telaah Filsafat Ilmu).
jurnal filsafat, vol 27 no 2.

Setiawan, p. (2016). aplikasi teori behavioristik dan konstruktifistik dalam pembelajaran. jurnal ilmiah
pendidikan agama islam, vol 6 no 2.

Omon Abdurakhman.Teori Belajar dan Pembelajaran.


https://unida.ac.id/ojs/jtdik/article/viewFile/302/173 diakses pada 2 April 2020.

Dasna,w. modul 1( Hakikat Pembelajaran Inovatif dan Interaktif).


http://repository.ut.ac.id/4324/1/MPDR5203-M1.pdf diakses pada 1 April 2020

5
2. Mengapa dalam konsep merdeka belajar, landasan konstruktivisme penting
digunakan?
Jawab :
Era merdeka belajar merupakan era perubahan paradigma Pendidikan dimana
nilai tidak lagi menjadi focus tujuan Pendidikan melainkan skill, Kompetensi,
karakkter/afektif dan kepribadian. Hal ini ditandai dengan adanya empat kebijakan yang
di gagas oleh Menteri Pendidikan Nadiem makariem . Kebijakan tersebut diantaranya (1)
penghapusan USBN tahun 2020 yang diganti dengan asesmen berbasis portofolio yang
diselenggarakan sekolah,(2) penghapusan UN tahun 2020 diganti dengan asesmen
kompeteni minimum dan survei karakter,(3) RPP satu lembar yang berisi tujuan
pembelajaran,kegiatan pembelajaran dan asesmen,(4) PPDB bersifat lebih fleksibel
dimana daerah diberi wewenang untuk menentukan presentasi PPDB.
Landasan konstruktivistik penting digunakan di era merdeka belajar karena
dengan landasan ini mampu mengubah Pendidikan klasik yang hanya dilakukan di ruang
kelas menjadi Pendidikan modern, Pendidikan tidak lagi hanya terpaut dalam KBM di
kelas saja namun belajar tanpa sekat batas,waktu dan tempat. Pendidikan konstuktivistik
juga mengubah Pendidikan konvensional menjadi Pendidikan kritis yang lebih
menekankan kreativitas, sikap kritis, dan partisipatif yang dapat memanusiakan
manusia(humanisasi) dalam realitas sosial di masyarakat. Pendidikan lebih menekankan
adanya perubahan perilaku dan arah Pembelajaran sepanjang hayat( life long learning).
Alur pembelajaran mencangkup pencarian informasi, memilah informasi, menerima
informasi, menyimpulkan informasi, mengunakan informasi dan mengembangkan
informasi. Dari alur pembelajaran ini nampak jelas bagaimana Pendidikan
konstruktivistik diimplementasikan di era merdeka belajar yaitu dengan melibatkan siswa
secara aktif selama proses pembelajaran berlangsung dan siswa bebas mencari informasi
hingga sampai pada tahapan pengembangan di sekolah karena pada umumnya metode
ceramah disertai dengan kegiatan tanya jawab, diskusi, dan verifikasi konsep sehingga
menjadi kegiatan belajar yang interaktif.
Pada era merdeka belajar ini siswa telah dapat memperoleh sumber belajar
dengan mudah. Siswa telah mempunyai pengetahuan awal yang cukup ketika datang ke
kelas sehingga pengajar perlu mendorong atau memotivasi siswa untuk menambah
pengetahuan itu. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran yang digunakan saat ini
bergeser ke arah konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme yang dianut oleh pendidik
pada saat ini berupaya mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Dalam
membelajarkan siswa, siswa harus berperilaku aktif untuk membangun konsep atau
pemahamannya dari tahap-tahapan belajar. Siswa akan mengamati fakta atau data dari
kehidupan sehari-hari, kemudian menggabungkan (meng-asosiasi) pengetahuan yang
dimilikinya dengan fakta atau data yang sedang diamati. Dari proses tersebut akan
terbangun suatu konsep yang baru yang lebih luas (skemata). Pembelajaran dengan
paradigma konstruktivisme mendorong siswa untuk belajar bukan menerima
pengetahuan.
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan
oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia
yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta
dan manusia adalah tuan dariciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti
“mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui

6
sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu
(Suparno, 1997:24) Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah
hasil konstruksimanusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan
lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa”
konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan dan rekonstuksi
pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang telah dimiliki dan dibangun atau di
konstruksikan sebelumnya dan perubahan ini sebagai akibat dari interaksi dengan
lingkungan.
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme
yang diambil adalah
1. pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara
social
2. pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan
siswa sendiriuntuk bernalar;
3. siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi
perubahankonsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai
dengan konsep ilmiah;
4. guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruk
si siswa berjalan mulus

Paradigma konstruktivisme berupaya membangun konsep dari pengetahuan yang


telah dimiliki siswa, berdasarkan pengamatan, dan membangun konsep atau pemahaman
sehingga siswa dapat mengerti dengan materi yang dipelajarinya. Proses kognitif yang
dimaksud adalah tahapan-tahapan pemahaman pada diri siswa sehingga siswa
menemukan konsep yang baru. Konsep baru tersebut bukan dihafal tetapi dia bangun dari
data dan penjelasan yang didapatnya. Pembelajaran yang demikian akan lebih bermakna
bagi siswa.
Ciri-ciri pembelajaran yang berorientasi konstruktivisme merupakan kebalikan
dari paradigma behaviorisme sebagai berikut:
1. Mengaktifkan pengetahuan awal
2. Belajar diarahkan pada pengkontruksian/pembangunan pengetahuan
3. Mengajar adalah membelajarkan orang yang belajar
4. Siswa diharapkan dapat memahami pengetahuan untuk materi yang dipelajari,
5. Tujuan pembelajaran menekankan pada penggunaan pengetahuan, dan
6. Pembelajaran ditekankan pada proses belajar.
7. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah
adasebelumnya.
8. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
9. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan
berdasarkan pengalaman
10. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai
informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja
samadengan orang lain.
11. Belajar harus disituasikan dalam latar ( setting ) yang realistik, penilaian
harusterintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah.

7
Pengetahuan awal adalah pengetahuan yang telah dimiliki siswa terhadap materi-materi
yang dipelajari sebelum materi yang akan dibahas. Misalnya ada materi A dan materi B.
Materi B akan dipelajari pada pertemuan saat ini maka ketika pembelajaran dimulai guru
akan mulai mendiskusikan konsep-konsep penting tentang materi A terutama yang terkait
dengan konsep-konsep yang terdapat pada materi B. Hal ini penting untuk mengaktifkan
skemata-skemata pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sehingga ketika belajar
tentang materi B siswa tidak awam sama sekali tetapi dapat memperluas pengetahuan
yang dimilikinya. Dengan demikian, pada siswa proses yang terjadi adalah memperluas
pengetahuannya atau membangun pengetahuan dari yang sudah dimiliki bukan
menambah skemata yang baru.
Pada praktik pembelajaran yang berorientasi konstruktivisme, siswa akan diajak
berpikir membangun pengetahuannya bukan menghafalkan materi yang sudah ada di
buku. Pembelajaran dimulai dengan mengamati. Berdasarkan fakta tersebut siswa
menganalisis konsep-konsep yang ada. Pada proses diskusi itu terjadi proses berpikir
pada siswa dimana pengetahuan awal atau konsep awal yang dimiliki siswa akan
diperluas. Pada proses ini terjadi tahap berpikir yang membangun konsep baru pada diri
siswa. Pada pembelajaran berorientasi konstruktivistik proses pembelajaran sangat
penting disamping hasil belajar. Proses menemukan konsep akan memberikan
pengalaman yang mendalam kepada siswa sehingga apa yang dipelajari akan dapat
diingat dalam waktu yang lama. Rangsangan guru berupa pertanyaan-pertanyaan atau
masalah baru yang terkait dengan kehidupan sehari-hari akan dapat mendorong siswa
berpikir dan mengembangkan pengetahuannya.
Proses pembelajaran seperti berdiskusi, tanya jawab, mencari dan membaca
referensi, mengamati langsung, melakukan percobaan, dan sebagainya merupakan
pengalaman yang sangat baik untuk membentuk kepribadian dan cara berpikir siswa.
Dari proses diskusi siswa dapat belajar menghargai pendapat temannya, bekerja bersama
(kolaborasi), kerja disiplin, dan sebagainya. Proses itu akan dapat membentuk
kepribadian siswa yang baik yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada proses konstruksi konsep, siswa memperoleh keterampilan menggunakan logika,
menganalisis, dan menyimpulkan sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir
rasionalnya.
Peran guru dalam pembelajaran berorientasi konstruktivistik bukan sebagai sumber
belajar tetapi sebagai fasilitator. Guru harus dapat mengarahkan siswa dengan
pertanyaan-pertanyaannya dan petunjuk-petunjuk bantuan agar siswa dapat sampai pada
konsep yang dipelajari. Guru dapat saja menunjukkan suatu analogi agar siswa sebagai
bantuan kepada siswa memahami konsep yang sulit. Dalam konteks ini guru membantu
mengarahkan siswa membangun konsep-konsepnya bukan memberikan secara langsung
pengertian atau deskripsi konsep dari materi yang dipelajari.
John Dewey mengemukakan bahwa pembelajaran dengan paradigma ini sangat baik
dilakukan dengan belajar melalui percobaan (teaching as experiment) dimana siswa mulai
dengan kegiatan mengumpulkan data, dilanjutkan dengan analisis data, dan membuat
kesimpulan. Secara umum, penerapan paradigma konstruktivisme dalam pembelajaran
tampak pada upaya pemberian peran yang lebih besar kepada peserta didik dalam proses.
Pemberian peran ini bukan berarti peserta didik dibiarkan belajar sendiri (guru hanya
8
memberi tugas) tetapi guru memfasilitasi agar peserta didik belajar membangun
pengetahuannya. Fasilitasi yang dimaksud adalah memberikan arah kegiatan, bantuan
dalam kegiatan, menyediakan lingkungan yang memungkinkan terjadi proses belajar,
memberikan pertanyaan-pertanyaan pengarah agar sampai pada konsep yang dipelajari,
mengorganisasikan interaksi antar pebelajar. Dengan peran yang diberikan tersebut,
peserta didik memperoleh pengalaman membangun konsep atau pemahamannya.
Ada beberapa teori belajar yang mendukung pendekatan konstruktivisme dalam era
merdeka belajar. Teori belajar pada dasarnya merupakan suatu teori yang menjelaskan
bagaimana siswa-siswa belajar, meliputi kesiapan belajar, proses mental, dan apa yang
dilakukan siswa pada usiatertentu. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan
merupakan hasil bentukan sendiri, oleh karenanya tidak ada transfer pengetahuan dari
seorang ke orang lain, sebab setiap orang membangun pengetahuannya sendiri. Bahkan
bila guru ingin memberikan pengetahuan kepada siswa, maka pemberian itu
diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalamannya. Untuk
terjadinya konstruksi pengetahuan ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki siswa
antara lain; kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman,
kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan
perbedaan, dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada yang
lainnya. Inti dari konstruktivisme di atas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar,
yaitu; teori perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, teori Skemata ,dan
teori belajar Bruner. Penjelasan dari masing-masing teori tersebut adalah sebagai berikut :
1. Teori Belajar Perubahan Konsep
Teori belajar perubahan konsep merupakan teori belajar yang menjelaskan adnya
proses evolusi pemahaman kosnep siswa dari siswa yang sedang belajar.Pada
mulanya siswa memahami sesuatu melalui konsep secara spontan( pengertianyang
tidak sempurna, bahkan belum sesuai dengan konsep ilmiah). Oleh karenanya
diperlukan perubahan dari konsep spontan menuju pengertian yang logis dan
sistematis yakni pengertian ilmiah. Proses penyempurnaan pemahan ini
berlangsung dalam dua bentuk yaitu tanpa melalui perubahan besar dari
pengertian spontan tadi (asimilasi), atau sangat perlu adanya perubahan
yangradikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang ilmiah
(akomodasi).
2. Teori Belajar Bermakna Ausubel
David Ausubel (Dahar, 1989:112) terkenal dengan teori belajar bermakna
(meaningfullearning ). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana
informasi baru dihubungkandengan struktur pengertian yang sudah dipunyai
seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi jika pelajar mencoba
menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan yang telah
mereka miliki. Ini terjadi melalui belajar konsep dan perubahan konsep yang telah
ada yang mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah
dimiliki peserta didik. (Suparno, 1997: 54). Kedekatan teori belajar bermakna
Ausubel dengan konstruktivisme adalah keduanyamenekankan pentingnya
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalamsistem
pengertian yang telah dimiliki, keduanya menekankan pentingnya asimilasi

9
pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa,
dan keduanya mengasumsikanadanya keaktifan siswa dalam belajar.

3. Teori Skema
Jonassen (Suparno, 1997:55) menjelaskan bahwa skema adalah abstraksi
mentalseseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan
keluar, ataumemecahkan persoalan. Menurut teori skema, pengetahuan itu
disimpan dalam suatu paketinformasi atau skema yang terdiri atas suatu set atribut
yang menjelaskan objek tersebut, makadari itu membantu kita untuk mengenal
objek atau kejadian itu. Hubungan skema yang satudengan yang lain memberikan
makna dan arti kepada gagasan kita.Belajar menurut teori skema adalah
mengubah skema (Suparno, 1997:55). Lebih jauh iamenyatakan :Orang dapat
membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapatmenambah
atribut baru dalam skemanya yang lama. Orang dapat melengkapi dan
memperluas skema yang telah dimilikinya dalam berhadapan dengan pengalaman,
persoalan dan juga pemikiran baru. Biasanya seseorang bila menghadapi
pengalaman baru yang tidak cocok dengan skema yang dimilikinya, maka ia akan
mengubah skema lamanya. Dalam proses belajar siswa mengadakan perubahan
skemanya, baik dengan menambah atribut, memperluas, memperhalus,ataupun
mengubah sama sekali skema lama.
4. Teori Belajar Bruner
Menurut Bruner pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina
ide baru dengan didasarkan pada pengetahuan yang telah di miliki siswa.
Selanjutnya Bruner menyatakan bahwa“mengajarkan suatu bahan kajian kepada
siswa adalah untuk membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, dan turut
mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah
suatu proses bukan suatu produk”. Masih menurut Bruner bahwa
dalam membangun pengetahuan di dasarkan pada dua asumsi yakni pertama
perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktid yaitu orang yang
belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif.
Perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tatapi juga dalam diri orang itu
sendiri.Asumsi kedua adalah orang yang mengkonstruksi pengetahuannya dengan
menghubungkaninformasi yang masuk dengan informasi yang tersimpan
yang diperoleh sebelumnya. Menurut Bruner, dalam proses belajar terdapat tiga
episode yang harus dilalui anak, yakni(1) informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi.
Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif
jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,
teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh- contoh yang dijumpai dalam
kehidupannya ( Budianingsih,2005)
Budiningsih, C.A. (2005).Belajar dan Pembelajaran.Jakarta : Rineka Cipta

Poedjiadi, A. (2005).Sains Teknologi Masyarakat; Model Pembelajaran Kontekstual


Bermuatan Nilai. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Suprijono, A. (2016). Model-Model Pembelajaran Emansipatoris. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Suparno, P. (2001). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.Yogyakarta : Kanisius

10
3. Paradigma konstruktivistik penting dikembangkan dalam menciptakan
pembelajaran inovatif di kelas. Bagaimana langkah-langkah untuk
mengembangkan kelas yang berorientasi pada paradigma konstruktivistik
tersebut?
Jawaban :
Seiring upaya perbaikan kualitas pembelajaran ke arah pembelajaran organis,
filsafat konstruktivisme kian populer di bidang pendidikan pada dekade terakhir ini.
Pemikiran filsafat konstruktivisme mengenai hakikat pengetahuan memberikan
sumbangan terhadap usaha mendekonstruksi pembelajaran mekanis. Pengetahuan
menurut konstruktivisme bersifat subjektif, bukan objektif. Pengetahuan tidak pernah
tunggal. Pengetahuan merupakan realitas plural. Pandangan ini berlawanan dengan
pandangan realisme yang mengatakan bahwa “kebenaran itu ada di luar sana” dan oleh
karenanya orang dapat mengobservasi realitas secara objektif. Realisme memandang
bahwa pengetahuan adalah datum (apa yang ada) et verum (apa yang diketahui)
convertuntur (adalah konvertibel satu terhadap lainnya).
Semua pengetahuan adalah hasil konstruksi dari kegiatan atau tindakan seseorang.
Pengetahuan ilmiah berevolusi, berubah dari waktu ke waktu. Pemikiran ilmiah adalah
sementara, tidak statis, dan merupakan proses. Pemikiran ilmiah adalah proses konstruksi
dan reorganisasi secara terus menerus. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang ada di luar,
tetapi ada dalam diri seseorang yang membentuknya. Setiap pengetahuan mengandaikan
suatu interaksi dengan pengalaman. Tanpa interaksi dengan objek, seseorang tidak dapat
mengkonstruksi pengetahuan.
Untuk menciptakan kelas yang konstruktivistik dapat dilakukan dengan cara-cara berikut:
1. Ciptakan kondisi kelas yang dapat membangun memotivasi siswa belajar.
Pembelajaran dapat berlangsung dengan baik jika peserta didik termotivasi untuk
belajar. Ada dorongan dari dalam diri siswa untuk memenuhi rasa ingintahunya.
Keadaan ini sering disebut terciptanya motivasi dari dalam diri siswa (intrinsik). Cara
meningkatkan semangat motivasi belajar siswa belajar memang termasuk salah satu
hal yang penting, apalagi bagi anak-anak remaja. Inilah masalahnya, anak-anak
remaja sekarang cenderung malas untuk belajar dan memilih untuk melakukan
aktifitas lain yang menurut mereka lebih menarik. Para remaja yang malas belajar
tentu memiliki alasan yang berbeda-beda, ada yang merasa lelah terhadap pelajaran
karena nilainya anjlok terus, ada yang tidak memiliki semangat untuk belajar, dan ada
pula yang susah untuk berkonsentrasi ketika disuruh belajar. Usia remaja memang
rentan terhadap hal-hal baru seperti lingkungan dan pergaulan baru, hal ini juga
menjadi salah satu faktor mengapa remaja banyak yang malas untuk belajar. Sebagai
pengajar sudah seharusnya dapat menciptakan kondisi belajar yang dapat mendorong
siswa memenuhi rasa ingin tahunya. Keadaan tersebut dapat dibangun antara lain
dengan cara menyajikan fakta-fakta yang menarik tentang materi yang akan
dipelajari. Siswa harus mengetahui konteks dari materi yang akan dipelajarinya.
Dengan konteks tersebut mereka akan dapat memahami pentingnya memahami
materi tersebut. Selain itu, interaksi antar peserta didik sangat penting untuk
menumbuhkan motivasi belajar. Hal ini dapat terjadi karena peserta didik belajar
seperti temannya yang lain. Penyajian fakta-fakta yang menarik, suasana kelas yang
menyenangkan, interaksi yang baik antar peserta didik dapat menumbuhkan rasa
ingin tahu peserta didik sehingga mereka dapat termotivasi belajar. Bila peserta didik

11
telah termotivasi, maka pengajar dapat mengarahkan siswa belajar. Berikut beberapa
cara yang dapat dilakukan guru untuk membangun motivasi siswa:
a. Menggunakan metode dan kegiatan belajar mengajar yang beragam
Melakukan kegiatan yang sama secara terus-menerus tentu akan menimbulkan
rasa bosan yang berlebihan, hal ini tentu dapat menurunkan semangat belajar para
siswa. Apabila siswa sudah merasa bosan tentu akan mengakibatkan
terganggunya proses belajar mengajar. Disinilah Anda sebagai guru harus
bertindak, berikanlah variasi belajar sehingga para siswa bisa tetap termotivasi
dan konsentrasi dalam belajar. Sesekali Anda bisa mencoba metode belajar yang
berbeda seperti membuat pembagian peran, studi kasus, simulasi, debat, transfer
pengetahuan secara singkat, diskusi, presentasi dengan audio-visual dan kerja
kelompok kecil
b. Jadikan siswa sebagai peserta aktif
Contoh upaya untuk meningkatkan motivasi belajar siswa yang kedua adalah
dengan menjadikan siswa sebagai peserta yang aktif. Di usia siswa yang masih
muda tentu kehidupan mereka sepenuhnya hanya dengan melakukan kegiatan,
menulis, belajar, berpertualang, menciptakan sesuatu hal baru, menyelesaikan
suatu masalah, serta mendesain. Ketika berada di sekolah, jangan pernah
menjadikan siswa sebagai peserta pasif di kelas. Kenapa demikian? Karena hal
tersebut dapat menurunkan minat dan mengurangi rasa keingintahuannya.
Gunakanlah metode belajar yang aktif dengan memberikan siswa tugas berupa
simulasi penyelesaian suatu masalah untuk menumbuhkan motivasi dalam belajar.
Jangan berikan jawaban apabila tugas tersebut dirasa sanggup dilakukan oleh
siswa.
c. Menciptakan suasana kelas yang kondusif
Contoh motivasi belajar siswa selanjutnya adalah dengan menciptakan suasana
kelas yang kondusif. Karena kelas yang aman dan tidak mendikte umumnya akan
membuat siswa merasa didukung untuk berusaha. Hal ini akan berpengaruh
terhadap minat belajarnya dan akan menumbuhkan motivasi belajar secara tidak
langsung. Apabila siswa belajar di suatu kelas yang kondusif, maka siswa
cenderung terdorong untuk terus mengikuti proses belajar.
d. Berikan tugas yang proporsional
Segala tugas di kelas dan pekerjaan rumah tidak selalu bisa disetarakan dengan
nilai. Jangan hanya berorientasi pada nilai dan coba penekanan pada penguasaan
materi. Mengapa demikian? Karena hal tersebut dapat menurunkan semangat
siswa yang kurang mampu memenuhi standar dan berakibat siswa yang
bersangkutan merasa dirinya gagal. Usahakan untuk menggunakan mekanisme
nilai seperlunya saja, dan mulailah untuk lebih dekat dengan siswa dengan
memperhatikan kelebihan dan kekurangan mereka, serta apa yang bisa mereka
tingkatkan. Disarankan untuk memberikan komentar yang jelas agar siswa pun
dapat langsung memperbaiki tugas mereka apabila dirasa belum cukup.
e. Berikan petunjuk kepada siswa agar sukses dalam belajar
Jangan pernah membiarkan siswa berjuang sendiri dalam belajar. Sebagai orang
tua mereka di sekolah, sampaikanlah pada mereka apa saja yang perlu mereka
lakukan. Dan yang terpenting, buatlah mereka yakin bahwa mereka bisa sukses
dan bagaimana cara mencapainya.

12
f. Antusias dalam mengajar
Antusiasme seorang guru dalam mengajar ternyata salah satu faktor yang penting
untuk menumbuhkan motivasi belajar dalam diri para siswa. Bila Anda terlihat
lesu dan kurang bersemangat maka para siswa juga akan menunjukkan hal yang
demikian. Upayakan untuk selalu tampil ceria dan bersemangat serta antusias di
depan kelas.
g. Pemberian penghargaan untuk memotivasi
Pemberian penghargaan seperti nilai tambahan, hadiah kecil ketika mendapatkan
pencapaian yang baik mungkin juga cukup efektif untuk menumbuhkan semangat
belajar siswa.
2. Berikan masalah yang mendorong siswa kreatif
Kegiatan belajar memecahkan masalah merupakan tipe kegiatan belajar dalam usaha
mengembangkan kemampuan berpikir. Berpikir adalah aktivitas kognitif tingkat
tinggi. Berpikir melibatkan asimilasi dan akomodasi berbagai pengetahuan dan
struktur kognitif atau skema kognitif yang dimiliki peserta didik untuk memecahkan
persoalan. Dalam kegiatan belajar pemecahan masalah peserta didik terlibat dalam
berbagai tugas, penentuan tujuan yang ingin dicapai dan kegiatan untuk
melaksanakan tugas. Salah satu upaya yang dapat dikembangkan oleh sekolah adalah
pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM). Pondasi
kritis dan rasional PAIKEM adalah filsafat konstruktivisme. Berdasarkan
konstruktivisme pembelajaran ini merupakan proses konstruksi pengetahuan, bukan
duplikasi pengetahuan. PAIKEM sebagai proses learning to know, learning to do,
learning to be, dan learning to live together mendorong terciptanya kebermaknaan
belajar bagi peserta didik. Peserta didik, sesuai dengan tingkatan usianya, mempunyai
rasa ingin tahu yang besar dan mempunyai ide-ide atau gagasan untuk memenuhi rasa
ingin tahu tersebut. Oleh sebab itu, penyajian fakta-fakta pada pembelajaran dapat
diteruskan pada masalah yang dapat mendorong siswa berpikir. Dalam konsep
Kreatif, pembelajaran harus menumbuhkan pemikiran kritis, karena dengan
pemikiran seperti itulah kreativitas bisa dikembangkan. Pemikiran kritis adalah
pemikiran reflektif dan produktif yang melibatkan evaluasi bukti. Kreativitas
adalah kemampuan berpikir tentang sesuatu dengan cara baru dan tak biasa serta
menghasilkan solusi unik atas suatu problem. Untuk menyajikan masalah yang dapat
mendorong siswa belajar beberapa langkah harus dilakukan pengajar diantaranya:
a. Pilihlah masalah yang benar-benar relevan dengan materi yang akan dipelajari.
Bila masalah tersebut dipecahkan, siswa akan mempelajari konsep-konsep yang
ada pada kompetensi dasar dari materi yang dipelajari,
b. Masalah yang dipilih upayakan yang kontekstual sehingga peserta didik telah
mengenalnya namun belum memahami dengan baik,
c. Masalah tersebut mempunyai beberapa alternatif pemecahan sehingga peserta
didik dapat memilih alternatif pemecahannya sesuai dengan rasional yang
dikemukakan,
d. Masalah tersebut sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir siswa sehingga
siswa mampu memecahkannya sesuai dengan pengetahuan yang telah
dimilikinya. Masalah-masalah yang pemecahannya memberikan tantangan untuk
berpikir lebih dalam, berpikir kritis, dan menarik akan dapat mendorong peserta
didik mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya.

13
3. Bantulah siswa menggunakan alur pikir rasional untuk mengambil keputusan
Apa yang Anda lakukan bila dalam suatu proses pembelajaran Anda tidak mempunyai
bayangan teori atau arah pemecahan suatu masalah? Misalnya Anda memperoleh
suatu tugas tetapi Anda benar-benar tidak tahu arah penyelesaian tugas itu, apa yang
akan terjadi? Kebanyakan peserta didik yang mengalami hal itu akan meninggalkan
tugas seperti itu karena mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Oleh sebab itu,
fasilitasi guru dalam hal ini sangat penting mengarahkan siswa memecahkan suatu
masalah. Dalam pembelajaran yang berorientasi konstruktivisme, guru dapat
mengarahkan siswa melalui suatu pertanyaan-pertanyaan pengarah. Bagi peserta didik
yang belum berpengalaman memecahkan masalah maka mereka pada umumnya
mengalami kesulitan menentukan alur pikir pemecahan masalah. Alur pikir yang
dimaksud adalah kaitan antara masalah, akar masalah, faktor-faktor yang terkait
dengan masalah, teori yang terkait, alternatif-alternatif pemecahan masalah, sampai
pada alternatif mana yang paling relevan. Alur pikir tersebut sangat diperlukan agar
peserta didik mengetahui apa yang harus dilakukan atau dikerjakan. Misalnya untuk
menentukan alternatif pemecahan masalah, teori apa yang relevan yang harus dibaca
oleh siswa. Dalam konteks ini, peran guru sebagai fasilitator sangat penting untuk
membantu siswa. Arahan tentang apa yang perlu dilakukan atau teori apa yang harus
dibaca sangat membantu peserta didik mengembangkan tahap-tahapan pemecahan
suatu masalah. Dalam pandangan konstruktivisme, siswa memang dibiarkan
menentukan arahnya sendiri untuk memecahkan masalah. Hal ini dapat menyebabkan
pembelajaran memerlukan waktu yang lama sehingga tidak relevan dengan kurikulum.
Oleh sebab itu, pengajar dapat membantu siswa melalui pertanyaan-pertanyaan
pengarah agar peserta didik dapat mengembangkan alur pikir pemecahan masalah.
Pada pembelajaran orang dewasa, hal ini biasanya diserahkan kepada peserta didik
sampai mereka menemukan sendiri alur pikirnya. Namun, pada peserta didik pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah hal ini harus dibimbing dan dituntun agar
motivasi belajar mereka tetap terjaga. Bila materi yang dipelajari sulit dan siswa sukar
menentukan arah penyelesaiannya maka motivasi belajar rendah dan pada umumnya
masalah tersebut tidak diselesaikan tetapi dihindari oleh peserta didik. Keadaan seperti
itu tidak baik untuk pembelajaran karena tidak dapat memberikan pengalaman belajar
yang menantang bagi peserta didik.
4. Ciptakan interaksi antar pembelajar yang menumbuhkan sikap positif untuk belajar
Interaksi antar peserta didik dan antara guru dengan peserta didik sangat penting
dalam pembelajaran. Pada pendekatan konstruktivisme, siswa didorong untuk
membangun konsepnya sendiri dari fakta atau data yang diberikan. Bila hal itu
dikerjakan secara mandiri maka sebagian siswa akan mengalami kesulitan. Peserta
didik memerlukan diskusi yang efektif sehingga pemecahan masalah dapat dilakukan.
Dalam pandangan konstruktivistik, interaksi antar pebelajar dan pebelajar-pengajar
harus dapat menciptakan sikap positif belajar yang ditandai dengan:
a. Adanya rasa saling simpati dan saling pengertian dalam bekerja bersama. Siswa
dapat saling membantu, mempunyai peran, dan saling menghargai hasil pekerjaan
yang dilakukan,
b. Adanya keriangan dan kegembiraan dalam menyelesaikan tugas dan tanggung
jawab bersama. Tugas yang dikerjakan dilakukan dengan tulus dan tanpa beban
atau tekanan dari teman-teman sekelompoknya,

14
c. Adanya pengambilan risiko bersama. Misalnya tugas yang harus dikerjakan
memerlukan peserta didik mencari referensi ke perpustakaan atau memerlukan
data yang ada di kantor tertentu maka mereka mempunyai kesepakatan untuk
menanggung risiko atau bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut,
d. Adanya rasa saling memiliki menyelesaikan tugas bersama.Masing-masing peserta
didik merasakan bahwa tugas yang mereka kerjakan bersama itu adalah milik
mereka bukan ketua kelompoknya atau perorangan yang ada di sana. Hal ini akan
dapat mendorong mereka memberikan kontribusi kepada kelompoknya untuk
menyelesaikan tugas secara bersamasama, dan
e. Adanya saling keteladanan antar peserta didik. Peserta didik yang rajin, datang
tepat waktu, bekerja dengan sungguh-sungguh akan menjadi teladan bagi peserta
didik yang lainnya. Hal ini penting untuk membentuk karakter peserta didik agar
mereka dapat berinteraksi dengan baik antar temannya dan dapat mengambil
hikmah yang baik dari interaksi tersebut.
Keempat cara tersebut di atas dapat digunakan untuk mengembangkan kelas yang
berorientasi pada paradigma konstruktivistik di kelas. Pada kelas yang konstruktivistik
akan dapat diamati bahwa peserta didik yang belajar menyukai kegiatan belajarnya di
kelas, belajar dengan sepenuh hati (tidak terpaksa), bergairah mengerjakan dan
menyelesaikan tanggung jawab yang diperintahkan guru, dan tidak hanya mengerjakan
sesuai atas perintah guru tetapi ada ide-ide atau gagasan yang dilakukan walau masih
tetap dalam kerangka mengerjakan tugas tersebut. Guru konstruktivis membimbing
siswa membangun pengetahuan dan tidak memberikan pengetahuannya begitu saja.
Guru memberi fasilitas dan mengorganisasi kelas serta strategi pembelajaran yang
membuat para peserta didik berkolaborasi, berinteraksi, bertanya, dan menjawab
dengan bebas dalam mencari pemahaman dalam pokok bahasan yang sedang dibahas.

Suprijono, A. (2016). Model-Model Pembelajaran Emansipatoris. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Dasna,w. modul 1( Hakikat Pembelajaran Inovatif dan Interaktif).


http://repository.ut.ac.id/4324/1/MPDR5203-M1.pdf diakses pada 1 April 2020

15
4. Apa perbedaan mendasar konstruktivisme social Vygotsky dengan konstruktivisme
trivial piaget? Dan bagaimana penerapannya di dalam kelas?
Jawab:
Pada praktik di kelas, pendekatan konstruktivistik ada beberapa tipe. Perbedaan
tipe ini muncul karena adanya penekatan pada cara-cara atau tahap-tahap membangun
konsep atau pengetahuan yang dipelajari. Seperti pada tipe konstruktivisme social
Vygotsky dengan konstruktivisme trivial piaget. Tentu kedua tipe tersebut mempunyai
konsep masing-masing. Penerapannya di dalam kelas pun berbeda antara keduanya.
Tipe konstruktivisme trivial ini sering disebut konstruktivisme kognitif yang
dikembangkan oleh Piaget. Ungkapan yang paling terkenal dari Piaget adalah:
“knowlegde is actively constructed by the learner, not passively received from the
environment.” Dari kalimat ini pengajar memperoleh inspirasi bahwa peserta didik tidak
dapat menerima pengetahuan secara pasif seperti air yang dituangkan ke dalam botol
sehingga botol berubah dari kosong menjadi berisi. Transfer pengetahuan dari guru
kepada siswa belum dapat mendorong siswa belajar untuk memperoleh pengetahuan.
Teori ini mengatakan bahwa pengetahuan harus dibangun atau dikonstruksi oleh
pembelajar secara aktif. Artinya, dalam proses pembelajaran peserta didik harus berperan
aktif mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki dan mengasosiasi pengetahuan
baru yang sedang dipelajari. Pada diri peserta didik terjadi pemrosesan informasi
sehingga terjadi adaptasi akibat adanya pengetahuan baru yang diperkenalkan kepada
siswa. Pengetahuan merupakan hasil olahan internal terhadap informasi dari realitas di
luar diri pembelajar. Proses internalisasi ini menghasilkan suatu model yang mirip dan
merupakan representasi dari realitas yang ada di luar individu. Konsep-konsep yang telah
dimiliki oleh peserta didik sebelum belajar akan dikaitkan dengan konsep-konsep baru
yang akan dipelajari oleh komponen kognitif peserta didik. Oleh sebab itu, proses
internalisasi yang sistematik akan dapat mempercepat terjadinya proses belajar.
Berdasarkan teori konstruktivisme trivial piaget, pengetahuan awal merupakan
faktor penting dalam pembelajaran. Pengetahuan awal yang cukup akan dapat
memudahkan siswa memahami materi baru yang lebih kompleks. Oleh sebab itu,
konstruktivisme trivial atau kognitif bersifat subyektif pada diri peserta didik. Upaya
peserta didik memperkaya pengetahuan yang dimiliki akan dapat membantunya
mempelajari materi yang baru. Sebagai contoh, kemampuan belajar matematika akan
sangat membatu peserta didik mempelajari materi IPA seperti gaya atau materi IPA yang
lainnya. Materi matematika tersebut merupakan kemampuan awal yang dapat membantu
peserta didik menguasai konsep-konsep yang akan dipelajari selanjutnya.
Pengetahuan awal peserta didik sangat bervariasi tergantung pada pengalaman
belajarnya. Pengajar dapat memicu peserta didik memperluas dan memperdalam
pengetahuan awalnya dengan menampilkan kasus-kasus yang terkait dengan materi,
penugasan membaca dan pengamatan tentang konteks dari materi yang dipelajari, atau
melakukan analisis melalui kajian atau perbandingan fenomena yang diamati. Makin
banyak pengalaman belajar yang dimiliki makin luas dan dalam pengetahuan awal yang
dimiliki peserta didik.
Hambatan utama meningkatkan pengetahuan awal peserta didik antara lain
disebabkan oleh rendahnya minat baca, terbatasnya sumber bacaan, kurangnya
pengalaman mengaitkan konsep-konsep yang dipelajari, dan kurangnya pengalaman
belajar memahami. Dua penyebab pertama sangat bergantung pada motivasi belajar

16
peserta didik. Bila peserta didik mempunyai orientasi tujuan belajar maka pemenuhan
rasa ingin tahu akan besar. Peserta didik yang demikian mempunyai minat baca yang
tinggi dan akan memburu sumber bacaan yang relevan. Sebaliknya bila peserta didik
hanya mempunyai orientasi penampilan (hanya mengejar nilai tanpa memperhatikan
proses) maka minat baca akan rendah. Mereka cenderung membaca ringkasan, fotocopy
catatan, atau mendengarkan penjelasan temannya. Peserta didik model ini sangat
prakmatis, lebih suka bermain dibandingkan belajar. Sedangkan pengalaman belajar dari
analisis kasus dan mengaitkan antar konsep sangat bergantung pada beban penugasan dan
latihan yang diberikan pengajar ketika proses pembelajaran berlangsung. Model-model
pemecahan masalah, analisis kasus, atau kajian tentang hasilhasil penelitian akan
membantu peserta didik memperoleh pengetahuan awal yang lebih luas.
Berbeda dengan teori konstruktivisme trivial piaget yang menganggap jika
pengetahuan awal merupakan faktor penting dalam pembelajaran. teori konstruktivisme
social Vygotsky berpandangan bahwa orang-orang yang ada di lingkungan belajar dapat
mempengaruhi dan mendorong orang belajar. Akibatnya, pengetahuan dapat dibangun
dari interaksi peserta didik dengan teman sebaya, guru, atau bahkan orang tua yang
secara bersama-sama belajar. Dalam konteks ini, ketergantungan positif antar peserta
didik dapat mendorongnya untuk belajar. Ketergantungan positif yang dimaksud adalah
adanya saling percaya dan saling membantu agar semua anggota kelompok memiliki
pemahaman yang sama terhadap materi yang dipelajari.
Dalam pandangan ini, peserta didik perlu memiliki motivasi kuat untuk
mengembangkan pengetahuan. Motivasi itu dapat muncul dari keterikatan tanggung
jawab bersama kelompoknya. Motivasi untuk berperan serta memajukan kelompok dapat
mendorong individu belajar dan setiap anggota kelompok mempunyai kewajiban moral
membelajarkan anggota kelompok yang lain sehingga terjadi tutor sebaya. Dengan
demikian, pengetahuan dapat dibangun dari upaya belajar bersama para individu di
sekitar peserta didik.
Asumsi-asumsi yang berlaku pada pandangan konstruktivistik sosial adalah:
a. Perolehan belajar dari individu yang belajar bersama lebih banyak dari belajar
sendiri,
b. Individu yang berpartisipasi dalam belajar bersama menghasilkan konsep-konsep
yang lebih banyak dari yang didapat sendiri, dan
c. individu yang berpikir sendiri dan bersama- sama dalam kelompok terjadi interaksi
bolak-balik dalam membangun pengetahuan (salomon dan perkins,1998).
Implementasi konstruktivisme sosial dalam pembelajaran dapat diamati pada
penerapan model belajar kooperatif (cooperative learning). Model ini mempunyai ciri-ciri
belajar berkelompok dimana anggota kelompok terdiri dari individu yang heterogen
ditinjau dari gender, kemampuan, suku, atau agama; ada tanggung jawab bersama atas
keberhasilan kelompok (setiap individu dalam kelompok mempunyai tanggung jawab
untuk keberhasilan kelompok), ketergantungan positif antar anggota kelompok, dan
belajar bersama (tutor sebaya). Model belajar kooperatif mencakup beberapa tipe seperti
Student team achievement division (STAD), Jigsaw, group investigation, team game
tournament, think pair share, dan lain-lain.
Ada beberapa istilah untuk menyebut pembelajaran berbasis sosial yaitu
pembelajaran kooperatif dan pembelajaran kolaboratif. Panitz membedakan kedua hal

17
tersebut. Pembelajaran kolaboratif didefinisikan sebagai falsafah mengenai
tanggungjawab pribadi dan sikap menghormati sesama. Peserta didik bertanggungjawab
atas belajar mereka sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dihadapkan pada mereka. Guru bertindak sebagai fasilitator,
memberikan dukungan tetapi tidak mengarahkan kelompok ke arah hasil yang sudah
disiapkan sebelumnya. Bentuk-bentuk assesment oleh sesama peserta didik digunakan
untuk melihat hasil prosesnya.
Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja
kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh
guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, di mana
guru menetapkan tugas dan pertanyaanpertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan
informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang
dimaksud. Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas. Pandangan
dikotomi tersebut di atas dianggap sebagai pernyataan yang berlebihan. Sebab, dalam
praktiknya antara pembelajaran kolaboratif kooperatif merupakan dua hal yang kontinum.
Istilah kooperatif digunakan dalam tulisan ini karena kata “kooperatif” memiliki makna
lebih luas, yaitu menggambarkan keseluruhan proses sosial dalam belajar dan mencakup
pula pengertian kolaboratif. Dukungan teori konstruktivisme sosial Vygotsky telah
meletakkan arti penting model pembelajaran kooperatif. Konstruktivisme sosial
Vygotsky menekankan bahwa pengetahuan dibangun dan dikonstruksi secara mutual.
Peserta didik berada dalam konteks sosiohistoris. Keterlibatan dengan orang lain
membuka kesempatan bagi mereka mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Dengan
cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk
perkembangan pemikiran peserta didik.
Dari Peaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individual ke kooperatif,
interaksi sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivis Peaget,
peserta didik mengkonstruksi pengetahuan dengan mentransformasikan,
mengorganisasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya.
Sedangkan Vygotsky menekankan peserta didik mengkonstruksi pengetahuan melalui
interaksi sosial dengan orang lain. Isi pengetahuan dipengaruhi oleh kultur di mana
peserta didik tinggal. Kultur itu meliputi bahasa, keyakinan, keahlian/keterampilan.
Dukungan teori Vygotsky terhadap model pembelajaran kooperatif adalah penekanan
belajar sebagai proses dialog interaktif. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran
berbasis sosial. Dialog interaktif (interaksi sosial) adalah kunci dari semua kehidupan
sosial. Tanpa interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Dengan kata
lain, kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan
hidup. Tanpa kerjasama, tidak akan ada individu, keluarga organisasi, dan kehidupan
bersama lainnya. Secara umum tanpa interaksi sosial tidak akan ada pengetahuan yang
disebut Peaget sebagai pengetahuan sosial.
Dukungan lain dari teori Vygotsky terhadap model pembelajaran kooperatif adalah
arti penting belajar kelompok. Di antara para pakar terdapat beberapa pendapat tentang
pengertian kelompok. Chaplin mendefinisikan kelompok sebagai “a collection of
individuals who have some characterictic in common or who are pursuing a common

18
goal. Two or more persons who interact in any way constitute a group. It is not necessary,
however, for the members of a group to interact directly or in face to face manner”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa kelompok itu dapat terdiri
dari dua orang saja, tetapi juga dapat terdiri dari banyak orang. Chaplin juga
mengemukakan bahwa anggota kelompok tidak harus berinteraksi secara langsung yaitu
face to face. Seorang ahli dinamika kelompok bernama Shaw memberikan pengertian
kelompok “as two or more people who interact with and influence one another”. Menurut
Shaw satu ciri yang dipunyai oleh semua kelompok yaitu anggotanya saling berinteraksi,
saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Kelompok bukanlah semata-mata
kumpulan orang-orang. Kumpulan disebut kelompok apabila ada interaksi, mempunyai
tujuan, berstruktur, groupness.. Interaksi adalah saling mempengaruhi individu satu
dengan individu yang lain. Interaksi dapat berlangsung secara fisik, non-verbal,
emosional dsb. Tujuan dalam kelompok dapat bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Tujuan
intrinsik adalah tujuan yang didasarkan pada alasan bahwa dalam kelompok perasaan
menjadi senang. Tujuan ekstrinsik adalah tujuan yang didasarkan pada alasan bahwa
untuk mencapai sesuatu tidak dapat dicapai secara sendiri, melainkan harus dikerjakan
secara bersama-sama. Struktur kelompok menunjukkan bahwa dalam kelompok ada
peran. Peran dari tiap-tiap anggota kelompok, berkaitan dengan posisi individu dalam
kelompok. Peran masing-masing anggota kelompok akan bergantung pada posisi maupun
kemampuan individu masing masing. Setiap anggota kelompok berinteraksi berdasarkan
peran-perannya sebagaimana norma yang mengatur perilaku anggota kelompok.
Groupness menunjukkan bahwa kelompok merupakan suatu kesatuan. Kelompok
bukanlah semata-mata kumpulan orang yang saling berdekatan. Kelompok adalah
kesatuan yang bulat di antara anggotanya.
Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada
unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian
kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran
kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif. Model
pembelajaran kooperatif akan dapat menumbuhkan pembelajaran efektif yaitu
pembelajaran yang bercirikan (1) “memudahkan siswa belajar” sesuatu yang
“bermanfaat” seperti, fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi
dengan sesama ; (2) pengetahuan, nilai, dan keterampilan diakui oleh mereka yang
berkompenten menilai. Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua belajar
kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal,
lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan.
Lima unsur tersebut adalah:
a. Positive interdependence (saling ketergantungan positif).
Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua
pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan
kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu
mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.
b. Personal responsibility (tanggungjawab perseorangan).
c. Face to face promotive interaction ( interaksi promotif).
d. Interpersonal skill (komunikasi antaranggota).
19
e. Group processing (pemrosesan kelompok).
Tipe-tipe lain dari konstruktivisme adalah konstruktivisme kultural dan
konstruktivisme kritikal. Kedua tipe ini juga berpengaruh secara tidak langsung pada
pembelajaran di kelas. Konstruktivisme mengacu pada budaya, perilaku, atau bahkan
kebiasaan hidup suatu komunitas. Lambang-lambang budaya, bahasa, atau tatacara
tertentu bersumber dari pengetahuan tertentu. Dalam konteks pembelajaran, metode atau
strategi pembelajaran perlu mengakomodasi kearifan lokal yang dimiliki peserta didik
sehingga mereka dapat lebih mudah mengkostruksi pengetahuannya. Konstruktivisme
kritikal mengembangkan pengetahuan atas analisis kritis dari lingkungan sosial dan
kultural. Pandangan ini ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan berpikir konvensional atau
mitos-mitos kultural yang dipercaya menjadi pengetahuan yang realistis. Pandangan ini
beranggapan bahwa pengetahuan itu berasal dari guru sehingga guru menjadi sumber
belajar satu-satunya. Pada jaman dahulu sebelum teknologi berkembang hal ini memang
ada benarnya tetapi pada saat ini sumber belajar dapat diperoleh di mana saja sehingga
peserta didik yang belajar akan membaca sumber belajar yang sama dengan yang dibaca
guru. Oleh sebab itu, pandangan ini oleh konstruktivisme kritis harus dirubah karena
pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber.

Dasna,w. modul 1( Hakikat Pembelajaran Inovatif dan Interaktif).


http://repository.ut.ac.id/4324/1/MPDR5203-M1.pdf diakses pada 1 April 2020
Suprijono, A. (2016). Model-Model Pembelajaran Emansipatoris. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Jacob. SUATU PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS TERHADAP BELAJAR.

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/194507161976031-
CORNELIS_JACOB/APLIKASI_PENDEKATAN_KONSTRUKTIVIS_%28PPMasy%
29.pdf diakses pada 2 April 2020

20
5. Mengapa pendidik harus kreatif ,inovatif dan interakitf ?
Jawab:
Pada zaman dahulu teknologi informasi masih belum semaju dan semudah
sekarang. Saat ini peserta didik kita sudah tidak asing dengan televisi, main game,
gadget, handphone, dan permainan-permainan berbasis elektronik lainnya. Peralatan-
peralatan berbasis teknologi tersebut sudah sangat dekat dengan peserta didik kita
sehingga kegiatan bermain menggunakan barang-barang tersebut akan jauh lebih menarik
dibandingkan dengan kegiatan membaca, mengerjakan pekerjaan rumah, atau mencari
sumber belajar lainnya. Keadaan tersebutlah yang menjadi tantangan bagi pengajar pada
masa kini dan masa yang akan datang. Dampak kemajuan teknologi dan gaya hidup harus
dapat dikendalikan oleh pengajar di kelas agar pembelajaran menjadi tetap menarik dan
bermakna.
Abad ke-21 adalah abad yang sangat berbeda dengan abad-abad sebelumnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang luar biasa disegala bidang.pada abad ini, terutama
bidang Information and Communication Technology (ICT) yang serba canggih
(sophisticated) membuat dunia ini semakin sempit, karena kecanggihan teknologi ICT ini
beragam informasi dari berbagai sudut dunia mampu diakses dengan instant dan cepat
oleh siapapun dan dari manapun, komunikasi antar personal dapat dilakukan dengan
mudah, murah kapan saja dan di mana saja. Perubahan-perubahan tersebut semakin
terasa, termasuk didalamnya pada dunia pendidikan. Guru saat ini menghadapi tantangan
yang jauh lebih besar dari era sebelumnya. Guru menghadapi klien yang jauh lebih
beragam, materi pelajaran yang lebih kompleks dan sulit, standard proses pembelajaran
dan juga tuntutan capaian kemampuan berfikir siswa yang lebih tinggi, untuk itu
dibutuhkan guru yang mampu bersaing bukan lagi kepandaian tetapi kreativitas dan
kecerdasan bertindak (hard skills- soft skills). Menurut Susanto(2010, dalam Andi Sukri),
terdapat 7 tantangan guru di abad 21, yaitu :
1. Teaching in multicultural society, mengajar di masyarakat yang memiliki beragam
budaya dengan kompetensi multi bahasa.
2. Teaching for the construction of meaning, mengajar untuk mengkonstruksi makna
(konsep).
3. Teaching for active learning, mengajar untuk pembelajaran aktif.
4. Teaching and technology, mengajar dan teknologi.
5. Teaching with new view about abilities, mengajar dengan pandangan baru mengenai
kemampuan.
6. Teaching and choice, mengajar dan pilihan.
7. Teaching and accountability, mengajar dan akuntabilitas.

Untuk memecahkan masalah tersebut di atas, guru dituntut mampu untuk membaca setiap
tantangan yang ada pada masa kini. guru harus mampu untuk mencari sendiri pemecahan
masalah yang timbul dari dampak kemajuan zaman karena tidak semua kemajuan zaman
berdampak baik, dampak negatif juga harus diperhitungkan.
Pada era ini hampir semua bahan ajar sudah tersedia dalam bentuk digital. Hal itu
menandakan bahwa sumber belajar yang digunakan di sekolah sudah dapat diakses atau
didapatkan oleh peserta didik melalui internet. Komputer jinjing yang dimiliki peserta
didik telah dapat diisi dengan sumber belajar sehingga mereka tidak perlu lagi membawa
tas besar dengan banyak buku ke sekolah. Akses internet di sekolah atau di tempat-

21
tempat tertentu semakin mudah dan semakin murah. Walau kita juga menyadari bahwa
sekolahsekolah kita di daerah tertentu masih mengalami kesulitan memperoleh listrik dan
juga internet. Namun sebagian besar telah dapat menjangkaunya. Dalam kondisi lain,
masih banyak pengajar belum disiapkan dengan baik sebagai pengajar berbasis teknologi.
Kegiatan pembelajaran masih lebih banyak menerima informasi dibandingkan dengan
membangun konsep melalui kegiatan berpikir. Bila pada saat ini dimana hampir semua
peserta didik telah memiliki sumber belajar namun pengajar masih membelajarkan
mereka dengan memberikan informasi maka hal itu akan menjadi kegiatan yang tidak
menarik bagi peserta didik. Mereka akan mengatakan “lebih baik dibaca di rumah”
sehingga mereka dapat melakukan kegiatan lain seperti main game ketika guru
menjelaskan materi yang sudah ada pada buku ajar yang dimiliki peserta didik.
Guna menghadapai tantangan-tantangan tersebut, maka pendidik harus
interaktif,kreatif dan inovatif. Pertama, Pembelajaran aktif yaitu pembelajaran yang
melibatkan peserta didik belajar. Pengajar harus dapat menerapkan pembelajaran
berpusat pada peserta didik untuk mengembangkan pembelajaran aktif. Pembelajaran
aktif adalah pembelajaran yang dapat melibatkan semua siswa dalam aktivitas
pembelajaran. Keterlibatan tersebut meliputi kegiatan yang terkait dengan kognitif,
afektif, dan psikomotor. Guru sebagai satu-satunya sumber informasi dalam kegiatan
belajar mengajar tidak mungkin lagi dipertahankan. Guru dalam kegiatan belajar
mengajar tidak cukup hanya menyampaikan materi pengetahuan kepada siswa di kelas
karena materi yang diperolehnya tidak selalu sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Hal ini yang diperlukan siswa adalah kemampuan untuk mendapatkan
dan mengelola informasi yang sesuai dengan kebutuhannya sehingga mengajar tidak
hanya usaha untuk menyampaikan informasi tetapi juga usaha menciptakan suatu
lingkungan yang membelajarkan peserta didik agar tujuan pengajaran tercapai secara
optimal (Nuryani, dalam Sundari:2015).
Guru dan peserta didik mempunyai peranan yang sama dalam mewujudkan
kegiatan belajar mengajar. Dalam upaya mewujudkan kegiatan belajar mengajar di
kelas perlu adanya interaksi yang aktif antara keduanya, sehingga suasana kegiatan
belajar mengajar menjadi hangat dan akrab. Salah satu bentuk pembelajaran yang
cocok diterapkan untuk meningkatkan keaktivan siswa yaitu pembelajaran aktif
(Active learning). Pembelajaran aktif lebih memungkinkan interaksi antara guru dan
siswa terbina secara optimal. Kegiatan belajar mengajar lebih menekankan keaktifan
siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional, untuk memperoleh hasil belajar
berupa kognitif, afektif, dan psikomotor (Usman dalam Sundari:2015).
Pembelajaran aktif memiliki bebarapa strategi yang dapat diterapkan dalam
pembelajaran. Strategi tersebut antara lain adalah role reversal question dan peer
lesson. Strategi role reversal question merupakan salah satu strategi dalam
pembelajaran aktif yang menerapkan suatu strategi bahwa siswa berperan sebagai
guru yaitu menjelaskan permasalahan yang ditanyakan oleh siswa, dalam hal ini
yang berperan sebagai siswa adalah guru. Sedangkan strategi peer lesson merupakan
salah satustrategi yang memberikan kesempatan dan kebebasan siswa untuk berperan
sebagai “pengajar” bagi siswa lainnya (Silberman, dalam Sundari:2015).

22
Kedua ,yaitu kreatif. Di era global ini, menjadi guru kreatif adalah sebuah
keharusan yang tak terelakan yang mampu mengantarkan peserta didik menjadi cerdas,
mandiri, kreatif dan memiliki kompetensi yang berstandar global. Tujuh kunci sukses
yang harus dimiliki oleh guru kreatif yaitu, (1) globalization with information. Di era
global ini informasi adalah hal yang sangat penting untuk melihat, memahami dan
menguasai dunia, oleh karenanya seorang guru harus senantiasa update terhadap
informasi global yang berkembang. (2) relationship with networking. Membangun relasi
atau mitra melalui berbagai jaringan, komunitas, organisasi on/offline adalah hal yang
sangat penting dalam meningkatkan wawasan global. Oleh karenanya seorang guru harus
aktif dalam berbagai organisasi. (3) skills with multi skills. Untuk eksis didunia global
agar tidak tereliminir didalam persaingan SDM, maka seorang guru tidak cukup dengan
satu keterampilan saja, dibutuhkan berbagai keterampilan yang spesifik dan berdaya
saing global (standar global) agar mampu menjadi guru cerdas, kreatif dan inovatif. (4)
mental with entrepreneurship. Mental Wirausaha bukan berarti melulu harus menjadi
seorang pengusaha atau pebisnis. Mental wirausaha dibutuhkan bagi siapapun dan profesi
apapun tak terkecuali profesi guru dibutuhkan mental entrepreneur yaitu mental kreatif,
mental inovatif dan mental inspiratif dalam mendidik siswanya. (5) life stye with cross
culture. Akses tanpa batas (internet) serta kemudahan dalam transportasi jarak jauh
menjadikan intensnya komunikasi dan interaksi antar manusia didunia, juga heterogennya
berbagai latarbelakang siswa mengharuskan setiap guru memahami gaya hidup dan
budaya orang lain. (6) self potential with unconscius. Sadarkah kita, ternyata didalam diri
manusia tersimpan kemampuan yang sangat luar biasa. Hanya saja banyak sekali yang
belum mengetahui bagaimana memberdayakannya. Cukup beralasan memang, kita tidak
menyadari kemampuan maha dahsyat tersebut mengingat keberadaannya jauh tersimpan
didalam memori alam bawah sadar kita (unconscious). Untuk membangkitkannya
diperlukan latihan pengelolaan pikiran bawah sadar secara simultan dan
berkesinambungan. Sampai saat ini, kebanyakan orang masih menggunakan potensi dari
kekuatan pikirannya hanya sebesar 12 persen untuk melakukan berbagai hal. Sisanya (88
persen) adalah pikiran bawah sadar (unconscious). Beberapa teknik untuk
membangkitkan potensi alam bawah sadar bisa melalui meditasi, sugesti, hipnotis,
visualisasi, dan teknik lainnya. Dan (7) key succes with soft skill. Soft skill adalah
keterampilan tak berwujud (intingible). Tidak dipelajari secara formal, namun sangat
menentukan sukses tidaknya karir seseorang tak terkecuali sukses tidaknya seorang guru.
Komponen soft skill yang wajib dimiliki oleh guru seperti attitude, leadership,
communication skill, emotional skill, mental skill, emphaty, dan lain-lain akan
mewujudkan guru yang sukses dalam mendidik. Soft skill banyak didapatkan dari
seringnya berinteraksi, aktif dalam berbagai organisasi, keteladanan seseorang, dan
inspirasi atau success story.
Ketiga, yaitu inovatif. Guru inovatif yaitu guru yang memiliki gagasan-gagasan
baru yang didasari berbagai pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
diaktualisasikan dalam berbagai tugas pembelajaran, seperti inovasi terhadap bahan ajar,
metode pembelajaran, sarana/media pembelajaran, evaluasi belajar, serta relasi edukasi
guru dan anak didik. Dengan guru inovatif, proses belajar-mengajar menjadi bergairah,
menarik, dan dinamis. Dengan demikian, proses pembelajaran akan semakin
menyenangkan. Perkembangan pesat teknologi informasi saat ini turut menumbuhkan
tantangan tersendiri bagi guru. Mengingat, guru sudah bukan lagi satu-satunya sumber

23
informasi sehingga muncul pendapat bahwa pendidikan bisa berlangsung tanpa guru. Hal
ini benar jika pendidikan diartikan sebagai proses memperoleh pengetahuan. Namun,
perlu diingat, bahwa pendidikan juga adalah media pendewasaan, maka prosesnya tidak
dapat berlangsung tanpa guru. Hal yang tidak kalah penting, 'guru inovatif' juga harus
dapat membagi waktu dengan baik, rajin membaca, banyak menulis, dan gemar
melakukan penelitian. Sebab, mereka harus mampu menjadi panutan dan selalu
memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin
diambil semakin jernih airnya, mengalir bening, dan menghilangkan rasa dahaga bagi
siapa saja yang meminumnya.
Dalam mengembangkan pembelajaran aktif,kreatif dan inovatif pengajar harus
memperhatikan atau mengarahkan pengembangan pembelajaran paling sedikit pada ketujuh hal
yaitu Teaching in multicultural society (mengajar di masyarakat yang memiliki beragam budaya
dengan kompetensi multi bahasa); Teaching for the construction of meaning,( mengajar untuk
mengkonstruksi makna/ konsep; Teaching for active learning(mengajar untuk pembelajaran
aktif);Teaching and technology( mengajar dan teknologi); Teaching with new view about
abilities(mengajar dengan pandangan baru mengenai kemampuan);Teaching and choice,
(mengajar dan pilihan) dan Teaching and accountability( mengajar dan akuntabilitas).
Prinsip-prinsip yang penting diperhatikan dalam pembelajaran yaitu:
1. Pembelajaran harus dirancang sesuai dengan pertumbuhan intelektual, emosional, sosial,
potensi fisik, artistik, dan kreatif. Pertumbuhan intelektual anak dapat dioptimalkan bila
mereka diajak untuk berpikir bukan untuk menghafalkan materi. Karakteristik tersebut
sangat penting diperhatikan dalam pengembangan pembelajaran agar proses
pembelajaran sesuai dengan tingkat kognitif peserta didik. Tingkat kognitif yang
dimaksud adalah tingkat berpikir, emosi, dan keadaan lainnya.
2. Pembelajaran harus secara aktif melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran dan
mendorong tanggung jawab pribadi dan kolektif. Pelibatan peserta didik secara aktif
melalui kegiatan-kegiatan yang menyebabkan terjadi interaksi akan dapat
mengembangkan sikap sosial dan keterampilan sosial lainnya. Pengajar dapat memilih
strategi atau model-model pembelajaran yang dapat melibatkan peserta didik. Secara
umum pembelajaran berpusat pada peserta didik akan dapat melibatkan peserta didik
untuk belajar. Kualitas inovasi pembelajaran yang direncanakan pengajar dapat diketahui
dari sejauhmana pelibatan peserta didik belajar.
3. Proses pembelajaran merupakan kegiatan membangun konsep bukan semata-mana
menerima informasi. Proses pembelajaran merupakan pencarian pemahaman dan makna
yang disusun dari kegiatan berinteraksi antar peserta didik atau peserta didik dengan
pengajar.. Peserta didik didorong untuk memahami materi yang dibelajarkan bukan
menghafalkan materi tersebut.
4. Pembelajaran harus dapat memelihara anak-anak yang sehat, utuh, memiliki
keingintahuan tinggi yang dapat belajar apapun yang perlu diketahui dalam konteks baru.
Secara umum, peserta didik yang produktif dan kreatif harus dapat diakomodasi (bukan
dikucilkan) dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini, diperlukan seni pengelolaan kelas
dimana peserta didik yang belajarnya maju dapat didorong oleh pengajar untuk
membelajarkan teman-teman sebayanya. Pembentuk kelompok diskusi yang heterogen

24
dapat membatu keadaan ini. Penggunaan sumber belajar digital juga dapat memfasilitasi
peserta didik yang mempunyai kemampuan dan rasa ingin tahu tinggi.
5. Pembelajaran harus dapat memampukan peserta didik untuk menerima dan memahami
berbagai konteks yang membentuk dan memberikan makna bagi kehidupan dengan cara
memperkenalkan peserta didik kepada pandangan yang utuh tentang planet, kehidupan di
bumi, dan perkembangan masyarakat dunia. Pernyataan ini mengacu pada kearifan lokal
yang ada di sekitar sekolah atau wilayah tempat belajar peserta didik. Pengembangan
pembelajaran inovatif harus dapat mengakomodasi kearifan lokal yang ada. Misalnya
pada pembelajaran IPA, tumbuhtumbuhan yang dipelajari diambilkan dari yang ada di
sekitar sekolah. Permainan-permainan yang digunakan dalam pembelajaran dapat
diakomodasi dari permainan anak-anak yang ada di daerah sekitar sekolah. Misalnya
permainan Bilulu dan Tolode yang ada di daerah Gorontalo dapat diadaptasi untuk
pembelajaran kooperatif bagi peserta didik.
6. Pengajar mengakui potensi bawaan setiap peserta didik untuk menjadi cerdas, kreatif,
berpikir sistemik. Dalam pembelajaran inovatif dan interaktif apapun hasil karya peserta
didik harus dapat dihargai. Pada beberapa sekolah telah terjadi pemajangan hasil-hasil
karya peserta didik di dinding sekolah. Keadaan tersebut sangat positif bagi peserta didik
dimana mereka dapat percaya diri melihat karyanya disandingkan dengan hasil pekerjaan
teman-temannya. Potensi-potesi yang dimiliki oleh setiap peserta didik dapat difasilitasi
oleh pengajar sehingga mereka dapat berkembang.
7. Pembelajaran agar dapat mendorong peserta didik untuk mendekati budaya, moral, dan
konteks politik dalam kehidupan mereka secara kritis. Selain penguasaan materi (teori,
hukum, prinsip, konsep) dalam pembelajaran inovatif, peserta didik juga dibelajarkan
tentang budaya, moral yang baik (tatakrama dan budi pekerti). Pengembangan
pembelajaran inovatif harus dapat mengakar pada budaya bukan sematamata
mengembangkan kemampuan berpikir. Pembelajaran harus dapat menjunjung tinggi nilai
dan pengetahuan spiritual (dalam artian non-sektarian). Pembelajaran inovatif yang
dikembangkan di kelas tidak boleh menjelekkan atau menyinggung nilai-nilai agama
yang dimiliki masyarakat Indonesia. Pembelajaran inovatif harus dapat menghargai dan
mengakomodasi keberagaman peserta didik di kelas atau di sekolah.
8. Proses pembelajaran harus dapat membuat peserta didik memiliki perasaan kagum dan
hormat terhadap misteri alam semesta dan rasa bagi kehidupan yang bertujuan. Pada
akhir pembelajaran, peserta didik harus dapat melakukan refleksi atau perenungan bahwa
apa yang ada di alam, apa yang peserta didik miliki dan nikmati adalah anugerah dari
Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya ketika selesai belajar tentang fotosintesis maka peserta
didik diajak merenungkan apa yang terjadi bila Tuhan tidak menciptakan fotosintesis.
Manusia yang ada di dunia ini akan tidak memiliki sumber pangan dari tumbuh-
tumbuhan.
Suprijono, A. (2016). Model-Model Pembelajaran Emansipatoris. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Dasna,w. modul 1( Hakikat Pembelajaran Inovatif dan Interaktif).


http://repository.ut.ac.id/4324/1/MPDR5203-M1.pdf diakses pada 1 April 2020
widyaningsih, s. (2015). pengaruh pembelajaran akktif terhadap hasil belajar siswa pada materi pokok
plantae. jurnal pendidikan sains, vol 2 no 2.

25
6. Pembelajaran inovatif bukan berarti harus menggunakan teknologi atau alat bantu
pembelajaran berbasis teknologi. Dalam pembelajaran inovatif, Pengajar dapat
menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar, peserta didik dapat melakukan
eksplorasi yang relevan dengan materi yang dibelajarkan. Bagaimana cara
memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dalam pembelajaran inovatif ?
Jawab :
Lingkungan belajar adalah suatu tempat yang berfungsi sebagai wadah atau
lapangan terlaksananya proses belajar mengajar atau pendidikan. Tanpa adanya
lingkungan, pendidikan tidak dapat berlangsung. Menurut Huta barat (1986) lingkungan
belajar yaitu lingkungan yang alami dan lingkungan sosial, lingkungan alami meliputi
keadaan suhu dan kelembapan udara, sedangkan lingkungan sosial dapat berwujud
manusia. Menurut dun dan dun (1999) kondisi belajar atau lingkungan belajar dapat
mempengaruhi konsentrasi dan penerimaan informsi bagi siswa, jadi lingkungan belajar
adalah lingkungan alami yang diciptakan oleh guru atau orang lain yang bisa menambah
konsentrasi siwa dan pengetahuan siswa secara efisien.
Proses pembelajaran bisa berlangsung pada banyak lingkungan yang berbeda,
tidak hanya terikat pada ruang kelas akan tetapi bisa pada lingkungan umum seperti
masjid, museum, lapangan dan juga bisa berlangsung di sarana dan prasarana
sekolahanDari semua lingkungan masyarakat yang dapat digunakan dalam proses
pendidikan dan pengajaran secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga macam
lingkungan belajar yakni lingkungan sosial, lingkungan alam dan lingkungan buatan.
a. Lingkungan social
Lingkungan belajar sebagai sumber belajar berkenaan dengan interaksi manusia dengan
kehidupan masyarakat, seperti organisasi sosial, adat dan kebiasaan, mata pencaharian,
kebudayaan, pendidikan, kependudukan,struktur pemerintahan, agama dan sistem nilai.
Lingkungan sosial tepat digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Dalam praktek pengajaran penggunaan lingkungan sosial sebagai media dan sumber
belajar hendaknya dimulai dari lingkungan yang paling dekat, seperti keluarga, tetangga,
rukun tetangga, rukun warga, desa, kecamatan, dan seterusnya. Hal ini disesuaikan
dengan kurikulum yang berlaku dan tingkat perkembangan anak didik. Sebagai contoh:
dalam pembelajaran ilmu bumi dan kependudukan siswa diberi tugas untuk mempelajari
aspek kependudukan di rukun tetangganya. Siswa diminta untuk mempelajari jumlah
penduduknya, jumlah keluarga, dan pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun. Dalam
studi ini siswa menghubungi ketua RT dan bertanya kepadanya, disamping melihat
sendiri keadaan penduduk di RT tersebut. Hasilnya dicatat dan dilaporkan di sekolah
untuk dipelajari lebih lanjut. Kegiatan seperti ini ditugaskan kepada siswa dalam bentuk
kelompok, agar mereka bekerja bersama-sama. Melalui kegiatan tersebut, siswa lebih
aktif dan lebih produktif sebab ia mengerahkan usahanya untuk memperoleh informasi
sebanyak-banyaknya dari sumber-sumber yang nyata dan faktual.
b. Lingkungan alam
Lingkungan alam berkenaan dengan segala sesuatu yang sifatnya alamiah seperti keadaan
geografis, iklim, suhu udara, musim, curah hujan, flora (tumbuhan), fauna (hewan),
sumber daya alam ( air, hutan, tanah, batu-batuan, dan lain-lain). Lingkungan alam tepat
digunakan untuk bidang studi ilmu pengetahuan alam. Aspek-aspek lingkungan alam di
atas dapat dipelajari secara langsung oleh para siswa melalui cara-cara seperti telah

26
dijelaskan sebelumnya. Mengingat sifat-sifat dari gejala alam relatif tetap tidak seperti
dalam lingkungan sosial, maka akan lebih mudah dipelajari para siswa. Siswa dapat
mengamati dan mencatatnya secara pasti, dapat mengamati perubahan-perubahan yang
terjadi termasuk proses dan sebagainya. Gejala lain yang dapat dipelajari adalah
kerusakan-kerusakan lingkungan alam termasuk faktor penyebabnya seperti erosi,
penggundulan hutan, pencemaran air, tanah, udara, dan sebagainya. Dengan mempelajari
lingkungan alam diharapkan para siswa dapat lebih memahami materi pelajaran di
sekolah serta dapat menumbuhkan kecintaan alam, kesadaran untuk menjaga dan
memelihara lingkungan, turut serta dalam menanggulangi kerusakan dan pencemaran
lingkungan serta tetap menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam bagi
kehidupan manusia.
c. Lingkungan buatan
Lingkungan buatan yakni lingkungan yang sengaja diciptakan atau dibangun manusia
untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Lingkungan
buatan antara lain irigasi atau pengairan, bendungan, taman, kebun binatang, perkebunan,
tenaga pembangkit listrik, dll. Siswa dapat mempelajari lingkungan buatan dari berbagai
aspek seperti prosesnya, pemanfaatanya, fungsinya, pemeliharaannya, daya dukungnya,
serta aspek lain yang berkenaan dengan pembangunan dan kepentingan manusia pada
umumnya. Lingkungan buatan dapat dikaitkan dengan kepentingan berbagai bidang studi
yang diberikan di sekolah.
Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar sangat penting karena tidak
semua sekolah mampu memfasilitasi siswanya dengan tehnologi. Peranan lingkungan
sebagai sumber belajar. Beberapa sumber belajar misalnya guru, buku-buku,
laboratorium, kebun sekolah, tenaga ahli, lingkungan sekitar dan sebagainya. Lingkungan
merupakan sumber belajar yang tak habis-habisnya memberikan pengetahuan bagi anak.
Misalnya dalam mempelajari perilaku tercela maka kita dapat memanfaatkan lingkungan
yaitu lingkungan yang tercemar atau lingkungan sekolah yang kotor sebagai salah satu
akibat dari perilaku tercela.
Prinsip umum menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar yaitu :
a. Memenuhi aturan keamanan
Keamanan merupakan hal utama yang harus diperhatikan oleh pihak sekolah. Hal ini
dilakukan untuk mengatisipasi kecelakaan yang dapat terjadi kapan saja, dan di mana
saja.
b. Melindungi dan meningkatkan karakteristik alamiah anak
Pada umumnya anak-anak secara alamiah sangat menyukai aktivitas di luar ruangan.
Bagi anak situasidan kondisi apa pun dapat menjadi kegiatan yang menarik. Melalui
aktivitas ourdoor para guru diharapkan memahami kebutuhan tersebut dan
memfasilitasinya tanpa banyak melakukan intervensi.
c. Desain lingkungan luar kelas harus didasarkan pada kebutuhan anak
Sebagian profesional dalam bidang anak usia dini sepakat bahwa bermain dapat
meningkatkan berbagai aspek perkembangan (yakni fisik, kognitif, sosial dan emosi)
sekalipun penekanan ditempatkan pada berbagai aspek perkembangan akan bervariasi
tergantung pada fokus dan prioritas program yang diberlakukan
d. Secara estetis harus menyenangkan

27
Ruang outdoor harus menarik bagi semua indra. Hal ini akan berpengaruh terhadap
motivasi anak untuk beraktivitas, juga meningkatkan kepekaan rasa anak dalam
menyerap estetika.
Teknik Menggunakan Lingkungan sebagai Sumber Belajar. Ada beberapa cara
bagaimana mempelajari lingkungan sebagai media dan sumber belajar, yaitu:
1. Survey
siswa mengunjungi lingkungan seperti masyarakat setempat untuk mempelajari
proses sosial, budaya, eonomi, kependudukan dan lain-lain. Kegiatan belajar
dilakukan siswa melalui observasi, wawancara dengan berbagai pihak yang
dipandang perlu, mempelajari data atau dokumen yang ada, dan lain-lain. Hasilnya
dicatat dan dilaporkan di sekolah untuk dibahas bersama dan disimpulkan oleh guru
dan siswa untuk melengkapi bahan pengajaran.
2. Field trip atau karya wisata
Dalam pengertian pendidikan karyawisata adalah kunjungan siswa keluar kelas untuk
mempelajari objek tertentu sebagai bahan integral dari kegiatan kurikuler di sekolah.
Objek karyawisata harus relevan dengan bahan pengajaran misalnya museum untuk
pelajaran sejarah, kebun binatang untuk pelajaran biologi, taman mini untuk pelajaran
ilmu bumi dan kebudayaan, peneropongan bintang di Lembang untuk fisika dan
astronomi. Karyawisata sebaiknya dilakukan pada akhir semester atau catur wulan
dan dikaitkan dengan keperluan pengajaran dari berbagai bidang studi secara
bersama-sama dan dibimbing oleh guru bidang studi yang bersangkutan.
3. Praktik lapangan
Praktik lapangan dilakukan oleh para siswa untuk memperoleh ketrampilan dan
kecakapan khusus. Misalnya siswa SPG diterjunkan ke sekolah dasar untuk melatih
kemampuan sebagai guru di sekolah. Siswa SMEA dikirimkan ke perusahaan untuk
mempelajari dan mempraktekkan pembukuan, akutansi dan lain-lain.
4. Mengundang manusia sumber atau narasumber
Sekolah mengundang tokoh masyarakat ke sekolah untuk memberikan penjelasan
mengenai keahliannya di hadapan para siswa. Misalnya mengundang dokter atau
mantri kesehatan untuk menjelaskan berbagai penyakit, petugas keluarga berencana
untuk menjelaskan keluarga kecil, petugas pertanian untuk menjelaskan cara
bercocok tanam, dan lain-lain.
5. Melalui proyek pelayanan dan pengabdian pada masyarakat
Cara ini dilakukan apabila sekolah (guru dan siswa secara bersama-sama melakukan
kegiatan memberikan bantuan kepada masyarakat seperti pelayanan, penyuluhan,
partisipasi dalam kegiatan masyarakat, dan kegiatan lain yang diperlukan. Misalnya
para siswa membantu memberikan pelayanan posyandu, perbaikan jembatan, jalan-
jalan, kebersihan lingkungan, dan lain-lain.
6. Night at school
Night at school adalah pintu gerbang untuk mengikuti asyiknya petualangan belajar.
Di saat anak kelas satu sudah merasa nyaman berinteraksi di sekolah, maka kini
saatnya mereka mendapatkan suasana yang berbeda: berpisah dengan orangtua
selama semalam, dan tidur bersama teman-teman. Dengan kata lain, NAS merupakan
ajang pembuktian: mampukah anak-anak sejenak terlepas dari rumah Melalui
kegiatan ini guru bisa menjalin kedekatan emosi dengan anak-anak. Tujuan NAS
adalah meningkatkan keberanian, kemandirian, tanggungjawab dan leadership.

28
Pembentukan karakter dimulai sejak awal anak masuk sekolah. NAS bisa menjadi
salah satu alat ukur, sampai di mana kemajuan yang mereka peroleh selama tiga bulan
bersekolah. Selama menginap di sekolah, semua anak berusaha mengurus diri sendiri.
Tidak ada orang tua atau guru yang membantu. Kalaupun ada, maka yang membantu
adalah teman-teman mereka sendiri. Mereka makan malam bersama-bakar jagung,
ayam, atau ikan jika ada. Shalat berjamaah, mengaji, menyimak kisah-kisah
kepahlawanan, dan saling bercerita. Dalam suasana yang akrab, anak-anak kelas 1
diharapkan mulai berani mengungkapkan pendapat, dan anak-anak kelas 2-3 mulai
belajar menghargai pendapat kawan dan adik-adik kelasnya.
7. Homestay
Program ini mengantarkan anak-anak berinteraksi dengna kehidupan yang sangat
berbeda dengan kesehariannya. Selama tiga hari mereka bukan hanya berpisah
dengan keluarga dan merasakan suasana keluarga baru, tetapi juga mengukuhkan
suasana pedesaan, mengolah kemampuan beradaptasi, dan menegakkan kemandirian.
Di desa, anak-anak juga memperoleh kesempatan yang segar untuk memupuk jiwa
kepemimpinan, rasa percaya diri, dan empati. Tidak ketinggalan muatan kurikulum
juga dimasukkan dalam kemasan program homestay. Homestay berbeda dengan
piknik ke kampung wisata. Tiga sampai empat anak dititipkan selama dua malam tiga
hari di rumah-rumah penduduk desa. Selain pertimbangan vegetasi dan topografi
yang bisa menjadi wahana belajar, tim survei juga memastikan bahwa penduduk desa
yang menjadi lokasi homestay bersedia menerima “kehebohan” anak-anak.
8. Camping
Camping merupakan aktivitas yang menguji ketahanan fisik, mental, dan juga emosi.
Kerja sama tim, tanggungjawab, dan kepemimpinan anak-anak dilatih. Tujuannya
jelas yaitu melatih tanggungjawab dan kepemimpinan. Orangtua diminta untuk
menahan diri, dan lebih banyak memberikan kepercayaan kepada anak-anak. Bantuan
yang berlebihan berarti merebut kesempatan anak untuk belajar. Game-game
dirancang untuk membentuk kekompakan, kepemimpianan, tanggungjawab dan
kegigihan. Game ketahanan fisik seperti merayap, memanjat, meluncur, dan menjaga
keseimbangan diujikan. Sambil menjalankan ujian fisik, berbagai pertanyaan brain
buster juga dilontarkan para guru untuk melatih konsentrasi. Ada juga game yang
menguji konsentrasi seperti mengoper telur jatah makan malam mereka dengan
menggulirkannya dari satu anak ke anak lain menggunakan kulit batang pisang. Jika
telur sampai jatuh dan pecah, maka lenyaplah lauk untuk makan malam itu. Kegiatan
camping juga diisi uji keberanian berjalan di tengah malam. Tujuannya bukan
menakut-nakuti anak. Karena itu, materi di setiap pos juga dirancang untuk
membangun ketahanan mental dan control emosi.
9. Supercamp
Kunci keberhasilan belajar adalah menguasai cara belajar. Di supercamp anak-anak
kelas 5 dan 6 dibimbing untuk menggidentifikasi gaya belajar yang efektif bagi
dirinya. Bukan hanya itu, mereka dipandu untuk mengenal diri sendiri, memahami
perasaan atau keinginan dan cara pengungapannya dan mampu menentukan tujuan.
Selama supercamp, anak mendapatkan pengalaman tentang bagaimana mengelola dan
memanfaatkan waktu. Mereka dilatih untuk mengerjakan tugas dengan alokasi waktu
yang jelas. Tujuan yang lebih besar adalah agar anak mendapatkan insight bahwa
sesungguhnya mereka adalah pribadi yang unik dan hebat.

29
Langkah dan prosedur menggunakan lingkungan sebagai media dan sumber belajar dalam proses
pengajaran memerlukan persiapan dan perencanaan yang seksama dari guru. Tanpa perencanaan
yang matang kegiatan belajar siswa bisa tiak terkendali, sehingga tujuan pengajaran tidak
tercapai dan siswa tidak melakukan kegiatan belajar yang diharapkan. Ada beberapa langkah
yang harus ditempuh dalam menggunakan lingkungan sebagai media dan sumber belajar, yakni:
a. Langkah persiapan
Guru dan siswa menentukan tujuan belajar yang diharapkan diperoleh para siswa berkaitan
dengan penggunaan lingkungan sebagai media dan sumber belajar. Kemudian tentukan objek
yang harus dipelajar dan dikunjungi. Dalam menetapkan objek kunjungan tersebut hendaknya
diperhatikan relevansi dengan tujuan belajar. Selanjutnya tentukan cara belajar siswa pada
saat kunjungan dilakukan. Misalnya mencatat apa yang terjadi, mengamati suatu proses,
bertanya atau wawancara. Di samping itu ada baiknya siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok dan setiap kelompok diberi tugas khusus dalam kegiatan belajarnya. Kemudian
guru dan siswa mempersiapkan perizinan jika diperlukan. Misalnya membuat dan
mengirimkan surat permohonan untuk mengunjungi objek tersebut agar mereka dapat
mempersiapkannya. Terakhir persiapan teknis yang diperlukan untuk kegiatan belajar, seperti
tata tertib di perjalanan dan di temapat tujuan, perlengkapan belajar yang harus dibawa,
menyusun pertanyaan yang akan diajukan,kalau ada kamera untuk mengambil foto,
transportasi yang digunakan, biaya, makanan, atau perbekalan, perlengkapan P3K.
b. Langkah pelaksanaan
Pada langkah ini adalah menentukan kegiatan belajar di tempat tujuan sesuai dengan rencana
yang telah dipersiapkan. Kegiatan belajar diawali dengan penjelasan petugas mengenai objek
yang dikunjungi. Para siswa mengajukan beberapa pertanyaan melalui kelompoknya masing-
masing supaya lebih hemat. Semua siswa mencatat semua informasi yang diperoleh. Para
siswa melihat dan mengamati objek yang dipelajari (para petugas memberikan penjelasan
berkaitan dengan cara kerja atau proses kerja). Para siswa dalam kelompoknya mendiskusikan
hasil-hasil belajarnya. Akhir kunjungan para siswa mengucapkan terimakasih kepada petugas
dan pimpinan objek tersebut.
c. Tindak lanjut
Tindak lanjut dari kegiatan belajar melalui lingkungan adalah membahas dan mendiskusikan
hasil yang diperoleh siswa selama kegiatan berlangsung. Setiap kelompok diminta
melaporkan hasil-hasilnya untuk dibahas bersama. Guru meminta kesan-kesan yang diperoleh
siswa dari kegiatan belajar tersebut, disamping menyimpulkan materi yang diperoleh dan
dihubungkan dengan bahan pengajaranbidang studinya. Guru memberikan penilaian terhadap
kegiatan belajar siswa dan hasil-hasil yang dicapainya. Proses pengajaran yang
mengoptimalkan lingkungan sebagai media dan sumber belajar dikenal dengan pendekatan
ekologis.

Wahyu Dini Kustanti, d. (n.d.). Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Untuk
Meningkatkan Keaktifan Dan Hasil Belajar Geografi. jurnal online UM.

30
Ulum, I. (2014). Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar anak. jurnal pendidikan anak,
no 3 vol 2.

7. Dalam upaya pembentukan karakter siswa yang kreatif, interaktif, inovatif, dan
inspiratif dalam proses pembelajaran di kelas, maka dipelukan implementasi
model-model pembelajaran berbasis inovatif. Apa saja model-model pembelajaran
inovatif yang selama ini sudah di terapkan di Indonesia?
Jawab :
Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai
tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan
guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. (Syaiful Sagala,
2005). (Indrawati, 2009) memaknai model pembelajaran sebagai suatu rencana mengajar
yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu, dalam pola tersebut dapat terlihat
kegiatan gurupeserta didik di dalam mewujudkan kondisi belajar atau sistem lingkungan
yang menyebabkan terjadinya belajar pada peserta didik. Di dalam pola pembelajaran
yang dimaksud terdapat karakteristik berupa rentetan atau tahapan perbuatan/kegiatan
guru-peserta didik yang dikenal dengan istilah sintaks. Secara implisit di balik tahapan
pembelajaran tersebut terdapat karakteristik lainnya dari sebuah model dan rasional yang
membedakan antara model pembelajaran yang satu dengan model pembelajaran yang
lainnya.
Model-Modeifl Pembelajaran Inovatif yang diterapkan di Indonesia yaitu:
1. Pembelajaran Kontekstual
Elaine B. Johnson mendefinisikan pengertian pembelajaran kontekstual sebagai
berikut: Contextual Teaching and Learning (CTL) atau disebut secara lengkap
dengan Sistem Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah proses
pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna didalam materi
akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjeksubjek akademik
dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan
pribadi, sosial, dan budaya mereka (Elaine B. Johnson dalam Muliana, 2018).
Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika belajar.
Pembelajaran konstektual (constextual teaching and learning-CTL) menurut
Nurhadi (Muliana, 2018) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk
menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan
juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan
penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri-sendiri. Pengetahuan dan ketrampilan
siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
ketrampilan baru ketika ia belajar sedangkan menurut Johnson (2002) CTL adalah
adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna
di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-
subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan
konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka.
Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi tujuh komponen berikut:
membuat keterkaitan- keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti,
31
melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama„ membantu
individu untuk tumbuh dan berkembang, berpikir kritis dan kreatif untuk mencapai
standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik. Langkah-Langkah
Pembelajaran Kontekstual CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang
studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah
yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut:
a. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar.
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai
cara.
Beberapa komponen utama dalam pembelajaran Kontekstual menurut Johnson
(Muliana, 2018) yang dapat di uraikan sebagai berikut:
a) Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections).
Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pembelajaran
dan pengajaran kontekstual. Ketika siswa dapat mengkaitkan isi dari mata
pelajaran akademik, ilmu pengetahuan alam. Atau sejarah dengan
pengalamannya mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna
memberi mereka alasan untuk belajar. Mengkaitkan pembelajaran dengan
kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan
inilah inti dari CTL
b) Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti (doing significant works). Model
pembelajaran ini menekankan bahwa semua proses pembelajaran yang
dilakukan di dalam kelas harus punya arti bagi siswa sehingga mereka dapat
mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa
c) Belajar yang diatur sendiri (self-regulated Learning). Pembelajaran yang
diatur sendiri, merupakan pembelajaran yang aktif, mandiri, melibatkan
kegiatan menghubungkan masalah ilmu dengan kehidupan sehari-hari dengan
cara-cara yang berarti bagi siswa. Pembelajaran yang diatur siswa sendiri,
memberi kebebasan kepada siswa menggunakan gaya belajarnya sendiri.
d) Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu
siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu siswa bekerja secara
efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka
saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
e) Berpikir kritis dan kreatif (critical dan creative thinking). Pembelajaran
kontekstual membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir tahap
tinggi, nerpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis adalah suatu
kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai,
memecahkan masalah menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis

32
asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatifadalah suatu kegiatan mental
untuk meningkatkan kemurnian, ketajaman pemahaman dalam
mengembangkan sesuatu.
f) Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nuturing the individual). Dalam
pembelajaran kontekstual siswa bukan hanya mengembangkan kemampuan-
kemampuan intelektual dan keterampilan, tetapi juga aspekaspek kepribadian:
integritas pribadi, sikap, minat, tanggung jawab, disiplin, motif berprestasi,
dsb. Guru dalam pembelajaran kontekstual juga berperan sebagai konselor,
dan mentor. Tugas dan kegiatan yang akan dilakukan siswa harus sesuai
dengan minat, kebutuhan dan kemampuannya.
2. Model Pembelajaran Cooperative Learning
Wahyuni (dalam Muliana, 2018) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan strategi pembelajaran dengan cara menempatkan siswa dalam kelompok
kecil yang memiliki kemampuan berbeda. Dalam pembelajaran kooperatif siswa tidak
hanya sebagai objek belajar tetapi menjadi objek belajar karena dapat berkreasi secara
maksimal dalam proses pembelajaran. Hal ini terjadi karena pembelajaran kooperatif
merupakan metode alternatif dalam mendekati permasalahan, Mampu mengerjakan
tugas besar, meningkatkan ketrampilan komunikasi dan sosial, serta perolehan
kepercayaan diri. Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah model
pembelajaran yang terjadi sebagai akibat dari adanya pendekatan pembelajaran yang
bersifat kelompok. Model pembelajaran dengan paradigma baru ini menempatkan
guru bukan sebagai orang yang se rba tahu yang dengan otoritas yang dimilikinya
dapat menuangkan berbagai ide dan gagasan, melainkan hanya sebagai salah satu
sumber informasi, penggerak, pendorong, dan pembimbing agar peserta didik dengan
kemauannya sendiri dapat melakukan kegiatan pembelajaran yang selanjutnya
mengarah pada terjadinya masyarakat belajar (learning society
Unsur-Unsur Pembelajaran Kooperatif Roger dan David Johnson dalam
(Muliana, 2018) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap
pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Untuk mencapai hasil yang
maksimal, lima unsur model pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan. Lima
unsur tersebut diantaranya: saling Tergantungan Positif, Tanggung Jawab
Perseorangan, Tatap Muka,Komunikasi Antar Anggota dan Evaluasi Proses
Kelompok. Terdapat banyak keuntungan jika pembelajaran menerapkan model
koopertaif ini diantaranya yaitu: 1.) Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan
social 2.) Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, ketrampilan,
informasi, perilaku sosial dan pandangan-pandangan. 3) Memudahkan siswa
melakukan penyesuaian social. 4) Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya
nilai-nilai sosial dan komitmen. 5) Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri
atau egois. 6) Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa 7)
Berbagai ketrampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling
membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekan 8) Meningkatkan rasa saling percaya
kepada sesama manusia. 9) Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan
situasi dari berbagai perspektif. 10) Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang
lain yang dirasakan lebih baik 11) Meningkatkan kegemaran berteman tanpa
memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat etnis, kelas
sosial, agama dan orientasi tugas.

33
3. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Metode Discovery Learningadalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk
finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagai strategi belajar,Discovery
Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem
Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini. Perbedaannya
dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada
siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri
masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran
dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu
melalui proses penelitian. Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan
menyelesaikan masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam
Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak
disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong
untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari
informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang
mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara
aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini ingin merubah
kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Hal yang
menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus
memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang
scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar
tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan
menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis,
mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri,
dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang
dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery
Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam
belajar yang lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang
ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar
ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru
hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak
berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah
problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya
dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk
belajar sendiri. Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery
learning di kelas.
• Langkah Persiapan Metode Discovery Learning
1) Menentukan tujuan pembelajaran.

34
2) Melakukan identifikasi karakteristik siswapeserta didik (kemampuan awal,
minat, gaya belajar, dan sebagainya).
3) Memilih materi pelajaran
4) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswapeserta didik secara induktif
(dari contoh-contoh generalisasi)
5) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh,
ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswapeserta didik
6) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang
konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswap eserta didik
• Prosedur Aplikasi Metode Discovery Learning
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu
guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan
kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa
dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation
dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang
mendorong eksplorasi. Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-
teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa
untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
2) Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah
yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan
dirumuskan dalam bentuk hipotesis
3) Data Collection (Pengumpulan Data)
Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar
tidaknya hipotesis. Dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur,
mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri
dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif
untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang
dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan
masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Data Processing (Pengolahan Data)
Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang
berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi
tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/
penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis
5) Verification (Pembuktian)

35
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan
benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif,
dihubungkan dengan hasil data processing
6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi.
4. Model Pembelajaran Berbasis Proyek/Project Based Learning Konsep/Definisi
Pembelajaran Berbasis Proyekmerupakan metode belajar yang menggunakan
masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan
pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata.
Pembelajaran Berbasis Proyekdirancang untuk digunakan pada permasalahan
komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan
memahaminya. Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan
pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam
sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam
kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat
melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang
sedang dikajinya. PjBLmerupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia
nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.
Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang
berbeda, maka Pembelajaran berbasis proyekmemberikan kesempatan kepada para
peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara
yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif.
Pembelajaran Berbasis Proyekmerupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik
dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.
Langkah-langkah Operasional Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai berikut:
1. Penentuanpertanyaan mendasar (Start With the Essential Question).
2. Mendesain perencanaan proyek (Design a Plan for the Project.
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan peserta didik.
3. Menyusun jadwal (Create a Schedule)
4. Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of
the Project)
5. Menguji hasil (Assess the Outcome)
6. Mengevaluasi pengalaman (Evaluate the Experience)

Rahman, A. (2018). model-model pembelajaran inovatif . jurnal pedagogy, vol 1 no 1.

Suprijono, A. (2016). Model-Model Pembelajaran Emansipatoris. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

36
37

Anda mungkin juga menyukai