Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KEGAWATDARURATAN NAPZA

Dosen Pembimbing :
Ns. Edo Gusdiansyah, M.kep

Disusun Oleh :
Afriyanti
1710105041

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
ALIFAH PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul“ KEGAWAT DARURATAN NAPZA” Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata Kuliah
KEPERAWATAN NAPZA.
Makalah ini ditulis berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan
materi, serta infomasi dari berbagai media yang berhubungan dengan“KEGAWAT
DARURATAN NAPZA”. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada pengajar
mata kuliah Pendidikan Dan Promosi Kesehatan atas bimbingan dan arahan dalam
penulisan makalah ini, dan juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
memberikan masukan dan pandangan, sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan mengenai
Pendidikan Dan Promosi Kesehatan, terutama materi mengenai“KEGAWAT
DARURATAN NAPZA”, sehingga saat kita praktik, kita dapat meminimalisir
kesalahan yang akan terjadi. Penulis berharap bagi pembaca untuk dapat memberikan
pandangan dan wawasan agar makalah ini menjadi lebih sempurna.
Akhir kata, penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kesalahan.

Padang, Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang......................................................................................... 1
B.Tujuan....................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian................................................................................................ 2
B. Prinsip – Prinsip Penanganan Kegawatdaruratan NAPZA .................... 2
C. Jenis – Jenis Kegawatdaruratan NAPZA................................................ 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia semakin memperihatinkan, dimana
Indonesia bukan hanya sebagai market terbesar bagi para pengedar obat-
obatan terlarang tetapi sekaligus sebagai salah satu tempat yang memproduksi.
Salah satu dampak dari penyalahgunaan NAPZA tersebut adalah timbulnya
berbagai masalah kesehatan yang berujung pada kematian.Sebagai salah satu
ujung tombak dalam pelayanan kesehatan, perawat memiliki peran yang
sangat besar untuk meminimalkan timbulnya kematian yang berhubungan
dengan kegawatdaruratan akibat penyalahgunaan NAPZA.
Kegawatdaruratan NAPZA merupakan keadaan dimana individu
mengalami ancaman kehidupan sebagai dampak dari penggunaan NAPZA
baik disengaja maupun tidak. Dalam perkembangan selanjutnya, penanganan
kegawatdaruratan di IGD RSKO Jakarta tidak hanya yang memiliki hubungan
langsung dengan penyalahgunaan NAPZA, akan tetapi juga mencakup
berbagai masalah kesehatan lainnya yang timbul sebagai dampak jangka
panjang dari penyalahgunaan NAPZA.
Data yang diperoleh dari Institusi Gawat Darurat RSKO menunjukkan
bahwa jumlah kasus kegawatdaruratan NAPZA pada Tahun 2005 sebanyak
319 kunjungan, sedangkan pada tahun 2006 sebanyak 561 kunjungan. Dari
data tersebut dapat diketahui adanya peningkatan jumlah kunjungan
kegawatdaruratan di RSKO Jakarta sebanyak 242 kunjungan atau sebanyak
57% di tahun berikutnya. Berdasarkan hal tersebut di atas diperlukan
pengetahuan dan keterampilan bagi perawat dalam memberikan pelayanan
kegawatdaruratan bagi klien sehingga masalah klien dapat teratasi secara cepat
dan tepat dengan prinsip “do not further harm”.(Joewana, 2017).
B. Tujuan
Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang kegawatdaruratan NAPZA.

1
BAB II
TINJAUAN NTEORI

A. Pengertian
Kegawatdaruratan merupakan suatu keadaaan dimana seseorang
mengalami ancaman kehidupan dan apabila tidak dilakukan pertolongan
tindakan dengan cepat dan tepat dapat menyebabkan cacat atau meninggal
(Purba,2018).
Kegawatdaruratan NAPZA adalah suatu keadaan yang mengancam
kehidupan seseorang akibat penggunaan zat obat yang berlebihan
(intoksikasi/over dosis) sehingga dapat mengancam kehidupan, apabila tidak
dilakukan penanganan dengan segera (Purba,2018).
Pada dasarnya didalam melakukan penanganan kasus kegawatdaruratan
NAPZA tidak jauh beda dengan kasus-kasus kegawatdaruratan yang laian,
dimana dalam melakukan penanganan adalah dengan tahapan triage atau
pemilihan berdasarkan prisnsp ABC (Purba,2018).

B. Prinsip-Prinsip Penanganan Kegawatdaruratan NAPZA


Mengingat kasus intoksikasi dapat mengancam nyawa, maka upaya
penatalaksanaan kasus intoksikasi ditujukan pada hal sebagai berikut :
1. Penatalaksanaan Kegawatan
Berhubungan dengan intoksikasi dapat mengancam nyawa, maka
walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan maka setiap kasus
intoksikasi harus diperlakukan seperti pada keadaan kegawatan yang
mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda vital seperti tanda jalan
napas, pernapasan sirkulasi dan penurunan kesadaran harus dilakukan
secara cepat dan seksama sehingga tindakan resusitasi tidak terlambat
dimulai. Berikut ini adalah urutan resusitasi seperti yang umumnya
dilakukan (Jehani,2017).
a. A = Airway Support
Factor utama yang membuat klien tidak sadar adalah adanya
sumbatan di jalan napas klien, seperti lidah, makanan ataupun benda
asing lainnya. Lidah merupakan penyebab utama tertutupnya jalan
napas pada klien tidak sadar karena pada kondisi tidak sadar itulah

2
lidah klien akan kehilangan ototnya sehingga akan terjatuh
kebelakang rongga mulut. Hal ini mengakibatkan tertutupnya trachea
sebagai jalan napas.Sebelum diberikan bantuan pernapasan, jalan
napas korban harus terbuka Tekhnik yang dapat dilakukan penolong
adalah cross-finger (silang jari), yaitu memasukkan jari telunjuk dan
jempol menyentuh gigi atau rahang klien.Kemudian tanpa
menggerakkan pergelangan tangan, silangkan kedua jari tersebut
denagn geraakan saling mendorong sehingga rahang atas dan rahang
bawah terbuka.periksa adanya benda yang menyumbat atau
berpotensi menyumbat.Jika terdapat sumbatan, bersihkan dengan
teknik finger-sweep (sapuan jari) dengan menggunakan jari telunjuk
yang terbungkus kassa (jika ada).
Ada dua maneuver yang lazim digunakan untuk membuka jalan
napas, yaitu head tilt / chin lift dan jaw trust.
1) Head tilt atau chin lift
Teknik ini hanya dapat digunakan pada klien pengguna
NAPZA tanpa cedera kepala, leher, dan tulang belakang. Tahap-
tahap untuk melakukan teknik ini adalah :
1 Letakkan tangan pada dahi klien (gunakan tangan yang paling
dekat denga dahi korban).
2 Pelan-pelan tengadahkan kepala kliendengan mendorong dahi
kearah belakang.
3 Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian
tulang dari dagu korban.
4 Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala.
Jangan sampai mulut klien tertutup.
5 Pertahankan posisi ini.
2) Jaw trust
Teknik ini dapat digunakan selain teknik diatas. Walaupun
teknik ini menguras tenaga, namaun merupakan yang paling
sesuai untuk klien pengguna NAPZA denag cedera tulang
belakang. Tahap-tahap untuk melakukan teknik ini adalah :

3
1 Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di
kedua sisi kepala korban. Letakkan tangan dikedua sisi kepala
korban.
2 Cengkeram rahang bawah korbsn pada kedua sisinya. Jika
korban anak-anak, gunakan dua atau tiga jari dan letakkan
pada sudut rahang.
3 Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang
bawah korban keatas. Hal ini menarik lidah menjauhi
tenggorokan.
4 Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu,
tarik bibir bagian bawah denagn kedua ibu jari.
b. B = Breathing Support
Bernafas adalah usaha seseorang yang dilakukan secara
otomatis. Untuk menilai secara normal dapat dilihat dari
pengembangn dada dan berapa kali seseorang bernafas dalam satu
menit. Frekuensi/ jumlah pernafasan normal adalah 12-20x / menit
pada klien deawasa.
Pernafasan dikatakan tidak normal jika terdapat keadaan terdapat
tanda-tanda sesak nafas seperti peningkata frekuensi napas dalam
satu menit, adanya napas cupinghidung (cuping hidung ikut bergerak
saat bernafas), adanya penggunaan otot- otot bantu pernapasan (otot
sela iga, otot leher, otot perut), warna kebiruan pada sekitar bibir dan
ujung-ujung jari tangan, tidak ada gerakan dada, tidak ada suara
napas, tidak dirasakan hembusannapas dan klien dalam keadaan tidak
sadar dan tidak bernapas.
Breathing support atau ksiganisasidarurat adalah penilain status
pernapasan klien untuk mengetahuiapakah klienmasih dapatbernapas
secara spontan atau tidak. Prinsip dari melakukan tindakan ini adalah
dengan cara melihat, mendengar dan merasakan (Look, Listen and
Feel = LLF). Lihat, ada tidaknya pergerakan dada sesuai dengan
pernapasan.Dengar, ada tidaknya suara napas (sesuai irama) dari

4
mulut dan hidung klien.Rasakan, dengan pipi penolong ada tidaknya
hembusan napas (sesuai irama) dari mulut dan hidung korban.
Lakukan LLF dengan waktu tidak lebih dari 10 detik. Jika
terlihat pergerakan dada, terdengar suara napas dan terasa hembusan
napas klien, maka berarti klientidak menglami henti napas.masalah
yang ada hanyalah penurunan kesadaran dalam kondisi ini, tindakan
terbaik yang dilakukan perawat adalah mempertahankan jalan napas
tetap terbuka agan ogsigenisasi klien tetap terjaga dan memberikan
posisi mantap. Jika korban tidak bernapas, berikan 2 kali bantuan
pernapasan dengan volume yang cukup untuk dapat mengembangkan
dada. Lamanya memberikan bantuan pernapasan sampai dada
mengembang adalah 1 detik.
Demikian halnya berlaku jika bantuan pernapasan diberikan
melalui mulut ke mulut dan mulut ke sungkup muka. Hindari
pemberian pernapasan yang terlalu banyak dan terlalu kuat karena
akan menyebabkan kembung (distensi abdomen) dan dapat
menimbulan komplikasi pada paru-paru.
Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut bertujuan memberikan
ventilasi oksigen kepada klien. Untuk memberikan bantuan tersebut,
buka jalan napas klien, tutup cuping hidung klien dan mulut
penolong mencakup seluruh mulut klien.Berikan 1 kali pernapasan
dalam waktu 1 detik.lalu penolong bernapas biasa dan berikan
pernapasan 1 kali lagi.Perhatikan adakah pengenbangan dada klien.
Jika tidak terjadi pengembangan dada, maka cara penolong tidaak
tepat dalam membuka jalan napas. Cara yang samaa dilakukan jika
alat pelindung terdiri dari 2 tipe, yaitu pelindung wajah dan sungkup
wajah.Pelindung wajah berbentuk lembaran yang terbuat dari plastic
bening atau silicon yang dapat mengurangi kontak antara klien
dengan penolong.Sedangkan jika memakai sungkup wajah, maka
biasanya terdapat lubang khusus untuk memasukkan oksigen.Ketika
oksigen telah tersedia, maka berikan aliran oksigen sebanyak 10-12
liter/menit.

5
c. C = Circulation Support
Circulation support adalah pemberian ventilasi buatan dan
kompresi dada luar yang diberikan pada klien yang mengalami henti
jantung. Selain itu untuk mempertahankan sirkulasi spontan dan
mempertahankan sistem jantung paru agar dapat berfungsi optimal
dilakukan bantuan hidup lanjut (advance life support). Jika tindakan
ini dilakukan dengan cara yang salah maka akan menimbulkan
penyulit- penyulit seperti patah tulang iga, atau tulang dada,
perdarahan rongga dada dan injuri organ abdomen.
Sebelum melakukan RJP pada klien perawat harus memastikan
bahwa klien dalam keadaan tidak sadar, tidak bernapas dan arteri
karotis tidak teraba. Cara melakukan pemeriksaan arteri karotis
adalah dengan cara meletakkan dua jari diatas laring (jakun). Lalu
geser jari penolong ke arah samping dan hentikan disela-sela antara
laring dan otot leher. Setelah itu barulah penolong merasakan denyut
nadi.
Perabaan dilakukan tidak boleh lebih dari 10 detik. Melakukan
resusitasi yang benar adalah dengan cara meletakkan kedua tangan
ditulang dada bagian sepertiga bawah dengan jari mengarah ke kiri
dengan posi lengan tegak lurus dengan sendi siku tetap dalam eksteni
(kepala tengkorak). Untuk memberikan kompresi dada yang efektif.
Lakukan kompresi dengan kecepatan 100x/menit dengan kedalaman
kompresi 4-5 cm. Kompresi dada harus dilakukan selam nadi tidak
teraba dan hindari penghentian kompresi yang terlalu sering. Rasio
kompresi ventilasi yang direkomendasian adalah 30:20. Rasio ini
dibuat untuk menigkatkan jumlah kompresi dada, mengurangi
kejadian hiperventilasi, dan mengurangi pemberhentian kompresi
untuk melakukan ventilasi.

6
2. Penilaian Klinik
Penatalaksanaan intoksikasi harus segera dilakukan tanpa menunggu
hasil pemeriksaan toksikologi. Beberapa keadaan klinik perlu mendapat
perhatian karena dapat mengancam nyawa seperti koma, kejang, henti
jantung, henti nafas, dan syok.
3. Anamnesis
Pada keadaan emergensi, maka anamnesis kasus intoksikasi
ditujukan pada tingkat kedaruratan klien. Yang paling penting dalam
anamnesis adalah mendapatkan informasi yang penting seperti :
a. Kumpulkan informasi selengkapnya tentang obat yang digunakan,
termasuk obat yang ering dipakai, baik kepada klien (jika
memungkinkan), anggota keluarga, teman, atau petugas kesehatan
yang biasa mendampingi (jika ada) tentang obat yang biasa
digunakan.
b. Tanyakan riwayat alergi atau riwayat syok anafilaktik.
c. Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan
akibat intosikasi, yaitu pemeriksaan kesadaran, tekanan darah,
nadi, denyut jatung, ukuran pupil, keringat, dan lain-lain.
Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasarkan skala prioritas dan
pada keadaan yang memerlukan observasi maka pemeriksaan fisik
harus dilakukan berulang.
d. Dekontaminasi
Umumnya zat atau bahan kimia tertentu dapat dengan cepat
diserap kulit, sehingga sering dekontaminasi permukaan sangat
diperlukan. Sedang dekontaminasi salurancerna ditujukan agar
bahan yang tertelan akan sedikit diabsorpsi. Biasanya dapat
diberikan arang aktif, pencahar, obat perangsang muntah dan
kumbah lambung.
e. Pemberian Antidotum
Mengingat tidak semua intoksikasi ada penawarnya, sehingga
prinsip utama adalah mengatasi sesuai dengan besarnya masalah.

7
f. Terapi Modalitas dan Rehabilitasi
Terapi Modalitas dan Rehabilitasi harus dilihat secara
holistik dan cost efectifity disesuaikan dengan kondisi di masing-
masing pelayanan kesehatan.
C. Jenis-jenis Kegawatdaruratan NAPZA
Berikut ini adalah jenis-jenis kegawatdaruratan NAPZA :
Yang dimaksud dengan intoksikasi (Over Dosis) adalah kondisi fisik dan
prilaku abnormal akibat penggunaan zat yang dosisnya melebihi batas toleransi
tubuh ( Marviana,2017).
1. Intoksikasi/Over Dosis
a. Intoksokasi Opioida
Intoksikasi opioida ditunjukkan dengan adanya tanda dan gejala
penurunan kesadaran, (stupor sampai koma), pupil pinpoint (dilatasi
pupil karena anoksia akibat overdosis), pernapasan kurang dari
12x/menit sampai henti napas, ada riwayat pemakaian opioida (needle
track sign), bicara cadel, dan gangguan atensi atau daya ingat. Perilaku
mal adaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
misalnya euforia awal yang diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau
retardasi psikomotor atau gangguan fungsi sosial dan fungsi pekerjaan
selama atau segera setelah pemakaian opioid.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan intoksikasi opioida adalah:
1) Bebaskan jalan napas
2) Berikan oksigen 100% atau sesuai kebutuhan
3) Pasang infuse Dextrose 5% atau NaCL 0,9% dan cairan koloid
jika diperlukan
4) Pemberian antidotum Nalokson
a. Tanpa hipoventilasi berikan Narcan 0,4 mg IV Dengan
hipoventilasi berikan Nalokson (Narcan) 1 -2 mg IV
b. Jika dalam 5 menit tidak ada respon maka berikan 1 – 2 mg
Narcan hingga ada respon berupa peningkatan kesadaran, dan
fungsi pernapasan membaik

8
c. Rujuk ke ICU jika dosis Narcan telah mencapai 10 mg dan
belum menunjukkan adanya perbaikan kesadaran
d. Berikan 1 ampul Narcan/500 cc dalam waktu 4-6 jam
mencegah terjadinya penurunan kesadaran kembali
e. Observasi secara invensif tanda-tanda vital,pernapasan, dan
besarnya ukuran pupil klien dalam 24 jam
f. Pasang intubasi, kateterisasi, sonde lambung serta EKG
g. Puasakan klien untuk menghindari aspirasi
h. Lakukan pemeriksaan rnntgen thoraks serta laboraturium, yaitu
darah lengkap, urin lengkap dan urinalisis
b. Intoksikasi Sedatif Hipnotik (Benzodiazepin)
Intoksikasi sedatif hipnotik jarang memerlukan pertolongan gawat
darurat atau intervensi farmakologi.Intoksikasi benzodiazepin yang
fatal sering terjadi pada anak-anak atau individu dengan gangguan
pernapasan atau bersama obat depresi susunan syaraf pusat lainnya
seperti opioida.
Gejala intoksikasi benzodiazepin yang progresif adalah
hiporefleksia, nistagmus dan kurang siap siaga, ataksia, berdiri tidak
stabil. Selanjutnya gejala berlanjut dengan pemburukan ataksia, letih,
lemah, konfusi, somnolent, koma, pupilmiosis, hipotermi, depresi
sampai dengan henti pernapasan.bila diketahui segera dan mendapat
terapi kardiorespirasi maka dampak intoksikasi jarang bersifat fatal.
Namun pada perawatan yang tidak memadai maka fungsi respirasi
dapat memburuk karena asapirasi isi lambung yang merupakan faktor
resiko yang sangat serius.
Penatalaksanaan adalah dengan memberikan tindakan kolaboratif
berupa pemberian terapi kombinasi yang ditujukan untuk :
1. Mengurangi efek obat didalam tubuh
Untuk mengurangi efek sedatif hipnotik dengan memberikan
Flumazenil 0,2 mg secara IV, kemudian setelah 30 detik diikuti
dengan 0,3 mg dosis tunggal. Obat tersebut lalu dapat diberikan lagi
sebanyak 0,5 mg setelah 60 detik sampai total kumulatif 3 mg.

9
Tindakan suppurtive adalah dengan mempertahankan jalan napas,
dan memperbaiki gangguan asam basa.
2. Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut
Mengurangi absorbsi merangsang muntah jika baru terjadi
pemakaian. Jika pemakaian sudah lebih dari 6 jam maka berikan
antidot berupa karbon aktif yang berfungsi untuk menetralkan efek
obat.
3. Mencegah komplikasi jangka panjang
Observasi tanda-tanda vital dan depresi pernapasan, aspirasi dan
edema paru.Bila sudah terjadi aspirasi maka dapat diberikan
antibiotik.Bila klien ada usaha untuk bunuh diri maka klien tersebut
harus ditempatkan ditempat khusus dengan pengawasan ketat
setelah keadaan darurat diatasi.
c. Intoksikasi Anfetamin
Tanda dan gejala intoksikasi anfetamin biasanya ditunjukkan
dengan adanya dua atau lebih gejala-gejala seperti takikardi atau
bradikardi, dilatasi pupil, peningkatan atau penurunan tekanan darah,
banyak keringat atau kedinginan, mual atau muntah, penurunan berat
badan, agitasi atau retardasi psikomotot, kelelahan otot, depresi sistem
pernapasan, nyeri dada atau aritmiajantung, kebingungan, kejang-
kejang, diskinesia, distonia atau koma. Penatalaksanaan adalah dengan
memberikannya terapi symtomatik dan pemberian terapi suportife lain,
misal: anti psikotik, anti hipertensi, dll.
d. Intoksikasi alkohol
Intoksikasi alkohol biasanya ditunjukkan dengan adanya gejala-
gejala (satu atau lebih) bicara cadel, inkoordinasi, jalan sempoyongan
nistagmus, tidak dapat memusatkan perhatian, daya ingat menurun dan
stupor atau koma.
Penatalaksanaan untuk klien yang mengalami koma adalah dengan
menidurkan klien terlentang dan posisi ”face down” untuk mencegah
aspirasi, melakukan observasi tanda vital dengan ketat tiap 15
menit,memberikan tindakan kolaboratif dengan pemberian Thiamine

10
100 mg secara IV untuk profilaksis terjadinya Wernicke
Encephalopaty kemudian memberikan 50 ml Dextrose 5% secara IV
serta dengan memberikan 0,4 – 2 mg Naloksone bila klien memiliki
riwayat atau kemungkinan pemakaian opioida.

Dalam penatalaksanaan intoksikasi alkohol , perawat harus selalu


waspada atas perilaku klien, diantaranya adalah antipasi jika klien
agresif,. Untuk itu diperlukan sikap toleran dari perawat sehingga
tidak membuat klien merasa ketakutan dan terancam.Untuk itu harus
diciptakan suasana yang tenang dan bila perlu tawarkan klien untuk
makan.Untuk mengatasi klien yang agresif, dapat diberikan sedatif
dengan dosis rendah dan jika perlu dapat diberikan Halloperidol
injeksi secara IM.
e. Intoksikasi Kokain
Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau
perubahan psikologis misalnya euforia atau efek mendatar, perubahan
dalam stabilitas, hypervigilance atau kewaspadaan yang meningkat,
interpersonal sensitivity, ansietas, kemarahan, tingkah laku yang
stereotip, menurunnya fungsi sosial dan fungsi pekerjaan yang
berkembang selama atau setelah penggunaan kokain.
Tanda dan gejala ( dua atau lebih) yang muncul diantaranya
adalah takikardia atau bradikardia, dilatasi pupi, peningkatan atau
penurunan tekanan darah, berkeringat atau rasa dingin, mual atau
muntah, penurunan berat badan, agitasi atau retardasi psikomotor,
kelemahan otot, depresi, nyeri dada atau arimia jantung, bingung
(confusion), kejangdyskinesia, dystonia, hingga dapat menimbulkan
koma.
Penatalaksanaan setelah pemberian bantuan hidup dasar adalah
dengan melakukan tindakan kolaborati berupa pemberian terapi-terapi
simtomatik, misalnya pemberian Benzodiazepin bila timbul gejala
agitasi, pemberian obat-obat anti psikotik jika timbul gejala psikotik ,
dan pemberian terapi-terapi lainnya sesuai dengan gejala yang
ditemukan.

11
2. Ketergantungan NAPZA (Withdrawl/ Sindrome Putus Zat)
Ketergantungan atau yang disebut dengan withdrawl adalah suatu
kondisi cukup berat yang ditandai dengan adanya ketergantungan fisik
yaitu toleransi dan sindrome putus zat.
Sindroma putus zat adalah suatu kondisi dimana orang yang biasa
menggunakan secara rutin, pada dosis tertentu berhenti menggunakan atau
menurunkan jumlah zat yang biasa digunakan, sehingga menimbulkan
gejala pemutusan zat.
Terapi yang dapat diberikan pada keadaan sindrom putus zat yaitu :
a. Terapi putus zat opioida
Terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi. Terapi
detoksifikasi dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun
rawat inap. Lama program terapi detoksifikasi berbeda-beda ada
yang 1-2 minggu untuk detoksifikasi konvensional dan ada yang
24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid
Opiate Detoxification Treatment). Detoksifikasi hanyalah
merupakan langkah awal dalam proses penyembuhan dari
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
b. Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :
1) Tanpa diberi terapi apapun,putus obat seketika (abrupt
withdrawal atau cold turkey). Terapi hanya simptomatik saja.
Untuk nyeri diberi analgetika kuat seperti : Tramadol,
Analgrtik non-narkotik,asam mefenamat dan sebagainya.
Untuk rhinore beri dekongestan,misalnya fenilpropanolamin,
Untuk mual beri metopropamid, Untuk kolik beri spasmolitik,
Untuk gelisah beri antiansietas, Untuk insomnia beri
hipnotika,misalnya golongan benzodiazepine.
2) Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal), Dapat
diberi morfin,petidin,metadon atau kodein dengan dosis
dikurangi sedikit demi sedikit.
3) Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda Dipakai
Clonidine dimulai dengan 17 mikrogram/kg BB perhari dibagi

12
dalam 3-4 kali pemberian. Dosis diturunkan bertahap dan
selesai dalam 10 hari. Sebaiknya dirawat inap (bila sistole <
100 mmHg atau diastole < 70 mmHg), terapi harus dihentikan.
4) Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam
anestesi (Rapid Opioid Detoxification). Prinsip terapi ini hanya
untuk kasus single drug opiat saja, dilakukan di RS dengan
fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan Psikiater,
dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist opiat
(naltrekson) lebih kurang 1 tahun.
5) Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alcohol Harus secara
bertahap dan dapat diberikan Diazepam. Tentukan dahulu test
toleransi dengan cara : Memberikan benzodiazepin mulai dari
10 mg yang dinaikan bertahap sampai terjadi gejala
intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10
mg perhari sampai gejala putus zat hilang.
6) Terapi putus Kokain atau Amfetamin, Rawat inap perlu
dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan percobaan
bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi berikan anti
depresi.
7) Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA
a) Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain
berikan Injeksi Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan
peroral 3x2,5-5 mg/hari.
b) Pada gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-
40 mg IM.
c) Pada delirium putus sedative atau hipnotika atau alkohol
beri diazepam seperti pada terapi intoksikasi sedative
atau hipnotika dan alcohol.
8) Terapi putus opioida pada neonates, Gejala putus opioida pada
bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang mengalami
ketergantungan opioida, timbul dalam waktu sebelum 48-72
jam setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis

13
terus(melengking), gelisah, sulit tidur, diare, tidak mau minum,
muntah, dehidrasi, hidung tersumbat, demam, berkeringat.
Berikan infus dan perawatan bayi yang memadai. Selanjutnya
berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan
bertahap,selesai dalam 10 hari

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegawatdaruratan NAPZA adalah suatu keadaan yang mengancam
kehidupan seseorang akibat penggunaan zat obat yang berlebihan
(intoksikasi/over dosis) sehingga dapat mengancam kehidupan, apabila tidak
dilakukan penanganan dengan segera.

15
DAFTAR PUSTAKA

Jehani, L. & Antoro.(2017). Mencegah Terjerumus Narkoba. Tangerang: Visimedia.


Partodiharjo, subagyo.(2017). Kenali narkoba dan musuhi
penyalahgunaannya.Jakarta : Erlangga.
Purba, JM, dkk. (2018). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah
Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.
Marviana, Dian.M. (n.d.); Kemitraan Peduli Penanggulangan Bahaya Narkoba DKI
Jakarta (2017); Irwanto et.al.(2017), dll.

16

Anda mungkin juga menyukai