Anda di halaman 1dari 4

CRITICAL THINKING

Satu hal sangat ditekankan Prof. Thebaut, dan itu soal sumbangan positif yang bisa diberikan
oleh para filsuf, yakni mengajarkan, mendidik, melatih dan membiasakan pemikiran kritis
(critical thinking) dalam diri mahasiswa.

Tentang hal ini, saya rasa kebanyakan orang setuju, termasuk juga peran yang dimainkan atau
diemban filsuf dalam pendidikan. Kita tahu, para filsuf adalah orang-orang terpelajar dalam
disiplin ilmu yang hakikat keilmuannya memang ingin mengungkapkan secara mendalam dan
mendasar hal-hal yang kebanyakan orang menerimanya sebagai kelaziman. Tentang peran yang
dimainkan para filsuf dalam pendidikan dan pelatihan pemikiran kritis, itu karena mereka
mempelajari secara intens cabang ilmu filsafat yang disebut sebagai critical thinking
(terapannya) dan logika (ibu atau asal ilmunya). Tetapi bukan itu yang hendak ditekankan Prof.
Thebaut. Beliau sebenarnya ingin menekankan pentingnya "mengajukan pertanyaan secara
tepat dan benar". Salah satu keterampilan berpikir kritis tercermin dari kemampuan seseorang
mengajukan pertanyaan yang benar/tepat, dan bukan sekadar mengajukan pertanyaan.

Mengapa mengajukan pertanyaan yang benar dan tepat itu sesuatu yang penting? Kutipan
perkataan Albert Einstein ini kiranya memberikan kita jawaban atas pertanyaan ini. "If I had an
hour to solve a problem and my life depended on the solution, I would spend the first 55
minutes determining the proper question to ask... for once I know the proper question, I could
solve the problem in less than five minutes."

Dengan kata lain, mengajukan pertanyaan secara tepat atau benar sebenarnya sudah
memecahkan sebagian besar masalah yang dihadapi.
Pertanyaannya, apakah memang keadaan mahasiswa sekarang sangat memprihatinkan dalam
artian bahwa mereka tidak mampu mengajukan pertanyaan secara tepat dan benar? Atau,
jangan-jangan keadaannya justru sebaliknya? Jangan-jangan kebanyakan mahasiswa sekarang
justru jarang atau hampir tidak pernah mengajukan pertanyaan? Menurut saya -- dan ini lalu
saya berbeda pendapat dengan Prof. Ann Thebaut -- masalahnya bukan pada mahasiswa tidak
mengajukan pertanyaan yang benar dan tepat, tetapi pada kenyataan bahwa mahasiswa
memang jarang atau tidak mengajukan pertanyaan. Pengalaman sebagai dosen lebih dari
sepuluh tahun menjadi alasan untuk setuju pada hal kedua, bahwa mahasiswa memang jarang
atau hampir tidak mengajukan pertanyaan.
Bagi saya, ada dua hal penting yang harus disadari di sini dan keduanya saling terkait. Pertama,
mahasiswa harus mengajukan pertanyaan secara tepat dan benar, dan dalam arti itu saya
sepakat dengan apa yang dikatakan Einstein. Kedua, menyadari bahwa mahasiswa belum
banyak yang mengajukan pertanyaan, saya justru mengusulkan agar setiap dosen mendorong
mahasiswanya untuk bertanya sebanyak-banyaknya. Setelah kelas sudah ramai dengan
pertanyaan baru dosen bisa membantu mahasiswa mengajukan pertanyaan yang tepat dan
benar.

Dua alasan
Mengapa mahasiswa sekarang umumnya malas bertanya? Semula saya menganggap hal ini
hanya terjadi di kelas saya yang nota bene bukanlah kuliah jurusan atau apa yang sering disebut
mahasiswa sebagai mata kuliah yang gak penting bingitzzzz. Tetapi ternyata teman saya yang
mata kuliahnya adalah core ilmu (mata kuliah jurusan) pun mengalami hal yang kurang lebih
sama. Itu artinya kesan bahwa mahasiswa cendrung pasif dan tidak mengajukan pertanyaan
dapat diterima -- setidak-tidaknya sebagai landasan bagi argumen tulisan ini.

Jadi, mengapa mahasiswa malas atau enggan bertanya? Karena tidak menemukan rujukan
dalam publikasi jurnal dalam negeri (saya nyari di google.scholar tapi gak nemu), saya
menjawabnya dengan merujuk pada tulisan luar negeri. Ada beberapa alasan yang bisa
dikemukakan.

Pertama, Tony Wagner, seorang ahli pada Harvard's Innovation Lab menemukan bahwa
mahasiswa tidak mengajukan pertanyaan lebih karena dosen tidak memberi kesempatan
kepada mereka untuk bertanya. Alasan dosen tidak memberi kesempatan itu bukan karena
dosen tidak mau atau takut ditanya, tetapi karena ia dikejar oleh patokan materi yang harus
diajarkan dan yang harus dikuasai mahasiswa. Saya membayangkan dosen dibebani oleh target
pencapaian Learning Outcome tertentu yang didasarkan pada Learning Objectives.

Tidak hanya itu. Dosen juga ternyata dibebani dengan semacam assessment atau pengujian dari
pihak ketiga yang melampaui kewenangannya dalam mengontrol. Sementara pada saat yang
bersamaan, sang dosen harus memastikan bahwa indeks kinerjanya harus baik alias harus
mencapai level yang diprasyaratkan institusi. Celakanya, indeks kinerja dosen pun sering
ditentukan oleh ketuntasan dosen dalam mengajar (materi harus disampaikan semuanya
sebagaimana telah ditetapkan fakultas), nilai atau hasil capaian belajar mahasiswa, dan
kuisioner umpan balik mahasiswa. Dan tampaknya hal ini umumnya terjadi pada mata kuliah
sains.
Kedua, keadaan msyarakat sekarang memang menunjukkan betapa mahasiswa tidak terdorong
untuk bertanya. Laporan dari National Center for Education Statistics di AS memperlihatkan
betapa siswa dan mahasiswa semakin sedikit yang mengajukan pertanyaan di kelas. Hal ini pun
sejalan dengan hasil penelitian Gallup. Keadaan semacam ini yang barangkali mendorong
institusi seperti The Right Question Institute, sebuah institusi nirlaba, yang terus melatih anak-
anak di skeolah, mendorong dan melatih para guru, para orangtua, dan semua pemangku
kepentingan supaya bisa mendorong anak-anak terus mengajukan pertanyaan.

Tugas kita semua


Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita semua (para orang tua, para guru dan sebagainya)
bertanggung jawab mendorong anak-anak supaya rajin mengajukan pertanyaan. Dan untuk itu,
situasi sekolah, rumah dan masyarakat harus diubah. Para guru dan dosen memang harus
mencapai ketuntasan mengajar dan ketuntasan belajar, dan itu harus tercermin dalam
assessment. Tetapi janganlah ini dijadikan sebagai patokan yang sungguh membelenggu

Sebagai orang tua, kita pun dituntut untuk tidak hanya memberi kesempatan kepada anak-anak
kita mengajukan pertanyaan. Kita juga sebaiknya merangsang atau menciptakan suasana yang
menantang dan yang bisa memicu pertanyaan. Demikian juga halnya dengan para guru dan
para dosen di sekolah. Saya teringat suatu saat, di kelas logika, saya menayangkan sebuah
gambar karikatur.
Di dalamnya ada seorang ayah yang sedang menggenggam koran di tangannya. Di koran itu ada
berita (tampak dari judul-judul berita) tentang korupsi, pelanggaran lalulintas, perselingkuhan,
dan sebagainya. Di situ juga tampak sang ibu. Sambil menunjuk ke anak mereka (yang
tampaknya baru saja melakukan suatu kesalahan), sang ayah bertanya, "Dari mana kamu
belajar melakukan kesalahan semacam itu?"

Namanya juga karikatur bagus, pembaca koranlah yang harus berpikir dan memberi jawaban
terhadap pertanyaan ini. Ketika saya tanyakan ke mahasiswa (jumlah mahasiswa di kelas 64
orang), apa kemungkinan jawaban anak itu? Hanya beberapa saja yang mau menjawab, itu pun
keliru. Satu mahasiswi menjawab bahwa anak itu sebenarnya belajar dari lingkungan
(masyarakat). Saya tanya, dari mana kamu tahu itu, mahasiswi itu menjawab begini, "Korannya
saja isinya begitu. Bagaimana mungkin anak-anak tidak terpengaruh?"

Itu yang saya maksudkan dengan dorongan atau rangsangan yang kita berikan agar anak-anak
bisa mengajukan pertanyaan. Kembali ke posisi saya di atas: mengajukan pertanyaan secara
tepat dan benar hanya bisa dilakukan jika anak-anak sudah banyak yang bertanya. Bahwa
mereka mengajukan pertanyaan yang salah, aneh, tidak masuk akal, dan sebagainya. Lebih baik
mereka bertanya daripada diam saja di kelas.

Anda mungkin juga menyukai