Anda di halaman 1dari 13

PEMIKIRAN KALAM ALIRAN MU’TAZILAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu


Kalam

Disusun Oleh:
1. Indah Dwi Yulianti NIM: 1718.010017
2. Muhammad Luthfi NIM : 1718.010028
3. Siti Robiatul Adawiyah NIM : 1718.010051

Dosen Pengampu:
Maemunah, M.A.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
ISLAMIC VILLAGE TANGERANG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji Syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhir nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehatnya, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu Tasawuf.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian,
semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Tangerang, 17 Maret 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I

PENDAHULUAN ....................................................................................................1

A. Latar Belakang ................................................................................................1


B. Rumusan Masalah...........................................................................................1
C. Tujuan .............................................................................................................1
BAB II

PEMBAHASAN ......................................................................................................2

A. Pengertian Mu’tazilah.....................................................................................2
B. Latar Belakang Munculnya Mu’tazilah ..........................................................2
C. Sekte-Sekte Mu’tazilah...................................................................................3
D. Rasionalisme Mu’tazilah ................................................................................4
E. Prinsip-Prinsip Pokok Mu’tazilah...................................................................6
BAB III

PENUTUP ................................................................................................................9

A. Kesimpulan .....................................................................................................9
B. Saran ...............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak aliran yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari
timbulnya aliran berlatar belakang politik, yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi).
Aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam tertua, yang telah
memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Aliran
Mu’tazilah lahir kurang lebih pada awal permulaan abad ke-1 hijriyah di
kota Basrah (Irak).
Mu’tazilah adalah salah satu golongan yang membuat teori sendiri dan
ajaran-ajaran sendiri yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam
yang diajarkan dari Nabi Muhammad SAW kepada umat Islam. Untuk
lebih lanjutnya penulis akan memaparkan beberapa hal tentang aliran
Mu’tazilah tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Mu’tazilah?
2. Bagaimana latar belakang kemunculannya?
3. Apa saja sekte-sekte yang ada dalam Mu’tazilah?
4. Seperti apa rasionalisme Mu’tazilah?
5. Bagaimana prinsip-prinsip pokok dalam aliran Mu’tazilah?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Mu’tazilah.
2. Mengetahui awal mula lahirnya aliran Mu’tazilah.
3. Mengetahui sekte-sekte yang ada dalam Mutazilah.
4. Memahami rasionalisme dalam Mu’tazilah.
5. Memahami prinsip-prinsip pokok dalam aliran Mu’tazilah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mu’tazilah
Kata Mu’tazilah (M, 2006: 30) berasal dari kata i’tazala yang berarti
menjauhkan atau memisahkan diri dari sesuatu. Kata ini kemudian
menjadi nama suatu aliran dalam ilmu kalam yang umumnya menyebutkan
sebagai Mu’tazilah berdasarkan peristiwa yang terjadi antara Washil Ibn
‘Atha’ dan ‘Amr Ibn ‘Ubayd dengan al-Hasan al-Basri.
Ada yang berpendapat bahwa Mu’tazilah adalah sebutan yang diambil
dari sifat yang melekat pada tokohnya yang takwa, hidupnya yang
sederhana, dan jauh dari kelezatan dan kenikmatan dunia. Oleh karena itu
mereka disebut orang-orang yang mengasingkan diri (mu’tazilah).
Adapula yang berpendapat, dinamakan Mu’tazilah karena orang-orangnya
meninggalkan bid’ah dan berpendapat yang diadaadakan serta segala
sesuatu yang bertentangan dengan agama. (Mahasnah, 2016)
Mu’tazilah merupakan salah satu sekte dalam Islam dan bahkan aliran
mazhab pemikiran terbesar dan paling awal di tengah kaum muslimin. (Al-
Jurr, 2014: 134).

B. Latar Belakang Munculnya Mu’tazilah


Golongan Mu’tazilah muncul pada masa pemerintahan Bani
Umayyah, tetapi baru menghebohkan pemikiran keislaman pada masa
pemerintahan Bani “abbas dalam masa yang cukup panjang. Menurut
sejarah, Mu’tazilah didirikan oleh Washil bin ‘Atha pada tahun 100 H/718
M. Mu’tazilah dipandang sebagai aliran Islam yang lebih mendalam dan
bersifat filosofis, sehingga sering disebut sebagai aliran rasionalis Islam.
Mu’tazilah muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran
Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai soal orang mukmin yang berdosa
besar. Menurut kaum Khawarij, orang mukmin yang berdosa tidak dapat
dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu
kaum Murji’ah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu
sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi dua pendapat yang

2
kontroversial ini, Washil bin ‘Atha yang ketika itu menjadi murid Hasan
al-Basri, seorang ulama di Basrah, mendahului gurunya mengeluarkan
pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi
antara mukmin dan kafir. Mereka berada di suatu tempat yang disebut al-
manzil baina al-manzilataini.
Setelah menyampaikan pendapatnya itu, Washil bin ‘Atha
meninggalkan gurunya Hasan al-Basri. Lalu ia membentuk kelompok
sendiri dalam suatu majlis di masjid Basrah. Setelah Washil memisahkan
diri, Hasan al-Basri berkata, “I’tazala ‘anna Washil” (Washil menjauh
dari kami). Menurut Syahrastani dalam bukunya Muchotob, dari kata
‘itazala ‘anna itulah lahirnya istilah Mu’tazilah yang artinya orang yang
memisahkan diri. Yang dimaksud dengan kata itu sebenarnya adalah para
pengikut orang yang mengasingkan diri dari gurunya karena berbeda
paham dalam suatu permasalahan tentang dosa besar, yaitu antara Washil
bin ‘Atha dengan Hasan al-Basri. Bagi Hasan al-Basri pelaku dosa besar
dihukum fasik dan berada diantara dua tempat (al-manzilah bayn al-
manzilatain), dengan arti orang tersebut tidak mukmin, akan tetapi belum
sampai pada kafir. (Muchotob Hamzah, 2017: 31-32)

C. Sekte-Sekte Mu’tazilah
Sebagai sebuah aliran teologi, Mu’tazilah seperti aliran lainnya
tumbuh, berkembang, dan mendapatkan kematangan pemikirannya seiring
dengan banyaknya penganut dan tokoh-tokohnya. Aliran Mu’tazilah
terbagi menjadi beberapa sekte, (Burhanuddin, 2017: 101-103) antara lain:
1. Al-Wasiliyyah, merupakan pengikut Abu Hudzaifah Wasil bin ‘Atha.
Aliran Washiliyah ini adalah Mu;tazilah paling awal, dipimpin oleh
Wasil bin ‘Atha. Aliran ini tumbuh pada masa khalifah Abd al-Malik
bin Marwan dan Hisyam bin Abd al-Malik. Terdapat empat pokok
yang dipegang aliran ini yaitu nafy al-sifat, keadilan Tuhan, Manzilah
baina al-Manzilatain, dan pendapatnya tentang kasus perang Siffin dan
perang Jamal bahwa salah satunya adalah kelompok yang bersalah
(kelompok fasiq)

3
2. Al-Huzailiyyah, pengikut Abu Huzail Hamdan al-Huzail al-‘Allaf,
Abu al-Huzail adalah Syaikh al-Mu’tazilah. Tokoh ini merupakan
tokoh paling intelek dikalangan Mu’tazilah, karena ia dipandang
sebagai tokoh yang memodifikasi ajaran-ajaran Mu’tazilah. Ajaran lain
yang dikembangkan Abu Huzail adalah manusia dengan akalnya dapat
dan wajib mengetahui Tuhanmaka ia wajib diberi balasan (berupa
siksa), kemudian manusia juga wajib mengetahui baik dan buruk, dan
karenanya manusia wajib berbuat baik, berkata jujur dan tidak berbuat
zalim.
3. Al-Nazzamiyah, pengikut Ibrahim bin Sayar bin Hani’ an-Nazzam. Di
tangan Ibrahim ajaran-ajaran Mu’tazilah pemikiran-pemikiran filsafat
masuk ke dalam ajaran Mu’tazilah, sehingga pada fase ini banyak
pemikiran-pemikiran kalam yang bersinergi dengan filsafat. Di antara
pemikiran Al-Nazzam yang berbeda dengan yang lainnya: (a) bahwa
Al-Quran, kalam Allah yang bukan kekal (qadim), tetaapi hadits (baru)
dan diciptakan Tuhan, menurutnya kalam adalah suara yang tersusun
dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara bersifat baru, bukan ekal,
dan ia ciptaan Tuhan.
4. Al-Khabitiyyah, yaitu pengikut Ahmad bin Khabit dan Al-Fadhl al-
Hadtsi. Alian ini banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran filsafat dan
pemikiran lainnya. Salah satu pendapat aliran ini adalah tentang Isa al-
Masih yang dianggap sebagai Kalimah Qadimah yang mewujud dalam
diri Isa al-Masih.
5. Al-Mu’ammariyah, pengikut Bisyr bi Al-Mu’atamir. Ia diklaim
sebagai tokoh dan ulama Mu’tazilah yang paling utama.

D. Rasionalisme Mu’tazilah
Rasionalisme (Adhim, 2018: 69) adalah sebuah paham yang
mengatakan bahwa akal adalah alat terpenting dalam memperoleh
pengetahuan dan mengetes pengetahuan.
Mu’tazilah adalah aliran rasionalisme dalam pemikiran Islam.
Alasannya, bukan karena mereka membuktikan kepercayaan yang hanya

4
dapat diterima lewat perantara wahyu dengan argument-argumen rasional,
tetapi juga karena mereka mempercayai akal hingga pada tinggat tinggi
(ekstrim), seperti jika sebuah nash agama bertentangan dengan akal
manusia, maka mu’tazilah akan berpihak pada akal, dan nash agama itu
harus ditafsirkan. Menurut Mu’tazilah, apabila manusia berakal dan
berpikir, pasti memiliki pengetahuan tentang Tuhan, walaupun wahyu
belum diturunkan kepadanya.
Mu’tazilah memiliki pandangan tentang sumber pengetahuan.
Menurutnya, sumber pengetahuan itu adalah akal pikiran. Mu’tazilah juga
berpendapat bahwa hukum dapat diperoleh lewat akal. Kecenderungan
rasionalis Mu’tazilah tidak terletak pada teori pengetahuan, melainkan
keteguhan mereka dalam berpegang pada akal.
Sikap rasional Mu’tazilah dalam masalah perbuatan berkaitan dengan
problematika baik (hasan) dan buruk (qabih) mengandung tiga arti, yaitu:
1. Hasan adalah sifat sempurna dan qabih adalah tidak sempurna.
Mengetahui adalah baik, dan tidak mengetahui adalah buruk.
2. Penentuan baik dan buruk dengan melihat faktor maslahat dan
mafsadatnya adalah sesuatu yang rasional.
3. Baik adalah obyek pujian dan pahala, dan buruk adalah obyek celaan
dan hukuman.
Berdasarkan hal di atas, kecenderungan rasionalis Mu’tazilah terbatas
pada hukum-hukum etika yang berkaitan dengan pujian atau cercaan dan
pahala atau siksa.mereka meletakkan syariat di bawah akal. Argumentasi
yang merek kemukakan yaitu wahyu tidak menetapkan nilai tertentu pada
sebuah perbuatan. Wahyu hanya mengabarkan adanya nilai tersebut, dan
akal-lah yang membuktikan baik-buruknya sebuah perbuatan. (Shubhi,
2001: 41-43)
Mu’tazilah (Elmansyah, 2017: 114) berkeyakinan bahwa keadilah
Tuhan adalah ekspresi hakikat Tuhan. Tuhan hanya melakukan sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia. Tuhan tidak akan berbuat tidak adil.
Manusia juga harus berikhtiar untuk menunjukkan keadilan Tuhan di

5
muka bumi. Manusia hanya dapat melakukan semuanya dengan
menggunakan akal.

E. Prinsip-Prinsip Pokok Mu’tazilah


Paham Mu’tazilah memiliki lima prinsip yang harus diterima oleh
orang yang menganggap dirinya sebagai Mu’tazilah, diantaranya yaitu:
1. Al-Tauhid
Tauhid (mengesakan Allah) pada hakikatnya merupakan inti ajaran
Islam. Mu’tazilah menempatkan Al-Tauhid sebagai prinsip pertama
dalam prinsip pokok mereka. Dalam hal ini, berarti kaum Mu’tazilah
tidaklah menambahkan yang baru terhadap Islam. Mereka hanya
melakukan suatu upaya pemurnian terhadap pemahaman Tauhid agar
tidak terseret kepada pemahaman-pemahaman yang merupakan makna
keEsaan Allah SWT.
Menurut Mu’tazilah Allah adalah Esa, tidak ada sesuatu pun yang
menyamai-Nya, bukan materi, tidak bertubuh, tidak berbentuk, tidak
berdaging, tidak berdarah, dan lain sebagainya. Satu-satunya sifat yang
dimiliki Tuhan hanyalah sifat qadim dalam arti tidak mempunyai
permulaan. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh
kaum Mu’tazilah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Harun Nasution
bahwa Tuhan bagi Mu’tazilah tetap Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha
Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya. (Yusuf,
2014: 82-83)

2. Al-‘Adl
Al-‘Adl (dalam Yusuf, 2014: 84) adalah keadilan Tuhan, yang
pembicaraannya dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan Tuhan.
Tuhan dikatakan adil jika perbuatan-perbuatan Tuhan itu baik. Tuhan
tidak akan berbuat buruk (zalim) dan tidak melupakan apa yang wajib
dikerjakannya.
‘Adl (dalam Mahasnah, 2016: 101) juga maksudnya, Allah SWT
Maha Adil, tidak mendzolimi seorang pun dari hambaNya. Manusia
bebas berkehendak, bertanggungjawab atas pilihannya itu, dan Allah

6
nanti yang menghisab perbuatan-perbuatan ini. Jadi, Allah SWT tidak
ikut campur dalam perbuatan para hambaNya dan tidak pula
menciptakan perbuatan tersebut. Dia juga tidak memberkan kewajiban
apa pun. Sebab, tidak boleh bagi Allah mewajibkan suatu amalan
kepada hamba kemudian Dia menghisabnya. Akan tetapi, Allah
menghisab mereka lantaran apa yang mereka berbuat dengan
kehendaknyadan kebebasan pilihannya. Ini selaras dengan apa yang
terdapat di dalam Al-Quran sebagaimana firman Allah SWT, “Barang
siapa yang mengerjakan amal yang shaleh maka (pahalanya) untuk
dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya)
atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya
hamba-hamba (Nya).” (QS. Fushshilat: 45), dan firman Allah, “Tiap-
tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS.
Al-Mudatsir: 38).

3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Wa’ad artinya pahala yang dijanjikan, sedangkan wa’id artinya
hukuman yang diancamkan. Kaum Mu’tazilah percaya bahwa Allah
tak mungkin ingkar janji atau tidak mungkin tidak jadi melakukan
ancamannya, seperti ayat al-Quran mengenai janji Allah,
“…Seseungguhnya Allah tidak ingkar janji.” (Q.S. ar-Ra’d: 31)
Karena itu, menurut kaum Mu’tazilah semua ancaman yang
ditunjukkan kepada pendosa seperti hukuman yang akan ditimpakan
kepada penindas, pendusta, atau peminum minuman keras, semuanya
akan diwujudkan tanpa ada sedikitpun kegagalan, kecuali sipendosa
bertaubat semelum ia meninggal. (Muthahhari, 2002: 44-45)

4. Al-Manzilah bayn al-Manzilatain


Prinsip ini (dalam Al-Jurr, 2014: 147-148) merupakan prinsip yang
pada dasarnya yang menyebabkan Washil bin ‘Atha terpisah dari
gurunya yakni Hasan al-Basri. Hal itu merupakan keputusan bagi
muslim yang melakukan dosa besar, selain syirik bahwa dia bukan
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasik. Kefasikan itu menjadikan

7
satu posisi terpisah dari dua posisi yakni kafir dan iman, dan terletak di
antara keduanya. Dengan demikian,orang fasik itu bukan mukmin,
tetapi lebih baik daripada orang kafir.
Mu’tazilah mengembangkan perkara posisi tengah-tengah ini
sehingga mereka menjadikannya sebuah prinsip rasional dan langkan
filosofis.
Ketika mereka mengkaji kemaksiatan, mereka melihat bahwa hal
itu terdiri dari dua jenis: pertama, meninggalkan salah satu prinsip,
seperti kemusyrikan dan keyakinan bahwa Allah berbuat zalim. Barang
siapa melakukannya, dia adalah kafir; kedua, tidak meninggalkan
prinsip agama, sepertimembunuh orang yang diharamkan oleh Allah
untuk memunuhnya, berzina, dan bersaksi palsu. Barangsiapa
melakukannya, dia bukan mukmin karena telah melakukan tindakan
yang dilarangagama dan bukan pula kafir karena dia telah menyatakan
syahadat, tetapi dia adalah orang fasik.

5. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar


Dalam hal ini artinya melakukan perbuatan yang baik dan
pencegahan dari perbuatan jelek. Perintah untuk melakukan itu tidak
memerlukan penjelasan kecuali mengenai syarat-syarat nya.
(Machasin, 2000: 45-46) Di antaranya adalah:
a. Pengetahuan yang pasti bahwa diperintahkan itu suatu perbuatan
yang baik. Dan yang dicegah adalah perbuatan yang jelek.
b. Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa perbuatan yang tidak
baik itu betul-betul ada.
c. Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa hal itu tidak
menimbulkan kerugian yang lebih besar. Misalnya, kalau diketahui
atau disangka dengan kuat bahwa pencegahan minum-minuman
keras akan menimbulkan terbunuhnya sekelompok kaum Muslimin
atau pembakaran suatu tempat, maka pencegahan itu wajub dan
tidak pula baik untuk dilakukan.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti menjauhkan
atau memisahkan diri dari sesuatu.
Mu’tazilah muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran
Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai soal orang mukmin yang berdosa
besar. Washil bin ‘Atha yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri,
seorang ulama di Basrah, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat
bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara
mukmin dan kafir.
Aliran Mu’tazilah terbagi menjadi beberapa sekte, diantaranya: (1) Al-
Wasiliyyah, (2) Al-Huzailiyyah, (3) Al-Nazzamiyah, (4), Al-Khatibiyyah,
(5) Al-Mu’ammariyah.
Mu’tazilah memiliki pandangan tentang sumber pengetahuan.
Menurutnya, sumber pengetahuan itu adalah akal pikiran. Mu’tazilah juga
berpendapat bahwa hukum dapat diperoleh lewat akal. Kecenderungan
rasionalis Mu’tazilah tidak terletak pada teori pengetahuan, melainkan
keteguhan mereka dalam berpegang pada akal.
M’tazilah memiliki lima prinsip pokok, yaitu (1) Al-Tauhid, (2) Al-
‘Adl, (3) Al-Wa’ad wa al-Waid, (4) Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, (5)
Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai tulisan makalah yang
menjadi materi bahasan, tentunya masih banyak kekurangan serta
kelemahan dalam tulisan kami. Maka dari itu, kami sebagai penulis
berharap para pembaca dapat memberikan kritik maupun sarannya guna
memperbaiki kesalahan yang ada dan perubahan yang lebih baik.
Terimakasih.

9
DAFTAR PUSTAKA

Adhim, F. (2018). Filsafat Islam Sebuah Wacana Kefilsafatan Klasik Hingga


Kontemporer. CV. Literasi Nusantara Abadi.
Al-Jurr, H. A.-F. dan K. (2014). Riwayat Filsafat Arab Jilid 1. Sandra Press.
Burhanuddin, N. (2017). Ilmu Kalam Dari tauhid Menuju Keadilan. Prenada
media.
Elmansyah. (2017). Kuliah Ilmu Kalam: Formula Meluruskan Keyakinan Umat di
era Digital. IAIN Pontianak Press.
M, A. (2006). Ibnu rusyd Tujuh Perdebatan Utama Dalam teologi Islam.
Erlangga.
Machasin. (2000). Al-Qadi Abd al-Jabbar Mutasyabih Al-Qyran: Dalih
Rasionalitas al-Quran. LKis Yogyakarta.
Mahasnah, M. H. (2016). Pengantar Studi Sejarah Peradaban Islam. Pustaka Al-
Kautsar.
Muchotob Hamzah, dkk. (2017). Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyah. LKiS.
Muthahhari, M. (2002). Mengenal Ilmu Kalam: cara menembus kebuntuan
berfikir. Pustaka Zahra.
Shubhi, A. M. (2001). Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan
Intuisionalis Islam. Serambi Ilmu Semesta.
Yusuf, Y. (2014). Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam dari Khawarij ke Buya
Hamka hingga Hasan Hanafi. Prenadamedia Group.

10

Anda mungkin juga menyukai