APPENDISITIS
Oleh:
Pembimbing :
dr. Ida Bagus Budhi Surya Adnyana, SpBKBD, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2020
PENDAHULUAN
Apendiks disebut juga umbai cacing, istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum.
Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan.
Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya.2
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah
itu menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali
pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi.2
I. Anatomi
Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin.2 Appendiks adalah suatu
struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari
sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction
terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula
appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. 1 Appendiks terletak di
kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan
ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi
anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis
antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.3
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Appendiks
mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan
peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup
caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan jaringan
elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan
submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam
sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan
caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari
appendiks.4
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan
dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial
menuju katup ileosekal.5
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada
usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi
lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.2
Jenis posisi:
Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus
besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa
maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Appendiks
terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar
dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal,
maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.
Histologis:
II. Fisiologi
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem
imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh
GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi
system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.2
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian
berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di
apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.5
III. Definisi
IV. Etiologi
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan
peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut.2
V. Patofisiologi
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi.
Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen.
Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat
meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu
dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang
cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.5
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.9
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.9
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.9
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut. (2)
1. Nyeri abdominal
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi
biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis
diketahui setelah terjadi perforasi.2
mungkin kolik
(rangsaganan automik)
Pendindingan (Infiltrat)
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang
terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis
setelah perforasi.2
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga
terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke
kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke
regio lumbal kanan 2
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal
sampai 1C.
1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Auskultasi
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12.
Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok
dubur.2
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak
dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang
meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji
obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan
menimbulkan nyeri.2
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan
kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada
pinggul / pangkal paha kanan.11
Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).11
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.
Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi
samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam.11
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak denhgan
otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.11
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Abdominal X-Ray
3. USG
4. Barium enema
5. CT-scan
6. Laparoscopi
7. Histopatologi
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan
gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan
dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal
yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka
appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30%
(Ramachandran, 1996). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan
cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa
dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah,
1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga
gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem
skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia,
nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas
tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri
tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya
masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah
skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999).
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri lepas 1
__________________________________________________
Total skor: 10
1–4 : observasi
5–6 : antibiotic
7 – 10 : operasi dini
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
2. Limfadenitis mesenterica
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang
anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi
insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.
4. DHF
5. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ
ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.
6. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika
terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul
nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan
di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
7. Diverticulitis
X. Penatalaksanaan
Appendiktomi
Cito : akut, abses & perforasi
Elektif : kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk
tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan
granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada
apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus
mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah
sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.12
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah
bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk
membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan
yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi
lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus
menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.12
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular
yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah
penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk
operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang
terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan
diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis.
Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian
agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan
frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit.2
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses
apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-
baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada
apendisitis sederhana tanpa perforasi.13
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila
dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa
apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun
tanpa peritonitis umum.13
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita
hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.2
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi
ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular
infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48
jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi
maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya
diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai
mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah
terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.4
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan
adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila
apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber
infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika
dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang
yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar
dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik
dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses
tiap hari penderita di RT.4
LED
Jumlah leukosit
Massa
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak
mengecil lagi.
d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan.
e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan
terapi adalah drainase.4
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi
Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada
kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang
dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa
massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.2
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Perut distended
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
XII. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks
tidak diangkat.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendik/Epidemiologi.html
2. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC.
Jakarta.
3. http://www.medicinenet.com/appendicitis/
9. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
10. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com
11. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American
Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science
Center, Temple, Texas .http://www.aafg.org
12. Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
13. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara.
Jakarta.
14. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services.
National Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June 2004.
www.digestive.niddk.nih.gov