Anda di halaman 1dari 6

TUGAS FITOFARMAKA

DISUSUN OLEH :

DIAN QATRUNNADA 18330731

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Tiah Rachmatiah, M.Si., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
2020
1. Pelajari materi “Standarisasi dan Persyaratan Mutu Simplisia”!
2. Jawablah pertanyaan dibawah ini:
a. Uraikan maksud standarisasi dan persyaratan mutu simplisia
b. Hubungan lama pemberian obat pada manusia dan lama pemberian obat pada hewan
coba.
JAWAB:
a. Uraian penjelasan mengenai standarisasi dan persyaratan mutu simplisia.
Standarisasi dan Persyaratan mutu simplisia merupakan hal yang perlu
diperhatikan dalam rangka pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi obat herbal
terstandar dan fitofarmaka. Standarisasi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)
adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar (dilakukan
oleh pihak terkait). Persyaratan mutu ekstrak/simplisia terdiri atas berbagai parameter
standar umum dan parameter spesifik. Sehubungan dengan kompleksnya hal-hal yang
melekat pada tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku obat bahan alam maka perlu
dilakukan standardiasasi terhadap bahan baku untuk menjamin konsistensi mutu,
keamanan dan efek obat bahan alam tersebut. Standardisasi menjamin bahwa produk
akhir obat tradisional mempunyai nilai parameter yang konstan dan ditetapkan terlebih
dahulu.
Standardisasi terdiri dari standardisasi simplisia, standarisasi metode pembuatan
sediaan termasuk pelarut yang digunakan, dan standardisasi sediaan jadi. Persyaratan
mutu simplisia sejumlah tanaman tertera dalam buku Farmakope Indonesia, Ekstra
Farmakope Indonesia, dan Materia Medika Indonesia. Standardisasi juga dilanjutkan
dengan tahapan pengujian keamanan, pengujian khasiat preklinik (in vitro dan in vivo)
serta pengujian klinik ke manusia menuju obat fitofarmaka yang dapat dipakai
dipelayanan kesehatan.
Dalam pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi fitofarmaka dapat
dipertanggung jawabkan keamanan dan khasiatnya dalam pemakaiannya pada manusia,
maka pengembangan obat tradisional tersebut harus mencakup berbagai tahap pengujian
dan pengembangan secara sistematik. Tahap-tahap ini meliputi: yaitu: seleksi, uji pre-
klinik, standarisasi sederhana dan uji klinik.
1. Seleksi (Pemilihan)
Pemilihan jenis obat tradisional yang akan mengalami pengujian dan
pengembangan kearah fitofarmaka berdasarkan prioritas yang digariskan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Prioritas pemilihan diberikan kepada:
a) Jenis obat tradisional yang diharapkan mempunyai khasiat untuk penyakit-
penyakit yang menduduki urutan atas dalam morbiditas (pola penyakit).
b) Jenis obat tradisional yang diperkirakan mempunyai khasiat untuk penyakit-
penyakit tertentu berdasarkan inventarisasi pengalaman pemakaian.
c) Jenis obat tradisional yang diperkirakan merupakan alternatif yang jarang (atau
satu satunya alternatif ) untuk penyakit tertentu. Misalnya untuk obat kencing
batu (kalkuli), AIDS dan kanker.
2. Uji pre klinik
Tahap uji preklinis merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Hasil dari uji
ini diperoleh informasi tentang efek farmakologi, farmakokinetik, farmakodinamik
untuk memprediksi efek pada manusia, toksisitas untuk melihat keamanannya, secara
in vitro dan pengujian pada hewan secara in vivo. Uji preklinis dilaksanakan setelah
dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka.
Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan
rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinis obat
tradisional Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang
digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO
menganjurkan pada dua spesies.
2.1 Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut,subkronik, kronik, dan uji
toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan
karsinogenisitas.
Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan DL50 (Dosis Letal50)
yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik,
spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji DL50 perlu dilakukan
untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian
dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut.
Pada uji toksisitas sub-kronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan,
sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih.
Uji toksisitas sub-kronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat
tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji
toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia.
Perlu tidaknya uji-uji pada uji toksisitas khusus (spesifik) ini dilakukan
tergantung pada kemungkinan terjadinya efek-efek toksik tersebut, sehubungan
dengan pemakaiannya pada manusia. Misalnya uji teratogenisitas atau uji
toksisitas terhadap janin harus dikerjakan bila pemakaian klinik fitofarmaka
nantinya diberikan pada masa-masa organogenesis dan kehamilan. Uji
mutagenisitas dan karsinogenisitas harus dikerjakan bila fitofarmaka dipakai
secara kronik, peraksanaan penguiian, harus memenuhi cara-cara standar (baku)
yang lazim. Untuk sediaan-sediaan yang digunakan secara topikal dipersyaratkan
untuk dilakukan pengujian toksisitas secara topikal misalnya iritasi kulit dengan
model hewan percobaan yang sesuai.
2.2 Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari
obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba. Bila calon fitofarmaka sudah menjalani uji penapisan biologic (tahap
2) dan dipandang belum bias atau belum mungkin untuk dikerjakan pengujian
farmakodinamik , maka hal ini seyogyanya tidak merupakan penghambat untuk
lebih lanjut. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat
dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia.
3. Standarisasi sederhana
Standardisasi tidak saja diperlukan pada simplisia, tetapi juga pada metode
pembuatan sediaan termasuk pelarut yang digunakan dan standardisasi sediaan
jadinya. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman
eksudat tanaman atau kombinasi ketiganya. Simplisia hewani adalah simplisia berupa
hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan
kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang belum
diolah/diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni, contoh
ferro sulfat, sulfur presipitan.
Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yangditimbulkan:
a. Bahan segar efeknya erbeda dengan bahan yan telah dikeringkan.
b. Proses pengolahan; direbus, diseduh dapat merusak zat aktif yangtermolabil.
c. Prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang disediakan
4. Uji klinik
Tahap uji klinis obat tradisional dilakukan pada manusia untuk dapat menjadi
fitofarmaka dengan dibuktikan khasiat dan keamanannya. Uji klinis pada manusia
hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti
aman dan berkhasiat pada uji preklinis. Pada uji klinis obat tradisional prinsip etika uji
klinis harus dipenuhi. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat
menimbulkan efek yang terulangkan.
Uji klinis dibagi empat fase yaitu:
a. Fase I, obat tradisional diujikan pada sukarelawan sehat, pada fase ini ditentukan
keamanan suatu obat dan tolerabilitas obat tradisional.
b. Fase II awal, dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding.
c. Fase II akhir, dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding. Pada
fase II diamati efikasi pada penyakit yang diobati dan diharapkan dari obat adalah
mempunyai efek potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada
fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk persediaan obat.
d. Fase III, uji klinis definitif, melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru
dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah
diketahui.
e. Fase IV, pascapemasaran, untuk mengamati efek samping yang jarang atau
lambat timbulnya. Obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat
dan tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji
preklinis dapat langsung dilakukan uji klinis dengan pembanding.
Obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinis
pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasienterhadap obat
tradisional tersebut.
b. Hubungan Lama Pemberian Obat pada Manusia dan Lama Pemberian Obat pada
Hewan Coba
Lama Pemberian Calon Fitofarmaka ada Uji Toksisitas. Lama pemberian
fitofarmaka pada hewan coba untuk uji toksisitas dianjurkan agar disesuaikan dengan
lamanya pemakaian obat pada manusia. Tabel berikut memperlihatkan skema lama
pemberian yang diperlukan pada uji toksisitas dihubungkan dengan pemberian pada
manusia.

Tabel ini merupakan modifikasi dari pedoman FDA untuk evaluasi obat yang
akan digunakan pada manusia ( 1975). Sebagai jalan tengah, perlu selalu dicari dan
dikembangkan alternatif-alternatif model dan prosedur uji toksisitas yang masih
memenuhi persyaratan minimal keamanan obat.
Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan
dengan uji pada manusia. Uji farmakodinamik pada hewan coba dilakukan untuk
memprediksi efek pada manusia dan uji toksisitas dilakukan untuk melihat
keamanannya. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam
pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji
pada manusia.

Anda mungkin juga menyukai