Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HEMATOLOGI

IDIOPATIC TROMBOSITOPENIA PURPURA (ITP)

DISUSUN OLEH :
ARIANA RUM 18330726
CUT INDRY SETIAWATY 18330739
DIAN QATRUNNADA 18330731
MAGHFIRAH NOVI ZINDRIANY 18330735
SAUSAN AFRA 18330746

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, April 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) disebut juga autoimune thrombocytopenic
purpura, morbus wirlhof, atau purpura hemorrhagica merupakan kelainan pendarahan
(bliding resorder) yang didapat sebagai akibat dari penghancuran trombosit yang berlebihan,
yang ditandai dengan trombositopenia (trombosit <150.000 mm3), purpura, gambaran darah
tepi yang umumnya normal, dan tidak ditemukan penyebab trombositopenia lainnya.
Immune Thrombocytopenic Purpura diperkirakan merupakan salah satu penyebab
kelainan pendarahan didapat yang banyak ditemukan oleh dokter anak, dengan insiden
penyakit sistomatik berkisar 3-8/100.000 anak dalam setahun.
Immune Thrombocytopenic Purpura umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun, dengan
insiden 4-8 kasus/1000 anak pertahun. 80-90% anak dengan ITP menderita episode
pendarahan akut yang akan pulih dalam beberapa hari atau minggu dan sesuai dengan
namanya (akut) akan sembuh dalam 6 bulan. Tidak ada perbedaan insiden antara laki-laki
dan perempuan pada ITP akut. Puncak insiden terjadi pada usia 2-5 tahun. Hampir selalu ada
riwayat infeksi bakteri, virus ataupun imunisasi 1-6 minggu sebelum terjadinya penyakit ini.
Pendarahan sering terjadi saat trombosit < 20.000 mm3.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
ITP adalah singkatan dari Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Idiopathic berarti
tidak diketahui penyebabnya. Thrombocytopenic berarti berkurangnya jumlah trombosit
dalam darah atau darah tidak mempunyai platelet yang cukup. Purpura berarti perdarahan
kecil yang ada di dalam kulit, membrane mukosa atau permukaan serosa. Istilah ITP ini juga
merupakan singkatan dari Immune Thrombocytopenic Purpura.
Idiopatik trombositopenia purpura (ITP) merupakan suatu kelainan berupa gangguan
imunitas (kekebalan tubuh) yang ditandai dengan jumlah trombosit rendah, yaitu <150.000
mm3 sehingga dapat menyebabkan pendarahan. Trombositopenia ini diakibatkan karena
adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya
autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglobulin G. Adanya
trombositopenia pada ITP ini akan mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena
trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor koagulasi darah terlibat secara bersamaan
dalam mempertahankan hemostasis normal. ITP adalah jenis trombositopenia berat yang
dapat mengancam kehidupan yang ditandai dengan mudahnya timbul memar serta
perdarahan subkutaneus yang multiple. Biasanya penderita menampakkan bercak bercak
kecil berwarna ungu.
Saat awal, ITP merupakan singkatan dari Idiopathic Thrombocytopenic Purpura karena
belum diketahui penyebabnya. Dengan perkembangan ilmu diketahui ternyata penyebabnya
adalah kelainan imun sehingga singkatan ITP berubah menjadi Immune Thrombocytopenic
Purpura.
2.2 GEJALA KLINIS
Gejala-gejala yang muncul akibat idiopathic thrombocytopenic purpura atau ITP adalah
sebagai berikut :
1. Memar mudah muncul atau terjadi pada banyak bagian tubuh.
2. Perdarahan akibat luka yang berlangsung lebih lama.
3. Perdarahan yang terjadi di bawah kulit dan terlihat seperti bintik-bintik merah-
keunguan yang terjadi pada kaki.
4. Perdarahan dari hidung atau mimisan.
5. Darah pada urine atau tinja.
6. Perdarahan pada gusi, terutama setelah perawatan gigi.
7. Perdarahan berlebihan saat menstruasi.
8. Sangat kelelahan.

2.3 ETIOLOGI
Penyebab dari ITP tidak diketahui secara pasti, mekanisme yang terjadi melalui
pembentukan antibodi yang menyerang sel trombosit, sehingga sel trombosit mati
(Imran,2008). Penyakit ini diduga melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh menghasilkan
antibodi yang menyerang trombositnya sendiri. Dalam kondisi normal, antibodi adalah
respons tubuh yang sehat terhadap bakteri atau virus yang masuk kedalam tubuh. Tetapi
untuk penderita ITP, antibodinya bahkan menyerang sel-sel keping darah tubuhnya sendiri.
Meskipun pembentukan trombosit sumsum tulang meningkat, persediaan trombosit yang ada
tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Pada sebagian besar kasus, diduga bahwa ITP
disebabkan oleh sistem imun tubuh.
Secara normal, sistem imun membuat antiboodi untuk melawan benda asing yang
masuk kedalam tubuh. Pada ITP, sistem imun melawan platelet dalam tubuh sendiri. Alasan
sistem imun menyerang platelet dalam tubuh masih belum diketahui. ITP kemungkinan
juga disebabkan oleh hipersplenisme, infeksi virus, intoksifikasi makanan atau obat atau
bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas), kekurangan faktor pematangan (misalnya
malnutrisi), koagulasi intravaskular diseminata (KID), autoimun. Berdasarkan etiologi, ITP
dibagi menjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan penyakit dibedakan tipe
akut bila kejadiannya kurang atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak)
dan kronik bila lebih dari 6 bulan (umumnya terjadi pada orang dewasa). Selain itu, ITP juga
terjadi pada pengidap HIV. Sedangkan obat-obatan seperti heparin, quinidine, sulfonamide
juga boleh menyebabkan Trombositopenia.

2.4 FAKTOR RISIKO


Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terkena penyakit ini yaitu :
a. Jenis kelamin
Wanita dua kali berisiko mengembangkan ITP daripada pria.
b. Infeksi virus
Banyak anak-anak yang menderita ITP mengalami gangguan kesehatan setelah
terinfeksi virus, misalnya gondok, campak bahkan infeksi saluran pernafasan.

2.5 PATOFISIOLOGI
Penyakit ITP adalah penyakit autoimun yang disebabkan adanya destruksi trombosit
normal akibat adanya antibodi (antibodi-mediated destruction of platelets) dan gangguan
produksi megakariosit. Penyakit ITP merupakan kelainan akibat disregulasi imun dengan
hasil akhir adanya hilangnya toleransi sistem imun terhadap antigen diri yang berada di
permukaan trombosit dan megakariosit. Sel T teraktivitasi akibat pengenalan antigen
spesifik trombosit pada APC (Antigen Presenting Cell) yang kemudian menginduksi
ekspansi antigen-spesifik pada sel B. Kemudian sel B menghasilkan autoantibodi yang
spesifik terhadap glikoprotein yang diekskresikan pada trombosit dan megakariosit.
Trombosit yang bersikulasi diikat oleh auto antibodi trombosit, kemudian terjadi pelekatan
pada reseptor FC makrofag limfa yang mengakibatkan penghancuran trombosit. Selain itu,
terbentuk juga autoantibodi anti megakariosit yang mengurangi kemampuan megakariosit
untuk menghasilkan trombosit. Terjadi produksi antibodi (A) yang meningkatkan
penghancuran trombosit oleh makrofag limfa (B) dan menurunnya produksi trombosit akibat
antibodi anti megakariosit (C).
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah
1. Pada pemeriksaan darah lengkap. Pada pemeriksaan ini ditemukan bahwa:
a. Hb sedikit berkurang, eritrosit normositer, bila anemi berat hypochrome mycrosyter.
b. Lekosit meninggi pada fase perdarahan dengan dominasi PMN.
c. Pada fase perdarahan, jumlah trombosit rendah dan bentuknya abnormal.
d. Lymphositosis dan eosinofilia terutama pada anak
2. Pemeriksaan darah tepi.
a. Hematokrit normal atau sedikit berkurang
3. Aspirasi sumsum tulang
Jumlah megakaryosit normal atau bertambah, kadang mudah sekali morfologi
megakaryosit abnormal (ukuran sangat besar, inti nonboluted, sitoplasma berfakuola dan
sedikit atau tanpa granula).
Hitung (perkiraan jumlah) trombosit dan evaluasi hapusan darah tepi merupakan
pemeriksaan laboratorium pertama yang terpentong. Karena dengan cara ini dapat
ditentukan dengan cepat adanya trombositopenia dan kadang-kadang dapat ditentukan
penyebabnya.

2.7 CARA PEMERIKSAAN DARAH


Pemeriksaan awal untuk mendeteksi ITP melalui tes laboratorium pada darah pasien.
1. Darah rutin (Hematologi rutin) seperti :
a. Eritrosit (RBC) : mengetahui kelainan sel darah merah yang berfungsi dalam
transport oksigen ke tubuh. Normal (Laki-laki : 4,5-6,5 x 1012/Liter dan
Perempuan : 3,9-5,6 x 1012/Liter).
b. Hemoglobin (HGB) : menentukan konsentrasi Hb (protein dalam eritrosit yang
berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) pada komponen darah. Normal
(Laki-laki : 12,5-16,5x109/Liter dan Perempuan : 11,5-15,5x109/Liter)
c. Leukosit (WBC) : mengetahui kelainan pada sel darah putih. Normal (Anak-
anak : 4000-10.000/UL dan children 5000-15.000/UL)
d. Hematrokit (HCT) : berguna menentukan keadaan anemia, kehilangan darah.
Normal (Laki-laki : 40-54% , Perempuan : 36-47% dan Children : 32-42%)
e. Laju Endap Darah (LED) : mengukur laju endap (dalam mm/jam) dari eritrosit
pada suatu kolom darah yang diberi antikoagulan. LED meningkat yaitu
menunjukkan meningkatnya kadar immunoglobin atau protein akut dan
merupakan penanda nonspesifik dari adanya radang atau infeksi.
LED yang sangat tinggi (lebih dari 100 mm/jam menunjukkan:
1) Myeloma Multiple
2) Lupus Eritematosus Sistemik (LSE)
3) Arteritis Temporalis
4) Polimialgia Reumatika
5) Kanker atau Infeksi Kronis, termasuk Tuberkolosis (jarang).
2. Ferritin
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui cadangan besi (Fe) yang ada di
dalam tubuh. Bila kekurangan Fe akan kehilangan banyak darah dan jika kelebihan
Fe akan menyebabkan gangguan hati, diabetes pada kehamilan dan lain-lain.
3. Tiroid function
Pemeriksaan Tiroid Functiondilakukan untuk melihat perkembangan kelenjar
hormon dalam tubuh kita, karena hormon tiroid juga mempengaruhi kerja dari
autoimun dalam tubuh kita. Hormon tiroid mempunyai hubungan dengan mekanisme
defisiensi besi (anemia). Apalagi untuk pasien yang mengalami gejala seperti
lemas,rambut rontok, anemia, gangguan daya ingat, susah konsentrasi, gangguan
siklus konsentrasi, tidak tahan panas matahari, tidak tahan dingin, denyut jantung
lambat,depresi, nyeri sendi, sembelit, mengantuk, napas pendek, penurunan libido,
kram otot, mual, muntah, diare dan lain-lain
4. Autoimmune
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat sejauh mana perkembangan autoimun di
dalam tubuh kita biasanya pada tahap awal dilakukan tes skrining dengan tes ANA,
kemudian pemeriksaan anti ds-DNA.
Bila kedua tes ini negatif dan yang tidak normal hanya trombosit kita maka
kemungkinan menyebabkan ITP, namun jika keduanya positif atau ada salah satunya
positif kemungkinan terkena lupus.
5. Kidney function
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat perkembangan dari ginjal kita agar
dokter dapat melihat kondisi ginjal.
6. BMP (Biopsi Bone Marrow)
Dapat dilakukan jika segala cara telah dilakukan sampai pemberian obat dan
pemeriksaan darah tidak menunjukkan efek kebaikan pada pasien untuk mengetahui
penyakit di dalam tubuh yaitu memeriksa Bone Marrow (pengambilan cairan sumsum
tulang belakang) karena dicurigaai ada penyakit lain selain ITP.

2.8 PENATALAKSANAAN TERAPI


1. ITP Akut :
a. Ringan: observasi tanpa pengobatan → sembuh spontan.
b. Bila setelah 2 minggu tanpa pengobatan jumlah trombosit belum naik, maka
berikan kortikosteroid.
c. Bila tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka berikan immunoglobulin per IV.
d. Bila keadaan gawat, maka berikan transfuse suspensi trombosit.
2. ITP Menahun
a. Kortikosteroid diberikan selama 5 bulan.
1) Misal: prednisone 2 – 5 mg/kgBB/hari peroral. Bila tidak berespon terhadap
kortikosteroid berikan immunoglobulin (IV).
b. Imunosupressan: 6 – merkaptopurin 2,5 – 5 mg/kgBB/hari peroral.
1) Azatioprin 2 – 4 mg/kgBB/hari per oral.
2) Siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari per oral.
3) Splenektomi.
Indikasi:
a. Resisten terhadap pemberian kortikosteroid dan imunosupresif selama 2 – 3
bulan.
b. Remisi spontan tidak terjadi dalam waktu 6 bulan pemberian kortikosteroid
saja dengan gambaran klinis sedang sampai berat.
c. Penderita yang menunjukkan respon terhadap kortikosteroid namun perlu
dosis tinggi untuk mempertahankan klinis yang baik tanpa perdarahan.
Kontra indikasi:
Anak usia sebelum 2 tahun: fungsi limpa terhadap infeksi belum dapat
diambil alih oleh alat tubuh yang lain (hati, kelenjar getah bening dan thymus).

2.9 KASUS
Pasien laki-laki, usia 3 tahun 2 bulan datang ke UGD RSAM pada tanggal 11 November
2014, pukul 16. 30 WIB dengan keluhan timbul memar sebanyak 3 buah pada punggung
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan ini muncul setelah sebelumnya
terkena peluru dari alat tembaktembakan. Awalnya hanya terdapat bercak berwarna merah
dipunggung namun bercak ini tidak hilang dan berubah warna menjadi merah kebiruan.
Sejak 2 hari SMRS pasien mengeluh memar serupa timbul menyebar pada kedua tangan dan
kaki. Satu hari SMRS keluhan memar dipunggung dan bintik merah kebiruan di seluruh
tubuh tidak berkurang. Pasien berobat ke klinik dan di periksa darah. Hasil pemeriksaan
menunjukkan trombosit pasien 9000/μl. Pasien dirujuk ke RSAM untuk penanganan lebih
lanjut. Riwayat luka sukar sembuh, mimisan, gusi berdarahdan BAB hitam disangkal oleh
pasien. Riwayat imunisasi terakhir diterima pasien saat usia 1 tahun. Sebelumnya, sekitar 2
bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami batuk selama hari. Keluhan disertai
dengan sakit tenggorokan dan demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, nadi 136x/menit, pernapasan 32 x/menit, suhu 36,6 0C, BB 14 kg, TB 95
cm, BMI 15,51 kg/m2. Status gizi BB/U, TB/U, dan BB/TB normal berdasarkan Center for
Disease Control National Center for Health Statistics (CDC NCHS). Pemeriksaan status
lokalis pada regio maxilla sinistra terdapat petekia, kemerahan, berbatas tegas, multipel,
diameter 0,1 cm tersebar secara diskret. Pada regio toraks posteriorterdapat purpura
berwarna merah kebiruan, berbatas tegas berjumlah multipel (± 3) dengan ukuran 4x4 cm
sd. 4x6 cm yang tersusun linear. Pada ekstremitas superior di regio antebrachii sinistra,
terdapat ekimosis berwarna biru kehitaman, berbatas tegas, soliter, berukuran 2x2 cm. Pada
ekstremitas inferior pada regio femoris dextra pars medial, terdapat ptekia, kemerahan,
multipel (2 buah), berbatas tegas, ukuran berdiamter 0,1 cm, tersebar diskret. Pada regio
cruris dextra pars anterior, terdapat ekimosis berwarna biru kehitaman, berbatas tegas,
multipel (3 buah), ukuran terkecil berdiameter 1,5 cm, ukutan terbesar berdiamter 3 cm,
tersusun linear. Pada regio cruris sinistra pars anterior, ditemukan ekimosis berbatas tidak
tegas, soliter berukuran 2x6 cm dan terdapat purpura berbatas tidak tegas, soliter,
berdiameter 4 cm.
Pada pemeriksaan laboratorium darah Rutin (11/11/2014) Hb 12,6 gr/dl, Ht 36 %,
Leukosit 13300/μl, Trombosit 12000/μl, MCV 79 fl, MCH28 pg, MCHC 35gr/dl. Gambaran
Darah Tepi Eritrosit Gambaran Normokrom normositer, Leukosit Sel Granulosit: Neutrofil
segmen +, Neutrofil batang +; Sel Agranulosit Limfosit matur +, Sel Blas tidak ditemukan,
Trombosit jumlah menurun, besar trombosit normal.
Kesan leukositosis dengan trombositopenia. Pemeriksaan urin lengkap dan feses
lengkap dalam batas normal. Pasien didiagnosis mengalami diatesis hemorragic e.c imune
trombositopenic purpura akut. Terapi yang diberikan berupa non medikamentosa berupa diet
lunak rendah serat dan edukasi untuk tirah baring dan melapor apabila BAB keras atau BAK
berwarna merah serta diobservasi perdarahan. Terapi medikamentosa yang diberikan berupa
cairan intravena D5¼NS 20 tpm makro, Ceftriaxone 1 gr dalam D5¼NS 100 CC/24 jam,
Ranitidin 20 mg/12 jam dan Injeksi Metilprednisolon 25 mg/8 jam.

2.10 PEMBAHASAN
Pasien mengalami masalah kesehatan berupa perdarahan mukosa kulit yang didasarkan
pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien mengalami diastesis
hemoragic dan trombositopenia. Diastesis hemoragic dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu
faktor vaskular, faktor koagulasi dan faktor trombosit. Namun pada kasus ini penyebab
diastesis hemoragic mengarah pada faktor trombosit.
Hal ini dikarenakan pada diastesis hemoragik karena faktor vaskuler dapat disebabkan
oleh kelainan patologik pada dinding pembuluh darah baik secara herditer maupun didapat.
Kelainan heredirer berupa Hereditary Hemorrhagic Teleangiectasia dapat disingkirkan
karena kelainan pada pasien baru terjadi saat ini bukan sejak lahir dan tidak ada riwayat
keluarga yang mengalami keluhan seperti ini. Selain itu diastesis hemoragik karena faktor
vaskuler yang didapat seperti purpura alergi, purpura simplek, dan purpura sinilis dapat
disingkirkan karena tidak ada klinis infeksi sistemik pada pasien. Kriteria diagnostik yang
mendukung penegakan diagnosis purpura alergi juga tidak terpenuhi.
Diastesis hemoragik karena faktor koagulasi merujuk pada fungsi perdarahan dan
pembekuan darah.Tidak ada riwayat darah yang sukar membeku akibat luka.Secara klinis,
kondisi ini dapat menyingkirkan diagnosa banding perdarahan akibat kelainan faktor
pembekuan darah atau hemofilia. Namun untuk lebih lanjut perlu dilakukan pengukuran
kadar PT dan aPTT.
Penyebab diastesis hemoragik pada kasus ini disebabkan oleh faktor trombosit.
Kelainan perdarahan akibat faktor trombosit dapat disebabkan oleh kelainan produksi
trombosit, penghancuran trombosit ataupun fungsi trombosit.Berdasarkan anamnesis
terhadap pasien didapatkan perdarahan mukosa terjadi spontan, tanpa adanya trauma
sebelumnya. Hal ini dapat menyingkirkan diagnosa banding bahwa perdarahan ini muncul
bukan akibat trauma melainkan diprovokasi oleh trauma (riwayat terkena peluru pistol
mainan). Perdarahan mukosa menetap yang muncul sebagai tanda trombositopenia.
Perdarahan mukosa seperti purpura atau ptekie dapat disebabkan oleh reaksi penurunan
produksi trombosit, peningkatan destruksi trombosit atau gangguan kualitas trombosit.
Penurunan jumlah trombosit dapat terjadi akibat gangguan kualitas trombosit. Hal ini
terjadi karena adanya pengaruh genetik. Riwayat penyakit yang sama di keluarga tidak
ditemukan, sehingga kemungkinan besar tidak ada gangguan kualitas genetik pada
trombosit. Gangguan kualitas genetik pada trombosit dapat terjadi karena garis keturunan
baik secara X-link kromosom ataupun dominan autosom. Kemungkinan untuk mengalami
sindrom Wiskott-Aldrich, sindrom Bernardsoulier, anomali May-Hegglin atau sindrom Gray
platelet dapat disingkirkan.
Peningkatan destruksi trombosit terjadi karena proses imun dan non imun. Proses imun
disebabkan oleh obat-obatan, purpura pasca transfusi, penyakit kolagen vaskular dan imune
trombositopenia purpura. Obat yang dapat menurunkan produksi trombosit diantaranya
adalah obat-obat kemoterapi, tiazide, alkohol, estrogen, kloramfenikol dan radiasi.Obat
yang dapat meningkatkan destruksi trombosit diantaranya sulfonamid, quinidine, quinine,
carbamazepin, asam valproat, heparin, dan Digoksin. Obat yang berhubungan dengan
perubahan fungsi trombosit yaitu aspirin dan dipiridamol. Tidak ada riwayat penggunaan
obat – obatan yang dapat menurunkan jumlah trombosit. Hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan perdarahan akibat trombositopenia yang dipicu oleh obat–obatan dapat
disingkirkan.
Purpura yang muncul beberapa jam setelah dilakukan transfusi trombosit kemungkinan
besar mengarah pada penyakit autoimun purpura pasca transfusi. Pada pasien ini tidak ada
riwayat transfusi trombosit sehingga kemungkinan diagnosa ini dapat disingkirkan. Reaksi
terhadap penurunan produksi trombosit dapat terjadi secara kongenital maupun didapat.
Kelainan kongenital terjadi di masa neonatus sehingga kemungkinan ini dapat disingkirkan
sejak mengetahui usia pasien. Kelainan penurunan produksi trombosit yang didapat berupa
leukemia, anemia aplastik, neuroblastoma, defisiensi nutrisi, dan obat-obatan.
Kesan gizi pasien adalah normal.Status gizi ini menunjukkan pasien tidak dalam kondisi
defisiensi nutrisi seperti malnutrisi atau gizi buruk.Keadaan malnutrisi dapat menyebabkan
anemia megaloblastik yait kekurangan asam folat yang berujung pada menurunnya produksi
trombosit.Status gizi baik pada pasien menyingkirkan kemungkinan diagnosa
trombositopenia karena malnutrisi.Penurunan berat badan yang signifikan juga tidak dialami
pasien sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit akibat keganasan seperti
leukimia dan anemia aplastik. Leukimia dapat pula disingkirkan dari pemeriksaan fisik yaitu
tidak ditemukan organomegali berupa hepatomegali atau spleinomegali.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis dan trombositopenia
dengan morfologi darah tepi yang normal yaitu eritrosit normositik normokrom, tidak
ditemukan adanya sel blast. Hal ini sesuai dengan teori dimana ITP biasanya ditandai oleh
trombositopeni tanpa ada kelainan morfologi darah tepi.3 Pada pasien didapatkan riwayat
infeksi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori penyebab ITP dimana hampir selalu ada
riwayat infeksi bakteri, virus ataupun imunisasi 1-6 minggu sebelum terjadinya penyakit
ini.7 Hal ini didasarkan karena patogenesis trombositopenia pada ITP Akut, terjadi melalui
tiga mekanisme:
1)Produksi autoantibodi trombosit spesfik secara tidak normal, terkait dengan proses
imunitas akibat infeksi;
2)Reaksi silang dengan antigen;
3)Terikatnya trombosit dengan imun kompleks. Sehingga terbentuk autoantibodi terhadap
trombosit.
Immune trombositopenic purpura pada masa kanak-kanak merupakan kelainan yang
lazim pada anak yang biasanya menyertai infeksi.Proses ini disebabkan oleh antibodi (IgG
atau IgM) yang melekat pada membran trombosit. Keadaan ini menyebabkan destruksi
trombosit yang diselubungi antibodi dalam limpa dan sistem retikulo endotelial lainnya.
Pada kasus ini didiagnosa ITP akut karena batasan ITP acute adalah kurang dari 6 bulan.
Strategi terapi ITP tidak bertujuan untuk mencapai jumlah trombosit normal melainkan
mencapai jumlah trombosit yang memberikan hemostasis adekuat terhadap pasien. Pasien
mendapatkan cairan intra vena D5¼ N dengan kecepatan 20 tetes per menit melalui infus
makro. Cairan yang diberikan merupakan cairan maintenance. Perhitungan jumlah cairan
berdasarkan pada rumus Holiday Segar, yaitu 100 cc/kgBB/hari (untuk 10 kilogram
pertama) + 50 cc/kgBB/hari (untuk 10 kilogram kedua) + 20 cc/kgBB/hari (untuk berat
badan sisanya). Berat badan pasien adalah 14 kilogram, sehingga diperlukan 1200 cc cairan
per hari. Kecepatan pemberian cairan melalui infus makro (1 cc ~ 20 tetes) adalah 17 tetes
per menit.
Pada pasien ini terapi yang diberikan adalah injeksi metilprednison 25 mg/8 jam.
Pemberian sudah tepat, sesuai dengan Rekomenadasi American Society of Hematology
Guidelines for Immune Thrombocytopenic Purpura, 2011 dimana obat lini pertama dalam
pengobatan ITP adalah kortikosteroid. Kortikosteroid bertindak dengan merusak clearance
platelet opsonized dalam sumsum tulang dan organ perifer dan mengurangi tingkat
autoantibodi di dalam tubuh. Banyak penelitian secara acak mengkonfirmasi bahwa
kortikosteroid meningkatkan kadar trombosit lagi dengan cepat daripada yang tidak
mendapat pengobatan. Dosis metilprednisolon adalah 1-2 mg/kg/hari dengan dosis tinggi
dapat diberikan sampai 30 mg/kg/hari. Sehingga pemberian pada kasus yaitu sebesar 75
mg/hari tidak melebihi dari dosis tinggi. Pemberian dosis tinggi steroid ini dibutuhkan dalam
pengobatan ITP.
Beberapa komplikasi umum yang terkait dengan pengobatan kortikosteroid adalah
nekrosis avascular, diabetes, gastritis, maag, gangguan pertumbuhan, hipertensi, insomnia,
osteoporosis pada orang dewasa, perubahan kepribadian dan infeksi oportunistik. Penurunan
dosis secara bertingkat (tappering off) dan terminasi obat pada perdarahan yang telah
berhenti atautarget jumlah trombosit yang lebih tinggi dari 20x109/μl telah tercapai sangat
penting untuk menghindari komplikasi dari pemakaian steroid.
Pasien diberikan injeksi ceftriaxon (antibiotik golongan sefaloseporin generasi ke-3)
yang memiliki efek antibiotik broad spektrum luas, yaitu gram (-), gram (+) dan
mikroorganisme anaerob serta sangat stabil pada beta laktamase bakteri gram (+) dan (-),
baik penicillinase maupun cephalosporinase dengan Ceftriaxone 1 gr dalam D5¼NS 100
cc/24jam. Pemberian dosis ceftriaxone untuk anak usia 15-12 tahun adalah 20-80
mg/kgbb/hari dengan 2 dosis terbagi sehingga dosis yang masih dapat diberikan 280-1120
mg/hari. Pemberian ceftriaxon Pada kasus ini karena pasien memiliki riwayat kelainan
hemostasis dan terdapat leukositosis sehingga pasien sekarang mengalami infeksi. Suatu
kelainan hemostasis dapat mencetuskan komplikasi lebih lanjut bila ada faktor predisposisi
seperti infeksi.
Pasien diberikan ranitidin 20 mg/12jam IV (dosis 2-4 mg/kgbb dengan 2 dosis terbagi).
Namun pemberian dosis jika sesuai berat badan kurang dengan berat badan 14 kg
seharusnya diberikan dosis 28-56 mg. Pemberian ranitidin pada pasien dikarenakan untuk
mencegah peningkatan asam lambung yang disebabkan oleh terapi steroid sehingga
dibutuhkan pelindung. Berdasarkan teori, pengobatan ITP dapat dibagi menjadi manajemen
medis dan bedah. Manajemen medis dibagi lagi menjadi lini pertama dan lini kedua
farmakoterapi. Berikut adalah panduan pengobatan ITP dari ASH 2011.
Pengobatan lini pertama pada kasus ITP adalah steroid dan Intravenous
Immunoglobulin (IVIG).19,20 Namun pemberian IVIG ini masih jarang dikarenakan
masalah sosial dan ekonomi sehingga pemberian immunoglobulin sampai saat ini tidak
dilakukan. Imbach dkk adalah dua yang pertama mengusulkan peran intravena IgG (IVIG)
dalam pemulihan trombositopenia. IVIG bertindak dengan merusak pembersihan trombosit
opsonizedy yang dimediasi melalui reseptor FcRIIb. Beberapa penelitian juga menunjukkan
bahwa IVIG dapat menyebabkan peningkatan clearance antibodi antiplatelet.
Farmakoterapi lini kedua terutama terdiri dari imunosupresan dan rituximab. Obat ini
digunakan ketika obat lini pertama telah gagal atau telah menjadi pasien tidak toleran.
Imunosupresan Terutama bertindak pada tingkat sel T. Azathioprine, siklofosfamiddan
siklosporin merupakan obat utama yang digunakan. Dapson, mycophenolate mofetil,
danazol, alkaloid vinca, dan beberapa obat lini kedua lainnya terbukti berkhasiat, namun
agen ini jarang digunakan pada anak-anak dengan pertimbangan dokter. Splenektomi juga
dapat diberikan pada kasus tidak berespon pada pengobatan lini pertama dan ITP kronis.
BAB III
KESIMPULAN

1. Idiopatik trombositopenia purpura (ITP) merupakan suatu kelainan berupa gangguan


imunitas (kekebalan tubuh) yang ditandai dengan jumlah trombosit rendah, yaitu <150.000
mm3 sehingga dapat menyebabkan pendarahan.
2. Trombositopeni dapat disebabkan oleh penurunan jumlah produksi platelet, peningkatan
destruksi platelet, dan sekuestrasi.
3. ITP dapat diklasifikasikan berdasarkan usianya (anak-anak dan dewasa), berdasarkan durasi
penyakitnya (akut dan kronis), serta adanya penyakit atau kondisi lain yang menjadi
penyebabnya (primer dan sekunder).
4. Penyebab ITP adalah kelainan autoimun sehingga penghancuran trombosit dalam sistem
retikuloendotelial meningkat.
5. Beberapa pengobatan lain yang pernah dilaporkan bisa diberikan pada anak dengan ITP
adalah; γ interferon, transfusi tukar plasma dan protein Aimmunoadsorption, alkaloid Vinca
(vinkristin dan vinblastin), danazol, vitamin C, dan siklofosfamid.
DAFTAR PUSTAKA

Wulansari, Indah, dkk. Abses Submandibula Odontogenik Pada Penderita Idiopatik


Trombositopeni Purpura di RSUP Dr. Sardjito. MKGK. 2016;2(1):19-25.

Sari, TT. Immune Trombocytophenic Purpura. Sari Pediatri. 2018;20(1):58-64

Pratama, BA. Anak Laki-Laki 3 Tahun dengan Purpura Trombositopenik Imun Akut. Medula
Unila. 2015;4(2):52

Anda mungkin juga menyukai