Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN SGD KEPERAWATAN JIWA II

ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA


MASYARAKAT/CHMN

Disusun Oleh : SGD 5


Fasilitator :
Ns. Ida Arimurti Sanjiwani, S.Kep., M. Kep.
Anggota Kelompok :
1. Gusti Nyoman Mega Utami 1702521010
2. Ni Luh Putu Wahyu Widiani 1702521012
3. Ida Ayu Eni Pradnyandari 1702521014
4. Olga Penaten Demon 1702521020
5. Putu Gita Kristiana Prasanty 1702521022
6. Ida Bagus Duwi Krisna Putra 1702521023
7. Putu Herma Khrismadani 1702521031
8. Ni Komang Ayu Try Wahyuningsih 1702521038
9. Nyoman Anggun Septiana Putri 1702521044
10. Ni Made Mega Indah Sari 1702521058

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) merupakan salah satu gangguan
kejiwaan yang berkembang pada seseorang setelah mengalami suatu kejadian
yang mengancam nyawa, seperti pertengkaran, bencana alam, kecelakaan,
pelecehan seksual, dan kekerasan. Mengalami gangguan tidur maupun
aktivitas lainnya setelah berhadapan dengan pengalaman buruk merupakan hal
yang wajar. Umunya hal tersebut dialami selama beberpa minggu maupun
bulan. Namun bila gejala-gejala yang dialami berlangsung lebih dari beberapa
bulan dan mengakibatkan permasalahan lainnya, maka orang tersebut
mungkin saja mengalami PTSD. Berdasarkan data National Center for PTSD,
sekitar tujuh sampai delapan dari 100 orang akan mengalami PTSD pada suatu
waktu dalam hidupnya (National Institute of Mental Health, 2019).
Post Traumattic Stress Disorder dapat dibagi menjadi lima jenis
utama, yaitu respons stress normal, gangguan stress akut, PTSD tanpa
komplikasi, PTSD komorbid, dan PTSD kompleks (Astuti, Amin, &
Purborini, 2018). Respon stress normal terjadi ketika orang dewasa sehat
terpapar pada kejadian traumatis diskrit tunggal di masa dewasa dan memiliki
kenangan buruk yang hebat, perasaan tidak sadar, terputus dari hubungan,
serta ketegangan dan tekanan tubuh. Keadaan ini biasanya akan pulih
sempurna dalam beberapa minggu. Gangguan stress akut terjadi ditandai
dengan adanya reaksi panik, kebingungan mental, disosiasi, insomnia berat,
kecurigaan, serta tidak dapat mengelola aktivitas perawatan diri, kerja, dan
hubungan dasar. PTSD tanpa komplikasi terjadi ditandai dengan adanya
pengulangan peristiwa traumatis secara terus-menerus, penghindaran rangsang
yang terkait dengan trauma, penghinaan emosional, dan gejala peningkatan
gairah. PTSD komorbid yaitu PTSD yang disertai dengan gangguan kejiwaan
utama lainnya seperti depresi, gangguan panic, penyalahgunaan zat, ataupun
gangguan lainnya. PTSD kompleks atau disebut dengan Disorder Extreme
Stress merupakan PTSD yang ditemukan pada seseorang yang terpapar
kejadian traumatis secara berkepanjangan, terutama pada masa kanak-kanak
(trauma masa kecil), seperti pelecehan seksual, dan kekerasan. Seseorang
dengan PTSD kompleks akan menunjukksn gangguan perilaku,
penyalahgunaan zat dan self abuse, gangguan emosional yang ektrem, dan
gangguan mental sepeti disosiasi hingga amnesia.
Menurut American Psychiatric Association (APA, 2017), gejala PTSD
dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu re-experiencing symptom,
avoidance symptom, negative alternations symptom, dan hyperarousal
symptom. Re-experiencing symptom merupakan munculnya kembali ingatan
mengenai kejadian traumatis yang pernah dialami dan ditandai dengan
beberapa hal, yaitu munculnya pikiran-pikiran yang mengganggu, mimpi
buruk, flashback, dan reaksi fisik-psikologis yang berlebihan. Avoidance
symptom merupakan keadaan seseorang yang beruhasa untuk menghindari
pikiran atau rangsangan lain yang dapat memicu munculnya kenangan tentang
kejadian traumatis yang pernah dialami. Gejala ini ditandai dengan
penghindaran terhadap perasaan atau pikiran yang berhubungan dengan
trauma dan semua aktivitas, orang, tempat, percakapan, maupun situasi yang
berhubungan dengan trauma. Negative alternations symptom merupakan
keadaan semakin buruknya perasaan dan pikiran setelah trauma ditandai
dengan ketidakmampuan mengingat kembali poin-poin penting dari kejadian
traumatis yang dialami, munculnya pikiran negative tentang diri sendiri atau
lingkungan, menyalahkan diri sendiri atau orang lain atas apa yang telah
dialami, merasa terisolasi, menurunnya minat terhadap aktivitas, adanya
perasaan emosional yang negative seperti rasa takut, malu, dan perasaan
negative lainnya serta kesulitan dalam mengekspresikan perasaan emosional
yang positif. Hyperarousal symptom merupakan keadaan meningkatnya
reaktivitas fisiologis yang berlebihan ditandai dengan iritabilitas, sulit tidur
dan berkonsentrasi, waspada yang berlebihan, dan perilaku-perilaku berisiko.
Berdasarkan jenis kelamin, perempuan lebih berisiko menglami PTSD
dibandingkan dengan laki-laki. Memiliki beberapatrauma dan faktor biologis
juga menjadi faktor risiko yang besar dalam munculnya PTSD pada seseorang.
Faktor risiko ini menjelaskan bahwa tidak semua orang yang menglami
pengalaman buruk akan menderita PTSD, melainkan dipengaruhi juga oleh
adanya faktor risiko. Selain jenis kelamin, trauma (termasuk trauma masa
kecil), dan faktor biologis, faktor risiko lainnya untuk PTSD adalah
pengalaman tersakiti, melihat orang lain terluka atau terbunuh, merasakan
ketakutan yang ekstrem dan merasa tidak tertolong, tidak adanya support
system, pengalaman kehilangan significant other, dan memiliki riwayat
gangguan kejiwaan atau penyalahgunaan zat.
Prevalensi PTSD pada anak dan remaja dapat lebih tinggi
dibandingkan dengan kategori usia lainnya karena anak dan remaja memiliki
karakteristik yang unik (Astuti, Amin, & Purborini, 2018). Anak dan remaja
memiliki pengalaman dan keterampilan yang masih kurang serta bergantung
pada keluarga untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Penatalaksanaan dari PTSD umumnya menggunakan obat – obatan
seperti antidepresan, anti cemas dan prazosin serta psikoterapi seperti terapi
kognitif, terapi paparan dan EMDR. Salah satu psikoterapi yang berkembang
saat ini dalam menangani PTSD adalah yoga. Yoga merupakan salah satu
terapi komplementer yang dapat menangani masalah fisik dan mental
termasuk juga PTSD. Yoga di nilai dapat membantu klien dengan PTSD
meningkatkan perhatian klien sehingga dapat meningkatkan emosi,
memperhatikan rasa takut, dan dapat menangkal gejala yang timbul. Dengan
adanya hipotesis tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui efektivitas
yoga terhadap klien dengan PTSD

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui efektivitas terkait terapi yoga untuk klien wanita
dengan PTSD
1.2.2 Untuk mengetahui kemungkinan pernerapan terapi yoga untuk klien
wanita dengan PTSD dalam tatanan pelayanan kesehatan
1.2.3 Untuk mengetahui implikasi keperawatan jika di terapkan di tatanan
pelayanan kesehatan
1.3 Manfaat
1.3.1 Hasil review ini dapat menjadi referensi pada dunia pendidikan dalam
memberikan asuhan keperawatan klien wanita dengan PTSD
1.3.2 Hasil review ini dapat menambah wawasan perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien wanita dengan PTSD
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Isi Jurnal


Yoga merupakan suatu praktik perawatan kesehatan komplementer
yang banyak diterapkan saat ini. Amerika Serikat merupakan salah satu negara
yang menerapkan praktik tersebut dan menjajikan untuk terapi pengobatan
masalah kesehatan mental dan fisik salah satunya yaitu gangguan stres pasca
trauma (PTSD). Dalam penelitian ini melibatkan sembilan wanita. Peserta
berusia antara 25 hingga 55 tahun dan sebagian besar berkulit putih n = 5),
diikuti oleh kulit hitam (n = 2), Asia (n = 1), dan Latina (n = 1). Partisipan
dalam penelitian ini dinilai menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang
sama dengan RCT primer. Para wanita ini memenuhi kriteria DSM-IV untuk
PTSD yang diukur dengan Skala PTSD Administered (CAPS). Metode yang
digunakan pada jurnal ini adalah sembilan partisipan yang terlibat dalam
penelitian akan dipantau sebanyak tujuh kali yaitu satu bulan sebelum terapi,
satu minggu sebelum terapi (Pre treatment), minggu ke-5 terapi, pertengahan
terapi, minggu ke 15, satu minggu setelah terapi (Post treatment), dan dua
bulan setelah terapi (Follow up). Program tersebut dilakukan setiap minggu
selama 20 minggu dengan praktik yoga di rumah selama 30 menit/minggu
yang disertai dengan follow up mengingatkan untuk mengikuti kelas yoga
sebagai pelengkap praktik yoga di rumah.
Hasil dari penelitian pada jurnal ini membutuhkan studi lebih lanjut,
implikasi praktisnya patut diperhatikan. Pertama, ini menyarankan potensi
penyebaran yang lebih luas, hemat biaya dari intervensi yang efektif dan
praktik masyarakat, karena Trauma Center Trauma-Sensitive Yoga (TCTSY)
dirancang untuk disampaikan dalam format kelompok oleh instruktur yoga
bersertifikat yang tidak diharuskan menjadi psikoterapis berlisensi, meskipun
mereka harus menerima banyak pelatihan dan pengawasan dalam teori trauma
dan perannya dalam TCTSY. Kedua, terapi ini menawarkan pendekatan
alternatif yang menarik untuk resolusi gejala dari korban trauma kronis yang
tidak nyaman, tidak mau terlibat, atau telah merespons secara negatif terhadap
intervensi fokus trauma lainnya. Sebagai kesimpulan, meskipun ada
keterbatasan dalam komposisi sampel, penelitian ini telah menghasilkan data
yang menarik bahwa, jika direplikasi dalam desain studi yang lebih terkontrol,
dapat menantang asumsi lama tentang komponen penting dari intervensi yang
diperlukan dalam menyelesaikan gejala stres traumatis dan kondisi terkait.
Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa program yoga secara
signifikan menurunkan stres pasca trauma dan gejala disosiatif yang muncul
selanjutnya.
2.2 Analisis SWOT
No. Analisis SWOT Hasil
1. Strenght 1. Perlakuan yoga salah satu pengobatan yang
(Kekuatan) efektif untuk wanita dengan PTSD.
2. Yoga dapat membantu individu dengan PTSD
karena dengan pemusatan perhatian dapat
menyebabkan peningkatan regulasi emosi
3. Kelas yoga diajarkan oleh seorang guru yoga
terdafta dengan pelatihan yang khusus disertai
dengan konselor kesehatan mental berlisensi.
4. Penerapan yoga juga dilakukan di rumah
dengan memberikan DVD atau CD sebagai
panduan
5. Ruangan yoga dengan keamanan dan
predikatabilitas serta dengan fasilitas yang
lengkap
6. Keselamatan saat kelas yoga dibuat dengan
menyiapkan tikar, mengatur pencahayaan
yang cukup sehingga dapat membuat
kenyamanan
2. Weakness 1. Penelitian ini tidak memiliki ukuran sampel
(Kelemahan) yang mencukupi untuk mendokumentasikan
stastik yang signifikan.
2. Penelitian yang dilakukan pada bidang ini
relative baru, sehingga masih terdapat
beberapa kekurangan yang belum diselidiki
secara empiris
3. pelatihan yoga dalam jangka pendek tidak
menghasilkan peningkatan yang signifikan
karena pemberian jangka panjang lebih
bermanfaat dan lebih mudah untuk dilihat
hasilnya pada wanita dengan PTSD
3. Opportunities 1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan
(Peluang) bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terkait dengan
pengobatan yoga untuk wanita dengan PTSD.
2. Pengobatan melalui kelas yoga ini dapat
diterapkan di beberapa pelayanan kesehatan
untuk membantu tenaga kesehatan dalam
merawat pasien dengan PTSD
4. Threats 1. Jika klien yang diberikan pelatihan yoga tidak
(Ancaman) patuh dan sering tidak hadir dalam kelas, maka
hasil yang didapatkan akan maksimal dan
pelatihan yoga sulit untuk diterapkan
2. Dengan waktu yang cukup lama dalam
perawatan, dapat menyebabkan klien
meninggalkan kelas yoga di tengah-tengah
perawatan

2.3 Implikasi Keperawatan


Yoga merupakan terapi komplementer yang paling sering digunakan
dan telah terbukti efektif untuk pengobatan masalah kesehatan mental dan
fisik termasuk PTSD. Yoga adalah pendekatan holistik yang dianggap
membantu menyatukan tubuh, pikiran, dan jiwa (Cramer, Anheyer, Saha, &
Dobos. 2018). Berdasarkan jurnal yang berjudul “Assessing the Effectiveness
of Yoga as a Complementary and Alternative Treatment for Post-Traumatic
Stress Disorder: A Review and Synthesis”, oleh Sciarrino, DeLucia, O’Brien,
& McAdams tahun 2017 orang yang mengalami PTSD cenderung mengalami
perubahan kognitif pada saat trauma. Insiden tersebut adalah suatu encode dan
persepsi yang disandikan daripada ingatan yang dapat diartikulasikan dengan
tenang. Karena yoga adalah praktik yang menekankan hubungan pikiran-
tubuh, ada kemungkinan bahwa yoga dapat meningkatkan hubungan dengan
sensasi-sensasi tersebut dan dapat memfasilitasi asimilasi pengalaman
traumatis yang mengakibatkan pengurangan gejala intrusif. Latihan yoga juga
telah menunjukkan implikasi neurologis, seperti perubahan respons sistem
saraf simpatis dan parasimpatik, variabilitas detak jantung, penurunan kadar
kortisol, kekuatan otot, dan tekanan darah. Perubahan ini dapat mengurangi
reaktivitas terhadap stresor kecil yang sebelumnya mungkin telah dianggap
sebagai ancaman terhadap keselamatan individu dengan gejala PTSD.
Singkatnya, yoga berdampak positif untuk mereka yang mengalami PTSD.
Pemanfaatan yoga untuk pasien PTSD juga didukung oleh banyaknya
penelitian lain. Vanderkolk, et.al. (2014) menyebutkan bahwa Yoga secara
signifikan dapat mengurangi munculnya gejala-gejala negatif pada pasien
dengan PTSD. Yoga dapat meningkatkan fungsi tubuh pasien yang mengalami
trauma dengan membantu mereka mentolerir pengalaman fisik dan sensorik
terkait ketakutan dan ketidakberdayaan serta meningkatkan kesadaran
emosional. Mitchel, et.al. (2014) menyebutkan bahwa yoga menurunkan
gejala-gejala PTSD. Yoga juga dapat menurunkan gejala kecemasan dan
menurunkan kejadian pasien mengingat traumanya.
Durasi waktu latihan yoga juga dapat memengaruhi penurunan gejala
yang signifikan pada pasien PTSD. Durasi latihan yang lebih lama dapat
meningkatkan hasil kesehatan fisik dan mental yang lebih positif. Penelitian
lain pada pengobatan PTSD berbasis bukti (misalnya, PE) juga menyarankan
bahwa pengobatan jangka panjang lebih bermanfaat untuk beberapa individu
dengan PTSD. Oleh karena itu, perawat dapat memberikan edukasi kepada
pasien mengenai manfaat-manfaat yang dirasakan apabila melakukan yoga
dan memberikan edukasi terkait durasi waktu latihan yoga apabila dilakukan
di rumah. Selain itu, karena yoga merupakan suatu terapi non-farmakologis,
perawat dapat mengaplikasikan intervensi yoga langsung kepada pasien,
namun perawat tetap mengonsultasikan gerakan-gerakan yoga yang akan
diberikan kepada pasien PTSD bersama fisioterapist atau instruktur yoga.
Adanya intervensi yoga ini, diharapkan dapat mendukung intervensi
keperawatan lainnya dalam mengatasi masalah-masalah pasien dengan PTSD.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa ada penurunan klinis
yang signifikan tetapi sederhana dalam gejala PTSD untuk peserta yang
diacak dengan protokol yoga. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa peserta
mencapai pengurangan yang lebih besar dalam keparahan PTSD, termasuk
kehilangan diagnosis dan pencapaian status asimptomatik, serta penurunan
klinis yang signifikan dalam gejala disosiasi pada tingkat yang sebanding
dengan yang ditetapkan untuk psikoterapi terfokus trauma bonafid (misalnya ,
diukur dengan ukuran efek perawatan). Ukuran efek penelitian saat ini
sebanding dengan yang sering diamati dalam studi intervensi terfokus trauma
bonafide. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah TCTSY memainkan peran
yang lebih menonjol dalam pengobatan penderita trauma dewasa yang
menunjukkan PTSD yang resisten terhadap pengobatan kronis. Sementara
verifikasi kesimpulan yang masuk akal ini membutuhkan studi lebih lanjut,
implikasi praktisnya patut diperhatikan. Walaupun terdapat keterbatasan
dalam komposisi sampel, penelitian ini menunjukkan bahwa program yoga
untuk pasien dengan PTSD secara intensif dilakukan dalam durasi yang lebih
lama dan pemantauan praktik yoga di rumah memudahkan bagi pasien dengan
PTSD kronis.
3.2 Saran
Sebagai perawat tentunya kita harus memiliki keterampilan yang
komprehensif dalam menangani pasien. Perawat juga dituntut untuk memiliki
critical thinking yang tinggi dalam menangani pasien yang sangat kompleks
permasalahannya. Selain itu, tindakan yang diberikan dalam penatalaksanaan
harus sesuai dengan Evidence Based Practice yang terbaru.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2017). Clinical Practice Guideline for the


Treatment of PTSD. Diperoleh melalui https://www.apa.org/ptsd-
guideline/ptsd.pdf. Diakses pada 10 Oktober 2019.
Astuti, T. R., Amin, M. K., & Purborini, N. (2018). Manajemen Penanganan Pots
Traumatic Stress Disorder (PTSD) Berdasarkan Konsep dan Penelitian
Terkini. Magelang: UNIMMA PRESS
Cramer, H., Anheyer, D., Saha, F. J., & Dobos, G. (2018). Yoga for posttraumatic
stress disorder – a systematic review and meta-analysis. BMC Psychiatry,
18(1).
Mitchel, K., S., Dick, A., M., Dimartino, D.,M., Smith, B.,N., Niles, B., Koenen,
K.,C., & Street, A. (2014). A Pilot Study of a Randomised Controlled
Trial of Yoga as an Intervention for PTSD Symptoms in Women.
National Institute of Mental Health. (2019). Pots-Traumatic Stress Disorder.
Diperoleh melalui https://www.nimh.nih.gov/health/topics/post-traumatic-
stress-disorder-ptsd/index.shtml. Diakses pada 10 Oktober 2019.
Sciarrino, N. A., DeLucia, C., O’Brien, K., & McAdams, K. (2017). Assessing the
Effectiveness of Yoga as a Complementary and Alternative Treatment for
Post-Traumatic Stress Disorder: A Review and Synthesis. The Journal of
Alternative and Complementary Medicine, 23(10), 747–755.
Vanderkolk, B., A., Stone, L., West, J., Rhodes, A., Emerson, D., Suvak, M., &
Spinazzola, J. (2014). Yoga as an Adjuntive Treatment for Posttraumatic
Stress Disorder : A Randomized Controlled Trial.

Anda mungkin juga menyukai