Anda di halaman 1dari 22

REFRESHING 1

CHRONIC KIDNEY DISEASE (STAGE 5)

DISUSUN OLEH :

Fariz Indra Bagus Wicaksono (2015730043)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

PERIODE 17 FEBRUARI – 26 APRIL 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UMJ

2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT


karena berkat rahmat, nikmat, karunia serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
Refreshing yang berjudul “Chronic Kidney Disease Stage 5” sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di Rumah Sakit Islam
Jakarta Pondok Kopi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam di RSIJ Pondok Kopi yang telah memberikan masukan yang berguna dalam
proses penyusunan laporan kasus ini. Tidak lupa penulis menucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang turut serta membntu dalam upaya penyelesaian laporan Refreshing ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat. Semoga
Laporan Refreshing ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap pembacanya khususnya tentang
masalah Chronic Kidney Disease Stage 5.

Jakarta, April 2020

Fariz Indra Bagus Wicaksono


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................Error! Bookmark not defined.


PENYAKIT GINJAL KRONIK................................................................................................4
I. Definisi................................................................................................................................4
II. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik.......................................Error! Bookmark not defined.
III. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik................................Error! Bookmark not defined.
IV. Patofisiologi...................................................................Error! Bookmark not defined.
V. Etiologi............................................................................Error! Bookmark not defined.
VI. Pendekatan Diagnostik...................................................Error! Bookmark not defined.
VII. Penatalaksanaan............................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA...........................................................Error! Bookmark not defined.
PENYAKIT GINJAL KRONIK

I. Definisi

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu kondisi dan proses patofisiologis dengan
etiologi yang bermacam-macam, sehingga terjadinya penuruan fungsi ginjal yang progresif,
dimana ginjal tidak mampu melakukan fungsinya untuk membuang sampah sisa metabolisme
dalam tubuh, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa dalam tubuh dan
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal secara klinis ditandai dengan
menurunnya fungi ginjal yang ireversibel atau permanen, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, seperti transplantasi ginjal atau dialisis.
Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat
penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih
dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

II. Epidemiologi

Di Amerika Serikat sekitar 6% populasi mempunyai kerusakan ginjal kronis dengan


LFG >60 (stage 1 dan 2), dan berisiko penurunan progresif yang lebih jauh pada LFG.
Terdapat kurang lebih 4,5% dari populasi Amerika Serikat ada di stage 3 dan 4. Hipertensi
dan Diabetes merupakan penyebab utama dari CRD dan ESRD.

III. Etiologi

Dua penyebab utama dari PGK ini adalah Hipertensi dan diabetes, yang terjadi
pada dua dari tiga kasus. Diabetes terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan
kerusakan banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh darah,
saraf dan mata. Tekanan darah tinggi atau hipertensi, terjadi ketika tekanan darah terhadap
dinding pebuluh darah meningkat. Jika tidak terkendali, atau tidak terkontrol, tekanan darah
tinggi dapat menjadi penyebab utama serangan jantung, stroke dan PGK. PGK juga
menyebabkan tekanan darah tinggi.

Beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan PGK dengan prevalensi yang lebih kecil,
antara lain:

a) Glomerulonefritis (radang ginjal)

b) Pielonefritis (infeksi pada ginjal)

c) Penyakit ginjal polikistik

d) Kegagalan pembentukan ginjal normal pada bayi yang belum lahir ketika berkembang di
rahim

e) Lupus eritematosus sistemik (kondisi dari sistem kekebalan tubuh di mana tubuh
menyerang ginjal yang dianggap sebagai benda asing)

f) Jangka panjang penggunaan rutin obat-obatan seperti : obat litium dan NSAID, termasuk
aspirin dan ibuprofen.

g) Penyumbatan, misalnya karena batu ginjal atau penyakit prostat.

Menurut data PERNERI (Perkumpulan Nefrologi Indonesia) tahun 2011, penyebab


PGK pada pasien hemodialysis didapatkan sebagai berikut, glomerulopati primer 14%,
nefropati diabetika 27%, nefropati lupus 1%, penyakit ginjal hipertensi 34%, ginjal
polikistik 1%, nefropati asam urat 2%, nefropati obstruksi 8%, pielonefritis kronik 6%,
lain-lain 6%, tidak diketahui 1%.

IV. Faktor Risiko

PGK memiliki beberapa faktor risiko, dimana faktor risiko tersebut didefinisikan
sebagai suatu pemicu yang dapat memperbesar dan mempercepat proses dari suatu
penyakit. Kategori faktor risiko dari PGK menurut Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (KDOQI) antara lain sebagai berikut :

Definisi Contoh
Faktor Meningkatkan Usia yang lebih tua, riwayat
Kerentanan kerentanan terhadap keluarga
penyakit ginjal
Faktor Inisiasi Secara langsung Diabetes, tekanan darah
menginisiasi penyakit tinggi, penyakit autoimun,
ginjal infeksi sistemik, infeksi
saluran kemih, batu ginjal,
obstruki saluran kemih
bagian bawah, toksisitas
obat
Faktor Menyebabkan Kadar proteinuria tinggi,
Progresi memburuknya penyakit tekanan darah yang lebih
ginjal dan penurunan tinggi, kontrol glikemik
fungsi ginjal secara yang buruk pada pasien
cepat setelah inisiasi diabetes, merokok
penyakit ginjal

V. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Dasar klasifikasi penyakit ginjal kronik terbagi atas dua hal,yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi dasar derajat penyakit, dibuat
atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai
berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)

72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada wanita dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal Ginjal <15

Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi sebagai berikut :

Penyakit Tipe Mayor ( contoh )

Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2


diabetes

Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,obat,


diabetic neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik,batu,obstruksi,


keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada Rejeksi kronik


transplantasi
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

VI. Patofisiologi

Pada awalnya penyakit ginjal kronik tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pada gagal
ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal dan akhirnya mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (Surviving nephrons) untuk
kompensasi, proses ini diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Kemudian akan terjadi hiperfiltrasi akibat dari proses tersebut diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, yang pada akhirnya akan diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron
yang masih tersisa. Dan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi. Peningkatan aktivitas Renin-
Angiotensin-Aldosteron intrarenal juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sclerosis dan adanya progresifitas tersebut. Renin-Angiotensin-Aldosteron
teraktivasi yang diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-
β). Selain itu juga terdapat beberapa hal yang berperan dalam terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik yaitu albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.

Penyakit ginjal kronik pada stadium dini, akan terjadi hilangnya daya cadang ginjal
(renal reserve), dimana basal LFG masih normal atau meningkat. Kemudian secara
perlahan-lahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, ditandai dengan
adanya kadar urea dan kreatinin serum yang meningkat. Pasien masih belum merasakan
adanya keluhan (asimtomatik) sampai LFG sebesar 60%, tetapi pada LFG sebesar 30%
terjadi peningkatan urea dan kreatinin. Pada saat inilah pasien sudah mulai memperlihatkan
gejala dan tanda uremia seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
kalsium dan fosfor, pruritus, muntah, mual dan lain sebagainya. Pasien menjadi mudah
mengalami infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, dan infeksi saluran
cerna, dan dapat terjadi hipovolemia atau hypervolemia. Gangguan keseimbangan elektrolit
juga dapat terjadi antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi
komplikasi yang serius. Dan pasien memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisi atau transplantasi ginjal.

Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan


pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami
peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan
aliran darah glomerulus. Seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai siklus yang
berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD).
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, nefrotoksin dan
hipoperfusi ginjal, hipertensi sistemik, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan
dampak terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas. Dengan adanya
penurunan LFG maka akan terjadi :

A. Anemia

Penurunan produksi eritropoeitin disebabkan karena adanya gangguan pembentukan


eritropoietin di ginjal. Hal ini dapat menimbulkan anemia yang ditandai dengan
penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan
kadar hematokrit darah. Gagal ginjal kronis dapat menyebabkan gangguan mukosa
lambung (gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna.
Adanya toksik uremik pada Gagal Ginjal Kronis akan mempengaruhi masa paruh
dari eritrosit atau sel darah merah menjadi lebih pendek, pada keadaan normal 120
hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunyai efek berupa
inhibisi eritropoiesis.

B. Sesak Nafas
Ginjal akan mensekresikan hormone renin sebagai akibat dari ekskresi natrium yang
berlebihan, sehingga akan terjadi perubahan angiotensinogen menjadi angiotensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan Anti Diuretic Hormone
(ADH) sehingga menyebabkan retensi air dan NaCl, volume ekstrasel meningkat
(hipervolemia), volume cairan berlebihan, ventrikel kiri gagal memompa darah
menuju perifer, LVH, peningkatan tekanan pada atrium kiri, peningkatan tekanan
vena pulmonalis, peningkatan tekanan di kapiler paru, edema paru, dan sesak nafas.

C. Asidosis

Pada gagal ginjal kronik dapat terjadi Asidosis Metabolik, akibat terjadinya
penurunan kemampuan dari ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan
penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis
metabolik pada gagal ginjal kronik antara lain penurunan eksresi amonia yang
diakibatkan karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat,
kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh
penurunan pH darah. Apabila terjadi penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat
dikatakan sebagai asidosis metabolik. Asidosis metabolik dapat menyebabkan
gejala pada saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu
gejala khas akibat asidosis metabolik yaitu pernapasan kussmaul yang timbul untuk
meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis.

D. Hipertensi

Hipertensi pada gagal ginjal kronik disebabkan karena ada kerusakan pada unit
filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi
iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat
di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga
meningkatkan tekanan darah.

E. Hiperlipidemia

Penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh ginjal yang disebabkan karena
penurunan LFG menyebabkan hiperlipidemia.

F. Hiperurikemia

Asam urat terakumulasi di dalam darah (hiperurikemia) akibat dari gangguan


eksresi ginjal. Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan kristal
urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan nyeri.

G. Hiponatremia
Pengeluaran hormon peptida natriuretik menyebabkan peningkatan eksresi natrium
yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal
terus memburuk dan disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan
meningkat. Retensi air yang berlebihan pada hiponatremia akan menyebabkan dilusi
natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ini ditandai dengan gangguan
saluran pencernaan berupa perut kram, diare dan muntah.

H. Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal dapat mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
kadar fosfat yang berada dalam sirkulasi darah banyak. Jika kelarutannya fosfat
terlampaui, maka fosfat akan bergabung dengan Ca2+ untuk membentuk kalsium
fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi ini bisa mengendap di
sendi dan kulit (berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus).

I. Hipokalsemia
Hipokalsemia disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat.
Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan hormon paratiroid (PTH) dari
kelenjar paratiroid sehingga fosfat di mobilisasi dari tulang. Akibatnya terjadi
demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya Hormon paratiroid mampu membuat
konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya
diginjal. Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di
plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Pada insufisiensi
ginjal, eksresinya di ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di
plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi
Ca2+ di plasma akan tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan
hormon paratiroid tetap berlangsung. Jika terjadi perangsangan yang terus-menerus
ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih
banyak hormon paratiroid. Kelainan yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah
hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena
reseptor hormon paratiroid selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di
banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga hormon
paratiroid berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.
Pembentukan hormon kalsitriol berkurang pada gagal ginjal juga berperan dalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Hormon kalsitriol ini merangsang
absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan hormon
kalsitriol, maka terjadinya penurunan absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat
keadaan hipokalsemia.

J. Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat, maka ion
hidrogen akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga mengakibatkan terjadinya
kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Meningkatnya konsentrasi ion H+ di sel-sel
ginjal akan menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan
sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia.
Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot
jantung, rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan
hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan
mental.

K. Proteinuria
Proteinuria digunakan sebagai penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan
ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Beberapa
mekanisme menyebabkan meningkatnya permeabilitas glomerulus dan memicu
terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran besar seperti
immunoglobulin dan albumin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada kondisi
proteinuria berat akan terjadi pengeluaran sebanyak 3,5 g protein atau lebih yang
disebu dengan sindrom nefrotik.

L. Uremia
Uremia adalah keadaan dimana kadar urea yang tinggi dalam darah. Penyebab dari
uremia pada gagal ginjal kronis adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal
sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea yang terdapat dalam urin
dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang akan
mempengaruhi fungsi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal.
Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia
dapat terlihat. gejala pada pasien berupa iritasi traktus gastrointestinal, gangguan
neurologis, nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan
pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral dapat terjadi, sehingga pada keadaan
ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma uremikum.

VII. Manifestasi Klinis


1. Kardiovaskular :

a. Hipertensi
b. Pembesaran vena leher
c. Pitting edema
d. Edema periorbital
e. Friction Rub Pericardial
2. Pulmonal :
a. Nafas Dangkal
b. Crackles
c. Kussmaul
d. Sputum Kental
3. Gastrointestinal :
a. Konstipasi/Diare
b. Anoreksi, Mual dan Muntah
c. Nafas berbau buah
d. Perdarahan saluran gastrointestinal
e. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
4. Muskuloskeletal :
a. Kehilangan kekuatan otot
b. Kram otot
5. Integumen :
a. Pruritus
b. Kulit kering
c. Ekimosis
d. Rambut tipis dan kasar
6. Reproduksi :
a. Amenore
b. Atrofi Testis
7. Sindrom Uremia :
a. Lemah Letargia
b. Anoreksia
c. Mual Muntah
d. Nokturia
e. Edema
f. Neuropati Perifer
g. Perikarditis
h. Kejang
i. Koma

VIII. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:


 Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes militus, hipertensi, dll).
 Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
 Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia , hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
 Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria.

Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi:


 Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque.
 Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan.
 Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
 USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,
adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
Indikasi USG:
- Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5 tahun).
- Adanya hematuria
- Ada gejala obstruksi saluran kencing
- Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari 20
tahun.
- GGK stadium 4 dan 5.
- Memerlukan biopsi ginjal.
 Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada indikasi.

Diagnosis GGK ditegakan jika Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) < 60 ml/min/1,73m 2
selama lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang
abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah
dan urin atau gambaran radiologi). Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan
belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy ginjal terutama pada
pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan
pada ginjal yang kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol,
infeksi traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid obesity.

IX. Penatalaksanaan

A. Kontrol tekanan darah


Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg (dengan
kisaran target 120 – 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90 mmHg. Pada orang dengan
GGK dan Diabetes dan juga orang dengan rasio albumin kreatinin 70 mg/mmol atau
lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1
gr/24jam atau lebih), diwajibkan untuk menjaga tekanan darah sistolik < 130 mmHg
(dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80 mmHg.

B. Pemilihan agen antihipertensi

Pemberian ACEI dan ARB diberikan kepada :

Pada Gagal ginjal kronis dengan diabetes dan rasio albumin dan creatinin lebih
dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya
hipertensi atau stadium gagal ginjal kronis.
Perbedaan kedua batas rasio albumin dan creatinin berbeda diberikan di sini untuk
memulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang dengan CKD dan proteinuria.
Potensi manfaat ACE inhibitor ini meningkat jika seseorang juga memiliki diabetes
dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah diterapkan.
Gagal Ginjal Kronik pada non-diabetik dengan hipertensi dan rasio albumin dan
cratinin 30 mg/mmol atau lebih (kira-kira proteinuria 0,5 gr/24jam atau lebih). Gagal
Ginjal Kronik pada non-diabetik dan rasio albumin dan creatinin 70 mg/mmol atau
lebih (kira-kira ekuivalen proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi
atau penyakit kardivaskular. Gagal Ginjal Kronik pada non-diabetik dengan
hipertensi dan rasio albumin creatinin < 30 mg/mmol (kira-kira ekuivalen dengan
PCR < 50 mg/mmol, atau proteinuria < 0,5 gr/24jam.

Saat menggunakan ACE Inhibitor/Angiotensin Reseptor Blockers, upayakan


agar mencapai dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum
menambahkan terapi 2nd line (spironolakton).
Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/Angiotensin
Reseptor Blockers yaitu orang dengan Gagal Ginjal Kronis, harus mengetahui
konsentrasi serum potassium dan perkiraan Laju Filtrasi Glomerulus sebelum
memulai terapi ACE Inhibitor/Angiotensin Reseptor Blockers. Pemeriksaan dapat
diulang setelah 1 sampai 2 minggu penggunaan obat, dan setelah peningkatan dosis.
Terapi ACE Inhibitor/Angiotensin Reseptor Blockers tidak boleh dilakukan jika
konsentrasi serum potassium meningkat lebih > 5,0 mmol/L. Jika serum potassium
meningkat > 6,0mmol/L dan penggunaan obat yang dapat menyebabkan
hiperkalemia sudah tidak digunakan, segera hentikan terapi tersebut. Bila batas laju
filtrasi glomerulus sebelum terapi kurang dari 25% dan terjadi peningkatan kadar
kreatinin plasma dari batas awal kurang dari 30%, maka dosis terapi tidak boleh
ditingkatkan.

C. Pemberian Statin dan Antiplatelet

Terapi statin dapat digunakan untuk mencegah penyakit kardiovaskular. Pada orang
dengan Gagal Ginjal Kronis penggunaannya tidak berbeda. Pemberian statin pada
Gagal Ginjal Kronis merupakan pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular,
terlepas dari batas nilai lipid-nya. Digunakannya antiplatelet pada orang dengan
Gagal Ginjal Kronik merupakan pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular.
Gagal Ginjal Kronik tidak menjadi kontraindikasi dari enggunaan aspirin dosis
rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor
pada orang dengan Gagal Ginjal Kronik yang diberikan antiplatelet multipel.

D. Komplikasi Lainnya
Pemeriksaan kadar fosfat, kalsium, Paratiroid Hormon (PTH) dan level vitamin D
pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 1,2,3A/B tidak direkomendasikan.
Pemerikssan tersebut lebih direkomendasikan pada pasien dengan gagal ginjal
kronik stadium 4 dan 5 dimana nilai Laju Filtrasi Glomerulus < 30ml/min/1,73m 2.
Pemberian bisphosphonate untuk mecegah dan mengobati osteoporosis pada stadium
1,2,3A/B. Pemeberian suplemen vitamin D yaitu cholacalciferol dan ergocalciferol
pada gagl ginjal stadium 1,2,3A/B. Sedangkan pada stadium 4 dan 5 diberikan
Alfacalcidol dan Calcitrol.
E. Anemia
Saat kadar Hb < 11gr/dl lakukan penanganan anemia pada gagal ginjal kronis. Untuk
menentukan apakah anemia tersebut disebabkan oleh GGK atau bukan dengan
memperlihatkan nilai LFG < 60 ml/min/1,73m 2. Anemia defiseiensi besi bisa terjadi
pada pasien dengan GGK stadium 5 dengan nilai kadar ferritin < 100 mikrogram/L
dan GGK Stadium 3 dan 4 dengan kadar ferritin < 100 mikrogram/L.

Penaganan Anemia :
1. Suplementasi Eritropietin
Terapi yang sangat efektif menggunakan recombinant human eritropoietin. Hal
ini memungkinkan kadar Hb normal dapat dipertahankan setelah tranfusi darah
berakhir pada pasien nefroktomi bilateral yang membutuhkan tranfusi. Suplemen
ini diberikan secara intravena sebanyak tiga kali seminggu setelah selesai dialisa.
Efek samping utamanya adalah tekanan darah yang meningkat dan
membutuhkan dosis heparin yang tinggi untuk mencegah terjadinya pembekuan
pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis. Peningkatan viskositas darah dan
peningkatan tonus vaskular perifer berperan dalam meningkatnya tekanan darah.
Thrombosis dikaitkan dengan dengan tingginya viskositas darah. Hal ini
mengindikasikan bahwa pemberian recombinant human eritropoietin harus
digunakan secara hati-hati. Indikasi dilakukannya pemberian eritropoietin adalah
(EPO) bila Hb < 10g/dL dan Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan. Adapun
syarat pemberian EPO yaitu kadar ferritin serum > 10mcg/L dan saturasi
transferrin > 20%. Sedangkan kontraindikasi nya yaitu pada pasien dengan
hipersensitivitas pada EPO. Hal yang perlu diperhatikan yaitu pada kasus
hipertensi tidak terkontrol, cairan overload dan hiperkoagulasi. Pemberian
Eritropoietin ini dibagi menjadi dua fase yaitu koreksi dan pemeliharaan. Untuk
fase koreksi bertujuan untuk mengoreksi target kadar Hb/Ht tercapai. Pada
umunya fase koreksi ini diberikan 2000-4000 IU secara subkutan, sebanyak dua
sampai tiga kali dalam seminggu yang dilakukan selama 4 minggu. Targetnya
Hb dapat naik 1-2g/dl dan Ht naik 2-4%. Lakukan terus pemantauan terhadap
nilai Hb dan Ht setiap empat minggu. Bila target tersebut tercapai maka dosis
EPO dipertahankan sehingga target Hb bisa mencapai > 10mg/dL. Jika tidak
respon maka dosis dapat ditingkatkan hingga 50%. Bila setelah ditingkatkan
dosis tersebut Hb > 2,5g/dL maka turunkan dosis sebanyak 25%, dan tetap
lakukan pemantauan pada kadar Fe. Pada fase pemeliharaan dilkukan bila Hb
sudah mencapai target yaitu > 12 g/dL. Fase ini diberikan dosis 1 atau 2 kali
2000 IU/ Minggu. Tetap lakukan pemantauan pada kadar Hb dan Ht setiap bulan
dan kadar Fe setiap 3 bulan. Bila pada terapi fase pemeliharaan ini Hb mencapai
> 12g/dL maka dosis EPO dapat diturunkan menjadi 25%. Efek samping
pemberian eritropietin ini diantaranya adalah hipertensi dan Kejang. Harus
diperhatikan juga penyebab apabila respon EPO ini tidak adekuat, kemungkinan
penyebabnya antara lain Defisiensi besi absolut dan fungsional, infeksi,
malnutrisi, dialysis yang tidak adekuat, dan penggunaan obat-obat ACE Inhibitor
dosis tinggi. Maka dari itu agar pemberian eritropoietin ini optimal dapat
diberikan juga terapi penunjang yaitu Asam folat 5mg/hari, vitamin B6 100-
150mg, vitamin b 12 0,25mg/bulan, vitamin C 300 mg setelah dilakukan dialisa,
vitamin D, vitamin E 1200 IU dan penggunaan preparat androgen 2-3x/minggu.
2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialysis
Pada dasarnya terapi ini dapat mempengaruhi pathogenesis anemia pada gagal
ginjal kronik, dimana prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan
menghambatnya proses eritropoiesis dan sebabkan hemolysis. Continous
ambulatory peritoneal dyalisis (CAPD), dikatakan memiliki efek terapi yang
lebih baik dibandingan dengan hemodialisa yang standar, dikarenakan
pembuangan jangkauan molekulnya lebih besar dibandingkan dengan
hemodialisa standar yang hanya mengeluarkan selulosa kecil.
3. Pembuangan aluminium dengan deferoxamine yang berlebih
Terapi utamanya yaitu dengan memberikan chelator defroxamin IV selama 1
sampai 2 jam saat dilakukan hemodialisa atau CAPD. Range dosis yang
digunakan yaitu 0,5-2,0gr sebanyak 3 kali seminggu. Pemberian terapi ini
memliki efek samping utama hipotensi, toksisitas ocular, kejang dan infeksi yang
terutama disebabkan oleh jamur. Efek dari pemberian defroxamine ini dapat
merubah nilai kadar nilai Hb, ferritin serum, MCV,MCH, dan konsentrasi
aluminium secara signifikan. Setelah beberapa bulan terapi, pasien ditemukan
dengan kadar MCV dan MCH pada nilai normal atau bahkan diatas normal,
ditemukan juga nilai Hb yang meningka, ferritin dan aluminum yang menurun.
4. Koreksi hipertiroidism
Pengobatan yang dapat dilakukan pada supresi kelenjar paratiroid yaitu dengan
memberikan 1,25 Vitamin D3 yang beruhubungan dengan risiko anemia.
5. Terapi Androgen
Terapi ini dikatakan dapat meningkatkan produksi eritropoietin dan juga
meningkatkan sensitivitas proliferasi eritropoietin stem cell. Testosterone ester
derivate 17-metil androstanes dan komponen 19 nortestosteron telah dikatakan
sukses pada terapi anemia pada gagal ginjal. Respon terapi ini dapat dibilang
lambat karena efeknya terbukti setelah 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat
diberikan dengan dosis 100-200mg/ minggu. Komponen 19 nortestosteron
memiliki efek hirsutisme yang lebih aman untuk wanita. Fluoksimestrone dapat
menyebabkan efek samping priapismus pada pria. Terapi androgen
menyebabkan timbulnya gejala prostatism dan mempercepat pertumbuhan ca
prostat.
6. Suplementasi besi
Pengikat fosfat mempengaruhi proses absorpsi besi pada saluran gastrointestinal
yaitu di usus. Terapi ini dilakukan dengan irondextran atau interferon. Terapi IV
lebih disarankan disbanding injeksi intramuscular karena dianggap lebih aman.
Efek syok anafilaktik pemberian terapi ini hanya berkisar pada 1 % pasien.
Terapi ini dilakukan yang pertama dites 5 menit pertama dengan dosis kecil
untuk mengurangi efek samping. Jumlah yang dibutuhkan untuk penyimpanan
besi yaitu 500mg setiap 5-10 menit/hari atau dosis tunggal diberikan larutan
normal salin 5% irondextran. Tujuan terapi ini adalah untuk menjaga kecukupan
besi untuk eritrpoesis. Target terapi ini kadar ferritin serum > 100mcg/L-
<500mcg/L dan saturasi transferinnya >20% sampai 40%. Dosis yang digunakan
untuk IV iron Sucrosa yaitu 100mg/minggu, iron dextran 50mg/minggu dan iron
gluconate 31,25-125mg/minggu. Untuk dosis secara IM diberikan iron dextran
sebanyak 80mg/2 minggu. Secara oral diberikan 200 mg besi elemental
sebanyak 2-3 kali/hari. Suplementasi besi dapat distop selaama 3 bulan jika
kadar serum ferritin > 500mcg/L dan saturasi transferrin > 40%. Jika setelah 3
bulan distop dan kadar ferritin < 500mcg/L dan saturasi transferrin < 40% dosis
suplementasi besi dapat diturunkan menjadi setengah atau sepertiga dosis
sebelumnya.
7. Tranfusi Darah
Indikasi dilakukanya tranfusi antara lain terdapat perdarahan akut dan gejala
hemodinamik, tidak dimungkinkannya pemberian EPO dan Hb < 7g/dL, Hb <
8g/dL dengan gangguan hemodinamik, pasien dengan defisisensi besi sementara
preparat besi belum tersedia. Target Hb dari pemberian tranfusi darah adalah 7-
9g/dL, tranfusi ini diberikan secara bertahap untuk mencegah overhidrasi. Pada
kelompok pasien yang direncanakan transplantasi ginjal, oemberian tranfusi ini
sebaiknya dihindari.
8. Nutrisi
Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan energy dan nutrient sekaligus
menunda percepatan penurunan dari fungsi ginjal. Dianjurkan kecukupan energy
> 35kkal/kgBB/hari untuk usia dibawah 60 tahun, sedangkan untuk usia diatas
60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Kalori pada pasien harus diperhatikan
untuk mencegah terjadinya proses katabolic. Perbandingan kalori dari lemah dan
karbohidrat yaitu sebesar 25% : 75. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat
adalah 5g/kgBB, sedangkan lemak diberikan maksimal sebanyak 1g/kgBB
dalam bentuk fat emulsion 10-20% sebanyak 500ml. Berikan pasien diet rendah
garam, dalam bentuk protein sebesar 0,6-0,75g/kgBB/hari. Diet rendah protein
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penumpukan nitrogen dan ion
inorganic yang dapat menyebabkan uremia.

LFG Protein Fosfor


(ml/mi (g/kgBB/hari) (g/kg/hari)
n)
> 60 Tidak perlu restriksi Tidak perlu
protein restriksi
25 – 60 0,6 g/kgBB/hari ≤ 10
termasuk
≥0,35 g/kgBB/hari
protein
dengan nilai
biologik tinggi.
5 – 25 0,6 g/kgBB/hari ≤ 10
termasuk
≥0,35 g/kgBB/hari
protein
≤9
dengan nilai
biologic tinggi. 0,3
g/kgBB/hari
dengan
suplementasi
asam amino
esensial ketoanalog.
< 60 0,8 g/kgBB/hari (+1 ≤ 12
(sindrom g protein/ g
nefrotik)
proteinuria) arau 0,3 ≤9
g/kgBB/hari
dengan
suplementasi asam
amino
esens
ial
atau
Formula Kopple :
 Air : 1000-2000ml/hari
 Glukosa : 500-600g/hari
 Asam amino : 35-45 g/hari
 Kalori : 35-50 kkal/kgBB/hari
Formula Terakoa :
 50% glukosa : 1000ml
 10% Nacl : 40 ml
 K Asparate : 1 mEq
 Mg Sulfate : 6 mEq
 K2PO4 : 1 mEq
 Kidmin : 400-600ml
 Lipid : 400ml

Kidmin diberikan sebanyak 200ml sekali sehari selama 2 jam saat partial
parenteral nutrisi. Sedangkan 400ml diberikan melalui vena sentral pada total
parenteral nutrisi.

X. Prognosis
Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
sehingga prognosis untuk jangka panjangnya buruk. Penatalaksanaan yang dilakukan
hanya bertujuan untuk mencegah progesivitas dari penyakit Gagal Ginjal Kronik itu
sendiri. Selain itu, biasanya Gagal Ginjal Kronik sering terjadi tanpa disadari oleh
pasien sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga
penanganannya dari penyakit ini seringkali terlambat.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai