Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

CHRONIK KIDNEY DESEASE

Disusun Oleh:

WULAN ALFIYANTI

17049

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN

AKADEMI KEPERAWATAN KERIS HUSADA JAKARTA

TAHUN 2019/2020
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Chronik Kidney Desease biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal
lanjut secara bertahap. Penyebab termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis dan
penyakit vaskular , penyakit agen nefrotik dan penyakit endokrin (Marlynn E.
Doenges. 2000)

Chronik Kidney Desease adalah : gangguan fungsi renal yang


progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
memperhatikan metabolisme keseimbangan cairan dan elektrolit
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth. 2002).

Chronik Kidney Desease adalah : kerusakan ginjal progresif yang


berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen
lainnya yang berada dalam darah serta komplikasinya jika tidak
dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal). (Nursalam. 2006)

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan
laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang
dan berat (Mansjoer, 2007).

2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Ginjal
1) Makroskopis
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium
(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar
(transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor)
di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat
kelenjaradrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di
sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran
panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan
tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh
tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.
Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke
dalam. Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar
dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari
pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah
dibandingkan ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepatis dexter yang
besar. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak
yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak
perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam guncangan.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap,
dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang
dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut
pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari
lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial
ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah,
pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang
menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga
kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua
atau tiga kaliks renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga
yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian
korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul
nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris
bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus
pengumpul (Price,1995 : 773).

2) Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2
juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap
nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus
kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang
mengosongkan diri keduktus pengumpul. (Price, 1995) Unit nephron
dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan
disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan
disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang
berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui
pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran
Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama
elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul
dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan
dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan
kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.

3) Vaskularisasi Ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi
vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena
kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis
masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris
yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata
kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam
korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen
glomerulus (Price, 1995). Glomeruli bersatu membentuk arteriola
aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem portal kapiler yang
mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir
melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya
menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena
renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh
sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-25%
curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal
berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus
aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol
afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya
sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian
mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan
( Price, 1995).
4) Persarafan pada ginjal
Menurut Price (1995) , Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis
(vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk
kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah
yang masuk ke ginjal

b. Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak
(sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah menyaring/
membersihkan darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700
liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit
(170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga
akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
1) Fungsi Ginjal adalah
- memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau
racun,
- mempertahankan keseimbangan cairan tubuh,
- mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan
tubuh, dan
- mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum,
kreatinin dan amoniak.
- Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.
- Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
- Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel
darah merah.
2) Tahap Pembentukan Urine :
- Filtrasi Glomerular

Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,


seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat
impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel
terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino,
glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood
Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200
ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit
dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan
laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan
masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal
dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan
kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus
mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh
tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan
osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding
kapiler.

- Reabsorpsi

Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non


elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah
reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah
difiltrasi.

3. Klasifikasi
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD). Pada
dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure (CRF), namun
pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan
klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan
klien datang/ merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep
CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT
(clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF
(cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan
derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
a. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
• Kreatinin serum dan kadar BUN normal
• Asimptomatik
• Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR.
b. Stadium II : Insufisiensi ginjal
• Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein diet)
• Kadar kreatinin serum meningkat
• Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1. Ringan yaitu 40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang yaitu 15% - 40% fungsi ginjal normal
3. Kondisi berat yaitu 2% - 20% fungsi ginjal normal

c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia

• Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat


• Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan elektrolit
• Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010

2. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan


pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus) :
a. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten
dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
b. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara
60 -89 mL/menit/1,73 m2)
c. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
d. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
e. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau
gagal ginjal terminal.

4. Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron
ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.
1) Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2) Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3) Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
4) Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5) Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
6) Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7) Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8) Nefropati obstruktif
- Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
- Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

5. Manifestasi Klinis
1) Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
a. Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna,
gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum
meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
b. Defisiensi hormone eritropoetin Ginjal sumber ESF (Eritropoetic
Stimulating Factor) → def. H eritropoetin → Depresi sumsum tulang →
sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses
hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.

2) Kelainan Saluran cerna


a. Mual, muntah, hicthcup dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia
(NH3) → iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
b. Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak
mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
c. Pankreatitis berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
3) Kelainan mata
4) Kardiovaskuler :
a. Hipertensi
b. Pitting edema
c. Edema periorbital
d. Pembesaran vena leher
e. Friction Rub Pericardial
5) Kelainan kulit
a. Gatal : Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
• Toksik uremia yang kurang terdialisis
• Peningkatan kadar kalium phosphor
• Alergi bahan-bahan dalam proses HD
b. Kering bersisik : Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan
kristal urea di bawah kulit.
c. Kulit mudah memar
d. Kulit kering dan bersisik
e. rambut tipis dan kasar
6) Neuropsikiatri
7) Kelainan selaput serosa
8) Neurologi :
a Kelemahan dan keletihan
b. Konfusi
c. Disorientasi
d. Kejang
e. Kelemahan pada tungkai
f. rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan Perilaku
h. Kardiomegali.
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal yang
serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian perubahan
tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR menurun 5-
10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien menderita apa
yang disebut Sindrom Uremik
Terdapat dua kelompok gejala klinis :
• Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi; kelainan volume cairan dan
elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen dan metabolit
lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal.
• Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya
6. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat
disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–
nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang
bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya
karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas
dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah
hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah,
akan semakin berat.
1) Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan
jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens
substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-
jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus
(akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan menurunkan
dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah
(BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang
paling sensitif dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan
oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC),
dan medikasi seperti steroid.
2) Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin
secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai
terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi.
Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat
terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan kerja sama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kwehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang
semakin memperburuk status uremik.
3) Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic
seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam
(H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾) dan
mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan ekskresi fosfat dan
asam organic lain juga terjadi
4) Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari
saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun
dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.
5) Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh
memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat,
maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus
ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya penurunan
kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan
sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal ginjal
tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi
parathormon dan mengakibatkan perubahan pada tulang dan pebyakit
tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-
dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun.
6) Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium,
fosfat dan keseimbangan parathormon.

7. Pathway
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
 Ureum kreatinin.
 Asam urat serum.
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
 Analisis urin rutin, Mikrobiologi urin, Kimia darah, Elektrolit,
Imunodiagnosis.
c. Identifikasi perjalanan penyakit
 Progresifitas penurunan fungsi ginjal
 Ureum kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT).
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:

Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau 0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau 0,85 - 1,23 mL/detik/m2
 Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
- Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
- Endokrin : PTH dan T3,T4
- Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk
ginjal, misalnya: infark miokard.
2) Diagnostik
a. Etiologi CKD dan terminal
- Foto polos abdomen, USG, Nefrotogram, Pielografi retrograde,
Pielografi antegrade, Mictuating Cysto Urography (MCU).
b. Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
- RetRogram, USG.

9. Penatalaksanaan Medis
1) Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal
Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai
tahun.
Prinsip terapi konservatif :
 Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
- Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
- Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan
ekstraseluler dan hipotensi.
- Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
- Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
- Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
- Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
- Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa
indikasi medis yang kuat.

 Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat


- Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
- Kendalikan terapi ISK.
- Diet protein yang proporsional.
- Kendalikan hiperfosfatemia.
- Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
- Terapi hiperfosfatemia.
- Terapi keadaan asidosis metabolik.
- Kendalikan keadaan hiperglikemia.
10. Komplikasi
a. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan
masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan drah
selama hemodialisa
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
f. Asidosis metabolic
g. Osteodistropi ginjal
h. Sepsis
i. neuropati perifer
j. hiperuremia
B. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan
kegawatdaruratan yang diberikan pada klien oleh perawat yang berkompeten
untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat. Asuhan
keperawatan diberikan untuk mengatasi masalah secara bertahap maupun mendadak.
Asuhan keperawatan di ruang gawat darurat seringkali dipengaruhi oleh karakteristik
ruang gawat darurat itu sendiri, sehingga dapat menimbulkan asuhan
keperawatan spesifik yang sesuai dengan keadaan ruangan.

1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera
masalahaktual/potensial dari kondisi life threatening (berdampak terhadap
kemampuan pasien untuk mempertahankan hidup). Pengkajian tetap
berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut
memungkinkan. Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
A = Airway dengan kontrol servikal dengan mengkaji :
- Bersihan jalan nafas
- Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas-
- Distress pernafasan
- Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
B = Breathing dan ventilasi dengan mengkaji :
- Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
- Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
- Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
C = Circulation dengan mengkaji
- Denyut nadi karotis
- Tekanan darah
- Warna kulit, kelembaban kulit
- Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
D = Disability dengan mengkaji :
- Tingkat kesadaran
- Gerakan ekstremitas
- GCS atau pada anak tentukan respon : A = Alert, V = Verbal,
P = Pain/respon nyeri U = Unresponsive
- Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya.
E = Eksposure dengan mengkaji :
- Tanda-tanda trauma yang ada

b. Pengkajian Sekunder (secondary survey)


Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan pada
pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian obyektif
dan subyektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan pengkajian dari
kepala sampai kaki.
1) Pengkajian Riwayat Penyakit :
 Keluhan utama dan alasan pasien datang ke rumah sakit
 Lamanya waktu kejadian samapai dengan dibawa ke rumah sakit
 Tipe cedera, posisi saat cedera dan lokasi cedera
 Gambaran mekanisme cedera dan penyakit yang ada (nyeri)
 Waktu makan terakhir
 Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit sekarang,
imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien.

Metode pengkajian yang sering dipakai untuk mengkaji riwayat klien :

S : (signs and symptoms) yaitu tanda dan gejala yang di observasi dan
dirasakan klien

A : (Allergis) yaitu alergi yang dimiliki klien

M : (medications) yaitu tanyakan obat yang telah diminum klien untuk


mengatasi keluhan

P : (pertinent past medical hystori) yaitu riwayat penyakit yang di derita


klien

L : (last oral intakesolid or liquid) yaitu makan/minum terakhir, jenis


makanan
E : (event leading toinjury or illnes) yaitu pencetus/kejadian penyebab
keluhan

c. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala : edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas urine
2) Dada : pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
3) Perut : adanya edema anasarka (ascites)
4) Ekstremitas : edema pada tungkai, spatisitas otot
5) Kulit : sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
6) Pemeriksaan diagnostic
- Pemeriksaan Urine
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam atau urine tak ada
(anuria)
b) Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus bakteri, lemah, partikel koloid, fosfat atau urat.
c) Berat jenis : Kurang dari 1,05 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
d) Osmolaritas : Kurang dari 300 mosm / kg menunjukkan kerusakan
tubular dan rasio urine serum sering 1 : 1.
e) Klirens Kreatinin : Mungkin agak menurun.stadium satu CCT(40-
70ml/menit), stadium kedua, CCT (20-40ml/menit) dan stadium
ketiga, CCT(5 ml/menit)
f) Natrium : Lebih besar dari 40 g/dl, karena ginjal tidak mampu
mereabsorpsi natrium. (135-145 g/dL)

2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran kapiler-alveolar
2) Penurunan cardiac output b.d perubahan preload, afterload dan sepsis
3) Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, pneumonitis,
pericarditis
4) Kelebihan volume cairan b.d mekanisme pengaturan melemah
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan
yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
6) Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialysis.

3. Rencana Intervensi
DIAGNOSA
NO TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1 Gangguan pertukaran NOC : NIC :
gas b/d kongesti paru,  Respiratory Status :
Airway Management
hipertensi pulmonal, Gas exchange
penurunan perifer  Respiratory Status :
 Buka jalan nafas, guanakan teknik
yang mengakibatkan ventilation
chin lift atau jaw thrust bila perlu
asidosis laktat dan  Vital Sign Status
 Posisikan pasien untuk
penurunan curah Kriteria Hasil :
memaksimalkan ventilasi
jantung.  Mendemonstrasikan
 Identifikasi pasien perlunya
peningkatan
pemasangan alat jalan nafas
Definisi : Kelebihan ventilasi dan
buatan
atau kekurangan oksigenasi yang
 Pasang mayo bila perlu
dalam oksigenasi dan adekuat
 Lakukan fisioterapi dada jika perlu
atau pengeluaran  Memelihara
 Keluarkan sekret dengan batuk
karbondioksida di kebersihan paru paru
atau suction
dalam membran dan bebas dari tanda
 Auskultasi suara nafas, catat
kapiler alveoli tanda distress
adanya suara tambahan
pernafasan
 Lakukan suction pada mayo
Batasan karakteristik :  Mendemonstrasikan
 Berika bronkodilator bial perlu
o Gangguan batuk efektif dan
 Barikan pelembab udara
penglihatan suara nafas yang
 Atur intake untuk cairan
o Penurunan CO2 bersih, tidak ada
mengoptimalkan keseimbangan.
o Takikardi sianosis dan
 Monitor respirasi dan status O2
o Hiperkapnia dyspneu (mampu

o Keletihan mengeluarkan
sputum, mampu Respiratory Monitoring
o somnolen
bernafas dengan
o Iritabilitas
 Monitor rata – rata, kedalaman,
mudah, tidak ada
o Hypoxia irama dan usaha respirasi
pursed lips)
o kebingungan  Catat pergerakan dada,amati
 Tanda tanda vital
o Dyspnoe kesimetrisan, penggunaan otot
dalam rentang
o nasal faring tambahan, retraksi otot
normal
o AGD Normal supraclavicular dan intercostal
o sianosis  Monitor suara nafas, seperti

o warna kulit dengkur

abnormal (pucat,  Monitor pola nafas : bradipena,

kehitaman) takipenia, kussmaul,

o Hipoksemia hiperventilasi, cheyne stokes, biot


 Catat lokasi trakea
o hiperkarbia
 Monitor kelelahan otot diagfragma
o sakit kepala
DAFTAR PUSTAKA

 Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC
 Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
 Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Edisi 3. Jakarta : EGC
 Herdman T.H, dkk. 2009. Nanda Internasional Edisi Bahasa Indonesia,
Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
 Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
 Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat Plus Contoh Askep dengan
pendekatan Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika
 Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
 Price, S.A.,dkk,. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Jakarta: EGC
 Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni
 Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
 Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika
 Wilkinson J M. 2006. Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai