Pandangan budaya kampung Wolomude tentang kematian dilihat dari 2 segi, yaitu
kematian dikarenakan kecelakaan dan kematian karena ajalnya.
Jenazah yang dibawah dengan ambulans dari rumah sakit sampai di depan
rumah, pada saat peti jenazah dikeluarkan dari mobil, ketua adat membawa daun huler
(daun adat) dan air berkat dipercikan kepada jenazah dengan kata-kata “au ma hidi e
watu, ai batu ikut no plapar te’e goit du ma meha mora kena, beli ami mora epan,
ganu ei te ma bano tali lopa dagir wain, karang lopa kaet alan” yang artinya “kamu
pergi tersandung di batu, tertindis kayu, yang jahat kamu sendiri yang mengalami atau
bawa pergi, tinggalkan kami dengan hal yang baik. Kamu pergi jangan tersangkut di
tali dan ranting kayu jangan tersangkut di rambut”.
Untuk pakaian jenazah menurut adat setempat, pakaian milik orang meninggal
harus digunting yang menandakan bahwa itu milik atau kepunyaanya. Jika tidak
digunting maka di dunia mereka, mereka akan berebutan pakaian.
Pada saat penutupan jenazah (tokang peti) pihak atau orang yang diwasiatkan
terdiri dari keluarga terdekat atau masih ada hubungan darah. Pada saat penguburan
ada kata adat yang diungkapkan untuk penghapusan kesalahan dari jenazah tersebut
“ma sai, ma tahi blino lalan woer, ma bano nora lopa hulir ngaji beli ami moret ei
dunia laen” yang artinya “selamat jalan, air laut mengiringi kepergiannmu.
Pergilah,dan jangan lupa doakan kami yang masih berziarah di dunia ini”. Sebelum
peti ditutup ketua adat datang membawa kain putih satu meter dan higong roun
(dedaunan yang sudah menjadi tradisi dan biasa dipakai). Ketua adat menggunakan
higong roun membersihkan dari atas kepala sampai ujung kaki jenazah dan kedua adat
menyimpan kain tersebut di dalam kubur. Kain putih dan daun higong diartikan
sebagai sesuatu yang melambangkan kesucian dibersihkan dari semua kesalahannya
sehingga jenazah tersebut bisa pergi dengan tenang.
Acara 4 malam berkabung antara meninggal karena kecelakaan dan meninggal karena
ajalnya, upacara adatnya sama.
Pada 4 malam berkabung, menurut adat setempat dikarenakan kita lahir juga sampai 4
malam, tali pusar berpisah dari pusarnya. Sehingga kita berkabung juga sampai 4 malam.
Selama 4 malam sampah atau kotoran yang ada di dalam rumah maupun di sekitar rumah
duka dilarang untuk dibersihkan. Setelah 4 malam baru boleh dibersihkan. Bila dilanggar
maka akan terjadi musibah atau kejadian yang tidak diinginkan. Orang yang dipih untuk
berkabung juga dilarang untuk membersihkan diri sampai 4 malam.
Pada hari yang ke 4 pagi harinya sekitar jam 5 pagi, siram bunga dan mengibaskan
dong 3 kali di atas kubur, kemudian air yang ditaruh di tempurung kemudian air tersebut
digunakan untuk mencuci muka orang yang berkabung tersebut. Pada saat itu juga, dari
kedua belah pihak keluarga ada yang menaruh uang dan ada yang mengambil sarung yang
ada di atas kubur. Uang dan sarung tersebut dibawah keluar dari rumah duka dan diletakan di
rumah terdekat. Orang yang berkabung, dong yang mereka pakai untuk menutupi kepalanya
dibuka setengah sampai leher. Setelah itu, orang yang berkabung tersebut sudah boleh
melakukan aktivitas seperti biasa tetapi masih tetap memakai pakaian hitam.
Pada 40 malam biasanya terjadi acara penanaman salib dikubur ( pa’at krus ).
Sebelumnya salib tersebut sudah diberkati dan didoakan oleh imam. Acara tersebut dilakukan
pada pagi hari sekitar pukul 05.00 yang diawali dengan doa bersama dikubur, kemudian
orang yang menggunakan baju hitam selama 40 hari atau disebut juga ata pire mitan akan
membuka baju hitamnya dan meletakannya di atas salib. Kemudian dipotong seekor babi dan
hatinya dimasak dan disimpan sebagai sesajian atau disebut juga piong, sebagai cara
menghormati arwah leluhur. Setelah itu, ketua adat akan mengambil kelapa muda yang
dibelah di depan kubur dan belahannya harus sekali dan langsung terbelah dua secara lurus.
Kelapa tersebut disimpan dan ditanam di samping atas kubur. Hal tersebut bertujuan untuk
memberikan pendinginan atau penyejukan kepada arwah tersebut.