Disusun Oleh:
EKO PRIAJI
NIM. 041808791
2020
SESAT PIKIR
PENDAHULUAN
Logika sebagai sub pembahasan dalam ranah Filsafat Ilmu, merupakan suatu ilmu yang
mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Logika sebagai ilmu, mengacu
pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi
untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Bahkan, Jujun Suriasumantri menegaskan
bahwa dengan berpikir tersebutlah yang merupakan ciri hakikat manusia.
Dalam Logika (Mundiri, 2014), Ilmu logika adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau
metode-metode berpikir dengan benar, kata logika sudah ada semenjak filosof Yunani Kuno Socrates
dan Plato dan masa Aristoteles dicetuskan sebagai suatu ilmu yang tertuang dalam karya Aristoteles
Organon yang terdiri dari: Categorie (mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatiae (mengenai
keputusan-keputuasan), Analiticia Priora (tentang silogisme), Analiticia Posteriora (mengenai
pembuktian), Topika (mengenai berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan
kesalahan berpikir).
Namun, untuk melakukan kegiatan analitis, maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi
dengan materi pengetahuan yang berasal dari suatu sumber kebenaran. apabila bersumberkan pada
rasio atau fakta, maka kemudian dikenal sebagai paham rasionalisme. Sedangkan mereka yang
menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran,
maka mereka mengembangkan paham empirisme. Dengan demikian, dalam proses penalaran guna
mengambil kesimpulan atau keputusan, melalui suatu sistem logika dapatlah dirunut kebenarannya.
Sebagaimana telah Peneliti uraikan bahwa Logika sebagai ilmu merupakan hukum berpikir
berdasarkan kaidah-kaidah tertentu guna mencapai pola-pola pemikiran yang logis.
Kesalahan dalam menyusun bahan-bahan pengolahan logika dengan mengabaikan pola-pola
penalaran pada bidang disiplin tertentu, tentunya akan memunculkan suatu konklusi yang tidak sesuai
dengan kelaziman berpikir pada disiplin ilmu tertentu. Penyimpangan dari pola-pola pemikiran
tersebutlah yang kemudian dikenal dalam Logika, dengan istlah “kekacauan penalaran” atau
“kesesatan berpikir” atau “sesat pikir” atau ada juga yang menggunakan istilah “kekeliruan berpikir”
yang dalam istilah dalam Filsafat Ilmu disebut sebagai fallacy.
Sesat pikir atau fallacy (dalam istilah filsafat logika) adalah cara berpikir yang dipraktikkan
tanpa mengikuti kaidah-kaidah berpikir yang shahih. Kesesatan sudah dimulai sejak penerimaan fakta
(indrawi), asosiasi dengan memori (nalar) hingga pengambilan keputusan (inferensi). Bermacam
macam sebab terjadinya kesesatan berpikir ini, terutama karena ketidakmampuan bekerja menurut
suatu hokum yang telah dipelajari, atau dapat disebabkan oleh kelainan kognitif yang bersifat
organobiologik.
Menurut Lorens Bagus, sesat pikir mengakomodir enam hal yaitu : Pertama, menyatakan
bahwa suatu gagasan adalah sesat yang berarti fakta yang diacu oleh gagasan itu tidak ada. Kedua,
tidak sesuai dengan kebenaran. Ketiga, tidak mempunyai evidensi (fakta) yang baik. Keempat, berarti
salah. Kelima, basis dari dua perangkat nilai kebenaran yang menyangkal nilai kebenaran yang
ditentukan bagi suatu kenyataan. Dan keenam, lain dari kebenaran. Apabila melihat pengertian
pengertian sesat berpikir versi Lorens Bagus maka sesat berpikir terjadi dengan dua hal yaitu ketika
tidak terjadi kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan serta kedidakkonsistenan pada
penggunaan alur-alur formal dalam logika.
SUMBER-SUMBER KESESATAN
Sumber kesesatan dapat terjadi di dalam logika deduktif dan logika induktif. Di dalam logika
deduktif, kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut homonim,
yaitu kata yang memiliki banyak arti yang didalam logika disebut kesalahan semantik atau bahasa.
Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk menghindari ambiguitas dapat
dengan berbagai cara, misalnya menunjukkan langsung adanya kesesatan semantik dengan
mengemukakan konotasi sejati. Memilih kata-kata yang hanya arti tunggal, menggunakan wilayah
pengertian yang tepat, apakah konotasi subjektif yang berlaku khusus atau objektif yang bersifat
universal atau partikular. Dapat juga dengan konotasi subjektif yang berlaku khusus atau objektif yang
bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logikan induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi,
pengamatan yang tidak lengkapatau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau penggolongan karena
penggolongannya tidak lengkap atau tumpang tindih maupun masih campur aduk. Kesesatan juga
bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan dan bertentangan dengan fakta.
Kemudian yang berkaitan dengan sebab adalah post hoc propler hoc, anteseden yang tidak cukup,
dan analisis yang perbedaannya tidak cukup meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan itu
menjadikannya suatu kecenderungan homogen, masihj pula terdapat kebersamaan yang sifatnya
kebetulan. Kesesatan juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa, atau analogi yang keliru.
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Gramedia, 1984.
Khudzaifah Dimyati, Pemikiran Hukum. Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya
Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014.
Taufik Pasiak, Brain Management for Self Improvement, Bandung: Mizan, 2007.
Mundiri, Logika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014
Wagiman, Pengantar Studi Logika : Mempelajari, Memahami dan Mempraktekannya, Yogyakarta :
Pustaka Book Publisher, 2009
Surajiyo dkk, Dasar-Dasar Logika, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006
Sumaryono, E, Dasar-Dasar Logika, Yogyakarta : Kanisius, 1999