PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah penerapan prosedur Range Of Motion (ROM) pada lansia pasca stroke
dalam konteks keluarga?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk menggambarkan penerapan prosedur Range Of
Motion (ROM) pada lansia pasca stroke.
D. Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat atau keluarga terhadap terapi aktifitas ROM
pada lansia pasca stroke.
2. Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan dalam prosedur
Range Of Motion (ROM) pada lansia pasca stroke.
3. Bagi Peneliti
Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan, khususnya
studi kasus tentang pelaksanaan prosedur Range Of Motion (ROM) pada lansia pasca
stroke.
E. Sistematika Penulisan
Bab I terdiri dari pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan. Sedangkan pada bab II
terdiri dari tinjauan teori yang berisi konsep dasar stroke, konsep dasar dan prosedur
ROM , dan karakteristik keluarga pada pasien pasca stroke. Pada bab III terdiri dari
metodologi penulisan yang berisi desain penelitian, populasi dan sampel, instrument
pengumpulan data, metode pengumpulan data, pengolahan dan Analisa data serta etika
penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan influensi arteri ke otak disebut
sindroma neurovaskuler. Hal ini terutama berlaku bagi iskemik dan infark akibat
thrombosis dan embolus. Walaupun perdarhan di daerah vaskuler yang sama
mungkin menimbulkan efek yang berbeda karena dalam perluasannya ke arah
dalam, perdarahan dapat mengenai teritorial lebih dari satu pembuluh. Selain itu,
perdarahan menyebabkan pergeseran jaringan dan meningkatkan tekanan
intracranial (TIK). Gejala yang terjadi pada stroke hemoragik antara lain: nyeri
kepala berat, mual dan muntah, kehilangan kesadaran sementara atau persisten,
tekanan darah sangat tinggi (Giraldo, 2007).
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus stroke (Giraldo, 2007).
Pada stroke ini, lesi vaskuler intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi
perdarahan di subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Perdarahan
dapat secara cepat menimbulkan gejala neurogenic karena tekanan pada struktur-
struktur saraf di dalam tengkorak. Iskemik adalah konsekuensi sekunder dari
perdarhan baik yang spontan maupun traumatic.
Mekanisme terjadinya iskemia tersebut karena adanya tekanan pada pembuluh
darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak yang volumenya tetap dan
vasopasme reaktif pembuluh-pembuluh darah yang terpajan di dalam ruang antara
lapisan araknoid dan piameter meningen. Biasanya stroke hemoragik secara cepat
menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran (Price & Wilson,
2006).
2. Patofisilogi
a. Stroke Iskemik
Iskemik pada otak akan mengakibatkan perubahan pada sel neuron otak secara
bertahap. Tahap pertama diawali dengan penurunan aliran darah sehingga
menyebabkan sel-sel neuron akan kekurangan oksigen dan nutrisi. Hal ini
menyebabkan kegagalan metabolism dan penurunan energi yang dihasilkan oleh
sel neuron tersebut. Sedangkan pada tahap II, ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen tersebut memicu respons inflamasi dan diakhiri dengan
kematian sel serta apoptosis terhadapnya.
Proses cedera pada susunan saraf pusat ini menyebabkan berbagai hal, antara lain
gangguan permeabilitas pada sawar darah otak, kegagalan energi, hilangnya
homestatis ion sel, asidosis, peningkatan kalsium ekstrasel, dan toksisitas yang
dipicu oleh keberadaan radikal bebas.
b. Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh pcahnya mikroaneurisme
akibat hipertensi maligna. Kejdian ini paling sering pada daerah subkortikal,
serebelum, dan batang otak. Sedangkan hipertensi kronis dapat menyebabkan
pembuluh arteriola berdiameter 100-400 mikrometer mengalami prubahan
patologi pada dinding pembuluh darah.
Kondisi patologis ini berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid, serta timbulnya
aneurisme. Peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba bias menyebabkan
rupturnya penetrating arteri arteri kecil. Perdarahan pada pembuluh darah kecil ini
menimbulkan efek penekanan pada arteriola dan pembuluh kapiler sehingga
akhirnya membuat pembuluh darah ini pecah juga.
Elemen-elemen vasoaktif yang keluar akibat kondisi iskemik dan penurunan
tekanan perfusi menyebabkan daerah yang terkena darah dan sekitarnya
mengalami keniakan tekanan. Gejala neurologis timbul merupakan dampak dari
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang memicu terjadinya nekrosis.
Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah sekitar permukaan otak
yang pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke subarachnoid. Perdarahan
subarachnoid ini umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisme sakular atau
perdarahan dari arteriovenous malformation.
3. Etiologi
Gangguan pasokan aliran darah ke otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuhk sirkulasi Willisi yaiut arteri karotis interna dan sistem
vetebrobasilar dan semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila lairan darah ke
jaringan otak terputus selama 15-20 menit akan terjadi infark atau kematian jaringan
(Price & Wilson, 2006). Price and Wilson (2006) menambahkan bahwa patologi yang
mendasari gangguan peredaran darah otak yaitu:
a. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada arteriosclerosis
dan thrombosis, robeknya dinding pembuluh darah atau peradangan.
b. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya pada syok
dan hiperviskositas darah
c. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh darah ekstrakranium
d. Rupture vascular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid
2. Tujuan
a. Mempertahankan mobilitas dan kadar fungsi sendi dan otot saat ini
b. Mencegah kontraktur dan pemendekan struktur musculoskeletal
c. Memfasilitasi sirkulasi dan mencegah komplikasi vascular akibat imobilitas
d. Memfasilitasi kenyamanan
3. Klasifikasi ROM
Menurut (Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008) klasifikasi rom sebagai
berikut:
a. ROM Aktif
ROM aktif adalah latihan yang di berikan kepada klien yang mengalami
kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi
dimana klien tidak dapat melakukannya sendiri, sehingga klien memerlukan
bantuan perawat atau keluarga.
b. ROM Pasif
ROM pasif adalah latihan ROM yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa bantuan
perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi ROM aktif adalah semua
pasien yang dirawat dan mampu melakukan ROM sendiri dan kooperatif.
5. Kontraindikasi ROM
Ada 3 kontraindikasi ROM (Haryono & Maria, 2019) yaitu:
a. Adanya thrombus atau emboli pada pembuluh darah.
b. Kelainan sendi atau tulang.
c. Pasien fase imobilisasi karena penyakit jantung.
6. Alat
Tidak ada peralatan yang dibutuhkan kecuali sarung tangan jika kemungkinana terjadi
kontak dengan cairan tubuh klien
7. Pengkajian
Pengkajian harus berfokus pada hal-hal berikut:
a. Diagnosa medis
b. Program dokter mengenai pembatasan khusus
c. Rentang pergerakan saat ini di setiap area
d. Kemampuan fisik dan mental klien untuk melakukan aktivitas, termasuk
perubahan normal yang berhubungan dengan usia
e. Riwayat factor yang mengontraindikasi atau membatasi jenis tau jumlah latihan
8. Prosedur ROM
a. Leher, spinal, servikal
1) Fleksi: menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 450.
2) Ekstensi: mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 450.
3) Hiperekstensi: menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, rentang 400-450.
4) Fleksi lateral: memiringkan kepala sejauh mungkin kea arah setiap bahu,
rentang 400-450.
b. Bahu
1) Fleksi: menaikkan lengan dari posissi disamping tubuh ke depan ke posisi di
atas kepala, rentang 1800.
2) Ekstensi: mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang 1800.
3) Hiperekstensi: menggerakkan lengan ke belakang tubuh, siku tetap lurus,
rentang 450-600.
4) Abduksi: menaikkan lengan ke posisis samping diatas kepala dengan telapak
yangan jauh dari kepala, rentang 1800.
5) Adduksi: menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh
mungkin, rentang 3200.
6) Rotasi dalam: dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakan lengan
sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang, rentang 900.
7) Rotasi luar: dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari ke atas
dan samping kepala, rentang 900.
c. Siku
1) Fleksi: menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak ke depan sendi
bahu dan tangan sejajar bahu, rentang 1500.
2) Ekstensi: meluruskan siku dengan menurunkan tangan, rentang 1500.
d. Lengan bawah
1) Supinasi: memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan
menghadap ke atas, rentang 700-900.
2) Pronasi: memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap ke
bawah, rentang 700-900.
e. Pergelangan tangan
1) Fleksi: menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan bawah,
rentang 800-900.
2) Ekstensi: menggerakkan jari-jari tangan sehingga jari-jari tangan, lengan
bawah berada dalam arah yang sama, rentang 800-900.
3) Hiperekstensi: membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh
mungkin, rentang 800-900.
4) Abduksi: menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari, rentang 300.
5) Adduksi: menekuk pergelangan tangan miring kearah lima jari, rentang 300-
500.
f. Jari-jari tangan
1) Fleksi: Membuat genggaman, rentang 900.
2) Ekstensi: Meluruskan jarijari tangan, rentang 900.
3) Hiperekstensi: Menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin,
rentang 300-600.
4) Abduksi: Menggerakkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain, rentang
300.
5) Adduksi: Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 300.
g. Ibu jari
1) Fleksi: Menggerakkan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan, rentang
900.
2) Ekstensi: Menggerakkan ibu jari lurus menjauh dari tangan, rentang 900.
3) Abduksi: Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 300.
4) Adduksi: mengerakkan ibu jari ke depan tangan, rentang 300.
5) Oposisi: Menyentuh ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama.
h. Pinggul
1) Fleksi: Menggerakkan ungkai ke depan dan ke atas, rentang 900-1200.
2) Ekstensi: Menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain, rentang 900-
1200.
3) Hiperekstensi: Menggerakkan tungkai ke belakang tubuh, rentang 300-500.
4) Rotasi dalam: Memutar kaki dan tungkai kearah tungkai lain, rentang 900.
5) Rotasi Luar: Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain, rentang 900.
6) Sirkumduksi: Menggerakkan tungkai melingkar.
i. Lutut
1) Fleksi: Menggerakkan tumit kearah belakang paha, rentang 120-1300.
2) Ekstensi: Mengembalikan tungkai ke lantai, rentang 120-1300.
j. Mata kaki
1) Dorsofleksi: Menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke atas,
rentang 200-300.
2) Plantarfleksi: Menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke bawah,
rentang 450-500.
k. Kaki
1) Inverse: Memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang 100.
2) Eversi: Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 100.
l. Jari-jari kaki
1) Fleksi: Menekuk jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-600.
2) Ekstensi: Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-600.
3) Abduksi: Menggerakkan jari-jari kaki satu dengan yang lainnya, rentang 150.
4) Adduksi: Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 150
10. Pertimbangan Khusus dalam Perencanaan dan Implementasai ROM pada Lansia
Untuk klien lansia yang memiliki berbagai kondisi kronis, gunakan kewaspadaan
ekstra saat melakukan latihan rentang pergerakan. Klien yang memiliki kondisi
kardiopulmonal kronis harus dikaji adanya kesulitan pernapasan, nyeri dada, dan
ketidanyamanan umum secara ketat selama melaksanakan aktivitas rentang
pergerakan. Penurunan massa otot, perubahan degenerative sendi, dan perubahan
jaringan-jaringan ikat degenerative dapt menghasilkan keterbatasan rentang
pergerakan.
C. Konteks Keluarga Pada Lansia Penderita Stroke
1. Pengantar Keluarga
Keluarga merupakan lebaga sosial yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
anggotanya. Unit dasar ini sangat mempengaruhi perkembangan seorang individu,
sehingga dapat menjadi penemu keberhasilan atau kegagalan hidup seseorang.
Unit keluarga menempati sebuah posisi di antara indiidu dan msyarakar
(Bronfenbrenner, 1997). Tujuan dasar keluarga bersifat ganda, yaitu: (1) memenuhi
kebutuhan masyarakat, yang meliputi keluarga sebagai bagiannya (2) memenuhi
kebutuhan individu yang menjadi bagian dari keluarga. Fungsi-fungsi ini, yang
merupakan sifat dasar bagi adaptasi manusia, tidak dapat dipenuhi secara terpisah.
kedua fungsi ini harus ada di dalam keluarga.
4. Koping Keluarga
Sebagaimana diketahui, pasien geriatric secara klinis dengan penurunan status
fungsional. Jika program functional reablement tidak dilaksanakan sebagai bagian
dari penatalaksanaan secara keseluruhan makan pasien dapat dengan mudah jatuh ke
status fungsional terendah (= ketergantungan total). Ketergantugan total pada pasien
geriatric hampir selalu terkait dengan imobilitas. Jika imobilitas tidak segera
ditatalaksanakan dengan baik, sejumlah penyulit akan terjadi. Penyulit imobilitas ini
dikenal dengan istilah sindrom dekondisi. Sindrom dekondisi terdiri dari hipotensi
ortostatik, kontraktur, arthrodesis, pneumonia hipostatik, inkontenensia urin,
inkontenensia alvi, hingga sarcopenia. Selain itu, imobilitas juga dapat
mengakibatkan thrombosis vena dalam, ulkus dekuitus, kehilangan massa otot, serta
osteoporosis. Oleh karena itu persepsi dan penanganan keluarga terhadap masalahnya
melalui pemanfaatan berbagai sumber dan strategi koping amatlah penting bagi
keberhasilan keluarga mengatasi tuntutan yang ada.
Selain itu, yang paling penting, proses dan strategi koping keluarga berfungsi sebagai
proses atau mekanisme vital yang memfasilitasi fungsi keluarga. Tanpa koping
keluarga yang efektif, fungsi afektif, sosialisasi, ekonomi, dan perawatan kesehatan
tidak dapat dicapai secara adekuat. Oleh karena itu, proses dan strategi koping
keluarga mengandung proses yang mendasari yang memungkinkan keluarga
mengukuh fungsi keluarga yang diperlukan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus deskriptif. Penulis
akan memaparkan prosedur latihan ROM pada lansia pasca stroke dalam konteks
keluarga, mengobeservasi respon klien terhadap prosedur yang diberikan, dan
mengobservasi sejauh mana meningkatnya kekuatan otot pada lansia pasca stroke setelah
dilakukan ROM.
F. Etika Penelitian
Dalam melakukan studi kasus ini penulis menggunakan kode etik diantaranya:
1. Autonomy
Dalam sudi kasus ini, penulis menjelaskan terlebih dahulu rencana, tujuan, manfaat
kepada subjek. Apabila calon subjek telah memahami penjelasan peneliti dan
bersedia ikut serta dalam penelitian, maka calon subjek akan menandatangani
informed consent. Namun, apabila tidak bersedia, maka peneliti tidak akan memaksa
dan tetap menghargai hak calon subjek.
2. Nonmaleficence
Dalam sudi kasus ini, penulis menjamin penerapan prosedur Range Of Motion
(ROM) yang diberikan tidak akan menimbulkan dampak negative pada responden.
Jika dalam penelitian ini responden merasa tidak nyaman dalam pelaksanaan
intervensi, maka responden memiliki hak untuk menghentikannya.
3. Justice
Dalam studi kasus ini penulis melakukan penerapan latihan Range Of Motion (ROM)
terhadap responden dengan melakukan tindakan yang sama pada kedua responden
dan sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditetapkan tanpa membeda-bedakan
agama, ras, dan suku, serta agama.
4. Confidentiality
Pada prinsip etika ini, penulis akan merahasiakan data-data yang telah dikumpilkan
dari kedua subjek yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Anggriani., Zulkarnain., Sulaimani., & Gunawan, Roni. (2018). Pengaruh Rom (Range
Of Motion) Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Pasien Stroke Non
Hemoragic. Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 2, 65-67.
Darmojo, R. Boedhi. (2006). Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta:
Balai Penerbit FIKUI.
Friedmn, Marilyn M., Bowden, Vicky R., & Jones, Elaine G. (2014) Buku Ajar
Keperawatan Keluarga. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Hanum, Parida., Lubis, Rahayu., & Rasmaliah. (2018). Hubungan Karakteristik Dan
Dukungan Keluarga Lansia Dengan Kejadian Stroke Pada Lansia Hipertensi Di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. JUMANTIK Vol.3 No.1, 73.
Heriawan. (2017). Kedokteran Usia Lanjut. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam.
Temple, Jean Smith., & Johnson, Joyce Young. (2010). Buku Saku Prosedur Klinis
Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Wardhani, Irma Okta., & Martini, Santi Martini. (2015). Hubungan Antara Karakteristik
Pasien Stroke Dan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Menjalani
Rehabilitasi. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1, 25.
Yasmara, Deni., Nursiswati., & Arafat, Rosyidah. (2016). Rencana Asuhan Keperwatan
Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.