Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Stroke didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah otak
yang menyebabkan deficit neurologic (WHO, 1971). Dari definisi ini jelas bahwa
kelainan utama stroke adalah kelainan dari pembuluh darahnya, yang tentu saja
merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik.
Stroke merupakan urutan kedua penyakit mematikan setelah penyakit jantung. Serangan
stroke lebih banyak dipicu karena hipertensi yang disebut silent killer, diabetes mellitus,
obesitas dan berbagai gangguan aliran darah ke otak. Angka kejadian stroke didunia kira-
kira 200 per 100.000 penduduk dalam setahun. Di Indonesia diperkirakan setiap tahun
terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke dan sekitar 25% atau 125.000 orang
meninggal sedangkan sisanya mengalami cacat ringan bahkan bisa menjadi cacat berat
(Pudiastuti, 2011).
Menurut Yayasan Stroke Indonesia, terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah
penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir (Medicastore, 2011).
Berdasarkan data Riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi stroke tertinggi terdapat di
Sulawesi Selatan (17,9). Sementara itu di Sumatera Utara prevalensi kejadian stroke
sebesar 6,3%. Prevalensi penyakit stroke juga meningkat seiring bertambahnya usia.
Kasus stroke tertinggi adalah pada lansia usia 75 tahun keatas (43,1%) dan lebih banyak
pria (7,1%) dibandingkan dengan wanita (6,8%) (Depkes, 2013).
Stroke merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi penyebab kematian
terbesar di seluruh dunia. Stroke termasuk dalam cerebrovascular disease yaitu gangguan
fungsi otak yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah yang mensuplai ke otak.
Stroke disebut juga brain attack atau serangan otak yang selalu terjadi secara tiba-tiba
dengan gejala yang beragam. Namun sebagian besar gejala yang sering ditemukan adalah
kondisi badan yang lumpuh separo dan/atau disertai dengan penurunan kesadaran
(Mulyatsih dan Ahmad, 2010).
Stroke pada umumnya dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi tiga perempat
dari kejadian stroke terjadi pada orang yang sudah berumur 65 tahun atau lebih (lansia)
dan berakibat pada timbulnya disabilitas atau kecacatan. Pasien pasca stroke mengalami
gangguan fisik yang bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Pasien stroke
kemungkinan akan mengalami kelumpuhan separo badan, sulit untuk berbicara dengan
orang lain (aphasia), mulut mencong (facial drop), lengan dan kaki yang lemah,
gangguan koordinasi tubuh, perubahan mental, gangguan emosional, gangguan
komunikasi, serta kehilangan indera rasa (Junaidi, 2004).
Kecacatan atau gangguan mobilitas fisik yang di alami oleh lansia pasca stroke akan
mempengaruhi kondisi emosional seperti merasa tidak percaya diri, tidak berguna, tidak
dapat menerima kenyataan, mudah tersinggung, mudah bersedih, dan cepat marah. Selain
itu gangguan mobilitas fisik pada penderita stroke juga dapat mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan sehari-hari. Untuk mencegah hal tersebut, maka perawat harus memberikan
asuhan keperawatan secara menyuluruh. Tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat
kepada pasien pasca stroke dengan gangguan mobilitas fisik diantaranya adalah dengan
memberikan latihan rentang gerak (ROM) aktif maupun pasif.
Penderita stroke post serangan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkan dan
memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal. Terapi dibutuhkan segera untuk
mengurangi cedera cerebral lanjut, salah satu program rehabilitasi yang dapat diberikan
pada pasien stroke yaitu mobilisasi persendian dengan latihan range of motion (Levine,
2008).
Penelitian tentang “Pengaruh fisioterapi terhadap kekuatan otot ekstremitas pada
penderita stroke” oleh Muhammad, dkk (2009) menunjukkan hasil bahwa fisioterapi
berpengaruh terhadap kekuatan otot ekstremitas pada penderita stroke. Penelitian lain
yaitu oleh Sarah, dkk (2007) dalam penelitiannya tentang “Pengaruh latihan ROM
terhadap fleksibilitas sendi lutut pada lansia” menunjukkan hasil bahwa latihan ROM
dapat meningkatkan fleksibilitas sendi lutut.
Latihan ROM merupakan salah satu bentuk latihan dalam proses rehabilitasi yang dinilai
cukup efektif untuk mencegah terjadinya kecacatan pada penderita stroke, sehingga dapat
menurunkan tingkat ketergantungan penderita pada keluarga, meningkatkan harga diri
dan mekanisme koping penderita.
Peran perawat yang dapat dilakukan yaitu memberikan edukasi mengenai pentingnya
latihan ROM pada lansia pasca stroke yang mengalami gangguan mobilitas fisik agar
dapat meningkatkan massa otot dan tonus otot, sehingga klien dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Perawat juga harus mengajarkan keluarga
bagaimana cara melatih ROM pada penderita stroke dan memberi motivasi kepada
keluarga agar selalu mendampingi klien untuk latihan ROM. Dukungan keluarga dapat
mempengaruhi penyembuhan dan pemulihan pasien. Jika tidak ada dukungan dari
keluarga, maka keberhasilan penyembuhan dan pemulihan semakin kecil.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang
“Penerapan Prosedur Range Of Motion (ROM) Pada Lansia Pasca Stroke Dalam Konteks
Keluarga”.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah penerapan prosedur Range Of Motion (ROM) pada lansia pasca stroke
dalam konteks keluarga?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk menggambarkan penerapan prosedur Range Of
Motion (ROM) pada lansia pasca stroke.

D. Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat atau keluarga terhadap terapi aktifitas ROM
pada lansia pasca stroke.
2. Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan dalam prosedur
Range Of Motion (ROM) pada lansia pasca stroke.
3. Bagi Peneliti
Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan, khususnya
studi kasus tentang pelaksanaan prosedur Range Of Motion (ROM) pada lansia pasca
stroke.
E. Sistematika Penulisan
Bab I terdiri dari pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan. Sedangkan pada bab II
terdiri dari tinjauan teori yang berisi konsep dasar stroke, konsep dasar dan prosedur
ROM , dan karakteristik keluarga pada pasien pasca stroke. Pada bab III terdiri dari
metodologi penulisan yang berisi desain penelitian, populasi dan sampel, instrument
pengumpulan data, metode pengumpulan data, pengolahan dan Analisa data serta etika
penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Stroke


1. Pengertian
Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang adalah setiap ganggaun neurologic
mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui
system suplai arteri di otak. Stroke juga merupakan penyakit serebrovaskuler yang
menunjukkan beberapa kelainan otak baik secara fungsional maupun structural yang
disebabkan oleh beberapa keadaan patologis dari pembuluh darah serebral atau dari
seluruh pembuluh darah atau oklusi parsial/total yang bersifat sementara atau
permanen.
Berdasarkan jeninsya stroke dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Stroke Iskemik
Stroke iskemik yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri
besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(thrombus) yang terbentuk di dalam pembuluh darah atau otak pembuluh darah
organ distal. Terdapat beragam penyebab stroke trombotik dan embolik primer
termasuk ateroslerosis, arteritis, keadaan hiperkoagulasi dan penyakit jantung
structural. Penyebab lain stroke iskemik adalah vasopasme yang sering
merupakan respons vaskuler reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara
araknoid dan piameter meningen (Price & Wilson, 2006).
Sebagian besar stroke iskemik tidak menimbulkan nyeri, karena jaringan otak
tidak peka terhadap nyeri. Namun, pembuluh darah besar di leher danbatang otak
memiliki banyak reseptor nyeri sehingga cedera pada pembuluh-pembuluh darah
ini saat serangan iskemik dapat menimbulkan nyeri kepala.
Tanda utama stroke adalah munculnya secara endadak satu atau lebih deficit
neurologic fokal. Defisit tersebut mungkin mengalami perbaikan dengan cepat,
mengalami perburukan yang progressive atau menetap. Gejala umum berupa
lemas di wajah, lengan atau tungkai terutama di salah satu sisi tubuh.
Kita sulit memastikan adanya hubungan yang erat antara gejala yang berkaitan
dengan pembuluh darah tertentu dan manifestasi klinis yang sebenarnya pada
seorang pasien karena beberapa factor, antara lain (Price & Wilson, 2006):
1) Terdapat variasi individual pada sirkulasi kolateral dalam kaitannya dengan
sirkulasi Willisi.
2) Cukup banyak terdapat anastomosis leptomeningen antara arteri serebri
anterior, media dan posterior di korteks serebrum.
3) Setiap arteri serebri memiliki sebuah daerah sentral yang mendapat darah
darinya dan suatu daerah suplai perifer, atau daerah perbatasan yang mungkin
mendapat darah dari arteri lain.
4) Berbagi sistem sistemik dan metabolic berperan dalam menentukan gejala
yang ditimbulkan oleh proses patologik tertentu.

Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan influensi arteri ke otak disebut
sindroma neurovaskuler. Hal ini terutama berlaku bagi iskemik dan infark akibat
thrombosis dan embolus. Walaupun perdarhan di daerah vaskuler yang sama
mungkin menimbulkan efek yang berbeda karena dalam perluasannya ke arah
dalam, perdarahan dapat mengenai teritorial lebih dari satu pembuluh. Selain itu,
perdarahan menyebabkan pergeseran jaringan dan meningkatkan tekanan
intracranial (TIK). Gejala yang terjadi pada stroke hemoragik antara lain: nyeri
kepala berat, mual dan muntah, kehilangan kesadaran sementara atau persisten,
tekanan darah sangat tinggi (Giraldo, 2007).

b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus stroke (Giraldo, 2007).
Pada stroke ini, lesi vaskuler intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi
perdarahan di subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Perdarahan
dapat secara cepat menimbulkan gejala neurogenic karena tekanan pada struktur-
struktur saraf di dalam tengkorak. Iskemik adalah konsekuensi sekunder dari
perdarhan baik yang spontan maupun traumatic.
Mekanisme terjadinya iskemia tersebut karena adanya tekanan pada pembuluh
darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak yang volumenya tetap dan
vasopasme reaktif pembuluh-pembuluh darah yang terpajan di dalam ruang antara
lapisan araknoid dan piameter meningen. Biasanya stroke hemoragik secara cepat
menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran (Price & Wilson,
2006).

2. Patofisilogi
a. Stroke Iskemik
Iskemik pada otak akan mengakibatkan perubahan pada sel neuron otak secara
bertahap. Tahap pertama diawali dengan penurunan aliran darah sehingga
menyebabkan sel-sel neuron akan kekurangan oksigen dan nutrisi. Hal ini
menyebabkan kegagalan metabolism dan penurunan energi yang dihasilkan oleh
sel neuron tersebut. Sedangkan pada tahap II, ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen tersebut memicu respons inflamasi dan diakhiri dengan
kematian sel serta apoptosis terhadapnya.
Proses cedera pada susunan saraf pusat ini menyebabkan berbagai hal, antara lain
gangguan permeabilitas pada sawar darah otak, kegagalan energi, hilangnya
homestatis ion sel, asidosis, peningkatan kalsium ekstrasel, dan toksisitas yang
dipicu oleh keberadaan radikal bebas.
b. Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh pcahnya mikroaneurisme
akibat hipertensi maligna. Kejdian ini paling sering pada daerah subkortikal,
serebelum, dan batang otak. Sedangkan hipertensi kronis dapat menyebabkan
pembuluh arteriola berdiameter 100-400 mikrometer mengalami prubahan
patologi pada dinding pembuluh darah.
Kondisi patologis ini berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid, serta timbulnya
aneurisme. Peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba bias menyebabkan
rupturnya penetrating arteri arteri kecil. Perdarahan pada pembuluh darah kecil ini
menimbulkan efek penekanan pada arteriola dan pembuluh kapiler sehingga
akhirnya membuat pembuluh darah ini pecah juga.
Elemen-elemen vasoaktif yang keluar akibat kondisi iskemik dan penurunan
tekanan perfusi menyebabkan daerah yang terkena darah dan sekitarnya
mengalami keniakan tekanan. Gejala neurologis timbul merupakan dampak dari
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang memicu terjadinya nekrosis.
Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah sekitar permukaan otak
yang pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke subarachnoid. Perdarahan
subarachnoid ini umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisme sakular atau
perdarahan dari arteriovenous malformation.

3. Etiologi
Gangguan pasokan aliran darah ke otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuhk sirkulasi Willisi yaiut arteri karotis interna dan sistem
vetebrobasilar dan semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila lairan darah ke
jaringan otak terputus selama 15-20 menit akan terjadi infark atau kematian jaringan
(Price & Wilson, 2006). Price and Wilson (2006) menambahkan bahwa patologi yang
mendasari gangguan peredaran darah otak yaitu:
a. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada arteriosclerosis
dan thrombosis, robeknya dinding pembuluh darah atau peradangan.
b. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya pada syok
dan hiperviskositas darah
c. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh darah ekstrakranium
d. Rupture vascular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid

B. Konsep Dasar Range Of Motion (ROM)


1. Pengertian
Range Of Motion (ROM), merupakan istilah baku untuk menyatakan batas/besarnya
gerakan sendi baik normal. ROM juga di gunakan sebagai dasar untuk menetapkan
adanya kelainan batas gerakan sendi abnormal (HELMI, 2012)
Range Of Motion (ROM), adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat
dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. Range Of Motion dibagi menjadi dua jenis
yaitu ROM aktif dan ROM pasif. (Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008)
Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya
kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.

2. Tujuan
a. Mempertahankan mobilitas dan kadar fungsi sendi dan otot saat ini
b. Mencegah kontraktur dan pemendekan struktur musculoskeletal
c. Memfasilitasi sirkulasi dan mencegah komplikasi vascular akibat imobilitas
d. Memfasilitasi kenyamanan

3. Klasifikasi ROM
Menurut (Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008) klasifikasi rom sebagai
berikut:
a. ROM Aktif
ROM aktif adalah latihan yang di berikan kepada klien yang mengalami
kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi
dimana klien tidak dapat melakukannya sendiri, sehingga klien memerlukan
bantuan perawat atau keluarga.
b. ROM Pasif
ROM pasif adalah latihan ROM yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa bantuan
perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi ROM aktif adalah semua
pasien yang dirawat dan mampu melakukan ROM sendiri dan kooperatif.

4. Prinsip Dasar ROM


Prinsip dasar latihan range of motion (ROM) menurut Suratun, Heryati, Manurung, &
Raenah (2008) yaitu:
a. ROM harus di ulangi sekitar 8 kali dan di kerjakan minimal 2kali sehari.
b. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehinga tidak melelahkan pasien.
c. Dalam merencanakan program latihan range of motion (ROM), Memperhatikan
umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring.
d. ROM sering di programkan oleh dokter dan di kerjakan oleh ahli fisioterapi
e. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari, lengan, siku,
bahu, tumit, atau pergelangan kaki.
f. Rom dapat dilakukan pada semua persendian yang di curigai mengurangi proses
penyakit.
g. Melakukan ROM hrus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau perawatan
rutin telah dilakukan.

5. Kontraindikasi ROM
Ada 3 kontraindikasi ROM (Haryono & Maria, 2019) yaitu:
a. Adanya thrombus atau emboli pada pembuluh darah.
b. Kelainan sendi atau tulang.
c. Pasien fase imobilisasi karena penyakit jantung.

6. Alat
Tidak ada peralatan yang dibutuhkan kecuali sarung tangan jika kemungkinana terjadi
kontak dengan cairan tubuh klien

7. Pengkajian
Pengkajian harus berfokus pada hal-hal berikut:
a. Diagnosa medis
b. Program dokter mengenai pembatasan khusus
c. Rentang pergerakan saat ini di setiap area
d. Kemampuan fisik dan mental klien untuk melakukan aktivitas, termasuk
perubahan normal yang berhubungan dengan usia
e. Riwayat factor yang mengontraindikasi atau membatasi jenis tau jumlah latihan

8. Prosedur ROM
a. Leher, spinal, servikal
1) Fleksi: menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 450.
2) Ekstensi: mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 450.
3) Hiperekstensi: menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, rentang 400-450.
4) Fleksi lateral: memiringkan kepala sejauh mungkin kea arah setiap bahu,
rentang 400-450.
b. Bahu
1) Fleksi: menaikkan lengan dari posissi disamping tubuh ke depan ke posisi di
atas kepala, rentang 1800.
2) Ekstensi: mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang 1800.
3) Hiperekstensi: menggerakkan lengan ke belakang tubuh, siku tetap lurus,
rentang 450-600.
4) Abduksi: menaikkan lengan ke posisis samping diatas kepala dengan telapak
yangan jauh dari kepala, rentang 1800.
5) Adduksi: menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh
mungkin, rentang 3200.
6) Rotasi dalam: dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakan lengan
sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang, rentang 900.
7) Rotasi luar: dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari ke atas
dan samping kepala, rentang 900.
c. Siku
1) Fleksi: menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak ke depan sendi
bahu dan tangan sejajar bahu, rentang 1500.
2) Ekstensi: meluruskan siku dengan menurunkan tangan, rentang 1500.
d. Lengan bawah
1) Supinasi: memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan
menghadap ke atas, rentang 700-900.
2) Pronasi: memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap ke
bawah, rentang 700-900.
e. Pergelangan tangan
1) Fleksi: menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan bawah,
rentang 800-900.
2) Ekstensi: menggerakkan jari-jari tangan sehingga jari-jari tangan, lengan
bawah berada dalam arah yang sama, rentang 800-900.
3) Hiperekstensi: membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh
mungkin, rentang 800-900.
4) Abduksi: menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari, rentang 300.
5) Adduksi: menekuk pergelangan tangan miring kearah lima jari, rentang 300-
500.
f. Jari-jari tangan
1) Fleksi: Membuat genggaman, rentang 900.
2) Ekstensi: Meluruskan jarijari tangan, rentang 900.
3) Hiperekstensi: Menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin,
rentang 300-600.
4) Abduksi: Menggerakkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain, rentang
300.
5) Adduksi: Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 300.
g. Ibu jari
1) Fleksi: Menggerakkan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan, rentang
900.
2) Ekstensi: Menggerakkan ibu jari lurus menjauh dari tangan, rentang 900.
3) Abduksi: Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 300.
4) Adduksi: mengerakkan ibu jari ke depan tangan, rentang 300.
5) Oposisi: Menyentuh ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama.
h. Pinggul
1) Fleksi: Menggerakkan ungkai ke depan dan ke atas, rentang 900-1200.
2) Ekstensi: Menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain, rentang 900-
1200.
3) Hiperekstensi: Menggerakkan tungkai ke belakang tubuh, rentang 300-500.
4) Rotasi dalam: Memutar kaki dan tungkai kearah tungkai lain, rentang 900.
5) Rotasi Luar: Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain, rentang 900.
6) Sirkumduksi: Menggerakkan tungkai melingkar.
i. Lutut
1) Fleksi: Menggerakkan tumit kearah belakang paha, rentang 120-1300.
2) Ekstensi: Mengembalikan tungkai ke lantai, rentang 120-1300.
j. Mata kaki
1) Dorsofleksi: Menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke atas,
rentang 200-300.
2) Plantarfleksi: Menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke bawah,
rentang 450-500.
k. Kaki
1) Inverse: Memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang 100.
2) Eversi: Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 100.
l. Jari-jari kaki
1) Fleksi: Menekuk jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-600.
2) Ekstensi: Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-600.
3) Abduksi: Menggerakkan jari-jari kaki satu dengan yang lainnya, rentang 150.
4) Adduksi: Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 150

9. Identifikasi hasil yang di harapkan dan perencanaan


Contoh hasil yang diharapkan antara lain:
a. Rentang pergerakan klien saat ini dipertahankan
b. Rentang pergerakan siku kiri meningkat dari fleksi sebesar 30 derajat mejadi 40
derajat.
c. Tidak ada tanda atau gejala komplikasi akibat imobilisasi (mis., ulkus tekan atau
area tekan, kontraktur, penurunan peristalsis, konstipasi dan impaksi fekal,
hipotensi ortostatik, embolisme paru, tromboflebitis).

10. Pertimbangan Khusus dalam Perencanaan dan Implementasai ROM pada Lansia
Untuk klien lansia yang memiliki berbagai kondisi kronis, gunakan kewaspadaan
ekstra saat melakukan latihan rentang pergerakan. Klien yang memiliki kondisi
kardiopulmonal kronis harus dikaji adanya kesulitan pernapasan, nyeri dada, dan
ketidanyamanan umum secara ketat selama melaksanakan aktivitas rentang
pergerakan. Penurunan massa otot, perubahan degenerative sendi, dan perubahan
jaringan-jaringan ikat degenerative dapt menghasilkan keterbatasan rentang
pergerakan.
C. Konteks Keluarga Pada Lansia Penderita Stroke
1. Pengantar Keluarga
Keluarga merupakan lebaga sosial yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
anggotanya. Unit dasar ini sangat mempengaruhi perkembangan seorang individu,
sehingga dapat menjadi penemu keberhasilan atau kegagalan hidup seseorang.
Unit keluarga menempati sebuah posisi di antara indiidu dan msyarakar
(Bronfenbrenner, 1997). Tujuan dasar keluarga bersifat ganda, yaitu: (1) memenuhi
kebutuhan masyarakat, yang meliputi keluarga sebagai bagiannya (2) memenuhi
kebutuhan individu yang menjadi bagian dari keluarga. Fungsi-fungsi ini, yang
merupakan sifat dasar bagi adaptasi manusia, tidak dapat dipenuhi secara terpisah.
kedua fungsi ini harus ada di dalam keluarga.

2. Interaksi Rentang Sehat Sakit Keluarga Dengan Pasien Stroke


Status sehat/sakit anggota keluarga dan keluarga saling memengaruhi. Suatu penyakit
dalam kelaurga memengaruhi keseluruhan keluarga dan interaksinya, sementara itu
keluarga pada gilirannya memengaruhi perjalanan penyakit dan status kesehatan
anggotanya. Karena itu, pengaruh status sehat/sakit terhadap keluarga dan dampak
status sehat/sakit keluarga saling terkait atau sangat saling bergantung (Gilliss, Rose,
Hallburg, & Martinson, 1989; Wright & Leahey, 2000). Keluarga cenderung menjadi
pemicu masalah kesehatan anggotanya dan sekaligus menjadi pelaku dalam
menentukan masalah kesehatannya.
Hickey (2003) mengatakan bahwa pada gangguan neurologis, tidak hanya akan
menimbulkan konsekwensi pada pasien, tetapi juga pada keluarga pasien itu sendiri.
Potter (2005) menyebutkan ada lima tahap perilaku sakit yang dialami individu. Pada
tahap awal (tahap mengalami gejala), pasien merasakan “ada sesuatu yang salah pada
dirinya”. Bila gejala tersebut dirasakan dapat mengancam kehidupan, maka pasien
akan mencari pertolongan. Pada pasien stroke yang sebelumnya tidak mengalami
gejala apa-apa atau dengan penurunan kesadaran secara tiba-tiba, keluarga sangat
berperan penting dalam pemantauan gejala, sehingga dapat segera mencari
pertolongan kesehatan.
Tahap kedua adalah asumsi tentang peran sakit, tahap ini terjadi bila gejala menetap
atau semakin berat. Pada tahap ini individu biasanya mengkonfirmasikannya pada
keluarga atau orang terdekat bahwa ia benar-benar sakit dan harus beristirahat dari
kewajiban normalnya. Keluarga harus mengambil alih peran tersebut dan melakukan
kontak dengan sistem pelayanan kesehatan. Pada tahap ketiga adalah kontak dengan
pelayanan kesehatan. Pada tahap ini pasien dan keluarga mencari kepastian penyakit
dan pengobatan dari seorang ahli, mencari kejelasan mengenai gejala yang dirasakan,
penyebab penyakit dan implikasi penyakitnya terhadap kesehatan dimasa yang akan
datang. Tahap keempat yaitu peran ketergantungan, adalah tahap dimana pasien
menerima keadaan sakitnya, dan bergantung pada pelayanan kesehatan untuk
menghilangkan gejala yang ada. Pada tahap ini, perawatan, dukungan, dan
perlindungan dari berbagai tuntutan harus diberikan oleh keluarga. tahap kelima
(tahap pemulihan dan rehabilitasi) merupakan tahap akhir dari sakit. Pada pasien
stroke, tahap pemulihan ini membutuhkan waktu yang lebih lama sebelum dapat
berfungsi optimal.

3. Fungsi Perawatan Kesehatan Keluarga


Fungsi perawatan kesehatan bukan hanya fungsi esensial dan dasar keluarga namun
fungsi yang mengemban focus sentral dalam keluarga yang berfungsi dengan baik
dan sehat. Akan tetapi, memenuhi fungsi perawatan kesehatan bagi semua anggota
keluarga dapat sulit akibat tantangan eksternal dan internal. Pratt (1976, 1982)
menunjukkan bahwa alasan keluarga mengalami kesulitan memberikan perawatan
kesehatan bagi anggota mereka terletak pada struktur keluarga dan sistem pelayanan
kesehatan.
Pratt (1976) mengakui bahwa tidak mungkin bagi keluarga untuk menjadi sangat
bertanggung jawab tentang fungsi perawatan kesehatan mereka jika professional
kesehatan menyingkirkan mereka untuk berpartisipasi dalam penatalaksanaan medis.
Peran kemitraan tersebut diperluan baik apakah kebutuhan kesehatan promotive,
preventif, atau kuratif dipertimbangkan. Individu harus diperlukan sebagai orang
dewasa yang berrtanggung jawab, bukan anak yang pasif, jika professional
menginginkan mereka mengemban tanggung jawab diri.
Tidak hanya keluarga yang harus bermitra dengan penyedia layanan kesehatan dalam
mengarahkan dan mengimpplementasikan perawatan kesehatannya sednri., tetapi
klien juga harus menjadi pengambilan kepurusan utama dan manajer dari masalah
kesehatan yang memengaruhi kesejahteraan dan kehidupan mereka. Agar klien
terlibat dalam perawatan diri yang efektif, mereka harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk memberikan perawatan kesehatan yang bak. Hal
ini berarti bahwa keluarga perlu akses ke sumber informasi kesehatan primer. Denga
demikian professional harus mau meluaskan peran peran mereka dengan
memasukkan pendidikan kesehatan yang ditujukan untuk perawatan diri dan
pemberdayaan keluarga (Courtney, 1995: Institute of Medicine, 2000: Rafael, 1995).

4. Koping Keluarga
Sebagaimana diketahui, pasien geriatric secara klinis dengan penurunan status
fungsional. Jika program functional reablement tidak dilaksanakan sebagai bagian
dari penatalaksanaan secara keseluruhan makan pasien dapat dengan mudah jatuh ke
status fungsional terendah (= ketergantungan total). Ketergantugan total pada pasien
geriatric hampir selalu terkait dengan imobilitas. Jika imobilitas tidak segera
ditatalaksanakan dengan baik, sejumlah penyulit akan terjadi. Penyulit imobilitas ini
dikenal dengan istilah sindrom dekondisi. Sindrom dekondisi terdiri dari hipotensi
ortostatik, kontraktur, arthrodesis, pneumonia hipostatik, inkontenensia urin,
inkontenensia alvi, hingga sarcopenia. Selain itu, imobilitas juga dapat
mengakibatkan thrombosis vena dalam, ulkus dekuitus, kehilangan massa otot, serta
osteoporosis. Oleh karena itu persepsi dan penanganan keluarga terhadap masalahnya
melalui pemanfaatan berbagai sumber dan strategi koping amatlah penting bagi
keberhasilan keluarga mengatasi tuntutan yang ada.
Selain itu, yang paling penting, proses dan strategi koping keluarga berfungsi sebagai
proses atau mekanisme vital yang memfasilitasi fungsi keluarga. Tanpa koping
keluarga yang efektif, fungsi afektif, sosialisasi, ekonomi, dan perawatan kesehatan
tidak dapat dicapai secara adekuat. Oleh karena itu, proses dan strategi koping
keluarga mengandung proses yang mendasari yang memungkinkan keluarga
mengukuh fungsi keluarga yang diperlukan.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus deskriptif. Penulis
akan memaparkan prosedur latihan ROM pada lansia pasca stroke dalam konteks
keluarga, mengobeservasi respon klien terhadap prosedur yang diberikan, dan
mengobservasi sejauh mana meningkatnya kekuatan otot pada lansia pasca stroke setelah
dilakukan ROM.

B. Populasi dan Sampel


Subyek yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu dua klien dalam dua keluarga
dengan lansia pasca stroke yang mengalami gangguan mobilitas fisik dan akan dilakukan
prosedur ROM.

C. Instrumen Pengumpulan Data


Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Lembar wawancara untuk mengetahui sejauh mana klien mengalami keterbatasan
mobilitas fisik.
2. Lembar observasi berupa jadwal harian klien saat melakukan ROM
3. Lembar observasi berupa penilaian Lovett’s Scale untuk mengatahui peningkatan
kekuatan otot klien.

D. Metode Pengumpulan Data


Metode yang digunakan untuk pengumpulan data yaitu dengan wawancara dan observasi.
1. Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan
tanya jawab langsung antara peneliti dan narasumber.
2. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian
untuk menjawab pertanyaan penelitian.
E. Pengolahan dan Analisa Data
Pada penelitian ini, penulis mengelompokkan data yang telah didapat melalui hasil
wawancara dan obsevasi. Data yang akan dikumpulkan yaitu berupa hasil wawancara
mengenai keluhan subjek dan hasil observasi kemampuan klien dan keluarga dalam
melakukan intervensi. Kemudian dilakukan pengelompokkan data, penyederhanaan data
serta mengubah data dalam bentuk narasi. Narasi data tersebut akan berisi intervensi
ROM pada ke dua klien dan berisi hasil respon setelah dilakukan intervensi ROM sesuai
dengan prosedur.

F. Etika Penelitian
Dalam melakukan studi kasus ini penulis menggunakan kode etik diantaranya:
1. Autonomy
Dalam sudi kasus ini, penulis menjelaskan terlebih dahulu rencana, tujuan, manfaat
kepada subjek. Apabila calon subjek telah memahami penjelasan peneliti dan
bersedia ikut serta dalam penelitian, maka calon subjek akan menandatangani
informed consent. Namun, apabila tidak bersedia, maka peneliti tidak akan memaksa
dan tetap menghargai hak calon subjek.
2. Nonmaleficence
Dalam sudi kasus ini, penulis menjamin penerapan prosedur Range Of Motion
(ROM) yang diberikan tidak akan menimbulkan dampak negative pada responden.
Jika dalam penelitian ini responden merasa tidak nyaman dalam pelaksanaan
intervensi, maka responden memiliki hak untuk menghentikannya.
3. Justice
Dalam studi kasus ini penulis melakukan penerapan latihan Range Of Motion (ROM)
terhadap responden dengan melakukan tindakan yang sama pada kedua responden
dan sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditetapkan tanpa membeda-bedakan
agama, ras, dan suku, serta agama.
4. Confidentiality
Pada prinsip etika ini, penulis akan merahasiakan data-data yang telah dikumpilkan
dari kedua subjek yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA

Anggriani., Zulkarnain., Sulaimani., & Gunawan, Roni. (2018). Pengaruh Rom (Range
Of Motion) Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Pasien Stroke Non
Hemoragic. Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 2, 65-67.

Darmojo, R. Boedhi. (2006). Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta:
Balai Penerbit FIKUI.

Friedmn, Marilyn M., Bowden, Vicky R., & Jones, Elaine G. (2014) Buku Ajar
Keperawatan Keluarga. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Hanum, Parida., Lubis, Rahayu., & Rasmaliah. (2018). Hubungan Karakteristik Dan
Dukungan Keluarga Lansia Dengan Kejadian Stroke Pada Lansia Hipertensi Di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. JUMANTIK Vol.3 No.1, 73.

Heriawan. (2017). Kedokteran Usia Lanjut. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam.

Temple, Jean Smith., & Johnson, Joyce Young. (2010). Buku Saku Prosedur Klinis
Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Wardhani, Irma Okta., & Martini, Santi Martini. (2015). Hubungan Antara Karakteristik
Pasien Stroke Dan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Menjalani
Rehabilitasi. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1, 25.

Yasmara, Deni., Nursiswati., & Arafat, Rosyidah. (2016). Rencana Asuhan Keperwatan
Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Yuniarsih, Winda. (2010). Pengalaman Caregiver Keluarga Dalam Konteks Asuhan


Keperawatan Pasien Stroke Tahap Paska Akut di RSUP Fatmawati. FIK UI, 33-
34.

Anda mungkin juga menyukai