Anda di halaman 1dari 22

IDENTITAS BUKU

 Nama Buku : Pengantar Studi Konstitusi Jilid 1


 Pengarang : A.H. As’ari Taufiqurrohman, S.H., M.H.
 Penerbit : Pustaka Renaissance
 Tahun Terbit : 2012
 Kota Terbit : Yogyakarta
RINGKASAN ISI BUKU

BAB I
NEGARA DAN KONSTITUSI
A. Manusia, Negara dan Bangsa
Manusia adalah makhluk sosial (homo homini lopus), manusia itu sendiri berada
dalam roda kehidupan yang kompleks dan multidimensional. Disamping itu, adalah
naluri alamiah manusia sebagai makhuk social yang tidak pernah terlepas dari
keinginan untuk membentuk suatu komunitas yang kemudian dikenal dalam bentuk
bangsa yang selanjutnya meleburkan diri ke dalam sebuah wadah politis dan territorial
yang bernama Negara. Dengan demikian, terdapat sebuah garis historis antara manusia,
Negara dan bangsa.

B. Teoretisasi Negara dan Bangsa


Negara bangsa dibangun melalui sekumpulan manusia-manusia yang sepakat
menyatukan visi dan keinginan untuk hidup dalam sebuah sistem bersama secara politik.
Komunitas bangsa, terdiri dari beberapa kelompok dan elemen yang saling menunjang
dan melebur ke dalam satu panutan system yang secara politik akan dijalankan bersama-
sama, disepakati bersama dalam rangka mencapai tujuan baik itu kesejahteraan,
ekonomi maupun budaya. Oleh sebab itu, menuangkan satu kesepakatan bersama ke
dalam suatu ikatan perjanjian baik itu tertulis maupun tidak tertulis (yang diakui telah
menjadi satu kebiasaan atau konvensi) merupakan hal yang niscaya untuk
dilakukan. Kesepakatan inilah yang kemudian dinamakan “Konstitusi”. Konstitusi dan
Negara memiliki hubungan yang sangat erat, Konstitusi adalah penunjang berdirinya
sebuah Negara, bahkan identitas sebuah Negara.

C. Definisi Negara
Menurut istilah asing, Negara dikenal dengan beberapa penyebutan: “state”
(bahasa inggris), “staat” (bahasa belanda), “d’etat” (bahasa Perancis), “estado” (bahasa
Spanyol) yang berasal dari induk kata bahasa latin “status” atau “statum” yang berarti
menaruh dalam keadaan berdiri ,membuat berdiri, menempatkan berdiri.
Sedangkan menurut istilah Indonesia, Negara berasal dari bahasa sanskerta,
yakni “nagari” atau “nagara” yang berarti kota. Apapun penyebutannya, negara memiliki
pengertian sebagai organisasi kekuasaan yang bersifat mengatur masyarakat melalui
sebuah aturan-aturan tertentu untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah disepakati
bersama dalam rangka menciptakan kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraan. Oleh
sebab itu, unsur utama yang harus dimiliki oleh negara adalah: Rakyat, wilayah,
pemerintahan yang berdaulat, serta adanya pengakuan dari bangsa lain (bilamana
diperlukan).

D. Konsep Negara Hukum


 Konsep Negara Hukum Rechtsstaat : berkembang di wilayah Eropa Kontinental yang
dipelopori diantaranya oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl. Ciri khas konsep
Negara Hukum Rechtsstaat adalah;
1. Pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten);
2. Adanya pemisahan kekuasaan (Scheiding van machten);
3. Pemerintahan yang berdasarkan atas undang-undang
4. (wetmatigheid van bestuur); dan
5. Peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).
 Konsep Negara Hukum The Rule of law : berkembang diwilayah anglo saxon maupun
anglo-amerika dan dipelopori oleh A.V. Dicey. Konsep The Rule of Law memiliki ciri
sebagai berikut :

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law);


2. Persamaan di hadapan hukum (Equality before the Law)
3. Asas Legalitas (Due Proses Law)

Landasan konsep Negara Hukum Indonesia


Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Konstitusi Indonesia): “ Negara Indonesia adalah negara hukum”
Pasal 28 I ayat (5) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(menjelaskan tentang perwujudan Konsep Negara Hukum Demokratis Indonesia):
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang- undangan”.
Konsep Negara Hukum Indonesia ini merupakan perpaduan kedua konsep antara
rechtstaat dan the rule of law. Dengan demikian, maka jelaslah sudah bahwa Konstitusi
memiliki kedudukan yang amat penting bagi sebuah negara. Konstitusi pula yang akan
menjadi dasar aturan bagaimana negara akan dijalankan. Melalui Konstitusi, dapat dilihat
gambaran mengenai sistem hukum apa yang dianut, perkembangan demokrasi, sampai
kpada konsep penyelenggaraan pemerintahan maupun pembagian kekuasaan dalam
negara.

KOMENTAR

BAB II
Konstitusi dan Konstitusionalisme
A. Sejarah dan pemikiran awal tentang Konstitusi
Pemikiran dan ide awal tentang Konstitusi pada dasarnya telah muncul sejak masa
lampau, yaitu masa dimana mulai berkembangnya poses unifikasi masyarakat menjadi
sebuah komunitas rakyat dalam satu bentuk pengakuan kedaulatan di bawah satu
system pemerintahan. Adalah Yunani kuno, sebuah wilayah yang melahirkan ide gagasan
tentang konstitusi yang didahului dengan munculnya bentuk Negara kota (polis) yang
kemudian memunculkan pula ide-ide dengan politik, pemerintahan, negara dan sosial.
Gagasan mengenai konstitusi secara maknawi diperkenalkan oleh Plato melalui
tulisan-tulisan dalam “Nomoi”, demikian halnya dengan Socrates yang meneruskan
konsep kekuasaan (power), rakyat dan pemerintahan melalui karyanya “Panatheenaicus”
maupun “aeropagiticus”. Pada masa klasik ini, perkembangan konstitusionalisme masih
pada taraf yang amat primitif dan diberlakukan pada negara kota (polis) yunani kuno.
Selaras dengan itu, Aristoteles yang mewarisi pemikiran Plato dan hidup dalam rentang
waktu selanjutnya, melalui “Politics” membahas lebih lengkap mengenai Konstitusi
termasuk di dalamnya konsep kedaulatan (sovereignity), kekuasaan Negara (power),
dan pemerintahan.
Selanjutnya, gagasan tentang Konstitusi mulai berkembang pesat pada masa
Romawi dimana gagasan tersebut telah sampai pada tahap pengertiannya sebagai
“superiority law” atau hukum tertinggi. Pada tahapan masa ini, Konstitusi dimaknai
sebagai suatu aturan hukum yang terpisah dari Negara dan kedudukannya pun jauh lebih
tinggi. Senada dengan itu, Cicero mengartikan suatu Negara sebagai a bond of law
(vinculum yuris). Dengan demikian, maka Konstitusi pun mulai dipahami sebagai aturan
tertinggi yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan
sesuai dengan prinsip the higher law. Hal ini lantas berimplikasi pada diperkenalkannya
hierarki peraturan (hukum) di bawah konstitusi dan penyelenggaraan pemerintahan
dengan berpegang pada konstitusionalisme.
Baik itu pemikiran konstitusi pada masa Yunani maupun Romawi, keduanya sama-
sama membuktikan keniscayaan akan dibutuhkannya Konstitusi dalam lingkup
kehidupan dan susunan sebuah Negara. Sejalan dengan itu, Konstitusi pada masa modern
mengalami perkembangan yang luar biasa signifikan seiring dengan peradaban
bernegara. Konstitusi yang pada awal kemunculannya masih berupa gagasan ide, secara
pasti mulai menemukan bentuk tubuhnya. Bisa dikatakan, berkembangnya sebuah
Kostitusi dibangun dari dalam ide Konstitusi itu sendiri, atau dengan kata lain,
Konstitusi itu sendirilah yang menjamin bagaimana dirinya akan dijalankan dalam
kehidupan bernegara (Konstitusionalisme).
Kondisi sosio kultural yang ada pada abad pertengahan di Eropa kontinental
menjadikan konstitusi sebagai sebuah legalitas formal atas absolutisme raja dimana ia
sendiri menjadikan Konstitusi sebagai alat kekuasaan dan hukum. Runtuhnya
romantisme dan absolutisme raja yang terjadi sedemikian rupa diiringi dengan
munculnya Revolusi dan industrialisasi di segala bidang, pada tahap selanjutnya telah
melahirkan gagasan pembentukan sekaligus lahirnya Konstitusi yang di dalamnya
memperhatikan hak-hak individu melalui proses suksesi kala itu. Konstitusi mengalami
perluasan substansi justru pada masa era Negara hukum modern. Konsep Negara hukum
yang muncul dalam dua konsep rechtsstaat dan rule of law merupakan era dimana
konstitusionalisme benar-benar terimplementasikan secara proposional dalam
penyelenggaraan Negara. Baik antara rechhtstaat yang muncul di eropa kontinental
maupun rule of law yang berkembang di wilayah anglo saxon dan anglo-amerika,
keduanya senada menempatkan Konstitusi sebagai tolak utama penyelenggaraan Negara
dan pemerintahan. Keduanya bahkan menempatkan HAM didalamnya.

B. Teori dan Pengertian Konstitusi


a) Definisi Konstitusi
 Konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah konstitusi ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun
dan menyatakan suatu Negara.
 Konstitusi dalam bahasa latin terdiri dari dua kata :
1. Cume : (sebuah makna preposisi) yang berarti bersama dengan
2. Stature : berasal dari kata “sta” yang berarti berdiri, berarti pula “membuat
sesuatu berdiri/mendirikan dan menetapkan”.
Secara keseluruhan berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama
(constituo).
 Menurut Jimliy Asshiddiqie :
Konstitusi adalah hukum dasar yang dapat berupa tertulis (berupa UUD) dan
tidak tertulis.
 Menurut C. F. Strong :
“A collection of principles according to which the powers of government, the rights
of government, and the relations between the two are adjusted, artinya :
“Sekumpulan aturan yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintah, hak- hak
yang diperintah, dan hubungan yang mengatur diantara keduanya.”

b) Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis


Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written
Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan
seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-
undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat
kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan
hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan
Kanada.
Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun
sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain
disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam buku (The Law and The Constitution)
menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang
menentukan:
1. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan
2. Adanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan
dilindungi
Di Indonesia, lebih menganut Konstitusi tertulis yang terwujud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Disamping itu ada juga
Konstitusi tidak tertulis dalam bentuk Konvensi yang diakui keberadaannya dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
c) Isi Konstitusi
 Menurut Steenbeek
Secara umum, UUD sebagai Konstitusi tertulis berisi tiga hal pokok : Pertama,
adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara ; Kedua,
ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental ; Ketiga,
adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.
 Menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar, UUD berisikan :
1) Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kewajiban penduduk
atau warga negara
2) Dasar-dasar susunan atau organisasi negara.
3) Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara
; dan
4) Hal-hal yang menyangkut identitas negara, seperti bendera dan bahasa
nasional.

d) Konstitusionalisme
 Menurut Ferejohn konstitusionalisme adalah suatu proses interpretasi yang
dalam satu masyarakat yang para anggotanya berpartisipasi dalam kekuasaan
politik dan secara bersama berusaha untuk menetapkan apa yang konstitusi
diijinkan atau dipersyaratkan dalam kaitannya dengan persoalan- persolan
spesifik.
 Menurut Robert N. Wilkin “Konstitusionalisme merupakan teori atau prinsip
pemerintahan konstitusional, atau menganut teori tersebut (konstitusi)”

KOMENTAR

BAB III
KONSTITUSI dan HAM
A. Pelembagaan HAM dalam Sejarah dan Konstitusi
Pergolakan mengenai perkembangan HAM dan pelembagaannya telah ada dan
berkembang dalam beberapa periode sejarah yang diakui keabsahannya secara modern,
diantaranya :
 “Perjanjian Agung” Magna Charta di Inggris pada 15 Juni 1215. Magna Charta sendiri
merupakan sebuah dokumen pembatasan kekuasaan Raja. Magna Charta memberikan
kebebasan kepada rakyat, para Baron dan pihak Gereja termasuk didalamnya
memberikan jaminan hukum. Perjanjian ini menandakan bahwa Raja harus tunduk
pada Hukum/Undang-Undang. Magna Charta memuat dua prinsip utama berkaitan
dengan pengakuan dan penegakan HAM, yaitu: (i) pembatasan terhadap kekuasaan
raja, dan (ii) pengakuan bahwa HAM lebih penting daripada kedaulatan raja
 Petition of Rights, muncul selanjutnya di Inggris pada Tahun 1628 dan secara garis
besar berisi penegasan jaminan Hak Asasi dalam hal persetujuan pungutan pajak
dan Hak warga Negara untuk medapatkan jaminan persetujuan dari intervensi
militer.
 Hobeas Corpus Act, dibuat pada tahun 1628, merupakan pakta yang dibuat guna
melindungi Hak Asasi Manusia dalam kaitannya dengan penangkapan dan penahanan.
 Bill of Right pada 1689, muncul setelah adanya revolusi tak berdarah (Glorious
Revolution) sebagai perlawanan terhadap Raja James pada tahun 1668. Bill of Rights
berisi pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan
kekuasaan terhadap siapapun atau untuk memenjarakan, menyiksa dan mengirimkan
tentara kepada siapapun tanpa dasar hukum.

 Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang sekaligus memunculkan Declaration of


Independence, pada 6 Juli 1776 memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan
dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan
serta mengganti pemerintah yang tidak mengindahkan ketentuan - ketentuan dasar
tersebut.
 The Four Freedom, dicetuskan oleh Franklin D. Roosevelt pada Kongres Amerika
Serikat tanggal 6 Januari 1941 dan berisi tentang Kebebasan untuk berbicara dan
mengeluarkan pendapat (freedom of speech), Kebebasan untuk memeluk agama
(freedom of religion), Kebebasan dari ketakutan, (freedom from fear) dan Kebebasan
dari kemelaratan (freedom from want).
 Declaration de Droits de’I home et du citoyen Prancis pada 14 Agustus 1789,
diantaranya berisi Hak asasi pemilikan harta, kekerasan, persamaan, keamanan,
perlawanan terhadap penindasan.
 Declaration of Human Rights 1948
Setelah Perang Dunia II tahun 1946 Badan PBB (UN) yang disebut ECOSOC
merancang piagam HAM yang hasilnya disahkan dalam Sidang Umum PBB (General
Assembly United Nations) pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, dikenal dengan
sebutan Piagam Sedunia tentang Hak-hak Manusia (Universal Declaration of Human
Rights). Pada tanggal 16 Desember 1966 lahir Covenant dari Sidang Umum PBB yang
mengikat secara yuridis bagi semua negara yang meratifikasi perjanjian (covenant)
tersebut. Covenant tersebut memuat: (i) perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya (covenant on economic, social dan cultural rights), dan (ii) perjanjian
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (covenant on civil and political rights).

B. Konstitusionalisme dan HAM dalam Islam


Hak Asasi Manusia secara lebih awal telah diakui kedudukannya dalam Islam
melalui Al-Quran, sebuah Kitab suci keempat yang diturunkan dalam sejarah peradaban
manusia setelah Taurat, Zabur dan Injil. Kitab yang diturunkan melalui kerasulan
Muhammad ini tidak hanya membahas tentang ibadah, tetapi juga manusia dan
kemanusiaan. Perintah wahyu pertama di gua hira yang diturunkan melalui Jibril kepada
Muhammad berupa iqra' sebuah surat yang didalamnya berisikan perintah untuk
membaca pada dasarnya menggambarkan kewajiban dan pengakuan untuk
mempertinggi harkat, derajat dan martabat manusia sebagai khalifah dalam memahami
alam semesta melalui ilmu pengetahuan. Secara maknawi, perintah mempertinggi derajat
kemanusiaan ini pada dasarnya merupakan pengakuan atas hak asasi manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna.
Al Quran tidak pernah menyebutkan secara eksplisit baik itu definisi mengenai
HAM ataupun mengenai Konstitusi. Tidak adanya definisi khusus mengenai bentuk
sebuah Konstitusi menyebabkan polarisasi dan fleksibilitas dalam penafsiran melalui Al-
Quran. Akan tetapi disebutkannya perintah untuk berlaku adil bagi pemimipin serta
dianjurkannya penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan dalam sebuah
kepemimpinan justru memberikan nilai lebih dan batasan positif dalam
penafsirannya. Hal ini kemudian menjadi dasar pemikiran pembentukan berbagai
bentuk negara dan pemerintahan oleh masyarakat Islam.
Sejarah pengakuan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Muhammad
mengalami masa keemasan pada saat dilakukannya hijrah dari Makkah menuju
Madinah. Pada saat itulah dimulai penggabungan masyarakat dan kemajuan
heterogenitas masyarakat. Islam terwujud sebagai agama yang mampu mempersatukan
perbedaan kepentingan dan kesukuan masyarakat madinah. Diangkatnya nabi sebagai
kepala negara dan pemerintahan menyebakan pemahaman akan Islam menjadi
demikian kompleks dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Peran Muhammad
dengan misi Islamnya mengalami lompatan besar dalam hal pengakuan HAM dan
kehidupan bernegara pada saat disetujuinya Piagam Madinah sebagai sebuah aturan
konstitutif atas kehidupan politik masyarakat Madinah.

C. Konstitusi Madinah
Terbentuknya Piagam Madinah sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan dan
pemerintahan di Madinah semakin membuktikan bahwa Sejarah Konstitusionalisme dan
HAM dalam Islam pada dasarnya telah dimulai sejak masa kerasulan Muhammad SAW
sebagai kepala Negara saat itu (622 M).
Konstitusi Madinah yang kemudian diakui keberadaannya sebagai sebuah
Konstitusi pertama dan otentik pada dasarnya memiliki beberapa kharakteristik
Konstitusi Modern. Sebagai sebuah Konstitusi, Piagam Madinah memuat secara explisit
megenai persatuan ummat dan dasar penerapan pembentukan kenegaraan.
Kharakteristik tersebut diantaranya;
1) Masyarakat pendukung Piagam Madinah merupakan masyarakat yang majemuk
terdiri dari beberapa ikatan kesukuan dan agama. Unsur kesukuan memegang
peranan penting bagi pembentukan awal sebuah kelompok dalam komunitas, dengan
demikian maka menjadi awal cikal bakal pembentukan negara.
2) Persamaan kedudukan dalam masyarakat yang ditandai dengan kewajiban untuk
saling menghormati, bekerjasama serta memberikan perlakuan yang adil dan wajar
sesuai dengan kemanusiaan. Termasuk pula di dalamnya perlindungan politik dan
hukum terhadap kaum minoritas.
3) Pengakuan terhadap agama dan kebebasan menjalankan ibadah bagi Muslim dan
Yahudi serta bagi umat lainnya, persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi
seluruh warga negara, pengakuan atas perjanjian perdata warga negara, Hak dan
kewajiban pembelaan negara terkait penyerangan dan pertahanan, serta pengakuan
atas perdamaian.
4) Adanya sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan yang ditandai dengan Yatsrib
sebagai pusat pemerintahan serta pembagian wewenang terhadap penyelesaian
permasalahan dalam suku/kabilah yang diserahkan urusannya kepada masing-
masing suku tersebut, dan menyerahkan urusan kepada Muhammad (pemimpin
pusat) apabila menyangkut permasalahan antar suku di Madinah.
Konstitusionalisme yang dianut oleh Negara Madinah, telah merangkum semua
sifat yang dibutuhkan oleh organisasi kenegaraan, baik sifat proklamasi (proclamation of
independence), deklarasi (declaration of birth of state), perjanjian atau pernyataan-
pernyataan yang lain (seperti halnya konsep declaration of Human Rights maupun le
droit de l'home et du citoyen) termuat pula konsepnya dalam Piagam ini. Oleh karena
kualitasnya yang serba mencakup ini, maka Piagam Madinah diakui sebagai “Konstitusi
tertulis yang pertama di dunia”. Bahkan, Konstitusi Madinah diakui pula sebagai
Konstitusi termodern pada zamannya. Modernitas ini dapat dilihat melalui adanya
komitmen yang tinggi, partisipasi masyarakat dalam pembuatan piagam dan dalam
pemerintahan, serta keterbukaan posisi kepemimpinan berdasarkan tingkat kecakapan.
Sayangnya, Demokratisasi dan egalitarianisme dalam bernegara seringkali tidak
menjadikan contoh bagi para penguasa Islam selanjutnya. Pada masa sesudah
Muhammad wafat, politik pemerintahan dan kenegaraan yang ada semakin mengarah
kepada monarkhi absolut bahkan cenderung ekstrimisme golongan.

a) Unsur HAM dalam Piagam Madinah


 Hak atas persamaan kedudukan warga negara, terdapat dalam Preambule
 Hak atas pengakuan sebagai komunitas kabilah (warga negara) termaktub
 Pengakuan atas hak untuk hidup, melangsungkan kehidupan, dan hak atas
jaminan kehidupan
 Hak mendapatkan kedudukan yang sama dan perlakuan yang adil di depan
hukum.
 Hak atas kebebasan beragama dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam
masing-masing agama
 Pengakuan atas hak dan kewajiban bela negara;
 Hak atas kemanusiaan dan jaminan perlakuan yang adil dan wajar bagi
masyarakat dan tawanan perang;
 Hak atas perdamaian dan kewajiban penegakan Perdamaian
Elaborasi HAM dalam masa kepemimpinan Rasul tidak hanya pada aspek
konstitutif Piagam Madinah saja, melainkan pada seluruh aspek kehidupan
sosiologis yang akan dibangun saat itu. Penegasan atas kesetaraan dan kemanusiaan
sebagai wujud utama pengakuan HAM dalam Islam menjadi paripurna pada saat
dibacakannya Khutbah Wada' atau “Khutbah perpisahan” yang disampaikan oleh
nabi pada saat ibadah hajinya yang terakhir. Melalui khutbah ini dapat ditafsirkan
lebih lanjut akan kajian HAM di dalamnya berupa:
 Penolakan diskriminasi ras dan warna kulit dalam masyarakat Islam dan pola
kenegaraan Islam.
 Pengakuan Hak asasi dan perlindungan terhadap kaum perempuan baik dalam
konteks sosial masyarakat maupun dalam lingkup keluarga.
 Penolakan atas eksklusivisme dan primordialisme golongan.
 Pengakuan atas kesetaraan bangsa antara bangsa arab maupun diluar bangsa
arab.
 Dasar kesetaraan HAM melalui konsep tauhidi, ketakwaan (teokratis).
 Diakuinya hak-hak asasi pribadi dan hak asasi di bidang ekonomi.

b) HAM pada masa peradaban Islam pasca Rasulullah


Pasca meninggalnya Rasulullah, maka kepemimpinan kenegaraan dan
pemerintahan diserahkan kepada para sahabat (khulafaurrasyidin). Pada masa ini
pula umat Islam mencapai kestabilan politik, ekonomi dan efektifitas dalam hal
penegakan dan pengakuan HAM terutama bagi rakyat. Lebih dari itu, Abu Bakar
sebagai pemimpin pertama setelah wafatnya Rasul kemudian memperkuat dasar-
dasar kenegaraan umat Islam serta penegasan hak dan kewajiban warga negara baik
itu dalam konteks politik, dakwah dan penegakan ajaran Islam. Hal ini kemudian
dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib sebagai
khalifah selanjutnya.
Setelah periode Khulafaurrasyidin, kepemimpinan umat Islam terwujud dalam
beberapa dinasti. Pada masa inilah pola kepemimpinan yang tadinya mengarah
pada konsep demokratis berubah ke arah absolutisme. Pada masa ini pula
perkembangan akan HAM, agama dan negara mulai dipisahkan secara jelas.
Penegakan HAM tidak semuanya diimbangi dengan kebijakan politik yang strategis.

c) HAM pada masa peradaban Islam modern


Penegakan HAM melalui konsepsi Islam pada masa modern telah mengalami
beberapa perkembangan dalam pelembagaannya. Dalam rangka menandai
permulaan abad ke-15 Era Islam, maka pada bulan September 1981 di Paris
(Perancis) diproklamasikan Deklarasi HAM Islam Sedunia.
Deklarasi HAM Islam Sedunia itu terdiri dari Pembukaan dan 22 macam hak-hak
manusia yang harus ditegakkan, yakni mencakup :
(1) Hak hidup
(2) Hak kemerdekaan
(3) Hak persamaan dan larangan terhadap adanya diskriminasi yang tidak
terizinkan.
(4) Hak mendapat keadilan.
(5) Hak mendapatkan proses hukum yang adil.
(6) Hak mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan.
(7) Hak mendapatkanperlindungan dari penyiksaan.
(8) Hak mendapatkan perlindungan atau kehormatan dan nama baik.
(9) Hak memperoleh suaka (Asylum)
(10) Hak-hak minoritas.
(11) Hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan dan manajemen
urusan-urusan publik.
(12) Hak kebebasan percaya, berpikir dan berbicara.
(13) Hak kebebasan beragama.
(14) Hak berserikat bebas.
(15) Hak ekonomi dan hak berkembang dirinya.
(16) Hak mendapatkan perlindungan atas harta benda.
(17) Hak status dan martabat pekerja dan buruh.
(18) Hak membentuk sebuah keluarga dan masalah-masalahnya
(19) Hak-hak wanita yang sudah menikah.
(20) Hak mendapatkan pendidikan.
(21) Hak menikmati keleluasaan pribadi (privacy)
(22) Hak mendapatkan kebebasan berpindah dan bertempat tinggal.

d) Islam dan HAM dalam perkembangan kebangsaan Indonesia


Masuknya Islam di bumi Nusantara telah mempengaruhi kondisi sosio kultural
masyarakat. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam menandai awal mula kemajuan
peradaban dan pemerintahan Islam di wilayah Nusantara. Islam masuk secara damai
salah satunya melalui jalur perdagangan dan berkembang pengajarannya melalui
jalan dakwah. Islam saat itu datang sebagai agama Tauhid yang kemudian
melakukan pembaharuan di bidang keyakinan masyarakat terkait persamaan
kedudukan manusia serta dihapusnya pola feodalisme yang memisahkan derajat
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Islam bahkan menghapuskan
kasta yang pada saat itu masih menjadi rujukan dalam konteks pergaulan sosial
masyarakat. Melalui kekuatan sosiologis dan budaya yang telah menyatu, Islam
kemudian tampil sebagai salah satu agama yang cukup dominan di wilayah
Nusantara terutama dalam konsep Kemanusiaan (HAM), pendidikan, pemerintahan,
keagamaan serta konsep perekonomiam perdagangan.
Meskipun demikian, dalam rangkaian sejarah perumusan hukum pasca
diperolehnya kemerdekaan bangsa Indonesia tidaklah serta merta menjadikan Islam
sebagai acuan dan dasar dalam pembentukan negara indonesia saat itu. Sebagai salah
satu komponen penting dalam struktur sosial Indonesia, ide pemikiran Islam
ternyata tidak mendominasi pembentukan kenegaraan Indonesia sebagaimana
terjadi dalam perdebatan penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar yang
diselenggarakan BPUPKI pada awal masa kemerdekaan Indonesia. Tidak berhasilnya
ide akan negara Islam pada saat itu telah memberikan pelajaran besar bagi
masyarakat Islam akan pentingnya pengakuan atas persamaan heterogenitas sosial,
masyarakat dan agama dalam sebuah negara. Tidak masuknya ide Islam ini bukan
pula merupakan sebuah pengingkaran atau penafian terhadap peran Islam itu
sendiri.

D. Islam dan HAM dalam Konstitusi Indonesia


a) Pembahasan ide Islam dalam UUD 1945
Pada awal pembahasan Undang-Undang Dasar dalam rapat BPUPKI, para

penyusun telah memperdebatkan bentuk negara termasuk di dalamnya perdebatan


atas pemasukan unsur Islam yang dilontarkan oleh KI Bagoes Hadikoesoemo. Dalam
uraiannya, beliau menawarkan ide akan keistimewaan dan relevansi asas Islam dalam
pembentukan Negara Indonesia. Ki Bagoes mengatakan relevansi empat ajaran
pokok dalam Islam berupa; Ajaran iman atau kepercayaan kepada Allah SWT; Ajaran
beribadah, berhikmat dan berbakt kepada Allah; Ajaran beramal salih; Ajaran
berjihad di jalan Allah. Berseberangan dengan itu, Soepomo dan Hatta menolak ide
pembentukan Negara berdasarkan asas Islam. Keduanya menghawatirkan adanya
isu kecemburuan minoritas serta dalam kemajemukan budaya. Penolakan terhadap
isu negara Islam juga turut dikemukakan oleh Soekarno pada rapat lanjutan 1 Juni
1945.
Penolakan terhadap dimasukkannya ide-ide negara Islam ke dalam sebuah
Konstitusi pada dasarnya membuktikan bahwa Islam tidak selayaknya menempatkan
diri dalam posisi yang bersaing vis-a-vis dengan komponen lainnya dalam hal
penerapan konsep Negara berdasarkan ideologi Islam dalam Konstitusi negara
bangsa Indonesia. Akan tetapi, Islam harus ditampilkan sebagai unsur komplementer
dalam fondasi tatanan sosial, kultural, dan politik negeri ini. Upaya menjadikan
Islam sebagai suatu ideologi alternatif atau pemberi warna tunggal hanya akan
membawa perpecahan dalam masyarakat secara secara keseluruhan mengingat corak
sosial masyarakat Indonesia yang beragam.

b) Unsur HAM dalam Konstitusi Indonesia


1. HAM dalam UUD 1945
Setelah disahkan serta berlakunya Undang Undang Dasar tersebut sebagai
Konstitusi Indonesia, maka terdapat beberapa cakupan rumusan Hak Asasi
Manusia secara lengkap yang terkandung di dalamnya. Secara kuantitatif, pasal-
pasal yang menerangkan HAM dalam UUD 1945 berjumlah delapan buah dan satu
pembahasan lagi pada alinea I Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, menurut
pandangan Dahlan Thaib, terdapat 15 prinsip Hak Asasi Manusia, diantaranya
adalah :
 Hak untuk menentukan nasib sendiri
(Pembukaan UUD 1945 alinea I)
 Hak akan warga negara
(Pasal 26 ayat (1) dan (2) UUD 1945)
 Hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hokum
(Pasal 27 ayat (1) UUD 1945)
 Hak untuk bekerja
(Pasal 27 ayat (2) UUD 1945)
 Hak akan hidup layak
(Pasal 27 ayat (2) UUD 1945)
 Hak untuk berserikat
(Pasal 28 UUD 1945)
 Hak untuk menyatakan pendapat
(Pasal 28 UUD 1945)
 Hak untuk beragama
(Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945)
 Hak untuk membela negara
(Pasal 30 UUD 1945)
 Hak untuk mendapatkan pengajaran
(Pasal 31 UUD 1945)
 Hak akan kesejahteraan social
(Pasal 33 UUD 1945)
 Hak akan jaminan social
(Pasal 34 UUD 1945)
 Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan
(Penjelasan Pasal 24 dan 25a UUD 1945)
 Hak mempertahankan tradisi budaya
(Penjelasan Pasal 32 UUD 1945)
 Hak mempertahankan bahasa daerah
(Penjelasan Pasal 36 UUD 1945)

2. HAM dalam UUD RIS 1949 (Konstitusi RIS 1949)


Konstitusi RIS mulai berlaku sejak 14 Desember 1949. Sebelumnya, ide
pembentukan Republik Indonesia Serikat bermula dari diadakannya Konferensi
Meja Bundar (KMB /Round Table Conference) pada 23 Agustus – 2 Desember
1949 di Den Haag. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari republic Indonesia
dan B. F. O (Bijeenkoomst Voor Federal Overleg) serta wakil Nederland dan Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia. Dibentuknya Konstitusi RIS ini
pada dasarnya dipengaruhi politik pecah belah belanda melalui agresinya yang
kedua. Dalam pada itu, secara politik pihak Belanda melakukan penekanan
guna memperkecil wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sebagai dasar
berdirinya Republik Indonesia Serikat, kemudian dirancang sebuah Undang-
undang Dasar oleh Delegasi RI dengan BFO yang kemudian dikenal dengan
nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dalam pada itu, konstitusi RIS
memiliki Rumusan HAM yang cukup kompleks. Hal ini dibuktikan dengan
pengaturan bab tersendiri dari HAM tersebut (BAB I bagian 5 Hak-hak dan
kebebasan dasar manusia – didalamnya terdapat 27 Pasal). Selain itu, konstitusi
RIS juga mengatur kewajiban pemerintah yang berkaitan erat dengan jaminan
pengakuan atas HAM – (diatur dalam BAB I, bagian 6 Asas- asas Dasar, berisikan 8
Pasal). Dengan demikian konstitusi RIS memiliki 2 sub bab yang mengatur HAM.
Yang pertama mengatur HAM secara mendasar, dan yang kedua mengatur
kewajiban asasi dalam rangka penegakan HAM. Bila dilihat dan dijumlahkan
secara keseluruhan, maka jumlah pasal konstitusi RIS yang mengatur HAM adalah
35 pasal.

3. HAM dalam UUDS 1950


UUDS 1950 secara resmi mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950 melalui
ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1950. Meskipun naskah UUDS ini merupakan
naskah yang sama sekali baru akan tetapi kajian HAM dalam setiap pasalnya
sangat urgen untuk dikaji. Secara kuantitatif, HAM dalam UUDS 1950 berjumlah
34 pasal, dan secara anatomik Rumusan HAM dalam UUDS 1950 tidak
berbeda jauh dengan Rumusan HAM dalam UUD RIS 1949. Hanya saja, HAM
dalam UUDS ini telah mengalami sedikit banyak perubahan atau modifikasi. Paling
tidak, dalam UUDS ini mulai dicantumkan dua hak baru, yakni “Hak mogok”
dan “Hak milik yang memiliki fungsi sosial.” Selain itu, ada juga pembahasan
mengenai kebebasan beragama secara lebih spesifik.

4. HAM dalam amandemen I UUD NRI tahun 1945


Perubahan pertama (amandemen I) disahkan pada tanggal 19 Oktober 1949
disahkan dalam sidang umum MPR RI antara tanggal 12-19 Oktober 1999, dan
boleh dikatakan bahwa amandemen pertama ini merupakan tanggal sejarah yang
telah berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian
kalangan masyarakat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945
bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama
sekali. Secara umum inti perubahan I UUD 1945 menyoroti perihal kekuasaan
Presiden (eksekutif). Dan dalam amandemen I tidak dilakukan perubahan
pengurangan atau penambahan materi-materi tentang HAM. Jumlah materi HAM
yang ada masih cenderung sama dengan sebelum diadakannya amandemen.
Adapun amandemen I UUD NRI tahun 1945 ini mencakup 9 pasal yaitu pasal 5
ayat (1), pasal 7, pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), pasal 13 ayat (2), dan ayat (3),
pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), pasal 20
ayat (1) sampai ayat (4), dan pasal 21.
5. HAM dalam amandemen II UUD NRI Tahun 1945
Perubahan kedua (amandemen II) UUD NRI Tahun 1945 ditetapkan dalam sidang
Tahunan MPR pada tanggal 7 sampai 18 Agustus 2002. Cakupan materi yang
diubah pada naskah perubahan kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu
mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang
“Pemerintah Daerah”, Bab VII tentang “Dewan Perwakilan Rakyat”, Bab IXA tentang
“Wilayah Negara”, Bab X tentang “Hak Asasi Manusi”, Bab XII tentang “Pertahanan
dan Keamanan Negara”, dan Bab XV tentang “Bendera, Bahasa dan Lambang Negara
serta Lagu Kebangsaan.” Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir
ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang
mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama
sekali. Salah satu poin terpenting dari amandemen kedua UUD NRI Tahun 1945
adalah adanya penambahan materi tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pada
amandemen kedua kali ini, HAM dimasukkan dalam satu Bab tersendiri, yaknbi
BAB XA mengenai “Hak Asasi Manusia” yang berisikan 10 pasal.
Pemberian bab tersendiri terhadap Rumusan HAM dalam amandemen II ini harus
diakui sebagai sebuah keberhasilan dalam proses pengakuan, pemenuhan, dan
penegakan HAM. Akan tetapi, menurut Saldi Isra, materi muatan HAM dalam
Perubahan Kedua UUD 1945 tidak konsisten dalam merumuskan kategori hak-hak
asasi, apakah pembagiannya menuut kategori Hak sipil dan hak ekonomi, sosial
dan budaya, ataukah mendefinisikannya dengan menggunakan pembagian atas
derogable rights dan nonderogable rights, ataukah merumuskannya dengan cara
memuat hak-hak individual, komunal, dan vulnerable rights.
Sedangkan menurut Majda, ketidakjelasan makna penegakan HAM terlihat dari Bab
Pasal 27 ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 ayat (1) tentang Hak atas pembelaan
negara. Hal yang sama juga terjadi pada Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27
ayat (1) tentang Hak atas persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Begitu juga pada Bab XA Pasal 28F dengan Pasal 28 tentang Hak berserikat dan
berkumpul. Ketidakjelasan lainnya juga terlihat dari penekanan muatan HAM yang
tidak jelas sebagai akibat dari penggabungan muatan HAM dengan muatan HAM
lainnya yang sebenarnya tidak sejalan atau tidak sinkron, seperti pada BAB XA Pasla
28E yang menggabungkan hak beragama dengan hak mendapatkan pekerjaan dan
hak atas kewarganegaraan.
Menurut pandangan Satya Arinanto, secara redaksional materi muatan HAM
dalam perubahan kedua UUD 1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang
berasal atau setidak-tidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM
sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. XVII / MPR / 1998 tentang Hak Asasi
Manusia. Melalui analisis para sarjana hukum tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa Rumusan HAM dalam amandemen (perubahan) ke II UUD
NRI Tahun 1945 bisa dikatakan belumlah sempurna. Ketidaksempurnaan pada
amandemen II ini semakin terlihat bila diperbandingkan dengan naskah HAM pada
konstitusi RIS 1949 yang dapat dikatakan sangat signifikan (Pada konstitusi
RIS 1949, rincian Rumusan tentang HAM diatur dan dirinci secara lengkap dan
terpisah pada tiap pasalnya, tidak secara tumpang tindih seperti dalam amandemen
II UUD NRI Tahun 1945). Namun demikian, harus diakui bahwa pengaturan materi
muatan HAM yang dilakukan melalui amandemen II merupakan sebuah starting
point dalam upaya penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Sedangkan,
kekurangan yang ada tersebut dapat diminimalisir dengan cara memaksimalkan
implementasi penegakan HAM, serta memperjelasnya dengan peraturan
perundang-undangan yang ada dibawahnya secara lebih lanjut.

6. HAM dalam Amandemen (Perubahan) ke III UUD NRI Tahun 1945


Amandemen II UUD NRI Tahun 1945 ditetapkan pada tanggal 9 November 2001
melalui sidang Tahunan MPR-RI tanggal 7 sampai 9 November 2001. Bab-bab di
dalam UUD 1945 yang mengalami perubahan adalah Bab I tentang “Bentuk dan
Kedaulatan”, Bab II Tentang “Mejelis Permusyawaratan Rakyat”, Bab III tentang
“Kekuasaan Pemerintah Negara”, Bab V tentang “Kementerian Negara”, BAb VIIA
tentang “Dewan Perwakilan Daerah”, Bab VIIB tentang “Pemilihan Umum”, dan Bab
VIIIA tentang “Badan Pemeriksa Keuangan”. Menurut Jimliy Asshiddiqie, Dari
segi jumlahnya dapat dikatakan perubahan ketiga ini paling luas cakupan
materinya (7 BAB, 23 Pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat). Dan disamping itu
substansi yang diaturnya sebagian besar sangat mendasar. Materi yang tergolong
sukar mendapatkan kesempatan cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-
sidang terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi perubahan
ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi
perubahan ketiga ini dapat dikatakan sangat mendasar pula. Dalam amandemen III
ini tidak terdapat perubahan (pengurangan atau penambahan) Rumusan HAM
dalam tiap pasalnya, dan dalam hal ini Rumusan HAM masih sama persis seperti
halnya yang terangkum dalam amandemenke II UUD NRI Tahun 1945.

7. HAM dalamAmandemen (perubahan) IV UUD NRI Tahun 1945


Amanademen (Perubahan) IV UUD 1945 disahkan dan ditetapkan pada tanggal 10
Agustus 2002 melalui sidang Tahunan MPR-RI tanggal 1 sampai 10 Agustus 2002.
Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan
perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal
5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh
Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan kalimat “Perubahan
tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan”; (c) Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi
Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) Penghapusan judul
Bab IV tentang “Dewan Pertimbangan Agung” dan pengubahan substansi Pasal 16
serta penempatannya ke dalam Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintah Negara”; (e)
Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat
(3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3), Bab XIII,
Pasal 31 ayat (1), ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat
(5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian secara
keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk
satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31
butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari
naskah UUD. Sedangkan apabila berbicara mengenai Rumusan HAM yang ada
dalam Amandemen IV (penambahan maupun pengurangan Rumusan HAM dari
sebelumnya) terdapat dalam 4 pasal yaitu Pasal 31 sampai Pasal 34 UUD NRI
Tahun 1945.
Secara kualitas maupun kuantitas, materi muatan HAM yang dirubah dalam
amandemen IV cenderung lebih sedikit bila dibandingkan dengan materi (rumusan)
HAM yang ada dalam amandemen II. Disamping itu, amandemen IV lebih menyoroti
perspektif HAM dari sudut kewajiban asasi negara/pemerintah dalam rangka
pengakuan dan penegakan atas HAM, atau dengan kata lain amandemen IV ini
merupakan bahan pelengkap (complementary) atas muatan HAM yang telah ada
dalam amandemen II UUD NRI Tahun 1945.
Akan tetapi, yang perlu menjadi catatan penting dalam hal pergeseran makna HAM

baik itu dalam UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950, maupun dalam amandemen
UUD NRI Tahun 1945 adalah adanya korelasi dan ketergantungan yang kuat
terhadap konfigurasi politik tertentu. Meminjam pendapat Mahfud MD : “Jika
konfigurasi politik demokratis, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi
yang relatif proporsional, tetapi jika konfigurasi politik sedang bekerja di bawah
payung otoritarian maka HAM pun akan mendapat perlakuan yang buruk.
Melalui tolak ukur tersebut, dapat disimpulkan bahwa UUD RIS 1949 dan UUDS
1950 merupakan konstitusi yang secara lengkap mengadopsi muatan UDHR /
DUHAM PBB 1948. Sedangkan bila dilihat pada UUD NRI Tahun 1945 sesudah
amandemen, meski masih terdapat banyak kekurangan tetapi konstitusi itu
memiliki implementasi (Konstitusionalisme) yang lebih banyak dibandingkan
dengan UUD RIS maupun UUDS 1950 Adopsi atas instrumen-instrumen HAM
Internasional justru terlihat pada elaborasi peraturan perundang-undangan
yang ada dibawahnya
IMPLIKASI ISI BUKU

A. Terhadap Pembangunan

B. Analisis Mahasiswa

Anda mungkin juga menyukai