BAB I
NEGARA DAN KONSTITUSI
A. Manusia, Negara dan Bangsa
Manusia adalah makhluk sosial (homo homini lopus), manusia itu sendiri berada
dalam roda kehidupan yang kompleks dan multidimensional. Disamping itu, adalah
naluri alamiah manusia sebagai makhuk social yang tidak pernah terlepas dari
keinginan untuk membentuk suatu komunitas yang kemudian dikenal dalam bentuk
bangsa yang selanjutnya meleburkan diri ke dalam sebuah wadah politis dan territorial
yang bernama Negara. Dengan demikian, terdapat sebuah garis historis antara manusia,
Negara dan bangsa.
C. Definisi Negara
Menurut istilah asing, Negara dikenal dengan beberapa penyebutan: “state”
(bahasa inggris), “staat” (bahasa belanda), “d’etat” (bahasa Perancis), “estado” (bahasa
Spanyol) yang berasal dari induk kata bahasa latin “status” atau “statum” yang berarti
menaruh dalam keadaan berdiri ,membuat berdiri, menempatkan berdiri.
Sedangkan menurut istilah Indonesia, Negara berasal dari bahasa sanskerta,
yakni “nagari” atau “nagara” yang berarti kota. Apapun penyebutannya, negara memiliki
pengertian sebagai organisasi kekuasaan yang bersifat mengatur masyarakat melalui
sebuah aturan-aturan tertentu untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah disepakati
bersama dalam rangka menciptakan kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraan. Oleh
sebab itu, unsur utama yang harus dimiliki oleh negara adalah: Rakyat, wilayah,
pemerintahan yang berdaulat, serta adanya pengakuan dari bangsa lain (bilamana
diperlukan).
KOMENTAR
BAB II
Konstitusi dan Konstitusionalisme
A. Sejarah dan pemikiran awal tentang Konstitusi
Pemikiran dan ide awal tentang Konstitusi pada dasarnya telah muncul sejak masa
lampau, yaitu masa dimana mulai berkembangnya poses unifikasi masyarakat menjadi
sebuah komunitas rakyat dalam satu bentuk pengakuan kedaulatan di bawah satu
system pemerintahan. Adalah Yunani kuno, sebuah wilayah yang melahirkan ide gagasan
tentang konstitusi yang didahului dengan munculnya bentuk Negara kota (polis) yang
kemudian memunculkan pula ide-ide dengan politik, pemerintahan, negara dan sosial.
Gagasan mengenai konstitusi secara maknawi diperkenalkan oleh Plato melalui
tulisan-tulisan dalam “Nomoi”, demikian halnya dengan Socrates yang meneruskan
konsep kekuasaan (power), rakyat dan pemerintahan melalui karyanya “Panatheenaicus”
maupun “aeropagiticus”. Pada masa klasik ini, perkembangan konstitusionalisme masih
pada taraf yang amat primitif dan diberlakukan pada negara kota (polis) yunani kuno.
Selaras dengan itu, Aristoteles yang mewarisi pemikiran Plato dan hidup dalam rentang
waktu selanjutnya, melalui “Politics” membahas lebih lengkap mengenai Konstitusi
termasuk di dalamnya konsep kedaulatan (sovereignity), kekuasaan Negara (power),
dan pemerintahan.
Selanjutnya, gagasan tentang Konstitusi mulai berkembang pesat pada masa
Romawi dimana gagasan tersebut telah sampai pada tahap pengertiannya sebagai
“superiority law” atau hukum tertinggi. Pada tahapan masa ini, Konstitusi dimaknai
sebagai suatu aturan hukum yang terpisah dari Negara dan kedudukannya pun jauh lebih
tinggi. Senada dengan itu, Cicero mengartikan suatu Negara sebagai a bond of law
(vinculum yuris). Dengan demikian, maka Konstitusi pun mulai dipahami sebagai aturan
tertinggi yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan
sesuai dengan prinsip the higher law. Hal ini lantas berimplikasi pada diperkenalkannya
hierarki peraturan (hukum) di bawah konstitusi dan penyelenggaraan pemerintahan
dengan berpegang pada konstitusionalisme.
Baik itu pemikiran konstitusi pada masa Yunani maupun Romawi, keduanya sama-
sama membuktikan keniscayaan akan dibutuhkannya Konstitusi dalam lingkup
kehidupan dan susunan sebuah Negara. Sejalan dengan itu, Konstitusi pada masa modern
mengalami perkembangan yang luar biasa signifikan seiring dengan peradaban
bernegara. Konstitusi yang pada awal kemunculannya masih berupa gagasan ide, secara
pasti mulai menemukan bentuk tubuhnya. Bisa dikatakan, berkembangnya sebuah
Kostitusi dibangun dari dalam ide Konstitusi itu sendiri, atau dengan kata lain,
Konstitusi itu sendirilah yang menjamin bagaimana dirinya akan dijalankan dalam
kehidupan bernegara (Konstitusionalisme).
Kondisi sosio kultural yang ada pada abad pertengahan di Eropa kontinental
menjadikan konstitusi sebagai sebuah legalitas formal atas absolutisme raja dimana ia
sendiri menjadikan Konstitusi sebagai alat kekuasaan dan hukum. Runtuhnya
romantisme dan absolutisme raja yang terjadi sedemikian rupa diiringi dengan
munculnya Revolusi dan industrialisasi di segala bidang, pada tahap selanjutnya telah
melahirkan gagasan pembentukan sekaligus lahirnya Konstitusi yang di dalamnya
memperhatikan hak-hak individu melalui proses suksesi kala itu. Konstitusi mengalami
perluasan substansi justru pada masa era Negara hukum modern. Konsep Negara hukum
yang muncul dalam dua konsep rechtsstaat dan rule of law merupakan era dimana
konstitusionalisme benar-benar terimplementasikan secara proposional dalam
penyelenggaraan Negara. Baik antara rechhtstaat yang muncul di eropa kontinental
maupun rule of law yang berkembang di wilayah anglo saxon dan anglo-amerika,
keduanya senada menempatkan Konstitusi sebagai tolak utama penyelenggaraan Negara
dan pemerintahan. Keduanya bahkan menempatkan HAM didalamnya.
d) Konstitusionalisme
Menurut Ferejohn konstitusionalisme adalah suatu proses interpretasi yang
dalam satu masyarakat yang para anggotanya berpartisipasi dalam kekuasaan
politik dan secara bersama berusaha untuk menetapkan apa yang konstitusi
diijinkan atau dipersyaratkan dalam kaitannya dengan persoalan- persolan
spesifik.
Menurut Robert N. Wilkin “Konstitusionalisme merupakan teori atau prinsip
pemerintahan konstitusional, atau menganut teori tersebut (konstitusi)”
KOMENTAR
BAB III
KONSTITUSI dan HAM
A. Pelembagaan HAM dalam Sejarah dan Konstitusi
Pergolakan mengenai perkembangan HAM dan pelembagaannya telah ada dan
berkembang dalam beberapa periode sejarah yang diakui keabsahannya secara modern,
diantaranya :
“Perjanjian Agung” Magna Charta di Inggris pada 15 Juni 1215. Magna Charta sendiri
merupakan sebuah dokumen pembatasan kekuasaan Raja. Magna Charta memberikan
kebebasan kepada rakyat, para Baron dan pihak Gereja termasuk didalamnya
memberikan jaminan hukum. Perjanjian ini menandakan bahwa Raja harus tunduk
pada Hukum/Undang-Undang. Magna Charta memuat dua prinsip utama berkaitan
dengan pengakuan dan penegakan HAM, yaitu: (i) pembatasan terhadap kekuasaan
raja, dan (ii) pengakuan bahwa HAM lebih penting daripada kedaulatan raja
Petition of Rights, muncul selanjutnya di Inggris pada Tahun 1628 dan secara garis
besar berisi penegasan jaminan Hak Asasi dalam hal persetujuan pungutan pajak
dan Hak warga Negara untuk medapatkan jaminan persetujuan dari intervensi
militer.
Hobeas Corpus Act, dibuat pada tahun 1628, merupakan pakta yang dibuat guna
melindungi Hak Asasi Manusia dalam kaitannya dengan penangkapan dan penahanan.
Bill of Right pada 1689, muncul setelah adanya revolusi tak berdarah (Glorious
Revolution) sebagai perlawanan terhadap Raja James pada tahun 1668. Bill of Rights
berisi pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan
kekuasaan terhadap siapapun atau untuk memenjarakan, menyiksa dan mengirimkan
tentara kepada siapapun tanpa dasar hukum.
C. Konstitusi Madinah
Terbentuknya Piagam Madinah sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan dan
pemerintahan di Madinah semakin membuktikan bahwa Sejarah Konstitusionalisme dan
HAM dalam Islam pada dasarnya telah dimulai sejak masa kerasulan Muhammad SAW
sebagai kepala Negara saat itu (622 M).
Konstitusi Madinah yang kemudian diakui keberadaannya sebagai sebuah
Konstitusi pertama dan otentik pada dasarnya memiliki beberapa kharakteristik
Konstitusi Modern. Sebagai sebuah Konstitusi, Piagam Madinah memuat secara explisit
megenai persatuan ummat dan dasar penerapan pembentukan kenegaraan.
Kharakteristik tersebut diantaranya;
1) Masyarakat pendukung Piagam Madinah merupakan masyarakat yang majemuk
terdiri dari beberapa ikatan kesukuan dan agama. Unsur kesukuan memegang
peranan penting bagi pembentukan awal sebuah kelompok dalam komunitas, dengan
demikian maka menjadi awal cikal bakal pembentukan negara.
2) Persamaan kedudukan dalam masyarakat yang ditandai dengan kewajiban untuk
saling menghormati, bekerjasama serta memberikan perlakuan yang adil dan wajar
sesuai dengan kemanusiaan. Termasuk pula di dalamnya perlindungan politik dan
hukum terhadap kaum minoritas.
3) Pengakuan terhadap agama dan kebebasan menjalankan ibadah bagi Muslim dan
Yahudi serta bagi umat lainnya, persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi
seluruh warga negara, pengakuan atas perjanjian perdata warga negara, Hak dan
kewajiban pembelaan negara terkait penyerangan dan pertahanan, serta pengakuan
atas perdamaian.
4) Adanya sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan yang ditandai dengan Yatsrib
sebagai pusat pemerintahan serta pembagian wewenang terhadap penyelesaian
permasalahan dalam suku/kabilah yang diserahkan urusannya kepada masing-
masing suku tersebut, dan menyerahkan urusan kepada Muhammad (pemimpin
pusat) apabila menyangkut permasalahan antar suku di Madinah.
Konstitusionalisme yang dianut oleh Negara Madinah, telah merangkum semua
sifat yang dibutuhkan oleh organisasi kenegaraan, baik sifat proklamasi (proclamation of
independence), deklarasi (declaration of birth of state), perjanjian atau pernyataan-
pernyataan yang lain (seperti halnya konsep declaration of Human Rights maupun le
droit de l'home et du citoyen) termuat pula konsepnya dalam Piagam ini. Oleh karena
kualitasnya yang serba mencakup ini, maka Piagam Madinah diakui sebagai “Konstitusi
tertulis yang pertama di dunia”. Bahkan, Konstitusi Madinah diakui pula sebagai
Konstitusi termodern pada zamannya. Modernitas ini dapat dilihat melalui adanya
komitmen yang tinggi, partisipasi masyarakat dalam pembuatan piagam dan dalam
pemerintahan, serta keterbukaan posisi kepemimpinan berdasarkan tingkat kecakapan.
Sayangnya, Demokratisasi dan egalitarianisme dalam bernegara seringkali tidak
menjadikan contoh bagi para penguasa Islam selanjutnya. Pada masa sesudah
Muhammad wafat, politik pemerintahan dan kenegaraan yang ada semakin mengarah
kepada monarkhi absolut bahkan cenderung ekstrimisme golongan.
baik itu dalam UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950, maupun dalam amandemen
UUD NRI Tahun 1945 adalah adanya korelasi dan ketergantungan yang kuat
terhadap konfigurasi politik tertentu. Meminjam pendapat Mahfud MD : “Jika
konfigurasi politik demokratis, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi
yang relatif proporsional, tetapi jika konfigurasi politik sedang bekerja di bawah
payung otoritarian maka HAM pun akan mendapat perlakuan yang buruk.
Melalui tolak ukur tersebut, dapat disimpulkan bahwa UUD RIS 1949 dan UUDS
1950 merupakan konstitusi yang secara lengkap mengadopsi muatan UDHR /
DUHAM PBB 1948. Sedangkan bila dilihat pada UUD NRI Tahun 1945 sesudah
amandemen, meski masih terdapat banyak kekurangan tetapi konstitusi itu
memiliki implementasi (Konstitusionalisme) yang lebih banyak dibandingkan
dengan UUD RIS maupun UUDS 1950 Adopsi atas instrumen-instrumen HAM
Internasional justru terlihat pada elaborasi peraturan perundang-undangan
yang ada dibawahnya
IMPLIKASI ISI BUKU
A. Terhadap Pembangunan
B. Analisis Mahasiswa