Dosen :
Disusun oleh :
FAKULTAS FARMASI
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nyalahsehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul
“EVALUASIPELAYANAN INFORMASI OBAT PADA PASIEN DI INSTALASI FARMASI
RSUD KABUPATEN BEKASI” tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah
untuk mempelajari cara pembuatan proposal penelitian pada Institut Sains dan Teknologi
Nasional Jakarta dan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi jurusan Farmasi. Pada
kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan moril maupun materiil sehingga proposal penelitian ini dapat selesai.
Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada:
1. Elvina Triana Putri, M. Farm. Apt selaku penasehat akademik sekaligus pembimbing
penyusunan skripsi atas kesediaan, keikhlasan, dan kesabaran meluangkan waktunya
untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis mulai dari pencarian ide,
penyusunan proposal.
2. Orang tua penulis, Suadi dan Nurul Fadila serta saudara kandung penulis Muhammad
Sya’ban Maulana yang telah banyak memberikan doa, dukungan moril, dan materil
selama penyusunan skripsi ini.
3. Untuk kedua orang tua, kaka yesi, kaka putri dan klana doa demi kelancaran skripsi ini
dan terimakasih telah membuat preklinik penulis sangat berwarna.
4. Dan seluruh teman-teman penulis yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu atas
motivasi, doa, dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
Meskipun telah berusaha menyelesaikan proposal penelitian ini sebaik mungkin, penulis
menyadari bahwa proposal penelitian ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca guna menyempurnakan
segala kekurangan dalam penyusunan proposal penelitian ini. Akhir kata, penulis berharap
semoga proposal penelitian ini berguna bagi para pembaca dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang
tak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi
kepada pelayanan pasien. Sebagai upaya untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di
rumah sakit yang berorientasi pada keselamatan pasien dikeluarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014 (Permenkes No. 58, 2014).
Pelayanan kefarmasian adalah syarat dari pengobatan untuk tujuan keberhasilan
terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.Tujuan terapi yaitu (1) mengobati
penyakit, (2) menguragi gejala yang dialami oleh pasien, (3) mencegah atau
memperlambat penyebaran penyakit, atau (4) mencegah penyakit ataupun gejalanya.
Pelayanan kefarmasian melibatkan proses co-operatif seorang farmasis dengan pasien
dan tenaga kesehatan lainnya dalam merancang, menerapkan, dan monitoring rencana
pengobatan yang akan menghasilkan outcome terapi spesifik untuk pasien (EDQM,
2012).
Belum semua pasien tahu dan sadar akan apa yang harus dilakukan tentang obat-
obatnya, oleh sebab itu untuk mencegah kesalahgunaan, penyalahgunaan, dan adanya
interaksi obat yang tidak dikehendaki, pelayanan informasi obat dirasa sangat diperlukan.
Farmasis dapat berkontribusi untuk meningkatkan hasil dari farmakoterapi dengan cara
memberikan edukasi dan konseling pada pasien untuk menyiapkan dan memotivasi
pasien agar menaati aturan farmakoterapi dan kegiatan monitoring. Edukasi dan
konseling merupakan hal yang paling efektif ketika diselenggarakan di dalam ruangan
atau tempat yang menjamin privasi dan memiliki kesempatan untuk menjaga rahasia
komunikasi (Yamada and Nabeshima, 2015).
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a. Apakah kelengkapan rincian informasi obat yang diberikan pada pasien di
instalasi farmasi RSUD Panembahan Senopati saat pelayanan informasi obat telah
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit?
b. Apakah permasalahan yang ditemukan dalam teknis pelayanan informasi obat
yang diberikan pada pasien di instalasi farmasi RSUD Panembahan Senopati
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit?
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seperti apakah pelayanan informasi
obat pada pasien di instalasi farmasi RSUD Panembahan Senopati Bantul,
Yogyakarta dengan mengacu pada standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengidentifikasi kelengkapan informasi yang diberikan Apoteker pada pasien di
instalasi farmasi RSUD Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta dengan standar
pelayanan kefarmasian berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun
2014 tentang pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
b. Mengidentifikasi permasalahan yang ditemukan dalam teknis pelayanan informasi
obat yang diberikan pada pasien di instalasi farmasi RSUD Panem bahan Senopati
Bantul, Yogyakarta.
C. Manfaat Penelitian
a. Manfaat praktis
Informasi ini dapat digunakan apoteker agar dapat mengerti cakupan dalam
memberikan informasi obat minimal yang harus diberikan di instalasi farmasi rumah
sakit pada pasien di instalasi farmasi RSUD Panembahan Senopati, berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014, untuk
mendapatkan informasi tentang: (1) kelengkapan informasi yang diberikan sesuai
dengan standar pelayanan kefarmasian menurut Peraturan Menteri kesehatan, (2)
teknis pelayanan informasi obat yang sesuai dengan Permenkes.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Apoteker
Apoteker menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 889 Tahun 2011 adalah
Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan Apoteker (Permenkes No.889, 2011). Apoteker sebagai pelaku utama pelayanan
kefarmasian yang bertugas sebagai pelaksana kesehatan diberi wewenang sesuai dengan
kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan
kewajibannya (Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, 2011).
Berdasarkan PP No. 51 tahun 2009 pasal 21 ayat 1 tentang pekerjaan kefarmasian,
dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. Ayat 2 menjelaskan jika penyerahan
dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker. Menurut pasal
19, yang dimaksud dengan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa: (1)apotek,
(2)instalasi farmasi rumah sakit, (3)puskesmas, (4)klinik, (5)toko obat, atau (6)praktek
bersama.
Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian. Setiap tenaga kefarmasian yang
menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi berupa STRA
bagi Apoteker (Permenkes No. 889, 2011).
B. Pharmaceutical care
Pharmaceutical care adalah praktek kefarmasian yang diberikan secara langsung
(directly provided) dan bertanggung jawab (responsibility) oleh apoteker kepada pasien
terkait dengan pengobatan (medication related), yang mengahasilkan outcome sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (quality of life) (Cipolle, Strand, dan Morley,
2004).
Medication related pada pharmaceutical care tidak hanya menyediakan terapi
obat namun juga mengambil keputusan mengenai penggunaan obat pada pasien.
Sedangkan yang dimaksud dengan care yaitu, apoteker tidak hanya melayani jual beli
obat, namun juga harus peduli pada pasiennya seperti menggali informasi tentang
kebiasaan pasien dalam menjaga kesehatan serta cara penggunaan obat (Cipolle, Strand,
dan Morley, 2004).
Apoteker harus memiliki komitmen dan tanggung jawab berupa pelayanan
kefarmasian yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi klinis pasien, dengan cara menjamin
semua terapi yang diterima oleh pasien adalah terapi yang aman, paling efektif, paling
sesuai dan praktis. Selain itu, Apoteker harus memberikan pelayanan secara
berkesinambungan, artinya Apoteker selalu siap dalam mengidentifikasi, mencegah dan
memecahkan permasalahan terkait terapi yang diberikan pada pasien (Cipolle, Strand,
dan Morley, 2004).
Pharmaceutical care terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: penyusunan informasi
dasar terkait pasien atau database pasien, evaluasi (assessment), penyusunan Rencana
Pelayanan Kefarmasian (RPK), implementasi RPK, monitoring RPK dan melakukan
follow up atau tindak lanjut.
Seluruh tahap pelayanan kefarmasian ini dilakukan melalui suatu proses
konseling dan penyuluhan pada pasien terkait penyakit yang sedang diderita.
Pharmaceutical care dapat menurunkan kejadian yang merugikan pasien dalam
penggunaan obat, terutama pada pengobatan jangka panjang dan dapat meningkatkan
kesadaran pasien akan efek yang merugikan dari obat (Cipolle, Strand, dan Morley,
2004).
C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Penyelenggaraan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit harus didukung
oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang berorientasi kepada
keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional. Sumber daya kefarmasian yang
dimaksud meliputi sumber daya manusia, dan sarana prasarana.
1. Pengelolaan Sumber Daya
a. Sumber daya manusia
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, rumah sakit
harus memiliki tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga
nonkesehatan.
Tenaga kefarmasian khususnya Apoteker harus memiliki
kompetensi sebagai berikut:
1. Mampu melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan etik.
2. Mampu menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan sediaan
farmasi.
3. Mampu melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan.
4. Mampu memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi dan alat
kesehatan sesuai standar yang berlaku.
5. Mempunyai keterampilan dalam pemberian informasi sediaan farmasi
dan alat kesehatan.
6. Mampu berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan
masyarakat.
7. Mampu mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan
standar yang berlaku.
8. Mempunyai keterampilan organisasi dan mampu membangun
hubungan interpersonal dalam melakukan praktek kefarmasian.
9. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berhubungan dengan kefarmasian (Standar Kompetensi
Apoteker, 2011).
b. Sarana Prasarana
Penyelenggaraan pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus
didiukung oleh sarana dan prasarana yang memenuhi ketentuan dan
perundangundangan yang berlaku.
Fasilitas ruang harus memadai dalam hal kualitas dan kuantitas
agar dapat menunjang fungsi dan proses Pelayanan Kefarmasian,
menjamin lingkungan kerja yang aman untuk petugas, dan memudahkan
system komunikasi rumah sakit.
2. Pelayanan Kefarmasian
a. Informasi obat
Rumah Sakit harus memenuhui persyaratan lokasi, bangunan,
prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Persyaratan
kefarmasian yang dimaksud harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau (UU
No. 44, 2009). Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, meliputi
standar: (a)pengelolaan sedian farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai; dan (b)pelayanan farmasi klinik (Permenkes No.58, 2014).
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome
terapi dan meminimalkan resiko terjadinya efek samping karena obat,
untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup
pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan
meliputi: (1)pengkajian dan pelayanan resep; (2)penelusuran riwayat
penggunaan obat; (3)rekonsiliasi obat; (4)pelayanan informasi obat;
(5)konseling; (6)visite; (7)pemantauan terapi obat; (8)monitoring efek
samping obat; (9)evaluasi penggunaan obat; (10)dispensing sediaan steril;
(11)pemantauan kadar obat dalam darah (Permenkes No.58, 2014).
D. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini, dan
komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain diluar rumah sakit.
PIO bertujuan untuk: (a)menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan
tenaga kesehatan dilingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit;
(b)menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
obat/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, terutama bagi tim
farmasi dan terapi; (c)menunjang penggunaan obat yang rasional (Permenkes No.58,
2014).
Undang-undang (UU) Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit menyebutkan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kefarmasian (UU No.44,
2009).
Standar pelayanan kefarmasian meliputi pelayanan farmasi klinik. Pelayanan
farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien
dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan resiko terjadinya efek
samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas
hidup pasien (quality of life) terjamin.
Kegiatan pelayanan informasi obat berupa penyediaan dan pemberian informasi
obat yang bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan
informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan
melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin, brosur,
leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker pelayanan
informasi obat memberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang
diterima.
Indikator keberhasilan pelayanan informasi obat mengarah kepada pencapaian
penggunaan obat secara rasional di rumah sakit itu sendiri. Indikator dapat digunakan
untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan pelayanan informasi obat antara lain:
1. Meningkatnya jumlah pertanyaan yang diajukan.
2. Menurunnya jumlah pertanyaan yang tidak dapat dijawab.
3. Meningkatnya kualitas kinerja pelayanan.
4. Meningkatnya jumlah produk yang dihasilkan (leaflet, buletin, ceramah).
5. Meningkatnya pertanyaan berdasar jenis pertanyaan dan tingkat kesulitan.
6. Menurunnya keluhan atas pelayanan (Depkes RI, 2006)
E. Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit
Pelayanan informasi obat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Tujuan umum dari pedoman
pelayanan informasi obat di rumah sakit yaitu tersedianya pedoman untuk pelayanan
informasi obat yang bermutu dan berkesinambungan dalam rangka mendukung upaya
penggunaan obat yang rasional di rumah sakit.
Tujuan khusus dari pedoman pelayanan informasi obat di rumah sakit, antara lain:
1. Tersedianya acuan dalam rangka pelayanan informasi obat di rumah sakit.
2. Tersedianya landasan hukum dan operasional penyediaan dan pelayanan
informasi obat di rumah sakit.
3. Terlaksananya penyediaan dan pelayanan informasi obat di rumah sakit.
4. Terlaksananya pemenuhan kompetensi apoteker Indonesia dalam hal
pelayanan kefarmasian.
Pedoman pelayanan informasi obat di rumah sakit dimaksudkan untuk dapat
dimanfaatkan oleh petugas kesehatan terkait provider, pasien dan keluarganya,
masyarakat umum, serta institusi yang memerlukan (Depkes RI, 2006).
F. Teknis Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit
1. Metode Pelayanan Informasi Obat
Menurut Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), terdapat 5
metode yang dapat digunakan untuk melakukan pelayanan informasi obat yaitu:
a. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call.
b. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar
jam kerja dilayani oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga.
c. Pelayanan infromasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada
pelayanan informasi obat diluar jam kerja.
d. Tidak ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun diluar jam kerja.
e. Tidak ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua
apoteker instalasi farmasi di jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi obat
diluar jam kerja.
2. Kegiatan Pelayanan Informasi Obat
Menurut Permenkes No. 58 Tahun 2014, kegiatan pelayanan informasi obat meliputi:
a. menjawab pertanyaan.
b. menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter.
c. menyediakan informasi bagi Tim Farmasi dan Terapi sehubungan dengan
penyusunan Formularium Rumah Sakit.
d. bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) melakukan
kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap.
e. melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya.
f. melakukan penelitian.
Berdasarkan Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006),
pertanyaan dari pasien atau tenaga medis lain dapat diterima secara lisan, tulisan
ataupun via telpon. Tenggang waktu untuk menyampaikan jawaban dapat dilakukan
segera dalam 24 jam atau lebih dari 24 jam, baik secara lisan, tulisan maupun via
telpon.
3. Sumber Informasi yang Digunakan
Menurut Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), semua
sumber informasi yang digunakan diusahakan terbaru dan disesuaikan dengan tingkat
dan tipe pelayanan. Pustaka digolongkan ke dalam 3 kategori, yaitu:
a. Pustaka primer adalah artikel asli yang dipublikasikan penulis atau peneliti,
informasi yang terdapat didalamnya berupa hasil penelitian yang diterbitkan
dalam jurnal ilmiah. Contoh pustaka primer, antara lain laporan hasil
penelitian, laporan kasus, studi evaluatif, serta laporan deskriptif.
b. Pustaka sekunder yaitu berupa sistem indeks yang umumnya berisi kumpulan
abstrak dari berbagai macam artikel jurnal. Sumber informasi sekunder sangat
membantu dalam proses pencarian informasi yang terdapat dalam sumber
informasi primer. Sumber informasi ini dibuat dalam berbagai database,
contoh: medline yang berisi abstrak-abstrak tentang terapi obat, International
Pharmaceutical Abstract yang berisi abstrak penelitian kefarmasian.
c. Pustaka tersier yaitu berupa buku teks atau database, kajian artikel, kompendia
dan pedoman praktis. Pustaka tersier umumnya berupa buku referensi yang
berisi materi yang umum, lengkap dan mudah dipahami.
4. Evaluasi Sumber Informasi yang Digunakan
Menurut Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), evaluasi sumber
informasi dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:
a. Evaluasi pustaka primer
Untuk mengevaluasi pustaka primer tidak mudah meskipun hasil suatu studi atau
makalah penelitian sudah absah dan telah dipublikasikan. Hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan evaluasi terhadap pustaka primer adalah sebagai
berikut:
1. Bagian bahan dan metode (bagian dari suatu artikel yang menguraikan cara
peneliti melakukan studi tersebut).
2. Sampel (mewakili populasi yang hasilnya akan dapat diterapkan).
3. Desain studi (atau bagian yang memerlukan penelitian yang seksama).
b. Evaluasi pustaka sekunder
Pustaka sekunder terdiri dari pustaka sekunder berisi pengindeksan (kepustakaan)
dan pustaka sekunder berisi abstrak yang berguna sebagai pemandu ke pustaka
primer. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pustaka sekunder, antara
lain:
1. Waktu (jarak waktu artikel itu diterbitkan dalam majalah ilmiah dan dibuat
abstrak atau indeks)
2. Jurnal pustaka cakupan (jurnal pustaka ilmiah yang mendukung tiap pustaka
sekunder)
3. Selektivitas pengindeksan/pengabstrakan (bentuk dari sistem: cetak standar,
mikrofis, terkomputerisasi. Dikaitkan dengan keperluan dan kebutuhan
pengguna)
4. Harga (perbedaan harga terjadi untuk sumber yang tersedia dalam bentuk
yang berbeda)
c. Evaluasi pustaka tersier
Pustaka tersier banyak tersedia sebagai sumber informasi medik dan obat. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam memilih sumber pustaka tersier, antara lain:
1. Penulis dan editor harus mempunyai keahlian dan kualifikasi menulis tentang
suatu judul atau bab tertentu dari suatu buku.
2. Tanggal publikasi dan edisi dari pustaka tersier terutama buku teks harus
tahun terbaru.
3. Penerbit mempunyai reputasi yang tinggi.
4. Daftar pustaka berisi daftar rujukan pendukung sesuai judul buku.
5. Format pustaka tersier harus didesain untuk mempermudah penggunaan.
6. Membaca kritik tertulis.
5. Dokumentasi
Menurut Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), fungsi
dari dokumentasi, antara lain:
a. Mengingatkan apoteker tentang informasi pendukung yang diperlukan
dalam menjawab pertanyaan dengan lengkap.
b. Sumber informasi apabila ada pertanyaan serupa.
c. Catatan yang mungkin diperlukan kembali oleh penanya.
d. Media pelatihan tenaga farmasi.
e. Basis data penelitian analisis, evaluasi dan perencanaan layanan.
f. Bahan audit dalam melaksanakan Quality Assurance dari pelayanan
informasi obat.
G. Pasien Hamil dan Menyusui
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan mengenai penggunaan obat pada ibu
hamil dan menyusui, perlu pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif
tidak aman sehingga harus dihindari selama kehamilan ataupun menyusui agar tidak
merugikan ibu dan janin yang dikandung ataupun bayinya. Karena perubahan fisiologi
selama kehamilan dan menyusui dapat berpengaruh terhadap kinetika obat pada ibu
hamil dan menyusui yang kemungkinan berdampak terhadap perubahan respon ibu hamil
terhadap obat yang diminum.
Direktorat Bina Farmasi Klinik dan Komunitas (2006) menyatakan, yang harus
ditekankan dalam pemberian informasi tentang penggunaan obat pada wanita hamil
adalah manfaat pengobatan pada wanita hamil harus lebih besar daripada resiko jika tidak
diberikan pengobatan. Selain itu juga harus diberikan informasi mengenai bahaya
penggunaan beberapa obat selama menyusui.
H. Pasien Pediatri (anak)
Menurut The British Paediatric Association (BPA), anak adalah seseorang yang
berusia 2 sampai 12 tahun. Sedangkan menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik (2009), pediatri adalah anak yang berusia lebih muda dari 18 tahun. Masa bayi dan
anak merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, sehingga
penggunaan obat untuk anak merupakan hal khusus yang terkait dengan perbedaan laju
perkembangan organ.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2009) menyatakan bahwa terapi
obat pada pediatri berbeda dengan terapi obat pada orang dewasa karena perbedaan
karakteristik. Perbedaan karakteristik ini akan mempengaruhi farmakokinetika-
farmakodinamika obat yang pada akhirnya akan mempengaruhi efikasi dan toksisitas
obat. Masalah terkait obat pada pasien pediatri yaitu: rute pemakaian obat, permintaan
dosis, interaksi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki.
I. Pasien dengan Gangguan Fungsi Ginjal
Penggunaan obat pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal dapat memperburuk
kondisi penyakit karena beberapa alasan:
1. Kegagalan untuk mengeksresikan obat atau metabolitnya dapat menimbulkan
toksisitas.
2. Sensitivitas terhadap beberapa obat meningkat, meskipun eliminasinya tidak
terganggu.
3. Banyak efek samping yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien gagal ginjal.
4. Beberapa obat tidak lagi efektif jika fungsi ginjal menurun.
Ketika fungsi ginjal berkurang, dosis obat yang bergantung pada ekskresi ginjal harus
disesuaikan dan obat nefrotoksik harus dihindari. Salah satu indikator penting untuk
tercapainya terapi yang diperlukan dalam pengobatan terutama bagi pasien dengan
gangguan fungsi ginjal adalah ketepatan dalam pemberian dosis (Munar dan Singh,
2007).
J. Pasien dengan Gangguan Fungsi Hati
Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2007), penyakit hati
termasuk penyakit yang cukup banyak diderita masyarakat Indonesia, jenisnya beragam
dan membutuhkan penanganan yang berbeda. Apoteker dapat berperan serta dalam
memberikan informasi dan edukasi kepada pasien untuk mempercepat proses
penyembuhan, mencegah bertambah parah atau mencegah kambuhnya penyakit. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara: memberikan informasi kepada pasien tentang penyakitnya
dan perubahan pola hidup yang harus dijalani (misalnya: diet rendah lemak dan garam,
tidak minum minuman beralkohol, istirahat yang cukup); menjelaskan obat-obat yang
harus digunakan, indikasi, cara penggunaan, dosis, dan waktu penggunaannya; serta
melakukan konseling kepada pasien untuk melihat perkembangan terapinya dan
memonitor kemungkinan terjadinya efek samping obat.
K. Keterangan Empiris
Pelayanan kefarmasian merupakan bagian penting dari sistem pelayanan
kesehatan yang tidak terpisahkan. Salah satu aspek pelayanan kefarmasian adalah
pelayanan informasi obat yang diberikan oleh Apoteker kepada pasien dan pihakpihak
terkait lainnya. Dengan pelaksanaan pelayanan informasi obat di rumahsakit, diharapkan
akan mendukung upaya penggunaan obat yang rasional di rumah sakit.
Apoteker harus berkomitmen dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan kefarmasian pada pasien. Pelayanan yang diberikan berupa pemberian
informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini, dan
komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain diluar rumah sakit.
Penggunaan obat yang tepat, aman dan efektif selain ditentukan oleh kualitas obat
juga dipengaruhi oleh informasi yang diberikan pada saat penyerahan obat. Dalam
penelitian ini, diiharapkan diperoleh rincian informasi yang diberikan oleh Apoteker saat
penyerahan obat pada pasien telah sesuai dengan Permenkes No.58 Tahun 2014.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional. Rancangan penelitian ini
bersifat kualitatif dengan melakukan pengamatan langsung atau observasi, wawancara
dan dokumentasi. Pada penelitian observasional, observasi yang dilakukan tanpa ada
manipulasi maupun intervensi dari peneliti terhadap subyek uji, subyek uji diobservasi
menurut keadaan apa adanya (in nature) (Pratiknya, 2001).
Penelitian non-eksperimental deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan suatu keadaan di dalam masyarakat ataupun komunitas. Oleh karena itu,
penelitian deskriptif sering disebut sebagai penelitian penjelajahan (exploratory study)
(Notoatmodjo, 2005).
B. Variable Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah informasi-informasi saat konseling yang
disampaikan apoteker di instalasi farmasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Bekasi.
C. Definisi Operasional
1. Informasi yang disampaikan Apoteker mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.58 Tahun 2014, yaitu berupa informasi yang independen,
akurat, tidak bias, terkini, dan komprehensif. Hal ini ditunjukan dengan kemapuan
Apoteker dalam menyusun informasi dari berbagai sumber dan menghasilkan
kesimpulan yang jelas dan logis, mampu menyeimbangkan antara evidence dengan
kondisi lingkungan, serta mampu menjelaskan informasi medis dan farmakologis
yang berkaitan dengan situasi khusus, permintaan pasien atau informasi yang relevan.
2. Informasi yang independen adalah informasi yang disampaikan oleh apoteker tidak
dipengaruhi oleh pihak manapun.
3. Informasi yang akurat adalah informasi yang disampaikan oleh apoteker sesuai
dengan fakta yang ada.
4. Informasi yang tidak bias berarti tidak ada kesalahan informasi yang disampaikan
oleh apoteker.
5. Informasi yang komprehensif adalah informasi yang disampaikan apoteker berisi
informasi yang cukup luas terkait pengobatan.
6. Jenis informasi yang diberikan terkait pelayanan informasi obat yang mengacu pada
PERMENKES No. 58 tahun 2014, meliputi:
No Jenis informasi Dimensi yang digali