Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ESSAY

KOLEKTIFITAS SEBAGAI SISTEM NILAI PANCASILA DALAM


PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS BERSKALA NASIONAL
DAN LOKAL DI INDONESIA

FILSAFAT INTELIJEN (FI)

Oleh:

Nrangwesthi Widyaningrum NIM 120190301023

Dosen Pengampu:

Dr. Bambang Wahyudi, MM., M.Si.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BENCANA


FAKULTAS KEAMANAN NASIONAL
UNIVERSITAS PERTAHANAN
BOGOR
2020
KOLEKTIFITAS SEBAGAI SISTEM NILAI PANCASILA DALAM
PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS BERSKALA NASIONAL
DAN LOKAL DI INDONESIA

1. Pendahuluan

Seiring dengan diproklamasikan Indonesia merdeka oleh Soekarno-


Hatta pada 17 Agustus 1945, Pancasila telah diakui sebagai dasar negara
Indonesia. Bahkan rumusan Pancasila telah termaktub dalam alinea terakhir
UUD 1945. Pada awalnya, rumusan Pancasila merupakan pidato Ir
Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI saat pembahasan dasar
negara. Sejak saat itulah, tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir
Pancasila. Hingga kini, Pancasila masih tetap kokoh sebagai dasar negara
Indonesia. Peringatan Soekarno itu kemudian mengkristal dalam pidato
legendaris beliau pada 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno
menawarkan pada sidang BPUPKI rumusannya mengenai dasar yang
harusnya dijadikan pegangan hidup berbangsa dan bernegara. Dasar itu
adalah kebangsaan Indonesia, perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Kelima prinsip tersebut dapat diperas
menjadi tiga prinsip, yaitu kebangsaan yang berperikemanusiaan (sosio-
nasionalisme), demokrasi yang berkeadilan sosial (sosio-demokrasi), dan
ketuhanan yang berkebudayaan (Adian, 2019).
Ketiga prinsip itu berjiwakan nilai gotong royong sebagai nilai yang
tertanam dalam keadaban publik yang sudah ditempa selama puluhan tahun
di Tanah Pertiwi. Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis
dari kekeluargaan. Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi
gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan.
Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat
bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua bagi kepentingan
semua, keringat semua buat kebahagiaan semua (Adian, 2019).
Prinsip gotong royong adalah sesuatu yang sangat penting untuk
dibatinkan sebagai budaya politik. Di dalamnya terkandung nilai toleransi,
solidaritas, dan kesetiakawanan. Sosiolog Robert Putnam menyebutnya
modal sosial, Fukuyama menyebutnya kepercayaan (trust). Liberalisme
mengikis semua itu dengan menyamaratakan antara budaya politik dan
persaingan bebas ekonomi. Dalam persaingan, lawan politik dilihat sebagai
kompetitor yang harus selalu dicurigai, bukan mitra dialog dalam
membincang segala urusan publik (res publica). Idealisasi demokrasi
Soekarno bukan demokrasi liberal yang prosedural dan protektif terhadap
hak individu, melainkan demokrasi deliberatif yang mana egoisme dikikis
dalam diskursus publik guna memajukan urusan umum (Adian, 2019).
Ancaman paling besar bagi sebuah bangsa ialah keroposnya nilai-nilai
kolektif, modal sosial atau kepercayaan yang resiprokal. Untuk itu, jalan
kebudayaan harus ditempuh dengan menghidupkan kembali gotong royong
yang dipandu nilai-nilai kebangsaan, demokrasi, dan sosialisme. Gotong
royong harus dimulai sedari dini di semua ruang publik yang mungkin.
Ruang-ruang publik harus dibuka kembali, forum-forum rembuk perlu
dihidupkan mulai dari tingkat rukun tetangga sampai kelurahan. Dengan
demikian, nilai-nilai yang mendasari gotong royong, seperti toleransi,
solidaritas, dan kesetiakawanan dapat menjadi pegangan publik. Warga
negara pun menjadi subjek politik yang rasional dan berinisiatif, bukan objek
politik citra dan uang yang mengasingkan (Adian, 2019).
Belakangan kita lihat betapa syahwat kekuasaan betul-betul sudah
mengoyak kolektivitas kita sebagai bangsa. Segala cara dihalalkan demi
kekuasaan, pun ketika itu mengoyak persaudaraan kebangsaan kita. Gotong
royong seperti sirna di dalam cuaca politik sedemikian. Padahal, tanpa
gotong royong, demokrasi kita menjadi semata-mata perang semua
melawan semua. Kita harus mengembalikan kepribadian gotong royong atau
Pancasila ke tubuh demokrasi kita. Demokrasi memberikan berbagai
kebebasan bagi warga negara. Itu hal yang baik. Namun, Pancasila harus
mampu menghentikan kebebasan yang membahayakan kolektivitas kita. Di
satu sisi, demokrasi membebaskan kita untuk berpendapat apa saja. Di sisi
lain, Pancasila menghentikan berbagai ujaran yang memuat kebencian dan
mampu meretakkan persatuan Indonesia. Jika itu terjadi, demokrasi kita ialah
demokrasi yang berkepribadian (Adian, 2019).

2. Pembahasan

a. Kolektivitas

Kolektivisas merupakan sebuah bentuk gotong royong yang


menghasilkan banyak nilai tambah dalam kehidupan bermasyarakat
sebuah bentuk kerja kolektif (sama) yang manusiawi. Kebebasan dan
persamaan hak merupakan asasnya. Kolektivitas adalah sebuah bentuk
kerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Tak ada istilah
pengukuran kerja yang berbau individualistik dalam sebuah kolektif. Tak
jarang kita sering terjebak pada hal-hal formal seperti struktur organisasi.
Tetapi dalam sebuah organisasi terdapat suatu kelemahan, yaitu
bergerak sendiri yang berbuntut pada kelemahan subjektif dalam
menerima tekanan, akhirnya berbuah pada kemunduran semangat.
Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan (perpecahan dalam tubuh
organisasi), pemahaman kita tentang organisasi sebagai alat bersama
harus bisa direfleksikan. Seperti halnya Pancasila, Pancasila sebagai alat
pemersatu, landasan, tujuan serta cita-cita bangsa Indonesia. Untuk itu
bisa dikatakan Pancasila lah kesatuan dari yang disebut organisasi itu.
Perbedaan pendapat adalah hal lumrah dalam organisasi. Ingat bahwa
kebebasan adalah sarat mutlak dari sebuah kolektif. Sisa kemudian
bagaimana kita menyikapi kebebasan berpendepat demi kepentingan
bersama. Terkadang sikap arogansi sering muncul dalam suatu
perbedaan pendapat, hanya berbuah pada perpecahan. Setiap pendapat
tetap dihargai, tetapi jika ada perbedaan maka yang objektiflah yang akan
menjadi pilihan. Yang objektif artinya adalah paling mampu
dipertanggung jawabkan pendapatnya, sesuai dengan kondisi yang
sedang terjadi.
Tujuan dalam kolektivitas ialah sebagai berikut :
1. Supaya tujuan dalam organisasi tersebut dapat berjalan sesuai
dengan komitmen yang sudah di buat dalam organisasi
tersebut.
2. Supaya idividualisme dalam organisasi terjadi,maksudnya
dalam berbagai acaranya atau tugas-tugas yang memerlukan
kerjasama tidak hanya di lakukan oleh ketua atau satu orang
saja.
3. Supaya dalam organisasi tersebut menjadi organisasi yang
mempunyai tujuan, sehingga organisasi tersebut bisa maju.
4. Setiap anggota dalam organisasi bisa berpendapat dalam hal
apapun yang memang memerlukan suatu saran,tetapi harus di
terima dengan baik untuk dapat menemukan suatu titik terang
masalah.
5. Mematangkan fikiran anggota organisasi,agar memiliki fikiran
yang universal.
6. Supaya setiap anggota dalam organisasi mempunyai
kesadaran dalam tugas-tugas yang meraka embank
7. Supaya terjalin rasa kasih sayang dapat terwujud dalam
organisasi

b. Sistem Nilai

Sistem adalah kesatuan dari bagian-bagian yang setiap bagian


memiliki fungsi sendiri-sendiri, saling berhubungan dan ketergantungan
untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan terjadi dalam suatu lingkungan
yang kompleks. Nilai adalah keberhargaan (worth) atau kebaikan
(goodness), serta kata kerja yang merujuk pada tindakan kejiwaan
tertentu. Nilai berkaitan dengan apa yang seharusnya (das sollen), bukan
apa yang senyatanya (das sein). Sistem nilai adalah konsep atau
gagasan menyeluruh mengenai apa yang hidup dalam pikiran seseorang
atau anggota masyarakat. Tentang apa yang dipandang baik, berharga,
penting dalam hidup, serta berfungsi sebagai pedoman yang memberi
arah dan orientasi pada kehidupan masyarakat (Putri, 2020).
Ada beberapa pengertian dari nilai. Nilai adalah sesuatu yang
berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia ya
ng padahakikatnya melekat pada suatu objek. Sesuatu mengandung nilai
artinya adasifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Nilai juga
merupakankenyataan tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, artinya suatu kegiatan manusia
untukmenghubungkan dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk
selanjutnyadiambil keputusan dengan menyatakan sesuatu itu baik atau
buruk, benar atausalah, indah atau jelek, suci atau berdosa (Dewi, 2018).

c. Pancasila sebagai Sistem Nilai

Pancasila pada hakekatnya sistem nilai (Value System) yang


merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur dan kebudayaan bangsa
Indonesia, yang berakar dari unsur-unsur kebudayaan secara
keseluruhan, terpadu menjadi kebudayaan bangsa Indonesia. Proses
terjadinya Pancasila melalui suatu proses yang disebut kausa
materialism, karena nilai-nilai Pancasila sudah ada dan merupakan suatu
realita yang hidup sejak jaman dulu, yang tercermin dalam kehidupan
sehari-hari. Pandangan yang diyakini kebenarannya itulah yang
menimbulkan tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkannya dalam
sikap dan tingkah laku serta perbuatannya (Kaelan, 2007).
Kehidupan bangsa Indonesia memerlukan adanya implementasi
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Itu agar nilai norma dan
etika yang terkandung di dalam Pancasila, benar-benar menjadi bagian
yang utuh dan dapat menyatu dengan kepribadian setiap manusia
Indonesia. Sehingga, dapat membentuk pola sikap, pola pikir dan pola
tindak serta memberi arah kepada manusia Indonesia.
Menurut Notonagoro dalam buku (Sunoto, 1991) berpendapat
bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang menjadi pandangan
hidup dan menjadi alat pemersatu bangsa. Nilai yang tertera pada lima
sila tersebut, merupakan ideologi yang digunakan sebagai pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila adalah sebagai berikut :
1. Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa:
Terkandung di dalamnya prinsip asasi Kepercayaan dan Ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa; kebebasan beragama dan
berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak yang
paling asasi bagi manusia; toleransi di antara umat beragama dan
berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan Kecintaan pada
semua makhluk ciptaan Tuhan, khususnya makhluk manusia.
2. Nilai-nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab:
Terkandung di dalamnya prinsip asasi Kecintaan kepada sesama
manusia sesuai dengan prinsip bahwa kemanusiaan adalah satu
adanya; Kejujuran; Kesama derajatan manusia; Keadilan; dan
Keadaban.
3. Nilai-nilai Persatuan Indonesia:
Terkandung di dalamnya prinsip asasi Persatuan; Kebersamaan;
Kecintaan pada bangsa; Kecintaan pada tanah air; dan Bhineka
Tunggal Ika.
4. Nilai-nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan:
Terkandung di dalamnya prinsip asasi Kerakyatan; Musyawarah
mufakat; Demokrasi; Hikmat kebijaksanaan, dan Perwakilan.
5. Nilai-nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia:
Terkandung di dalamnya prinsip asasi Keadilan; Keadilan sosial;
Kesejahteraan lahir dan batin; Kekeluargaan dan kegotongroyongan;
Etos kerja

d. Nilai Obyektif dan Subyektif Pancasila

Nilai obyektif dan subyektif Pancasila Dalam Pendidikan Pancasila


(2001) karya Kaelan, Pancasila sebagai sistem nilai dari kualitas nilai-nilai
Pancasila bersifat obyektif dan subyektif. Berikut ini penjelasannya: Nilai
obyektif Pancasila Nilai Pancasila bersifat obyektif artinya: Rumusan nilai-
nilai dari sila-sila Pancasila bersifat umum, universal dan asbtrak. Nilai-
nilai Pancasila berlaku tidak terikat oleh ruang dan waktu. Pancasila yang
termuat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental
sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia dan
berkedudukan sebagai tertib hukum yang tertinggi. Pancasila tidak dapat
diubah secara hukum sebab berkaitan dengan kelangsungan hidup
negara. Nilai subyektif Pancasila Sifat subyektif Pancasila melekat pada
pembawa dan pendukung nilai-nilai Pancasila seperti masyarakat dan
pemerintah Indonesia. Darji Darmodiharjo dalam Penjabaran Nilai-nilai
Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia (1996) menjelaskan nilai
Pancasila bersifat subyektif terletak pada: Nilai-nilai Pancasila sebagai
hasil pemikiran, penilaian dan refleksi filosofis bangsa Indonesia. Nilai-
nilai Pancasila merupakan falsafah (pandangan hidup) bangsa Indonesia
sehingga menjadi jati diri bangsa. Yang diyakini kebenaran, kebaikan,
keadilan dan kebijaksanaan nilai-nilainya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai-nilai yang sesuai dengan hati nurani bangsa Indonesia
karena bersumber dari kepribadian bangsa.

e. Kolektivitas sebagai Sistem Nilai Pancasila

Rumusan yang diberi nama Pancasila yang kemudian dibicarakan


kembali oleh tim sembilan BPUPKI pada 22 Juni yang kemudian disebut
sebagai Piagam Jakarta disetujui bukan hanya sebagai rumusan pribadi
Soekarno tetapi menjadi rumusan tim sembilan. Selanjutnya, setelah
menyatakan diri sebagai bangsa merdeka pada 17 Agustus 1945, PPKI
bersidang pada 18 Agustus 1945 untuk menegakkan sebuah negara
merdeka dengan perangkat-perangkatnya. Termasuk yang disahkan
kemudian adalah pembukaan UUD 1945.

Dari sejarahnya berdirinya sebenarnya terdapat tiga rumusan


dasar negara yang diberi nama Pancasila, yaitu rumusan konsep Ir
Soekarno yang disampaikan pada pidato tanggal 1 Juni 1945 dalam
sidang BPUPKI, rumusan oleh Panitia Sembilan dalam Piagam Jakarta
22 Juni 1945, dan rumusan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Dari tiga rumusan ini
dalam rangkaian dokumen sejarah 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 hingga teks
final 18 Agustus 1945 itu, dapat dimaknai sebagaimana satu kesatuan
dalam proses kelahiran falsafah negara Pancasila. Rangkaian ini tidak
bisa dipisahkan satu sama lainnya. Tanggal 1 Juni 1945 untuk pertama
kalinya Bung Karno menyampaikan pidatonya yang monumental tentang
Pancasila sebagai dasar negara di depan sidang BPUPKI. Pada hari
itulah, lima prinsip dasar negara dikemukakan dengan diberi nama
Pancasila, dan sejak itu jumlahnya tidak pernah berubah. Untuk diterima
sebagai dasar negara, Pancasila mendapatkan persetujuan kolektif
melalui perumusan Piagam Jakarta (22 Juni 1945) dan akhirnya
mengalami perumusan final lewat proses pengesahan konstitusional
pada18 Agustus 1945. Jadi, proses Pancasila menjadi dasar negara itu
tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses panjang dan saling
berkaitan. Kolektivitas dari berbagai pihak dan kalangan pun telah
tercermin sejak dari lahirnya Pancasila itu sendiri.

Selanjutnya, kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia di


era globlalisasi, mengharuskan kita untuk melestarikan nilai-nilai
Pancasila. Agar generasi penerus bangsa tetap dapat menghayati dan
mengamalkannya dan agar intisari nilai-nilai yang luhur itu, tetap terjaga
dan menjadi pedoman bangsa Indonesia sepanjang masa. Globalisasi
membawa perubahan-perubahan dalam tatanan dunia internasional yang
pengaruhnya langsung terhadap perubahan-perubahan di berbagai
Negara. Kemampuan menghadapi tantangan yang amat dasar dan akan
melanda kehidupan nasional, sosial, dan politik, bahkan mental dan
bangsa maka benteng yang terakhir ialah keyakinan nasional atas dasar
Negara Pancasila. Untuk itu kolektivitas yang telah terpupuk dari dulu,
haruslah bisa memberikan makna di era globalisasi ini, bahwa kolektivitas
lah atau yang dalam nilai Pancasila terlah tercermin adalah gotong
royong itu sendiri.

3. Penutup

Kolektifitas sebagai sistem nilai Pancasila dalam perkembangan


lingkungan strategis berskala nasional dan lokal di Indonesia sudah
tercermin dari dahulu kala, bahkan sejak sebelum dicetuskan apa itu
istilah Pancasila. Pancasila dari awal berdiri, tidak lepas dari makna
kolektivitas itu sendiri, memang Pancasila awalnya adalah sebuah
pemikiran dari proklamator bangsa, akan tetapi untuk diakuinya melalui
banyak tahap dari berbagai kalangan. Dari sinilah kolektivitas pun telah
tertanam. Lambat laun menuju era globalisasi, kolektivitas tetap tertanam
dalam nilai luhur Pancasila itu sendiri. Tanpa kolektifitas di negara yang
majemuk ini mustahil Indonesia dapat bersatu dalam bergerak mengisi
kemerdekaan ini baik dari skala lokal maupun nasional. Kolektifitas
sejatinya adalah Indonesia itu sendiri dengan beragam etnis, suku,
budaya dan agamanya.
4. Daftar Referensi

Adian, Donny Gahral. (2019). Demokrasi Pancasila. Diakses dari


https://mediaindonesia.com/read/detail/239244-demokrasi-pancasila.

Anonim. (2016). Jadikan Pancasila Model Perilaku Berbangsa dan Bernegara.


Diakses dari https://republika.co.id/berita/o84lsc2/jadikan-pancasila-
model-perilaku-berbangsa-dan-bernegara.

Darmodiharjo, Darji dan Sidharta. (1996). Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila


dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dewi, Ni Putu Krisna. (2018). Pancasila Sebagai Sistem Nilai. Bali :


Universitas Pendidikan Ganesha.

Kaelan, M.s. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.

Putri, Arum Sutrisni. (2020). Pancasila Sebagai Sistem Nilai. Diakses


dari https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/19/153000269/pa
ncasila-sebagai-sistem-nilai?page=all.

Sunoto. (1991). Mengenal Filsafat Pancasila 1 (Pendekatan melalui


Metafisika, Logika, dan Etika). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Anda mungkin juga menyukai