Anda di halaman 1dari 21

PERAWATAN JENAZAH DAN TATA CARA MELAKUKAN

THAHARAH SERTA SHOLAT PADA PASIEN DI TEMPAT TIDUR


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Spiritual

DOSEN MATA KULIAH:

Ns. Idhfi Marpatmawati, S.Kep.

Disusun Oleh:

Rahma Oktavia

NIM.1900001032

Tingkat:

1-B

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

AKADEMI KEPERAWATAN RS. EFARINA PURWAKARTA

2020

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim
Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt. Dan Nabi Muhammad saw
beserta para pengikutnya, karena dengan rahmat dan hidayah-Nyalah kami dapat melewati
kehidupan dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang dan modern seperti
sekarang ini, sehingga kami dapat bertemu,berkumpul dan dapat menyelesaikan tugas
makalah ini tepat pada waktunya.

Makalah ini dibuat tidak lain adalah memenuhi tugas (semester II) yaitu
“KEPERAWATAN SPIRITUAL” yang telah diberikan oleh dosen Mata Kuliah,selain itu
juga sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi yang membacanya.

Penulis berharap, walaupun makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Tapi mudah-
mudahan isinya bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.Dan bisa menambah ilmu
pengetahuan bagi yang membacanya.

Purwakarta , 29 Maret 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. 2

DAFTAR ISI................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 4
A. Latar Belakang.................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 5
C. Tujuan................................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 6

A. Memandikan Jenazah.........................................................................................6
B. Mengkafani Jenazah...........................................................................................9
C. Thaharah dan sholat pada orang sakit.................................................................11
D. Cara Bersuci.......................................................................................................12
E. Cara Sholat.........................................................................................................13
F. Fatwa-fatwa tentang thaharah dan sholat...........................................................14

BAB III PENUTUP.....................................................................................19


A. Kesimpulan.........................................................................................................19
B. Saran................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 21

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
َ‫ َوهَّللا ُ خَ بِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬ ۚ ‫َولَن يُؤَ ِّخ َر هَّللا ُ نَ ْفسًا إِ َذا َجا َء أَ َجلُهَا‬

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila


datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.
Al-Munafiqun [63] : 11)

ِ ‫ ثُ َّم تُ َر ُّدونَ إِلَ ٰى عَالِ ِم ْال َغ ْي‬ ۖ ‫م‬dْ ‫قُلْ إِ َّن ْال َموْ تَ الَّ ِذي تَفِرُّ ونَ ِم ْنهُ فَإِنَّهُ ُماَل قِي ُك‬
َ‫ب َوال َّشهَا َد ِة فَيُنَبِّئُ ُكم بِ َما ُكنتُ ْم تَ ْع َملُون‬
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan
kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".(QS. Al-Jumuah [62] : 8)
Kematian merupakan sunatullah yang berlaku pada setiap makhluk yang
bernyawa. sudah menjadi ketentuan bahwa setiap yang hidup pasti akan merasakan mati.
Allah melakukan segala sesuatu menurut kehendakNya dan Allah Yang Maha Kuasa
tidak mungkin merubah ketetapanNya.
Kematian adalah suatu kejadian di dunia yang paling dahsyat yang pernah terjadi
pada diri manusia sesuatu yang menampakan kemahakuasaan Allah yang mutlak serta
menegaskan betapa kerdil dan lemahnya manusia dihadapanNya. kedatangannya tak
dapat diduga-duga, tak dapat ditunda juga dihindari apabila sudah menghampiri.
Ketika nyawa sudah terpisah dengan jasadnya, maka segala hubungan manusia
dengan dunianya terputus. tubuhnya dingin kaku, sudah tak kuasa mengurus diri sendiri. 
saat itulah kita sebagai umat muslim yang masih hidup punya kewajiban untuk mengurus
segala kebutuhan si mayit. mulai dari memandikan, mengkafani, mensholatkan, hingga
menguburkannya. dalam islam hukum mengurus jenazah seorang muslim adalah Fardhu
kifayah yang berarti wajib dilakukan, namun apabila sudah ada muslim lain yang
melakukannya maka kewajiban ini gugur.
Melalui makalah ini akan dibahas tentang tata cara mengurus jenazah menurut
syariat islam. mulai dari memandikan, mengkafani, mensholati, sampai dengan
menguburkannya. tapi sebelum itu ada yang harus diperhatikan bagi pengurus jenazah.
Pengurus jenazah hendaknya adalah orang yang lebih mengetahui sunnahnya dengan
tingkatan sebagai berikut;
1. Jenazah laki-laki diurusi oleh orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum
wafatnya (berdasarkan wasiatnya). Kemudian Bapaknya, lalu anak laki-lakinya,
kemudian keluarga terdekat si mayit.
2. Jenazah wanita diurusi oleh orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum
wafatnya (berdasarkan wasiatnya). Kemudian Ibunya, kemudian anak wanitanya,
kemudian keluarga terdekat si mayit.
3. Suami diperbolehkan mengurusi jenazah istrinya, begitu pula sebaliknya.
4. Adapun jenazah anak yang belum baligh dapat diurusi oleh kaum laki-laki atau
perempuan karena tidak ada batasan aurat bagi mereka.

4
5. Apabila seorang lelaki wafat di antara kaum wanita (tanpa ada seorang lelaki muslim
pun bersama mereka dan tanpa ada istrinya atau ibunya) demikian pula sebaliknya
maka cukup ditayamumkan saja.
6. Seorang muslim tidak diperbolehkan mengurusi jenazah orang kafir  (QS. At-Taubah
; 84).

Perlu kita ketahui bahwa mengurus jenazah adalah suatu amalan mulia,
sebagaimana yang terkandung dalam hadist berikut;
Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
"Barangsiapa memandikan (jenazah) seorang muslim seraya menyembunyikan (aib)nya
dengan baik, maka Allah akan memberikan ampunan empat puluh kali kepadanya.
Barangsiapa membuat lubang untuknya lalu menutupinya, maka akan diberlakukan
pahala seperti orang yang memberikan tempat tinggal kepadanya sampai hari kiamat
kelak. Barangsiapa mengkafaninya, nicaya Allah akan memakaikannya sundus (pakaian
dari kain sutera tipis) dan istabraq (pakaian sutera tebal) surga di hari kiamat kelak."
(HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Al-Hakim berkata; Shahih dengan syarat Muslim. Dan
disepakati oleh Adz-Dzahabi)

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana tata cara memandikan jenazah?
2. Bagaimana tata cara mengkafani jenazah?
3. Bagaimana tata cara menshalatkan jenazah?
4. Bagaimana tata cara menguburkan jenazah?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui tata cara memandikan jenazah.
2. Mengetahui tata cara mengkafani jenazah.
3. Mengetauhi tata cara menshalatkan jenazah
4. Mengetahui tata cara enguburkan jenazah

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. MEMANDIKAN JENAZAH
Jenazah seorang muslim wajib dimandikan oleh muslim yang lain sebelum ia
dikuburkan. kecuali  jenazah para Syuhada yang mati syahid di jalan Allah (berperang)
tidak perlu dimandikan, namun hendaklah dimakamkan bersama pakaian yang melekat
di tubuh mereka. Demikian pula mereka tidak perlu dishalatkan.
"Bahwa para Syuhada Uhud tak dimandikan, & mereka dikubur dengan darah
mereka (lumuran darah yang pada jenazah mereka), serta tak dishalatkan." (HR. Abu
Daud 2728)

hal ini dilakukan karena  darah para Syuhada itu kelak akan berwangikan kasturi
di hari kiamat. selain jenazah para Syuhada, Janin yang gugur sebelum mencapai usia 4
bulan dalam kandungan, hanyalah sekerat daging yang boleh dikuburkan di mana saja
tanpa harus dimandikan dan dishalatkan.
a. Syarat orang yang memandikan jenazah 
1. Baligh (sudah mencapai kedewasaan)
a. sudah mencapai usia 19 tahun dan atau sudah mengalami mimpi basah
bagi laki-laki 
b. sudah mencapai usia   9 tahun dan atau sudah mengalami menstruasi bagi
perempuan
2. Berakal (tidak gila)
3. Beriman (muslim)
4. sesama jenis kelamin antara yang memandikan dan yang dimandikan. kecuali;
a. anak kecil yang usianya belum lebih dari tiga tahun.
b. suami/istri. masing-masing boleh memandikan yang lain.
c. Mahram. (apabila tidak ada orang yang sejenis kelamin dengan si mayit)  
b. Alat-alat yang dipergunakan untuk memandikan  jenazah
a. Kapas
b. Sarung tangan & masker penutup hidung (untuk orang yang memandikan)
c. Gunting (untuk memotong pakaian jenazah sebelum dimandikan 
d. Spon pengosok
e. Kapur barus
f. Alat pengerus untuk mengerus dan menghaluskan kapur barus
g. Shampo
h. Sidrin (daun bidara)
i. Air
j. Minyak wangi
Dianjurkan menutup aurat si mayit ketika memandikannya. Dan melepas
pakaiannya, serta menutupinya dari pandangan orang banyak. Sebab si mayit
barangkali berada dalam kondisi yang tidak layak untuk dilihat. Sebaiknya papan
pemandian sedikit miring ke arah kedua kakinya agar air dan apa-apa yang keluar dari
jasadnya mudah mengalir darinya.

6
c. Tata Cara memandikan jenazah 
1. Menghilangkan kotoran pada jenazah

memulailah dengan melunakkan persendian jenazah tersebut. Apabila


kuku-kuku jenazah itu panjang, maka dipotongi. Demikian pula bulu ketiaknya.
Adapun bulu kelamin, maka jangan mendekatinya, karena itu merupakan aurat
besar. Kemudian  angkatlah kepala jenazah hingga hampir mendekati posisi
duduk. Lalu urut perutnya dengan perlahan untuk mengeluarkan kotoran yang
masih dalam perutnya.  hendaklah mengenakan lipatan kain pada tangannya atau
sarung tangan untuk membersihkan jasad si mayit (membersihkan qubul dan
dubur si mayit) tanpa harus melihat atau menyentuh langsung auratnya, jika si
mayit berusia tujuh tahun ke atas.

2. Mewudhukan jenazah
Selanjutnya orang yang memandikan berniat (dalam hati) untuk
memandikan jenazah serta membaca basmalah. Lalu  jenazah diwudhu-i
sebagaimana wudhu untuk shalat. Namun tidak perlu memasukkan air ke dalam
hidung dan mulut si mayit, tapi cukup dengan memasukkan jari yang telah
dibungkus dengan kain yang dibasahi di antara bibir si mayit lalu menggosok
giginya dan kedua lubang hidungnya sampai bersih.
Selanjutnya, dianjurkan agar mencuci rambut dan jenggotnya dengan
busa perasan daun bidara atau dengan busa sabun. Dan sisa perasan daun bidara
tersebut digunakan untuk membasuh sekujur jasad si mayit.
  
3. Membasuh tubuh jenazah

7
Selanjutnya orang yang memandikan membalik sisi tubuh jenazah hingga
miring ke sebelah kiri, kemudian membasuh belahan punggungnya yang sebelah
kanan. Kemudian dengan cara yang sama petugas membasuh anggota tubuh
jenazah yang sebelah kiri, lalu membalikkannya hingga miring ke sebelah kanan
dan membasuh belahan punggung yang sebelah kiri. Dan setiap kali membasuh
bagian perut si mayit keluar kotoran darinya, hendaklah dibersihkan. Banyaknya
memandikan: Apabila sudah bersih, maka yang wajib adalah memandikannya
satu kali dan mustahab (disukai/sunnah) tiga kali. Adapun jika belum bisa bersih,
maka ditambah lagi memandikannya sampai bersih atau sampai tujuh kali (atau
lebih jika memang dibutuhkan). Dan disukai untuk menambahkan kapur barus
pada pemandian yang terakhir, karena bisa mewangikan jenazah dan
menyejukkannya. Oleh karena itulah ditambahkannya kapur barus ini pada
pemandian yang terakhir agar baunya tidak hilang.

Dianjurkan agar air yang dipakai untuk memandikan si mayit adalah air
yang sejuk, kecuali jika orang yang memandikan membutuhkan air panas untuk
menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat pada jasad si mayit.
Dibolehkan juga menggunakan sabun untuk menghilangkan kotoran. Namun
jangan mengerik atau menggosok tubuh si mayit dengan keras. Dibolehkan juga
membersihkan gigi si mayit dengan siwak atau sikat gigi. Dianjurkan juga
menyisir rambut si mayit, sebab rambutnya akan gugur dan berjatuhan.
Setelah selesai dari memandikan jenazah, jasad dilap (dihanduki) dengan
kain atau yang semisalnya. Kemudian memotong kumisnya dan kuku-kukunya
jika panjang, serta mencabuti bulu ketiaknya (apabila semua itu belum dilakukan
sebelum memandikannya) dan diletakkan semua yang dipotong itu bersamanya di
dalam kain kafan. Kemudian apabila jenazah tersebut adalah wanita, maka
rambut kepalanya dipilin (dipintal) menjadi tiga pilinan lalu diletakkan di
belakang (punggungnya).

Faedah
a. Apabila masih keluar kotoran (seperti: tinja, air seni atau darah) setelah
dibasuh sebanyak tujuh kali, hendaklah menutup kemaluannya (tempat
keluar kotoran itu) dengan kapas, kemudian mencuci kembali anggota
yang terkena najis itu, lalu si mayit diwudhukan kembali. Sedangkan jika
setelah dikafani masih keluar juga, tidaklah perlu diulangi
memandikannya, sebab hal itu akan sangat merepotkan.
b. Apabila si mayit meninggal dunia dalam keadaan mengenakan kain ihram
dalam rangka menunaikan haji atau umrah, maka hendaklah dimandikan
dengan air ditambah perasaan daun bidara seperti yang telah dijelaskan di
atas. Namun tidak perlu dibubuhi wewangian dan tidak perlu ditutup
kepalanya (bagi jenazah pria). Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu

8
‘alaihi wassalam mengenai seseorang yang wafat dalam keadaan berihram
pada saat menunaikan haji.
c. Apabila terdapat halangan untuk memamdikan jenazah, misalnya tidak
ada air atau kondisi jenazah yang sudah tercabik-cabik atau gosong, maka
cukuplah ditayamumkan saja. Yaitu salah seorang di antara hadirin
menepuk tanah dengan kedua tangannya lalu mengusapkannya pada
wajah dan kedua punggung telapak tangan si mayit.

B. MENGKAFANI JENAZAH
Mengkafani jenazah hukumnya wajib dan hendaklah kain kafan tersebut dibeli
dari harta si mayit. Hendaklah didahulukan membeli kain kafannya dari melunaskan
hutangnya, menunaikan wasiatnya dan membagi harta warisannya. Jika si mayit tidak
memiliki harta, maka keluarganya boleh menanggungnya. 
a. Ukuran kain kafan.
Ukuran lebar kain kafan yang digunakan dengan lebar tubuh si mayit adalah
sekitar 1:3,  jadi jika lebar tubuh si mayit 30 cm maka kain kafan yang disediakan
adalah sekitar 90 cm. sementara ukuran panjang kain kafan disesuaikan dengan
tinggi  tubuh si mayit, contoh jika tinggi tubuhnya 180 cm maka panjang kain
kafannya ditambahkan 60 cm atau jika tinggi tubuhnya 90 cm maka panjang kain
kafan ditambah 30 cm. tambahan panjang kain kafan dimaksudkan agar mudah
mengikat atas kepalanya dan bagian bawahnya.

b. Tata cara mengkafani jenazah 


a) Jenazah laki-laki -
Jenazah laki-laki dibalut dengan 3 lapis kain kafan. Berdasar dengan
hadits. “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dikafani dengan 3 helai kain
sahuliyah yang putih bersih dari kapas, tanpa ada baju dan serban padanya, beliau
dibalut dengan 3 kain tersebut. 
langkah-langkah :
1. siapkan tali pengikat kain kafan sebanyak 7 buah (usahakan berjumlah
ganjil) panjang tali disesuaikan dengan lebar tubuh mayit. tali dipintal
kemudian di letakan dengan jarak yang sama diatas usungan jenazah.
kemudian 3 helai kain kafan yang sudah dipersiapkan sebelumnya
diletakan sama rata diatas tali pengikat yang sudah  lebih dulu diletakan
diatas usungan jenazah, dengan menyisakan lebih panjang di bagian
kepala. siapkan pula kain penutup aurat yang dipotong hampir
menyerupai popok bayi, kain penutup aurat itu diletakan diatas ketiga
helai kain kafan tepatnya dibawah tempat duduk mayit, letakan pula
potongan kapas diatasnya. lalu bubuhi kain kafan dan kain penutup aurat
dengan wewangian dan kapur barus  yang langsung melekat pada tubuh si
mayit. 

9
2. Pindahkan mayit yang telah selesai dimandikan dan dihanduki keatas
lembaran kain kafan yang telah siap, kemudian bubuhi tubuh mayyit
dengan wewangian atau sejenisnya. Bubuhi anggota-anggota sujud
[tahnith]. Sediakan kapas yang diberi wewangian dan letakkan di lipatan-
lipatan tubuh seperti ketiak dan yang lainnya. Letakkan kedua tangan
sejajar dengan sisi tubuh, lalu ikatlah kain penutup aurat sebagaimana
memopok bayi dimulai dari sebelah kanan dan ikatlah dengan baik. 

3. saat membalut kain kafan mulailah dengan melipat lembaran pertama kain
kafan sebelah kanan, balutlah dari kepala sampai kaki. Demikian lakukan
dengan lembaran kain kafan yang kedua dan yang ketiga. Ikat bagian atas
kepala mayit dengan tali pengikat dan sisa kain bagian atas yang lebih 
dilipat ke wajahnnya lalu diikat dengan sisa tali itu sendiri, kemudian
ikatlah tali bagian bawah kaki dan sisa kain kafan bagian bawah yang
lebih dilipat ke kakinya lalu diikat sama seperti pada bagian atas. setelah
itu ikatlah kelima tali yang lain dengan jarak yang sama rata. perlu
diperhatikan mengikat tali tersebut jangan terlalu kencang dan usahakan
ikatannya terletak disisi sebelah kiri tubuh, agar mudah dibuka ketika
jenazah dibaringkan kesisi sebelah kanan dalam kubur.

b) Jenazah perempuan.
Jenazan wanita dibalut dengan lima helai kain kafan. Terdiri atas : Dua
helai kain, sebuah baju kurung dan selembar sarung beserta kerudungnya. Jika
ukuran lebar tubuhnya 50 cm dan tingginya 150 cm, maka lebar kain kafannya
150 cm dan panjangnya 150 ditambah 50 cm. Adapun panjang tali pengikatnya
adalah 150 cm, disediakan sebanyak tujuh utas tali, kemudian dipintal dan
diletakkan sama rata di atas usungan jenazah. Kemudian dua kain kafan tersebut
diletakkan sama rata diatas tali tersebut dengan menyisakan lebih panjang
dibagian kepala. untuk mempersiapkan kain kurung pertama ukurlah mulai dari
pundak sampai kebetisnya, lalu ukuran tersebut dikalikan dua, kemudian
persiapkanlah kain baju kurungnya sesuai dengan ukuran tersebut. Lalu buatlah
potongan kerah tepat ditengah-tengah kain itu agar mudah dimasuki kepalanya.
Setelah dilipat dua, biarkanlah lembaran baju kurung bagian bawah terbentang,
dan lipatlah lebih dulu lembaran atasnya (sebelum dikenakan pada mayyit, 

10
letakkan baju kurung ini di atas kedua helai kain kafannya). lebar baju kurung
tersebut 90 cm. sementara untuk kain sarung ukurannya adalah sekitar 90 cm
[lebar] dan 150 cm [panjang].  kain sarung tersebut dibentangkan diatas bagian
atas baju kurungnya. dan untuk ukuran kerudungnya adalah sekitar 90 cm x 90
cm, kerudung tersebut dibentangkan diatas bagian atas baju kurung. untuk tata
cara memakaikan kain penutup aurat, kain kafan dan tali pengikat hampir sama
caranya seperti pada jenazah laki-laki.

Faedah
a. Cara mengkafani anak laki-laki yang berusia dibawah tujuh tahun adalah
membalutnya dengan sepotong baju yang dapat menutup seluruh tubuhnya
atau membalutnya dengan tiga helai kain.
b. Cara mengkafani anak perempuan yang berusia dibawah tujuh tahun
adalah dengan membalutnya dengan sepotong baju kurung dan dua helai
kain.

C. Thaharah dan Shalat Bagi Orang yang Sakit

Inilah beberapa hukum yang dikhususkan bagi orang yang sakit, dalam
kaitannya dengan thaharah (bersuci) dan shalat.

Orang yang sakit mempunyai hukum-hukum yang khusus, dan keadaannya


mendapat perhatian yang khusus pula dalam syariat Islam. Sebab Allah telah mengutus
Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kebenaran dan
kelonggaran yang didasarkan kepada kemudahan. Allah berfirman:

“Dia sekali-kali tidak menjadikam untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (Al-
Hajj: 78).

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi
kalian.” (Al-Baqarah: 185).

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupam kalian dan dengarlah
serta taatlah.” (At-Taghabun: 16).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya agama itu adalah mudah.”

Beliau juga bersabda,

“Jika aku memerintahkan suatu perintah kepada kalian, maka lakukanlah menurut
kesanggupan kalian.”

Berdasarkan kaidah yang fundamental ini, Allah memberi keringanan dalam beribadah
kepada orang-orang yang lemah, menurut kadar kelemahannya, agar mereka tetap bisa
beribadah kepada Allah tanpa merasa kesulitan dan keberatan. Segala puji bagi Allah
Rabbul ‘alamin.

11
D. Adapun cara bersuci bagi orang yang sakit adalah:

1. Orang yang sakit harus bersuci dengan air, wudhu dan hadats kecil dan mandi dari
hadats besar.

2. Jika tidak sanggup bersuci dengan menggunakan air karena kondisinya yang memang
lemah atau karena khawatir sakitnya bertambah parah atau menunda kesembuhannya,
maka dia boleh bertayammum.

3. Adapun cara bertayammum: Telapak tangan ditempelkan di debu yang bersih dengan
sekali tempelan, lalu ditepis-tepiskan agar debunya tidak terlalu banyak, lalu
mengusap ke seluruh wajah. Kemudian menempelkan lagi di debu, lalu saling
diusapkan tangan antara yang satu dan lainnya.

4. Jika dia sendiri tidak bisa wudhu atau tayammum, maka orang lain bisa mewudhukan
atau menayammuminya.

5. Jika di sebagian anggota thaharah terdapat luka, maka dia tetap harus membasuhinya
dengan air. Namun jika terkena air, luka itu bertambah parah, maka tangannya cukup
dibasahi air, lalu diusapkan di permukaan luka sekedarnya saja. Jika ini pun tidak
memungkinkan, maka dia bisa bertayammum.

6. Jika anggota thaharah ada yang patah, lalu ditutup perban atau digips, maka dia cukup
mengusapnya dengan air dan tidak perlu bertayammum. Sebab usapan itu sudah
dianggap sebagai pengganti dari mandi.

7. Boleh mengusapkan tangan ke dinding saat tayammum, atau ke tempat lain yang
memang suci dan juga mengandung debu. Jika dinding itu dilapisi sesuatu yang bukan
dari jenis tanah, seperti dicat, maka tidak boleh tayammum padanya, kecuali memang
di situ ada unsur debunya.

8. Jika tidak memungkinkan tayammum di tanah atau di dinding atau sesuatu yang ada
debunya, maka boleh saja meletakkan tangan di sapu tangan umpamanya, yang di
atasnya ditaburi debu.

9. Jika dia tayammum untuk satu shalat, kemudian tetap dalam keadaan suci hingga
masak waktu shalat berikutnya, maka dia bisa shalat dengan tayammum untuk shalat
yang pertama. Sebab dia masih dalam keadaan suci dan tidak ada sesuatu pun yang
membatalkannya.

10. Orang yang sakit harus membersihkan badannya dari berbagai jenis najis selagi dia
sanggup untuk melakukannya. Jika tidak bisa, maka dia bisa shalat dalam keadaan
seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.

11. Orang yang sakit harus shalat dengan pakaian yang suci. Jika di pakaiannya ada najis,
maka dia harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika
tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak
perlu mengulang shalatnya setelah suci.

12
12. Orang yang sakit harus shalat di atas sesuatu atau di tempat yang suci. Jika tempatnya
itu ada najisnya, maka harus dicuci atau diganti dengan yang suci atau dilapisi sesuatu
yang suci. Apabila tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti
apa pun dan tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.

13. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya dari waktunya karena alasan
ketidakmampuan dalam bersuci. Dia harus bersuci menurut kesanggupannya,
kemudian shalat pada waktunya, sekalipun di badan, pakaian atau tempatnya terdapat
najis.

E. Adapun cara shalatnya sebagai berikut:

1. Orang yang sakit harus mendirikan shalat wajib dalam keadaan berdiri, sekalipun agak
miring atau sambil bersandar ke dinding atau ke tongkat.

2. Jika tidak bisa berdiri, dia bisa mendirikan shalat sambil duduk. Yang paling baik ialah
duduk sambil menyilangkan kaki kiri di bawah paha kanan di tempat ruku’ dan sujud.

3. Jika tidak bisa shalat sambil duduk, maka dia berbaring pada lambungnya dengan
menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik adalah pada lambung kanan. Jika tidak
memungkinkan berbaring pada lambung bagian kanan dan tidak bisa menghadap ke
arah kiblat, dia bisa shalat seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu mengulang
shalatnya.

4. Jika tidak bisa berbaring pada lambungnya, maka dia bisa berbaring menghadap ke
atas, dan kedua kakinya menghadap ke arah kiblat. Yang paling baik ialah sedikit
mengangkat kepalanya, agar bisa menghadap ke arah kiblat. Jika cara ini tidak
memungkinkan, maka dia bisa shalat seperti apa pun keadaannya, dan tidak perlu
mengulang shalatnya.

5. Orang yang sakit harus ruku’ dan sujud dalam shalatnya. Jika tidak sanggup, maka dia
bisa menganggukkan kepala, dan anggukan sujud lebih rendah daripada anggukan
ruku’. Jika dia bisa ruku’ dan tidak bisa sujud, maka dia harus tetap ruku’, sedangkan
sujud cukup dengan menganggukkan kepala. Jika bisa sujud dan tidak bisa ruku’,
maka dia harus sujud dan menganggukan kepala tatkala ruku’.

6. Jika tidak bisa menganggukkan kepala tatkala ruku’ dan sujud, maka dia bisa memberi
isyarat dengan matanya, dengan sedikit memejam tatkala ruku’ dan lebih banyak
memejamkan mata tatkala sujud. Sedangkan memberi isyarat dengan tangan seperti
yang biasa dilakukan sebagian orang adalah tidak benar, sebab memang tidak ada
dasarnya di dalam Al-Qur’an, Sunnah maupun pendapat para ulama.

7. Jika tidak bisa menganggukkan kepala atau memberi isyarat dengan matanya, maka dia
bisa shalat dengan hatinya. Dia niat, bertakbir, membaca, ruku’, sujud, berdiri dan
duduk dengan gerakan hatinya.

8. Orang yang sakit harus mengerjakan setiap shalat tepat pada waktunya dan
mengerjakannya menurut kesanggupannya. Jika kesulitan melakukan shalat tepat
pada waktunya, maka dia bisa menjama’ shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan isya’,
boleh jama’ taqdim dengan mengerjakan shalat ashar pada waktu shalat zhuhur dan

13
shalat isya’ pada waktu shalat maghrib, maupun jama’ ta’khir, yaitu dengan
mengerjakan dua pasangan ini pada waktu shalat yang kedua. Dia bisa memilih mana
yang lebih mudah baginya. Sedangkan shalat subuh tidak bisa dijama’.

9. Jika orang yang sakit dalam perjalanan, karena dia hendak berobat di luar daerahnya,
maka dia bisa meng-qashar shalat yang terdiri dari empat rakaat, sehingga dia bisa
shalat zhuhur, ashar dan isya’ dengan dua rakaat, hingga kembali ke daerahnya, baik
masanya lama maupun sebentar.

[Catatan: Kalau orang yang sakit secara tiba-tiba dalam shalat membaik, lalu bisa melakukan
seluruh gerakan yang sebelumnya tidak bisa dilakukan, seperti berdiri, duduk, rukuk, sujud
atau sekedar memberi isyarat, maka ia harus beralih ke cara normal untuk sisa shalatnya.
-pen.]

F. Fatwa-fatwa tentang Thaharah dan Shalatnya Orang Sakit

1. Orang yang tidak mengerjakan beberapa shalat wajib, bagaimana cara


mengqadha’nya?

Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya tentang orang sakit yang dioperasi,
sehingga dia tidak sempat mengerjakan beberapa shalat. Apakah dia harus
mengerjakan (mengqadha’) shalat-shalat itu semuanya setelah sembuh sekaligus,
ataukah mengerjakannya sesuai dengan waktunya masing-masing? Dengan kata lain,
apakah dia harus mengqadha’ shalat subuh yang tertinggal pada waktu shalat subuh
setelah dia sembuh, shalat zhuhur pada waktu shalat zhuhur dan seterusnya?

Syaikh menjawab, “Dia harus mengqadha’nya sekaligus pada satu waktu.


Sebab tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat mengerjakan shalat
ashar pada saat perang Khandaq, maka beliau mengerjakan (mengqadha’)nya sebelum
shalat maghrib. Jadi, jika seseorang ketinggalan tidak mengerjakan beberapa shalat
wajib, maka dia harus mengerjakannya sekaligus semuanya dan tidak boleh
menangguhkannya.”

2. Thaharah dan shalat orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing.

Syaikh berkata, “Dia tidak boleh wudhu untuk shalat kecuali setelah masuk
waktu shalat. Setelah mencuci kemaluannya, dia bisa melapisi dengan sesuatu agar air
kencingnya tidak mengenai pakaian dan badannya. Sesudah itu dia bisa wudhu dan
shalat. Dia bisa shalat beberapa kali shalat wajib dan nafilah. Jika ingin mengerjakan
shalat nafilah bukan pada waktu shalat, maka dia bisa mengerjakan cara serupa, lalu
wudhu dan shalat.”

3. Orang yang terus-menerus kentut, bagaimana cara bersuci dan shalatnya?

Syaikh berkata, “Jika tidak memungkinkan baginya untuk menahan kentut,


artinya kentut itu keluar tanpa disengaja, maka hukumnya sama dengan hukum orang
yang tidak kuat menahan keluarnya kencing. Dia bisa wudhu setelah masuk waktu
shalat lalu mendirikan shalat. Jika waktu kentut itu disertai keluarnya kotoran tepat
pada waktu shalat, maka shalatnya tidak batal. Allah telah berfirman:

14
“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

4. Apakah wudhu menjadi batal karena pingsan?

Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Benar. Pingsan membatalkan wudhu, sebab


pingsan lebih parah daripada tidur. Sementara tidur sendiri membatalkan wudhu jika
terlalu lelap. Sebab orang yang tidur terlelap tidak bisa tahu andaikata ada sesuatu
yang keluar darinya.”

5. Jika ada di badan orang yang sakit, bisakah dia bertayammum?

Syaikh menjawab pertanyaan ini, “Dia tidak boleh bertayammum dalam


keadaan seperti itu. Jika memungkinkan, dia harus mencuci najis itu. Jika tidak, maka
dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun tanpa harus tayammum. Sebab
tayammum tidak berpengaruh terhadap hilangnya najis. Yang dituntut darinya adalah
kebersihan badannya dari najis. Jadi, sekalipun dia tayammum, toh najisnya tidak
hilang dari badan dan tidak bisa menghilangkan najis dari badan.”

6. Jika orang yang sakit mengalami junub, padahal dia tidak memungkinkan
menggunakan air, maka apakah dia boleh tayammum?

Syaikh menjawab, “Jika orang yang sakit junub, padahal dia tidak bisa
menggunakan air, maka dia boleh bertayammum. Hal ini didasarkan kepada firman
Allah,

“Dan, jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan
kalian dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6)

7. Qadha shalat orang yang hilang kesadarannya karena bius atau penyakit.

Syaikh berkata tentang masalah ini, “Selagi kesadaran orang yang sakit itu
hilang karena bius atau karena penyakitnya yang sudah akut, maka dia harus
mengqadha’ semua shalatnya yang tertinggal setelah kesadarannya menjadi normal,
secara berurutan dan sesegera mungkin mengerjakannya menurut kesanggupannya. Hal
ini didasarkan kepada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Barangsiapa tidur dan tidak mengerjakan shalat atau lupa


mengerjakannya, maka hendaklah dia mengerjakannya selagi dia mengingatnya, tidak
ada kafarat bagi shalatnya itu kecuali hanya itu.”

Tidak dapat diragukan, orang yang pingsan karena sakit, atau karena dibius
selama sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya, hukumnya sama dengan hukum orang
yang tidur. Dia tidak boleh menangguhkan shalat-shalat yang tertinggal itu hingga dia
mengerjakan yang sama. Bahkan dia harus langsung mengerjakan (mengqadha’)nya
setelah kesadarannya menjadi normal. Tak berbeda dengan orang yang tertidur setelah

15
bangun dan orang yang lupa setelah ingat. Jika tidak bisa menggunakan air, maka dia
boleh bertayammum.”

8. Orang yang pingsan harus mengqadha’ shalat, jika jangka waktu pingsannya
tidak lama.

Syaikh Abdul Aziz diberi sebuah pertanyaan, “Sebagian orang ada yang
mengalami kecelakaan mobil atau lainnya, lalu mengalami gegar otak dan tidak sadar
selama tiga hari, atau boleh jadi seseorang pingsan selama itu. Apakah orang
semacam ini harus mengqadha’ shalat-shalat yang tidak sempat dikerjakan jika
kesadarannya sudah pulih?”

Syaikh menjawab, “Jika jangka waktunya hanya sebentar, seperti tiga hari atau
lebih sedikit dari itu, maka dia harus mengqadha’
shalat-shalatnya. Sebab pingsan atau tidak sadar selama jangka waktu itu bisa
diserupakan dengan tidur, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengqadha’. Pernah
diriwayatkan dari sejumlah shabat, bahwa mereka pernah pingsan selama kurang dari
tiga hari, dan mereka mengqadha’ shalatnya.

Namun jika jangka waktunya lebih dari tiga hari, maka dia tidak perlu mengqadha’.
Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Kewajiban dibebaskan dari tiga orang, yaitu dari orang tidur hingga bangun, dari
anak kecil hingga baligh, dari orang gila hingga kembali sadar.”

Orang yang tidak sadar lebih dari tiga hari, diserupakan dengan orang gila yang hilang
kesadarannya secara total.”

9. Orang yang sakit tidak boleh menangguhkan shalatnya hingga sembuh, dengan
alasan tidak mampu bersuci atau karena sulit
menghindari najis.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata tentang masalah ini, “Sakit tidak
menghalangi untuk melaksanakan shalat, dengan alasan tidak mampu bersuci, selagi
ingatannya masih normal. Orang yang sakit harus shalat menurut kesanggupannya.
Dia harus bersuci dengan menggunakan air selagi sanggup. Jika tidak sanggup
menggunakan air, maka dia bertayammum lalu shalat. Dia juga harus menghilangkan
najis dari badan dan pakaiannya waktu shalat, atau menggantinya dengan pakaian lain
yang tidak ada najisnya. Jika tidak sanggup menghilangkan najis atau mengganti
dengan pakaian lain yang suci, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti itu, karena
Allah telah berfirman,

“Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)

10. Sakit syaraf tidak membebaskan kewajiban, selagi kesadarannya normal.

Syaikh Ibnu Utsaimin mendapat lontaran pertanyaan, “Seseorang yang


mendapat gangguan syaraf setelah sekian lama menurut analisis dokter, sehingga
penyakitnya itu menyebabkan berbagai masalah, seperti suka menggertak orang
tuanya sendiri, takut secara berlebihan, gelisah dan hanya diam saja, apakah tidak

16
perlu mengerjakan kewajiban-kewajiban syariat? Apakah dia berdosa karenanya? Apa
nasehat Syaikh?”

Syaikh menjawab, “Dia tidak terbebas dari hukum-hukum syariat selagi


kesadarannya masih normal. Namun jika kesadaran dan ingatannya sudah hilang serta
tidak bisa menguasai ingatannya, maka dia terbebas dari segala kewajiban. Nasehat
kami, hendaklah dia banyak berdoa dan memohon ampunan kepada Allah, berlindung
kepada Allah dari bisikan syetan yang terlaknat tatkala emosinya tak terkendali. Siapa
tahu Allah akan menganugerahkan kesembuhan kepadanya.”

11. Muntah bukan najis dan tidak membatalkan wudhu.

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang muntah, apakah ia najis dan membatalkan
wudhu?

Syaikh menjawab, “Yang benar, muntah itu tidak membatalkan wudhu, dan
segala hal yang keluar dari badan manusia tidak membatalkan wudhu, kecuali dari
dua jalan: kemaluan dan dubur. Karena memang dalil tidak ada. Lalu apakah muntah
itu najis? Menurut jumhur, muntah adalah najis. Tetapi kami tidak mendapatkan satu
dalil pun yang mendukung pendapat ini. Kalau begitu, pada dasarnya muntah adalah
suci hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa ia adalah najis. Muntah ini tidak bisa
diqiyaskan kepada kencing atau kotoran, karena ada perbedaan hakekat antara
keduanya jika dilihat dari segi kotor, bau dan kebusukannya. Maka kentut yang keluar
dari dubur (anus) membatalkan wudhu, sedangkan sendawa tidak membatalkan
wudhu, sekalipun
kedua-duanya berupa angin yang keluar dari perut. Jadi apa yang ada di dalam perut
bukanlah kotoran. Sebab kalau tidak, tidak ada perbedaan antara keduanya. Memang
tidak diragukan, jika harus berhati-hati dengan menghindarinya atau mencuci pakaian
atau badan yang terkena muntah.”

12. Bagaimana shalatnya orang yang sakit, jika tempat tidur para pasien tidak
menghadap ke arah kiblat?

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab,
“Memang para penanggung jawab di rumah sakit harus menaruh perhatian hingga
masalah ini. Mereka harus merancang tempat tidur pasien mengarah ke kiblat,
sehingga tidak merepotkan para pasien. Jika orang yang sakit bisa mengubah tempat
tidur ke arah kiblat, maka hendaklah dia melakukannya. Jika tidak dapat, maka dia
bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, sehingga hal ini bisa dimasukkan ke dalam
keumuman firman Allah,

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kalian menghadap, di
situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)

13. Jika kasurnya empuk, sahkah orang yang sakit shalat di atasnya?

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab,
“Jika kasurnya amat empuk, maka boleh saja shalat di atasnya, asalkan dilapisi
sesuatu di tempat kening dan tangannya. Sebab bila dilapisi, maka permukaannya

17
menjadi keras. Jika kening ditempelkan di kasur yang empuk, tentu letak penempelan
itu tidak layak, sehingga sujudnya juga tidak sah.”

14. Kapankah posisi berdiri memjadi gugur, karena keadaan yang lemah ataukah
karena kesulitan berdiri?

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab,
“Kedua-duanya bisa menggugurkannya. Jika seseorang tidak kuat berdiri, maka dia
boleh tidak berdiri, dan jika dia kesulitan untuk berdiri, dalam pengertian
kekhusyukannya akan terganggu jika berdiri, maka dia juga boleh tidak berdiri. Hal
ini didasarkan kepada keumuman firman Allah,

“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.”

Di samping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

“Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu,
maka dengan telentang di atas lambung.”

15. Jika tidak bisa memberi isyarat dengan kepala, bolehkah memberi isyarat
dengan mata?

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai masalah ini. Maka Syaikh menjawab,
“Tidak pernah disebutkan di dalam Sunnah yang shahih, bahwa orang yang tidak bisa
memberi isyarat dengan kepalanya, bisa memberi isyarat dengan matanya. Hadits
yang dijadikan dalil para fuqaha mengenai hal ini adalah hadits dha’if. Maka dari itu
Syaikhul Islam berpendapat, tidak perlu shalat sambil memberi isyarat dengan mata.
Yang jelas, jika tidak ada dalil yang shahih, maka orang yang sakit tidak boleh
memberi isyarat dengan matanya. Karena shalat itu merupakan ibadah, berarti harus
ada perkenan dari syariat. Berdasarkan kaidah ini, maka dapat kami katakan, jika
tidak dapat memberi isyarat dengan kepala, maka gerakan macam apa pun menjadi
gugur, dan cukup hanya dengan hati saja.”

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan sbb :
1. Syariat Islam mengajarkan bahwa manusia pasti akan mati, namun kita tidak akan
pernah mengetahui kapan kematian itu tiba.Manusia adalah ciptaan Allah swt yang
sempurna diantara ciptaan Allah swt yang lain. Allah swt akan memulihkan manusia
yang beramal saleh dan memberi balasan atas apa yang dilakukan di dunia. Yang
beramal saleh akan mendapat balasan dengan kebaikan dan barakah-Nya. Sementara
itu, yang tidak beramal saleh akan menerima azab-Nya.
2. Orang yang meninggal wajib dihormati karena ia adalah makhluk Allah swt yang
mulia. Oleh sebab itu, sebelum jenazah meninggalkan dunia menuju alam baru
(kubur) hendaklah dihormati dengan cara dimandikan, dikafani, disholatkan, dan
dikuburkan.Hukum merawat jenazah dalam islam adalah fardhu kifayah.
3. Tata cara dalam mengurus jenazah perlu diperhatikan seperti apa dan bagaimana
prosedur yang harus dilakukan, mengingat jenazah tersebut akan dikubur dan ruhnya
akan bertemu dengan Rabbnya, maka sebisa mungkin kondisi dari jenazah tersebut
harus dalam keadaan baik.
4. Hidup dan mati adalah hak Allah swt. Apabila Allah swt telah menghendaki
kematian seseorang, tidak seorang pun dapat menghindari dan lari dari takdir-Nya.
5. Manusia adalah ciptaan Allah swt yang sempurna diantara ciptaan Allah swt yang
bagus. Allah swt akan memulihk4an manusia yang beramal saleh dan memberi
balasan atas apa yang dilakukan di dunia. Yang beramal saleh akan mendapat balasan
dengan kebaikan dan barakah-Nya. Sementara itu, yang tidak beramal saleh akan
menerima azab-Nya.
6. Orang yang mati wajib dihormati karena ia adalah makhluk Allah swt yang mulia.
Oleh sebab itu, sebelum jenazah meninggalkan dunia menuju alam baru (kubur)
hendaklah dihormati dengan cara dimandikan, dikafani, disholatkan, dan dikuburkan.
7. Hukum mengurus, mengantarkan, dan mendoakan jenazah adalah sunnah.
8. Pengurusan mayat disunnahkan dilakukan dengan kelembutan dan kasih sayang
karena roh jenazah masih menyaksikan keluarga yang ditinggalkan.

19
B. SARAN
Sebagai seorang muslim apabila ada seseorang yang meninggal dunia maka
disunahkan bagi kita untuk merawat jenazah tersebut mulai dari memandikannya,
mengafani, menyalatkan dan menguburkannya.Oleh karena itu apabila kita tahu dan
mampu maka janganlah ragu untuk melakukannya serta kita harus senantiasa melakukan
amr ma’ruf nahi munkar dan selalu mengingat bahwa kematian itu dapat datang kapan
dan dimana saja.

20
DAFTAR PUSTAKA
http://kaahil.wordpress.com/2011/11/17/gambar-lengkap-panduan-cara-pengurusan-jenazah-
dalam-islam-tata-cara-memandikanmengkafani-jenazahmayyit-sesuai-tuntunan-
syariat-disertai-ilustrasi-gambar-pendukungnya/Tata cara melakukan thaharah dan
sholat.
(diakses hari senin, 3 Pebruari 2014).

21

Anda mungkin juga menyukai