Anda di halaman 1dari 21

1.

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharyng / nasopharyngeal


angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena dapat mendestruksi tulang dan meluas
ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak
(cranial vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi
merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif khususnya remaja laki-laki,
pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya
tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini tidak sepenuhnya tepat karena
neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Sekarang ada
kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata khususnya terdapat pada laki-laki
dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya,
bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948).
Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri
didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom.(1, 2, 3)
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada
nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti
pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan
rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati
pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London,
Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National
Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa lebih sedikit
angiofibroma di London dibanding di New York. Dilaporkan insiden JNA banyak
terjadi di Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus
THT. (2, 3)
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis.
Eksisi JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu

1
pada eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor
mikroskopik. (1)
Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi
belum ada yang benar-benar bisa menjelaskan dengan baik. (1)

2. ANATOMI NASOFARING

Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang
erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. (1, 2, 3)

1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.


2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus
faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan
seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan
palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat
perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang
dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal
dari oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang
dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat
bagian lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus stenoid.

2
Gambar 1 (3)

Gambar 2 (3)

3
3. ETIOLOGI
Etiologi tumor inimasih belum jelas, berbagai macam teori banyak
dikemukakan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal
dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate
cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa
beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Banyak
bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti
reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP),
pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-
hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive
immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor
tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan
studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE.
Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA
pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi
dengan RE. Hasil membuktikan langsung adanya antibodi dari reseptor androgen
pada angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi
proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1
(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang
disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan
kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi
fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi
pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua
spesimen angiofibroma nasofaring juvenile. (3, 4)
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil
mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor
genep 53 sama seperti Her-2/neuoncogene. (4, 6)

Gen glutation-S-transferase M1 (GSTM1) yang biasa terdapat pada sel


manusia dan mempunyai fungsi sebagai sitoprotektor terhadap antioksidan

4
biasanya gen ini menghilang pada para perokok. Hilangnya GSTM1 memicu
keganasan pada traktus respiratorius bagian atas. Gautham dkk menyelidiki
hubungan perubahan pada GSTM1 pada pasien non perokok yang menderita JNA.
Hasilnya menunjukkan tiga dari delapan pasien tidak menunjukkan tidak
terdapatnya GSTM1. Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah
protein perangsang pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. IGFFII
ditemukan bersamaan dengan pertumbuhan jaringan tumor pada 53 % dari pasien
JNA. Ini juga membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan
tumor JNA. (4, 6)

Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar


adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi
autosomal dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus
gastrointestinal, kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasan-
keganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP
ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada
pasien dengan sindrom ini. (4, 6)

Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai ditelti sejak beberapa
dekade yang lalu. Dengan kemajuan di bidang studi anatomopatologik masih
sedikit penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan
penelitian tentang genetika JNA memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan
atau tidak menambah banyak informasi tambahan terhadap pengetahuan tentang
tumor tersebut. (4, 6)

LOKASI
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari
akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya
muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi,
nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding

5
posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan
tumor.(1, 2)

PATOLOGI
Secara makroskopik, angiofibroma nampak keras, berlobulasi membengkak
agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari
merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu
dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian
yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau
abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa
padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan
konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan
tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan
otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika
terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.Tumor yang
berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas
endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya
terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel
stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada
nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada.
Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin padat
terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.(6, 7)

6
Gambar 3. Reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak sebuah massa yang besar,
tidak bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya berada dalam
nasofaring. JNA jugadapatberbentukbertangkai (pedunculated) ataupolypoi.(6)

Gambar 4. Gambaran histologis dari JNA. Tampak gambaran fibrosit berbentuk


bintang (tanda *) dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh darah berdinding tipis
(tanda panah). (6)

4. PATOFISIOLOGI

Menurut Mansfield E (2006) , asal mula JNA terletak di sepanjang dinding


posterior-lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen
sfenopalatina dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin
mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini.Bukannya
menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak

7
dan menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.Pada 10-20% kasus,
terjadi perluasan intrakranial. (1, 4, 7)

Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen


sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed)
atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian
yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina. Pertumbuhana anterior terjadi pada
membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior dan inferior menuju
ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan
septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya.Pertumbuhan superior langsung
menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus
(cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih
lanjut. Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak
dinding posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid)
dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus
optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor. (4, 5, 7))

5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala

1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala


yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna
darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisan, yang berkisar 45-60% ini,
biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke
rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.

8
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi
(unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya
sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata
(eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-
langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the
cheek), dan rhinolalia. (1, 6)

Tanda

1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal


posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat
tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian
massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a
bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal
mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma
(umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di
rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian
untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang
merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal.
Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting,
namun hal ini jarang terjadi. (1, 6)

9
Gambar 5. Foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan
bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.(6)

S T

Gambar 6: Pada endoskopi terlihat lesi di rongga hidung kanan. S: septum hidung,
I: konka inferior, M: konka media, T: tumor. (4)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada
keadaan ini.(1)

Biopsi
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah
dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam
pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi

10
dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat
berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan
terjadi perdarahan. (6, 8)
Karena karakteristik klinis dan gambaran raadiografi mungkin banyak
klinisi yang merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi biopsi dari lesi
JNA dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Kebanyakan kasus dari
angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi
defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun,
tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran
klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor
direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat
dilakukan di ruang operasi. (8)

Pemeriksaan Radiologis

FOTO SINAR-X

Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam
nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada
foto lateral, yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissura
pterigopalatina membesar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di
daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah
di sekitar nasofaring.(9)

CT SCAN DAN MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)

Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang


besar, atau invasif dari pterygmaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat
MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari
lesi JNA sehingga bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan
keganasan yang lain. Lesijugamenunjukkanpeningkatankontraspada CT scan dan
MRI dan aliran vaskuler dalam lesi akan teridentifikasi pada MRI. Gambaran
pembesaran yang hamper homogeny dari lesi ini membedakannya dengan massa

11
vaskuler lain seperti arteriovenous malformation. Untuk membedakan dengan
gambaran jaringan lunak homogeny lainnya seperti peradangan sinus dan mukosa
hidung akan dapat jelas dibedakan dengan MRI. Selain itu CT scan dan MRI
dapat menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-
kasus dari keterlibatan intrakranial.(9)

(7a) (7b) (7c)

Gambar 7a. CT scan coronal dari lesi yang mengisi rongga hidung kiri dan sinus
ethmoidalis. Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong septum nasi
berdeviasi ke kanan.(9)
Gambar 7b. CT scan axial yang menutuprongga hidung kanan dan sinus
paranasal(9)
Gambar 7c. CT scan coronal yang menunjukkan ekspansi lesi ke sinus
kavernosus.(9)

Gambar 8. CT scan axial menunjukkan


angiofibroma nasopharingeal
menempati rongga hidung kanan. (10)

ANGIOGRAFI
Dengan angiografi
terlihat gambaran vaskuler yang
banyak (ramai). Pada Angiografi ini
terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris
interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya
penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya
gagal.(11)

12
Gambar 8. Angiografi pada angiofibroma nasofaring yang berasal dari a.
maxilaris interna (11)

STADIUM
Sebagai neoplasma dari nasofaring, diperlukan evaluasi individu dan
pengobatannya. Different Staging System diperlukan untuk memilih pendekatan
bedah untuk mengeluarkan JNA, Chandler dkk merekomendasikan sistem
stadium untuk kanker nasofaring oleh AJC: (8)

 Stadium I : Tumor di nasofaring.


 Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
 Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa
pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
 Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Klasifikasi Menurut Sessions

 Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.

 Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring


dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.

13
 Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary
fossa.

 Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa


erosi superior dari tulang-tulang orbita.

 Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial


fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.

 Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa


perluasan ke sinus kavernosus.

Klasifikasi Menurut Fisch

 Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa


kerusakan tulang.

 Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal


dengan kerusakan tulang.

 Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.

 Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik,


dan atau fossa pituitari.

7. DIAGNOSIS BANDING

1. Polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids,


inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous.
2. Epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
4. Polip koanal (choanal polyp).
5. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

14
6. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
7. Karsinoma nasofaring.(1, 8)

8. PENATALAKSAAN

EMBOLISASI
Tujuan embolisasi pada pembuluh darah tumor supaya tumor menjadi
jaringan parut dan menghentikan perdarahannya. Embolisasi dilakukan dengan
memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah.
Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri
maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih bisa didapat dari arteri karotis
interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan embolisasi saja cukup untuk
menghentikan perdarahan hidung, atau dapat langsung diikuti dengan
pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi mampu untuk mengurangi
pendarahan saat pembedahan sebanyak 60 – 80%. (9, 10)

(9a) (9b)
Gambar 9a. Gambaran angiografi JNA sebelum embolisasi(9)
Gambar 9b. Gambaran angiografi setelah embolisasi(9)

OPERASI

Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs


anatomis di basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan
stadium tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin

15
berbeda. Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk tumor-tumor yang kecil
(tunor stadium I) ,metode endoskop ini menjadi metode yang dipilih untuk tumor-
tumor tertentu di beberapa RS. (9, 10)
Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari
nasofaring dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral. Untuk
lesi dengan pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih pendekatan
transfacial melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy. Teknik midfacial
degloving bisa juga digunakan.(10)
Lesi dengan penyebaran yang luas ke luar nasofaring akan memerlukan
kombinasi dari pendekatan-pendekatan pembedahan basis cranii untuk
mendapatkan pembukaan yang cukup untuk mengeluarkan lesi. Pendekatan facial
translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan untuk
perluasan koronal digunakan frontotemporal craniotomy dengan midface
osteotomies untuk jalan masuk. Pendekatan lateral melalui fossa infratemporal
diperlukan untuk mereseksi tumor yang membesar ke regio tersebut. (10, 11)
Terapi medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu pre-operatif
untuk mengurangi perdarahan saat operasi. Anastesi yang bersifat hipotensif juga
dipilih untuk lebih baik lagi mengurangi perdarahan. (10, 11)

16
Gambar10a dan 10b. Operasi pembedahan JNA dengan pendekatan
midfacialdegloving. Dengan pendekatan ini bias dibuka akses membuka tulang-
tulang midfasial tanpa meninggalkan luka/scar di wajah. Beberapa fraktur fasial
dan tumor-tumor midfasial lain juga bias ditangani dengan pendekatan ini.
Tampak JNA yang sangat besar sedang diangkat dari ruang post nasal.(10)

Gambar 11. Reseksi angiofibroma melalui insisi sekitar daerah wajah. (11)

17
HORMONAL
Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan
terapi hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat
reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II
sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, pengobatan ini tidak
digunakan secara rutin.(8, 9)

RADIOTERAPI
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren
atau ekspansif kedaerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan
atau resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila
dilakukan pembedahan. Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam
fraksi standard untuk mengontrollesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang
berhenti tetapi tumor tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar
efektif radioterapi sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan.
Beberapa institusi melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi
radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk penatalaksanaan
JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27 pasien yang
dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat pasien
akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan tetapi
komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu
gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak,
dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala dan
leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA. (8, 9, 10)
Bagaimanapun hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi
radiasi tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu diperhatikan juga efek
samping dari radioterapi. Prognosis dari radioterapi sendiri ditentukan oleh
stadium tumor. Yang mana lebih baik pada tumor stadium rendah tapi kurang
memberi hasil pada tumor stadium akhir.(8, 9, 10)

9. KOMPLIKASI

18
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit
stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury
terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila
tumor sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii. (7, 8)

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive


bleeding). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi,
namun ini jarang terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi
dengan insisi Weber-Ferguson. Untuk komplikasi dari radioterapi
Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata, katarak,
Transformasi keganasan (malignant transformation), gangguan pertumbuhan,
panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus temporalis.(7, 8)

10. PROGNOSIS
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah
keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan
intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada
tidaknya sisa tumor. (4, 6)

Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan


(recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%
dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor
intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua
jika terjadi kekambuhan. (4)

19
DAFTAR PUSTAKA

1) Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia.


Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.

2) Adams L. George, Boies R. Lawrence, Higher H. Peter. BOIES – Buku


Ajar Penyakit THT. Editor: Effendi Harjanto. Edisi 6. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta: EGC, 1997. Hal: 324-325

3) Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of


Management. International Journal of Pediatrics. published online Nov 17,
2011; [cited april 1 2014]. available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3228400/

4) Tewfik TL MD. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma, [online],


(http://emedicine.medscape.com/article/872580-overview#showall) [cited
on april 1 2014]

5) Ondrey FG, Wright SK. Neoplasm of the Nasopharynx. In:Bellenger’s


Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck surgery.BC Decker. 2003;
492-495

6) Tony R, Bull. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th Edition. Thieme. 2003;
148

20
7) Park, Chul-Kee et.al. Recurrent Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Treated with Gamma Knife Surgery. In:
http://jkms.org/fulltext/html/jkms-21-773.html . Korean Academy of
Medical Sciences. August 21 2006

8) Rahmani, Shervin et.al. Meningitis And Coma As The First Manifestation


Of Juvenile Angiofibroma. In:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_otorhinolaryngolog
y/volume_4_number_1_37/article/meningitis_and_coma_as_the_first_ma
nifestation_of_juvenile_angiofibroma.html . The Internet Journal of
Otolaryngology ISSN:1528-8420.

9) Sivanandan R, Jr. WFE. “Benign and Malignant Tumors of The


Nasopharynx”, in Cummings Otolaryngology-Head & Neck Surgery.
4thedition. Elsevier Mosby. Philadelphia. 2005; pg ; 1669-1681

10) Frenz D, Smith RV. “Surgical Anatomy of The Pharynx and Esophagus”.
In Otolaryngology Basic Science and clinical Review. Thieme. New York.
2006; pg; 552-565.

11) Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology. 4thEdition. Lippincot Williaws &Wilkins. 2006; pg;
1815-1817

12) Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment OTOLARYNGOLOGY


head& Neck Surgery. 2ndEdition. Lange McGraw Hill. New York. 2007.

21

Anda mungkin juga menyukai