Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Garam merupakan salah satu kebutuhan yang merupakan pelengkap dari
kebutuhan pangan dan merupakan sumber elektrolit bagi tubuh manusia.
Walaupun Indonesia termasuk negara maritim, namun usaha meningkatkan
produksi garam belum diminati, termasuk dalam usaha meningkatkan
kualitasnya. Di lain pihak untuk kebutuhan garam dengan kualitas baik
(kandungan kalsium dan magnesium kurang) banyak diimpor dari luar
negeri, terutama dalam hal ini garam beryodium serta garam industri
(Purbani, 2003).
Guna mendorong peningkatan kemampuan pemenuhan kebutuhan garam
nasional melalui produksi dalam negeri, pada akhir tahun 2009 Pemerintah
mencanangkan Program Swasembada Garam Nasional. Hal ini sangat
dimungkinkan mengingat lahan potensial garam di Indonesia yang tersebar di
9 provinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,NTB, NTT, Sulawesi
Selatan, Gorontalo dan Sulawesi Utara) luasannya mencapai 34.731 ha.
Kualitas garam yang dihasilkan umumnya juga masih belum memenuhi
Standar Nasional Indonesia (SNI), demikian juga apabila dibandingkan
dengan garam impor. Kualitas garam yang dihasilkan oleh Petambak
memiliki kadar NaCl di bawah 94%, sedangkan garam konsumsi
memerlukan kadar NaCl > 94,7%, garam industri memerlukan kadar NaCl di
atas 99% (dry basis) (Pranoto, 2012).
Pada umumnya usaha garam di Indonesia diperoleh dari penguapan air
laut dengan memanfaatkan tenaga sinar matahari (solar evaporation) yang
dipengaruhi oleh iklim tropis (Sudarto 2011). Hal tersebut dapat menjadi
lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir. Purbani. 2003 menyatakan
bahwa kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun makin meningkat
seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan industri di
Indonesia. Kebutuhan garam nasional tahun 2014 mencapai 3,61 juta ton,

1
terdiri dari garam konsumsi sebesar 1,48 juta ton dan garam industri 2,13 juta
ton (KKP 2015). Permintaan tersebut mencerminkan bahwa garam memiliki
fungsi sendiri yang tidak dapat digantikan oleh bahan lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum industri tambak garam di Ekowisata
Mangrove Oesapa Kota Kupang ?
2. Bagaimana langkah-langkah kerja di industri tambak garam ?
3. Bagaimana analisis metode AREC pada tambak garam di Ekowisata
Mangrove Oesapa Kota Kupang ?

C. Tujuan
1. Mendeskripsikan gambaran umum industri tambak garam di Ekowisata
Mangrove Oesapa Kota Kupang.
2. Mendeskripsikan langkah - langkah kerja pada industri tambak garam di
Ekowisata Mangrove Oesapa Kota Kupang
4. Menganalisis metode AREC pada tambak garam di Ekowisata
Mangrove Oesapa Kota Kupang.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Industri Tambak Garam


Garam merupakan salah satu kebutuhan yang merupakan pelengkap dari
kebutuhan pangan dan merupakan sumber elektrolit bagi tubuh manusia.
Walaupun Indonesia termasuk negara maritim, namun usaha meningkatkan
produksi garam belum diminati termasuk usaha dalam meningkatkan
kualitasnya. Dilain pihak, untuk kebutuhan garam dengan kualitas baik
banyak diimpor dari luar negeri, terutama dalam hal ini garam beryodium
dan garam industri. Kualitas garam yang dikelola secara tradisional pada
umumnya harus diolah kembali untuk dijadikan garam konsumsi maupun
untuk garam industri.
Untuk pencarian daerah tambak garam, lahan yang dekat dengan laut,
mempunyai porositas tanah rendah atau tanahnya tidak berpasir. Sumber air
laut harus bersih atau tidak terkontaminasi dengan air limbah kota. Topografi
dan sifat fisis tanah serta iklim sangat berpengaruh pada proses pembuatan
garam evaporasi. Untuk mendapatkan garam berkualitas perlu difilter dengan
menggunakan bahan kimia pembantu atau dengan treatment biologi. Salah
satu cara treatment biologi dengan mengintegrasikan antara teknologi
budidaya artemia dengan pembuatan garam.

B. Teknik Pembuatan Garam


1. Teknik Tradisional
Pembuatan garam rakyat di Indonesia yang ada saat ini rata-rata
masih menggunakan teknik yang masih tradisional dimana hasil
produksi baik secara kualitas maupun kuantitas masih rendah. Kondisi
ini terjadi karena penerapan proses produksi pada teknik tradisional
masih sederhana teknologinya. Alur proses produksi yang biasa
diterapkan para petani garam di Indonesia yaitu air laut (3 Be)
dimasukkan dalam petak penampungan air laut (tandon) kemudian air

3
tersebut dialirkan pada beberapa petak peminihan dengan tujuan untuk
menguapkan air laut sehingga kandungan garam didalamnya akan
semakin pekat (16 Be) seiring perjalanan air laut tersebut dari petak
peminihan yang satu ke petak peminihan yang terakhir (penampungan
air tua). Dari petak pemihan ini selanjutnya air yang konsentrasi
kandungan garamnya makin tinggi ini langsung di alirkan ke meja garam
untuk di kristalkan. Tahapan-tahapan pada teknik tradisional ini
memerlukan waktu yang cukup lama (> 10 hari) untuk menghasilkan
garam yang kualitasnya juga masih rendah. Rendahnya kualitas garam
tersebut bisa disebabkan oleh kandungan NaCl yang kurang karena
proses produksi yang masih sangat sederhana dan cara panen yang
seringkali mengakibatkan lumpur dasar petakan masih melekat pada
garam.

2. Teknik Semi Intensif


Pada proses pembuatan garam menggunakan teknik semi intensif
membutuhkan modifikasi lahan tambak dengan penambahan ulir pada
tahap peminihan dengan tujuan untuk mempercepat proses penuaan air.
Penambahan ulir disini dimaksudkan untuk mempercepat penguapan
pada air laut sehingga saat tiba di petak penampungan sudah mencapai

4
20 Be dalam waktu yang lebih singkat apabila kondisi cuaca dan iklim
memungkinkan.
Pada teknik semi intensif ini, ulir dibuat berbentuk petakan –
petakan kolam tanah yang berkelok – kelok dengan dasar yang tidak rata
untuk membuat arus air secara alami sehingga terjadi proses penguapan
yang di bantu cahaya matahari dan angin. Dengan adanya ulir ini
diharapkan dapat mempercepat waktu penuaan air laut sehingga proses
produksi dapat lebih singkat. Ketinggian air pada ulir berkisar antara 10
– 20 cm. Perbandingan luas lahan peminihan dengan lahan kristalisasi
adalah 65 : 35. Meja kristalisasi dapat dilapisi terpal plastik sehingga
bebas bocor, mudah dirawat dan dapat segera digunakan bila musim
garam tiba.

3. Teknik Back Yard


Pembuatan garam secara sederhana tanpa memerlukan lahan tambak
yang sangat luas tetapi memanfaatkan pekarangan rumah sebagai lahan
produksi garam. Bahan baku air tua ini dapat di datangkan dari tambak-
tambak garam yang sengaja membuat air tua untuk didistribusikan pada

5
usaha pembuatan garam menggunakan backyard. Jadi dengan teknik ini
terdapat beberapa elemen usaha yang saling mendukung, saling
membutuhkan dan saling menguntungkan. Bahan baku dapat berupa air
tua dengan kadar kepekatan minimum 20 Be sehingga langsung
mengalami tahap kristalisasi. Untuk membuat air tua tersebut menjadi
Kristal-kristal garam maka dapat di buat meja kristalisasi menggunakan
terpal plastic sehingga bebas bocor, mudah dirawat dan dapat
dipindahkan. Luas meja kristalisasi minimal 2,4 m x 1,2 m x 0,04 m.
Proses kristalisasi air tua dilakukan dengan penyinaran matahari.
Diusahakan letak meja kristalisasi ini mendapatkan sinar matahari penuh
dari pagi sampai sore atau tidak tertutup oleh pepohongan atau
bangunan.

C. Proses Produksi Garam


1. Peminihan (Penguapan)
Setelah dari kolam penampungan (air laut 3 Be) dialirkan ke petak
peminihan (penguapan). Berikut ini merupakan alur proses dalam kolam
peminihan :
a. Selama tiga hari pertama air laut yang keluar masuk digunakan
untuk membersihkan waduk dari air hujan atau air tawar. Mulai hari
keempat sesuai dengan perkembangan iklim, air laut mulai ditahan

6
di dalam tambak sampai konsentrasi minimal 2 °Be atau 20
gram/liter.
b. Setelah seluruh areal peminihan terendam air laut pintu air ditutup,
sehingga tebal air di peminihan sesuai dengan urutan-urutannya
memiliki ketebalan minimal 7,5 cm.
c. Bersamaan dengan pengaturan ketebalan air laut pada peminihan
dimulai pekerjaan penimbangan konsentrasi air laut pada pintu air
utama, di dalam tambak (sedikitnya di 3 tempat kalau tambaknya
sangat luas) dan pada masing-masing peminihan tepatnya pada
tempattempat dimana terdapat patok ukuran air yang dipasang.
d. Air laut ditimbang dengan Baume meter, pencatatan dilakukan
secara tertib setiap hari selama musim pembuatan garam.
2. Penampungan Air Tua
Proses penampungan air tua yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Air dari petak peminihan (16 s.d 20 Be) selanjutnya ditampung
dalam petak air tua
b. Ketinggian air pada petak air tua 30 cm
c. Air dalam petak air tua dapat dialirkan ke meja-meja garam dan
dilakukan secara terus - menerus.
3. Pengolahan Tanah dan Air di Meja-meja
Beberapa tahapan dalam pengolahan tanah di meja garam dilakukan
sebagai berikut:
1) Pengeringan pendahuluan dilakukan sebelum atau pada waktu air
laut dialirkan untuk menghilangkan lumutlumut. Pengeringan
pertama dilakukan mulai dari meja terendah dalam satu seri,
sehingga konsentrasinya mencapai maksimum 3 – 6 °Be.
2) Pemadatan dengan menggunakan guluk pertama pada meja
dilakukan setelah pengeringan pertama selesai dan lahan dijemur
hingga kering selama 1 – 2 hari, kemudian dasarnya dipemadatan

7
dengan menggunakan guluk menggunakan pemadatan dengan
menggunakan guluk kayu.
3) Setelah meja mengalami proses pengeringan pertama dan
pemadatan dengan menggunakan guluk pertama konsentrasi air
akan mencapai maksimum 10 –14 °Be. Selanjutnya dilakukan
pengeringan kedua yang secara teknis sama dengan pengeringan
pertama.
4) Pemadatan dengan menggunakan guluk kedua dilakukan 1 – 2 hari
setelah pengeringan kedua pada kondisi dasar meja dalam keadaan
kering. Pelaksanaan teknis pemadatan dengan menggunakan guluk
kedua sama seperti pemadatan dengan menggunakan guluk pertama
sehingga dasar meja yang sudah menjalani proses pengeringan
kedua dan pemadatan dengan menggunakan guluk kedua benar-
benar bersih, rata, keras dan padat.
5) Setelah air di dalam meja yang telah dipengeringan kedua dan
pemadatan dengan menggunakan guluk kedua, konsentrasi air akan
mencapai maksimum 20 – 23 °Be selanjutnya dilakukan
pengeringan terakhir pada meja tersebut.
6) Pemadatan dengan menggunakan guluk terakhir dilakukan 1 – 2 hari
setelah pengeringan terakhir dan pada kondisi dasar meja dalam
keadaan kering. Pelaksanaan teknis pemadatan dengan
menggunakan guluk terakhir sama dengan pemadatan pertama dan
kedua, dilakukan dengan menggunakan guluk beton besar sebagai
syarat untuk persiapan lepas air.
4. Pengeluaran Air Tua (Lepas Air Tua)
Setelah meja mengalami proses pengeringan terakhir dan pemadatan
dengan menggunakan guluk terakhir, serta konsentrasi air yang ada
diatasnya telah mencapai 25 Be, selanjutnya Lepas Air Tua (LAT) pada
meja tersebut dapat dilakukan. Proses LAT adalah sebagai berikut :
1) LAT dilakukan antara jam 10.00 s/d 13.00, pada konsentrasi 25 Be.

8
2) LAT pada meja-meja lainnya berurutan keatas di dalam seri yang
sama. (tambahkan gambar)
Perlu diperhatikan ketertiban dalam melakukan pencatatan urutan
timbangan air pada meja-meja dalam buku produksi setiap hari,
ketebalan air pada masingmasing meja dijaga minimal 5 cm, meja yang
berfungsi sementara sebagai gentongan memiliki ketebalan air minimal 8
cm serta kekuatan persediaan air baik konsentrasi dan volumenya.
5. Kristalisasi
Setelah proses meja LAT berakhir terjadi kristalisasi garam,
selanjutnya dilakukan pemeliharaan proses kristalisasi dalam meja yang
sudah LAT dengan menambahkan air tua yang memiliki konsentrasi 25 -
29 °Be setiap hari ke dalam meja serta tetap menjaga ketebalan air
minimal 5 cm, ke dalam meja kristal dilakukan penambahan brine
dengan konsentrasi minimal 25 – 26 °Be.
Pada sistem pemanenan yang dilakukan PT. GARAM (Persero),
kristal garam dipelihara selama 30 hari sebelum dilakukan perataan.
Selang waktu dari LAT ke proses perataan selama 30 hari. Lapisan
garam yang berumur 30 hari disebut lantai garam yang menjadi dasar
pada pemanenan garam selanjutnya. Pada metode maduris kristal garam
dipelihara selama 15 – 20 hari, setelah itu langsung dipungut diatas
lantai tanah.
6. Pemanenan
1) Jenis pemanenan garam Terdiri dari dua sistem yaitu:
a. Sistem Portugis
Pungutan garam di atas lantai garam, yang terbuat dari
kristal garam yang dibuat sebelumnya selama 30 hari, berikut
tiap 10 hari dipungut.
b. Sistem Maduris
Pungutan garam yang dilakukan di atas lantai tanah, selama
antara 10 – 15 hari garam diambil di atas dasar tanah
2) Teknis pemanenan garam adalah sebagai berikut:

9
a. Perataan meja garam
 Lantai garam diratakan terlebih dahulu agar kristal garam
yang terbentuk pada hari-hari berikutnya tidak melekat
pada lantai garam untuk memudahkan pelaksanaan
pungutan.
 Perataan lantai garam dilakukan minimal oleh 3 orang
pekerja menggunakan sorkot besi.
 Pekerja yang bertugas meratakan dasar garam harus
membersihkan kakinya sebelum masuk ke meja,
menghadap ke arah angin dan berjalan mundur secara hati-
hati agar tidak merusak lantai garam.
 Meja diratakan dalam keadaan terendam air tua.
 Pungutan garam dilakukan setelah pekerjaan meratakan
lantai garam selesai.
b. Pungutan garam
 Dilakukan setelah 10 hari meja garam diratakan.
 Disiapkan profil untuk menentukan volume garam dan
jembatan pungut.
 Kristal garam dilonggarkan menggunakan sorkot besi setiap
3 hari sekali untuk memudahkan proses pungutan garam.
 Pungutan dilakukan dengan menggunakan sorkot kayu.
 Kristal garam ditarik (dikais) dari tengah ke tepi meja,
membentuk lenceran sejajar dengan galengan meja yang
membujur ke arah pejemuran dalam jarak 1 m dari tepi
galengan meja.
c. Garam hasil pungutan ditimbun di penjemuran yang terletak
sejajar dengan meja terendah. Timbunan dibentuk menurut profil
yang sudah dipersiapkan, ukuran disesuaikan dengan ukuran
penjemuran.
d. Penjemuran terbuat dari batu kapur / batu karang yang kuat dan
bersih, apabila penjemuran terbuat dari tanah dan dalam keadaan

10
rusak, perlu dibuatkan alas dari dinding / anyaman bambu yang
diletakkan di atas penjemuran untuk menjaga kebersihannya,
sehingga garam tidak terkontaminasi dengan tanah atau debu.
e. Jika konsentrasi air tua kurang dari 29 °Be bisa dipergunakan dan
ditambahkan air tua
f. Pemanenan dilanjutkan setelah 10 hari kemudian dan seterusnya,
hari pungut tidak boleh diperpendek meskipun sudah mendekati
akhir musim garam.
g. Pemanenan darurat dilaksanakan bila musim produksi tidak
mungkin diteruskan, misalnya kondisi cuaca hujan terus menerus.
7. Penanganan Hasil Panen
Setelah dilakukan pemanenan, selanjutnya penanganan garam
melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1) Pengangkutan Garam
a. Pengangkutan garam dilakukan dari timbunan garam pertama
dengan tetap menjaga kebersihan garam.
b. Semua garam hasil pungutan diangkut dan dimasukkan ke
gudang.
2) Penyimpanan Garam
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada proses penyimpanan
garam yaitu:
a. Pastikan kondisi dasar gudang dalam keadaan baik, tidak ada
bagian cekung yang memungkinkan adanya genangan air.
b. Selokan-selokan di sekeliling gudang dibersihkan agar air dapat
mengalir.
c. Garam disimpan didalam gudang berbentuk curah/ dikemas dalam
karung

11
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Industri Tambak Garam Di Ekowisata Mangrove


Oesapa Kota Kupang
Industri Tambak Garam terletak di Ekowisata Mangrove Kelurahan
Oesapa Barat, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang. Industri ini
merupakan miliki pribadi yang langsung dikelola oleh pemilik bernama
Ayub Pam bersama 4 orang pekerja. Rata - rata usia pekerja adalah berumur
30an tahun ke atas. Industri ini telah didirikan sejak tahun 1983.
Industri tambak garam ini masih menggunakan metode tambak garam
tradisional yang bergantung dengan sinar matahari untuk proses penguapan
air laut. Industri tambak garam terdiri 2 bagian lahan yaitu lahan untuk
peminihan (penguapan) dan lahan untuk meja produksi garam.

B. Langkah-langkah kerja pada industri tambak garam di Ekowisata


Mangrove Oesapa Kota Kupang
a) Alat dan Bahan
- Alat : Slender/krok yang terbuat dari kayu (untuk meratakan dan
memadatkan tanah), tembilang (untuk merapikan pematang yang
kurang rapi), Pompa air (untuk menghisap air dari laut ke lahan), Alat
penyaring, Alat masak (drum bekas, kayu pengaduk, wadah untuk
menyimpan air hasil saringan dan wadah penyimpan garam yang
sudah dimasak)
- Bahan : Air laut, Air bersih
b) Langkah kerja
1. Pembuatan petak yang terdiri dari 2 lahan besar yaitu lahan untuk
peminihan dan lahan untuk produksi. Kemudian pada lahan produksi
dibagi menjadi beberapa petak yang disebut meja produksi dengan
ukuran ± 20 x 25 m2.

12
2. Pembersihan tanah di lahan peminihan dan produksi dari kotoran-
kotoran yang mungkin dibawa oleh air pasang yang akan ditampung
pada lahan. Kemudian tanah diratakan dan dipadatkan dengan alat
slender kayu.
3. Air pasang akan dialirkan ke lahan peminihan yang telah disiapkan
melalui jalur yang telah dibuat. Air akan dijemur sampai menguning
di peminihan dan dialirkan ke meja produksi dan dijemur selama 1
bulan hingga mengkristal. Proses pembenihan hingga produksi sekitar
2 bulan hingga dipanen.
4. Setelah dipanen, garam yang mengkristal dicampur dengan air
disaring menggunakan 3 lapisan karung hingga kristal garam terlarut
dan menghasilkan air garam yang jernih dan bersih.
5. Hasil saringan tersebut dimasak selama ± 6 jam atau 1 hari tergantung
dari besar kecilnya api dan menghasilkan garam yang siap
dikonsumsi.
c) Hasil Produksi
Satu kali panen menghasilkan :
- Untuk meja produksi dengan ukuran 20 x 35 m 2 : 150 - 200 karung ( 1
karung 70 kg)
- Untuk meja produksi dengan ukuran 20 x 25 m2 : 100 karung

C. Analisis metode AREC pada tambak garam di Ekowisata Mangrove


Oesapa Kota Kupang.
1) Antisipasi
Adalah kegiatan untuk memprediksi potensi bahaya dan risiko di
tempat kerja dan merupakan tahap awal dalam melakukan atau
penerapan hygiene industry di tempat kerja.
Daftar potensi bahaya dan resiko
 Berdasarkan lokasi: lokasinya berdekatan dengan laut sehingga
berisiko terkena bencana alam tsunami,badai,banjir.
 Menurut kelompok pekerja: rata – rata umur pekerja adalah

13
berumur > 30 tahun dan aktivitas perkerja yaitu mengangkut
karung garam dengan berat 70 kg sehingga berisiko terkena
Muskuloskeletal.
 Berdasarkan tahapan bekerja:Pada proses pembersihan
lahan,kebanyakan aktivitas kerja adalah menunduk sehingga
berisiko mengalami nyeri punggung.Pada proses pemasakan
,terapapar panas dari tungku,asap sehingga membuat mata
perih dan penapasan,dan debu dari atap di tempat masak.
2) Rekognisi
Adalah serangkaian kegiatan untuk mengenali suatu bahaya lebih
detil dan lebih komprehesif dengan menggunakan suatu metode yang
sistematis sehingga dihasilkan suatu hasil yang objektif dan bisa
dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan hasil pengamatan kelompok, Bahaya atau kecelakaan
kerja yang terjadi pada pekerja tambak garam adalah:
 Berdasarkan lokasi : tidak pernah terjadi korban bencana alam
 Berdasarkan umur pekerja : rata-rata pekerja mengalami nyeri
punggung,nyeri tangan,nyeri pinggang,sakit kepala,batuk pilek.
 Berdasarkan tahapan bekerja : Pada proses pembersihan
lahan,kebanyakan aktivitas kerja adalah menunduk sehingga
pekerja mengalami nyeri punggung,nyeri pinggang.Pada proses
pemasakan ,terpapar panas dari tungku,asap sehingga membuat
pekerja merasakan mata perih dan penapasan(batuk , pilek)
3) Evaluasi
Adalah kegiatan dalam melakukan analisa terhadap ditentukannya
apakah suatu lingkungan kerja berbahaya atau tidak bagi kesehatan
pekerja. Berdasarkan pengamatan kelompok dan hasil wawancara,bahwa
sektor pekerja tambak garam memiliki resiko kecelakaan kerja yang
kecil.
4) Control
Adalah serangkaian kegiatan dalam mengendalikan bahaya ditempat

14
kerja sehingga tidak menimbulkan ganguan bagi kesehatan bagi pekerja.
a. Alat yang digunakan: alat untuk masak yaitu drum tidak diperhatikan
kebersihannya,terlihat dari keadaan drum yang hitam legam, berkarat dan
berkelupas.
b. Pola pekerjaannya tidak teratur maksudnya yaitu waktu bekerja tidak
ditentukan pada jam berapa pekerja harus beristirahat.
c. Dari pemilik tambak garam sendiri tidak menyiapkan APD bagi pekerja
sehingga pekerja melakukan pekerjaannya dengan pakaian seadanya tanpa APD.
Para pekerja hanya menggunakan topi saja.

BAB IV
PENUTUP

15
A. Kesimpulan
Garam merupakan salah satu kebutuhan yang merupakan pelengkap dari
kebutuhan pangan dan merupakan sumber elektrolit bagi tubuh manusia.
Untuk pencarian daerah tambak garam, lahan yang dekat dengan laut,
mempunyai porositas tanah rendah atau tanahnya tidak berpasir. Sumber air
laut harus bersih atau tidak terkontaminasi dengan air limbah kota. Topografi
dan sifat fisis tanah serta iklim sangat berpengaruh pada proses pembuatan
garam evaporasi.
Untuk mendapatkan garam berkualitas perlu difilter dengan
menggunakan bahan kimia pembantu atau dengan treatment biologi. Salah
satu cara treatment biologi dengan mengintegrasikan antara teknologi
budidaya artemia dengan pembuatan garam. Pembuatan garam rakyat di
Indonesia yang ada saat ini rata-rata masih menggunakan teknik yang masih
tradisional dimana hasil produksi baik secara kualitas maupun kuantitas
masih rendah. Kondisi ini terjadi karena penerapan proses produksi pada
teknik tradisional masih sederhana teknologinya.
Pada tambak garam di Ekowisata Mangrove Oesapa, proses pembuatan
garamnya mulai dari penyiapan alat, peminihan air laut, produksi hingga
memasak air laut sampai membentuk butiran garam.
Berdasarkan analisis menggunakan metode AREC, potensi bahaya sangat
besar terhadap pekerja meski sampai saat ini belum ada kecelakaan yang
terjadi.

16

Anda mungkin juga menyukai