Anda di halaman 1dari 6

6.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang Leptospira Sp.

a. Morfologi
Bentuk spiral, tipis, dengan panjang 5-15 µm dan lebar 0,1-0,2 mm
(Chris Tanto, 2014))
Leptospira adalah bakteri gram negatif, berbentuk pegas, langsing, lentur, tumbuh
lambat pada kondisi aerob, tumbuh optimum pada suhu 28o C-30o C, dengan
ukuran panjang 5-25 µm, diameter 0,1-0,3 µm, dan panjang gelombang 0,5 µm.
Dia memiliki flagella internal yang khas, sehingga dapat menembus masuk ke
dalam jaringan.9 Leptospira memiliki struktur dua membran yang terdiri dari
membran sitoplasma dan dinding sel peptidoglycan yang menempel satu sama-
lain, dan dilapisi oleh lapisan bagian luar. Lipopolisakarida Leptospira mempunyai
komposisi yang sama dengan bakteri gram negatif yang lain, tetapi mempunyai
aktivitas endotoksik yang lebih rendah. Leptospira dapat diwarnai dengan
counterstain carbolfuchsin.
(Levett PN, 2001)
b. Siklus hidup
c. Klasifikasi
Leptospira interrogans dibagi menjdadi beberapa serogroup dan kemudian
serovarian dengan jenis tersering yang menyerang manusia adalah Leptosporia
Icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, Leptospirosis Canicola dengan
reservoir anjing, dan Leptospirosis Pomona dengan reservoir babi dan sapi
(Chris Tanto et al, 2014)
Famili Leptospiraceae hanya terdiri dari tiga genara yaitu: Leptonema, Turmeria,
dan Leptospira. Genus Leptospira terdiri dari 10 genomospesies dan yang paling
penting adalah, L. interrogens merupakan kelompok patogenik dan L. biflexa
merupakan kelompok non patogen. Masing-masing genomospesies dibagi lagi
menjadi 23 serogrup yang di dalamnya terdapat serovar yang memiliki hubungan
antigenic
(Collins RA, 2006)
6.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang leptospirosis
a. Epidemiologi
(Riskesdas,2016)
b. Etiologi
Disebabkan oleh leptospira Interrogan dari genus leptospira dan family
treponemataceae
c. Factor resiko
d. Pathogenesis
e. Patofisiologi
f. Tanda dan gejala klinis
Leptospirosis memiliki 3 fase penyakit. Fase pertama adalah fase leptospiremia
yang ditandai dengan adanya leptospira dalam darah dan cairan serebrospinal.
Gejala yang timbul dapat berupa demam tinggi mendadak, sakit kepala, nyeri otot
terutama otot gastroknemius, hiperestesia pada kulit, mual, muntah, diare,
penurunan kesadaran, bradikardi relatif, ikterus, injeksi silier mata, rash makular,
urtikaria, dan hepatosplenomegali. Fase kedua atau fase imun berhubungan
dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi dengan gambaran yang sangat bervarisi
yaitu dapat terjadi demam yang tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan
hati, serta gangguan faal hemostasis dengan manifestasi perdarahan spontan.
Fase ketiga adalah fase konvalesen dimana terjadi pada minggu kedua sampai
munggu keempat dengan patogenesis yang belum jelas.
(Pohan H, 2003)
g. Pemeriksaan penunjang
h. Kriteria diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat pekerjaan yang beresiko, seperti bepergian ke hutan, rawa,
sungai, atau petani
Gejala klinis demam tiba tiba, nyeri kepala teruutama frontal, mata merah,
fotofobia, keluhan Gastrointestinal
2. Pemeriksaan fisik
Demam, bradikardia, nyeri tekan otot, ruam kulit hepatomegali
3. Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap: leukositosis/normal, neutrofilia, peningkatan Laju Endap
Darah
Urinalisis: proteinuria, leukosituria, dan sedimen sel toraks
Kimia darah: bila terdapat hepatomegaly, bilirubin dan tramsaminase
meningkat. Apabila terdapat komplikasi di ginjal akan terdapat
peningkatan BUN (Blood Urea Nitrogen), ureum dan kreatinin
Kultur: specimen darah atau cairan serebrospinal pada leptospiremia
Serologi: microscopic agglutination Test (MAT), seperti uji carik celup,
macroscopic slide agglutination test (MSAT), polymerase chain reaction
(PCR) silver stain, fluorescent antibody stain, dan mikroskop lapang
pandang gelap
(Chris Tanto, 2014)
i. Diagnosis banding
Diagnosis banding leptospirosis akut tergantung pada fase dalam perjalanan
penyakitnya. Pada fase akut ketika gejala yang dominan adalah demam dan
mialgia, diagnosis banding leptospirosis antara lain seperti influenza, malaria,
infeksi virus seperti dengue atau chikungunya. Pada fase berat, penyakit Weil’s
diagnosis banding dapat berkembang menjadi malaria, demam tifoid atau
hepatitis viral dengan berbagai macam keterlibatan organ
(TK D MC, 2005)
j. Tatalaksana
k. Prognosis
Tergantung pada keadaan umum pasien, usia, virulensi leptospira, adanya
kekebalan didapat.
(Chris Tanto, 2014)
Leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna. Mortalitas penderita pada kondisi
yang berat berkisar antara 15-40% dan prognosis bergantung dari keganasan
kuman, daya tahan dan keadaan umum penderita, usia, gagal multiorgan serta
pemberian antibiotik dengan dosis kuat pada fase dini. Faktorfaktor sebagai
indikator prognosis mortalitas, yaitu usia > 60 tahun, produksi urin < 600 mL/hari,
kadar kreatinin > 10 mg/Dl, kadar ureum > 200 mg/dL, albumin < 3 g/dL, kadar
bilirubin > 25 mg/dL, trombositopenia < 100.000/mm3, anemia < 12mg/Dl,
adanya komplikasi, sesak nafas, abnormalitas EKG serta adanya infiltrat alveolar
pada pencitraan paru.3,11 Mortalitas penderita pada penelitian yang dilakukan di
Jakarta sebanyak 3%, meninggal karena syok septik dan gagal nafas
(Pohan H, 2003)
l. Komplikasi
Gagal ginjal kena
m. Pencegahan
Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan
melalui tiga jalur yang meliputi :
A. Jalur sumber infeksi
1. Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2. Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin,
ampisilin, atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman
leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan
yang terinfeksi.
3. Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun
tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
4. Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air
minum dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil
pertanian, sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus,
dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan
tikus.
5. Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan
memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput
dan semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun
sarana pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan
air minum yang bersih.
a) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
b) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga
tidak menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian
desinfektan.
B. Jalur penularan Penularan dapat dicegah dengan :
1. Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron,
masker).
2. Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap
air.
3. Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan
urin, tanah, dan air yang terkontaminasi.
4. Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk
mencegah atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan
atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ
(ginjal, kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan jangn menolong
persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5. Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak
dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap
kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6. Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan
lantai kandang, rumah potong hewan dan lainlain.
7. Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum
yang baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
8. Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau
bahan-bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira
berkurang.
9. Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan
air dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
10. Manajemen ternak yang baik.
C. Jalur pejamu manusia
1. Menumbuhkan sikap waspada Diperlukan pendekatan penting pada
masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira.
Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira, cara-cara
menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi
kuman leptospira.
2. Melakukan upaya edukasi Dalam upaya promotif, untuk menghindari
leptospirosis dilakukan dengan cara-cara edukasi yang meliputi :
a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen
pertanian, institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan
mengenai penyakit leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis,
terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor televon
yang dapat dihubungi untuk informasi lebih lanjut.
b) Melakukan penyebaran informasi.
Doksisiklin 200 mg setiap minggu dapat digunakan untuk pencegahan leptospirosis
dengan efektivitas hingga 95% dan direkomendasikan pada orang yang diperkirakan
terpajan dalam jangka waktu tertentu. Hindari paparan dari air seni dan jaringan hewan
terinfeksi, vaksinasi hewan peliharaan dan hewan ternak, eradikasi hewan liar reservoar.

(Speelman, 2005)

6.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang integrasi islam

Saroso, S. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium. Leptospirosis di


Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan R.

Levett PN. Leptopsirosis. Clin Microbiol Rev 2001; 14:296-326.

Chris tanto, et al., (2014), Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media Aeskulapius.

Collins RA. Leptospirosis. Biomed Scientist 2006

Pohan H. Kasus Leptospirosis di Jakarta. Dalam : Current Diagnosis and Treatment in Internal
Medicine 2003. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2003: 68-75.

Speelman P. Leptospirosis. In : Braunwauld E, Kasper D, Fauci A, etc. Harrison’s Principles of


Internal Medicine,16th ed. New York : McGraw-Hill, 2005 : 988-991

TK D, M C. Leptospirosis - An Overview. JAPI. 2005;53:545-51.

Anda mungkin juga menyukai