Anda di halaman 1dari 4

PENCIPTAAN MANUSIA

Q.S Ali Imran [3] : 47


Allah menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk menciptakan hal-
hal yang ajaib, yang menyimpang dari kebiasaan seperti menciptakan anak tanpa
ayah. Bahkan Nabi Adam telah diciptakan-Nya tanpa ayah dan ibu.
Ayat di atas memberikan inspirasi kepada manusia untuk belajar, menuntut
ilmu dan meneliti, akan tetapi hasil atau keluaran dari penelitian tidak selalu dapat
diterapkan atau dipakai.
Hal ini tergantung pada pengkajian yang melandaskan pada asas manfaat bagi
manusia dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan hukum dalam agama Islam.
Sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka hasil penelitian dapat
dipakai atau diterapkan dalam masyarakat. Ilmu genetika, misalnya, sebagaimana
cabang ilmu lainnya didorong oleh Islam untuk didalami. Namun apabila di dalam
penelitiannya ada bagian yang mengarah pada pelanggaran hukum Islam,
penerapannya harus dipertimbangkan kembali.
Demikian halnya dengan ilmu genetika. Apabila arah suatu penelitian sudah
masuk ke daerah yang “rawan” tersebut, ada baiknya dilakukan evaluasi untuk
mengambil keputusan untuk meneruskan atau menghentikannya, atau
membelokkan arah penelitian ke arah yang lebih mendorong terwujudnya
kesejahteraan bagi manusia.

Q.S Ali Imran [3] : 59


Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb
an-Nuzûlinya(Juz. 3, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu Sa’d dalam
Thabaqah Ibnu Sa’dnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Sa’d di dalam Thabaqat Ibnu Sa’d yang bersumber dari
al-Arzaq bin Qais. Al-Arzaq bin Qais berkata: “Uskup Najran dan wakilya datang
menghadap Nabi SAW; lalu Nabi SAW menawarkan kepada kedua orang
itu(Uskup Najran dan wakilya) memeluk Islam. maka berkatalah mereka(Uskup
Najran dan wakilya): “Sesungguhnya kami(Uskup Najran dan wakilya) sebelum
engkau(Nabi SAW) sudah muslim”. Nabi SAW bersabda: “Kalian berdua(Uskup
Najran dan wakilya) telah berdusta, karena ada tiga hal yang menghalangi
kalian(Uskup Najran dan wakilya) masuk Islam, yaitu: a) Kalian mengatakan
bahwa Allah punya anak, b) Kalian makan daging babi, dan c) Kalian bersujud
kepada berhala”. Kedua orang(Uskup Najran dan wakilya) tadi bertanya: “Kalau
demikian, siapakah ayah (Nabi) Isa?”. Pada saat itu Rasulullah SAW tidak tahu
bagaimana harus menjawabnya. Hingga Allah menurunkan Q.S Ali Imran [3]
ayat 59-62.

Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb


an-Nuzûlinya(Juz. 3, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim
dalam Tafsîr Ibnu Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari al-Hasan. Al-Hasan
berkata: “Dua orang Pastur Najran datang menghadap Rasulullah SAW, dan
berkatalah salah seorang di antara keduanya: “Siapakah ayah (Nabi) Isa?”.
Rasulullah SAW tidak segera menjawab menunggu perintah TuhanNya (Allah).
Lalu turunlah Q.S Ali Imran [3] ayat 59-62.

Q.S An Nisa [4] : 1


Siti Hawa a.s. diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk sebelah kiri bagian
belakang Adam a.s. ketika Adam a.s. sedang tidur. Saat Adam terbangun, ia merasa
kaget setelah melihatnya, lalu ia langsung jatuh cinta kepadanya. Begitu pula
sebaliknya, Siti Hawa jatuh cinta kepada Adam a.s.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada
kami Waki', dari Abu Hilal. dari Qatadah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Wanita
diciptakan dari laki-laki, maka keinginan wanita dijadikan terhadap laki-laki; dan laki-
laki itu dijadikan dari tanah, maka keinginannya dijadikan terhadap tanah, maka
pingitlah wanita-wanita kalian."
Menurut Ad-Dahhak, makna ayat adalah 'bertakwalah kalian kepada Allah
yang kalian telah berjanji dan berikrar dengan menyebut nama-Nya'. Bertakwalah
kalian kepada Allah dalam silaturahmi. Dengan kata lain, janganlah kalian
memutuskannya. melainkan hubungkanlah dan berbaktilah untuknya. Demikianlah
yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid. Al-Hasan. Ad-Dahhak. Ar-Rabi,
dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Salah seorang ulama membaca al-arhama menjadi al-arhami. yakni dengan
bacaan jar karena di-'ataf-kan kepada damir yang ada pada bihi. Dengan kata lain,
kalian saling meminta satu sama lain dengan menyebut nama Allah dan hubungan
silaturahmi. Demikianlah menurut yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya.

PERKEMBANGAN HIDUP MANUSIA

Q.S Al Baqarah [2] : 233


Setiap ibu (meskipun ia janda) berkewajiban menyusui anaknya sampai anak
itu mencapai usia dua tahun. Tidak mengapa kalau dikurangi dari masa tersebut
apabila kedua ibu bapak memandang ada maslahatnya. Demikian pula setiap bapak
berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan para ibu baik dengan sandang maupun
pangan menurut yang semestinya. Ibu laksana sebagai wadah bagi anak sedang
bapak sebagai pemilik si wadah itu. Maka sudah sewajarnya bapak berkewajiban
memberi nafkah kepada orang yang di bawah tanggung jawabnya dan memelihara
serta merawat miliknya.
Allah mewajibkan kepada ibu menyusui bayinya, guna membuktikan bahwa
air susu si ibu mempunyai pengaruh yang besar kepada si anak. Dari hasil
pemeriksaan para ahli medis menunjukkan bahwa air susu ibu tersusun dari saripati
yang benar-benar murni. Juga air susu ibu merupakan makanan yang paling baik
untuk bayi, dan tidak disangsikan lagi oleh para ahli gizi. Di samping ibu dengan
fitrah kejadiannya memiliki rasa kasih sayang yang mendalam sehingga penyusuan
langsung dari ibu ini berhubungan erat dengan perkembangan jiwa dan mental anak.
Dengan demikian kurang tepat tindakan sementara para ibu yang tidak mau
menyusui anaknya secara langsung hanya karena kepentingan pribadinya,
umpamanya untuk memelihara kecantikan. Padahal hal ini bertentang dengan
fitrahnya sendiri dan secara tidak langsung ia tidak membina dasar hubungan
keibuan dengan anaknya sendiri dalam bidang mental.
Demikianlah pembagian kewajiban kedua orang tua terhadap bayinya yang
diatur oleh Allah swt. Sementara itu Allah memberikan pula keringanan terhadap
kewajiban itu yaitu umpama kesehatan ibu terganggu atau seorang ahli mengatakan
tidak baik bila disusukan oleh ibu karena sesuatu hal, maka tidak mengapa kalau
anak mendapat susu atau makanan dari orang lain.
Demikian juga apabila bapak tidak mempunyai kesanggupan melaksanakan
kewajibannya karena miskin maka bolehlah ia melaksanakan sesanggupnya saja.
Keringanan itu membuktikan bahwa anak tidak boleh dijadikan sebab adanya
kemudaratan, baik terhadap bapak maupun terhadap ibu. Dengan pengertian
kewajiban tersebut tidak mesti berlaku secara mutlak sehingga mengakibatkan
kemudaratan bagi keduanya. Salah satu pihak tidak boleh memudaratkan pihak lain
dengan menjadikan anak sebagai kambing hitamnya. Umpamanya karena ibu
mengetahui bahwa bapak berkewajiban memberi nafkah maka ia melakukan
pemerasan dengan tidak menyusui atau merawat si bayi tanpa sejumlah biaya yang
tertentu. Atau bapak sangat kikir dalam memberikan nafkah sehingga ibu menderita
karenanya.
Selanjutnya andaikata salah seorang dan ibu atau bapak tidak memiliki
kesanggupan untuk melaksanakan kewajiban atau meninggal dunia, maka
kewajiban-kewajiban itu berpindah kepada ahli warisnya.
Lamanya masa penyusuan dua tahun, namun demikian apabila berdasarkan
musyawarah antara bapak dan ibu untuk kemaslahatan anak, mereka sepakat untuk
menghentikannya sebelum sampai masa dua tahun atau meneruskannya lewat dari
dua tahun maka hal ini boleh saja dilakukan.
Demikian juga jika mereka mengambil seseorang wanita lain untuk
menyusukan anaknya maka hal ini tidak mengapa dengan syarat, kepada wanita
yang menyusukan itu diberikan imbalan jasa yang sesuai sehingga terjamin
kemaslahatan baik bagi anak maupun wanita yang menyusui itu.
Demikianlah Allah menjelaskan hukum-Nya kepada manusia terutama untuk
pembinaan keluarga karena itu selalu manusia diingatkan agar bertakwa dengan
menaati semua peraturan-Nya yang mengandung hikmah untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan manusia selalu diingatkan bahwa Allah Maha
Melihat apa-apa yang dikerjakan dan akan membalasnya dengan balasan yang
setimpal.

Anda mungkin juga menyukai